Rumah sakit dan aku seakan memiliki ikatan yang tidak bisa dijelaskan. Setiap kali hatiku merasa hampa selama 6 bulan terakhir, bangku-bangku rumah sakit selalu menemaniku.Larut malam, suara langkah kaki yang berisik memecah ketenangan rumah sakit.Hubungan antara Gavin dan Ayana tidak bisa disembunyikan dari Keluarga Hans.Salma ada berada di depan, diikuti sekelompok pengawal berpakaian hitam, dan mereka berjalan cepat ke arahku.Kalau dulu, aku tidak ragu kalau dia akan memelukku erat dan bertanya dengan penuh perhatian, Chelsea, apa kamu terluka.Namun, setelah insiden terakhir, hubungan antara Salma dan aku tidak akan pernah bisa lagi diperbaiki. Bagaimanapun, dia adalah ibu kandung Ayana, bukan ibu kandungku.Seperti yang diharapkan, sikapnya yang sopan dan anggun telah hilang, digantikan oleh kecemasan dan kerutan di dahi. Dalam sekejap mata, dia berjalan ke arahku dan bertanya dengan sangat sopan, “Di mana mereka?”Aku mengangkat kelopak mataku dan melihat ke arah ruang operas
Salma menghindari tatapanku dan tidak menatapku saat berbicara. Dia berkata, “Dia hanyalah putrinya temanku. Ada masalah apa?”Salma menjawab sambil menghela napas, “Jangan pedulikan perkerjaanmu yang payah itu. Kalau kamu masih ingin hidup enak di Keluarga Hans, berhenti saja dari pekerjaanmu. Aku juga bisa mengajakmu bertemu dengan lebih banyak wanita dari kalangan atas dan membuatmu bisa berteman dengan lebih banyak teman seusiamu.Lihatlah bagaimana kamu sudah melibatkan Keluarga Hans. Daffa Hans tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa malam. Dokter berkata, kondisinya semakin buruk. Apakah kamu mau membuatnya marah sampai mati? Sekarang, hal yang sama terjadi pada Ayana dan kakaknya.Chelsea, Ibu sudah memperlakukanmu dengan baik, kan? Kenapa aku merasa, kamu datang ke sini seperti untuk menagih utang pada kami?Para istri dalam keluarga ini ibarat seperti perekat yang membuat keluarga lebih bersatu. Lihatlah dirimu, kebaikan apa yang sudah kamu lakukan?”Dia merasa sedih ketika
Rumah sakitnya terasa menyeramkan, koridornya sepi, dan lampu kuning redup belum diganti ke mode cahaya yang terang.Pada saat ini, hanya bayangan samar yang mengikutiku dan aku terhuyung-huyung menuju ruang rawat inap pribadi di lantai paling atas rumah sakit.Badanku yang sudah berjongkok semalaman perlahan menghangat karena detak jantung yang kencang dan kakiku yang dingin pun perlahan terasa kembali saat berlari.Ada seorang pria yang batuk-batuk di ruangan. Hatiku terasa gelisah. Haruskah aku menuangkan segelas air untuk Gavin saat aku masuk?Saat aku bernapas dan berpikir, kakiku seakan terpisah dari tubuhku. Rasa kebas yang hebat menjalar dari telapak kaki dan tidak bisa digerakkan sama sekali.“Ahem.”Batuk Gavin berlanjut.Dengan berat hati, aku mengangkat ujung rokku, seolah-olah hanya dengan melihatnya, aku bisa tahu bahwa kakiku masih ada.Aku melangkah pelan di atas karpet tebal, tidak tahu mana yang lebih menyiksaku, rasa sakit yang menusuk tubuhku atau batuk ringannya.T
’Kesegaran’?Ya, Gavin sudah lama perjaka dan menahan gairahnya selama bertahun-tahun, dan akhirnya berubah menjadi api yang menyala-nyala. Setiap kali aku bersamanya adalah suatu pengalaman yang ajaib.Bagaimana mungkin dia tidak merasakan ‘kesegaran’?Aku menertawakan diriku sendiri. Setiap kali aku memaksakan diri untuk mengendalikan emosiku dan tidak membiarkan diriku tenggelam di dalamnya, Gavin seperti seorang penjelajah, dengan hati-hati memasang perangkap yang menurutnya “cukup bagus” dan “cukup segar”, mencoba menyeretku masuk.Aku terseret ke dalamnya. Kami berdua sudah dewasa dan aku menganggap semuanya sebagai permainan orang dewasa dan aku bisa menerimanya dengan mudah. Namun, pada akhirnya, yang aku dapatkan hanyalah satu kalimat. “Bukan demi Ayana.”Dia mempermainkanku demi Ayana, dia pikir, aku sebatas orang yang “cukup bagus” dan “cukup segar”. Ternyata, dia lebih jago berpura-pura daripada aku.Aku pikir, aku sudah menyiapkan rencana yang bagus. Gavin dan aku bersama-
Semakin gugup seseorang, semakin besar kemungkinan untuk berbuat kesalahan.Aku ingin sekali melarikan diri sehingga aku berlari terburu-buru sampai lupa mengangkat ujung rokku. Akibatnya, aku tersandung dan terjatuh.Sintia berlari keluar ruangan setelah mendengar suara itu.“Ouch!” serunya. “Kenapa kamu terjatuh?”Dia datang membantuku berdiri. “Hati-hati, kalau kamu terluka, Gavin bisa sedih.”Aku menundukkan kepada dan menghapus air mataku. Saat aku mendongak lagi, aku menatapnya sambil tersenyum dan mengucapakan terima kasih.Aku tahu kalau saat ini aku pasti terlihat penuh dengan kekurangan, tetapi aku adalah orang yang tangguh sejak kecil. Meskipun mataku merah dan penuh air mata, aku tidak mau menunjukkan kelemahanku di depan orang yang sudah mempermalukanku.“Sama-sama. Kita sudah saling kenal, jadi kita jadi teman, kan?”Sintia mendorongku sambil tersenyum, menuju ruangan Gavin.Aku tidak bisa menggambarkan perasaanku saat aku berjalan ke arahnya selangkah demi selangkah. Aku
Sudah lama aku tidak melihat Gavin menatapku seperti ini.Beberapa jam yang lalu, dia sangat lembut, menatapku dengan kasih sayang yang tiada tara.Sekarang, dia menyipitkan matanya dengan sedikit rasa kesal. “Apakah tadi kamu menguping di luar?”Aku menarik napas dalam-dalam dan berpura-pura senyum. “Apa kamu takut orang lain akan mendengar apa yang kamu katakan?”“Atau … kamu bercerita dengan orang lain dan takut aku yang akan mengetahuinya?”Aku menatap wajahnya sudah lama aku tatap selama ini dan hatiku dipenuhi dengan emosi yang sangat rumit.Cinta? Tidak juga, lagi pula, hatiku sudah berkali-kali disakiti olehnya.Membencinya? Tidak juga. Aku tahu aku juga ada salah, jadi aku tidak akan memintanya untuk mencintaiku sepenuh hati.Mungkin hanya rasa malu karena dibodohi oleh seseorang yang menganggap dirinya pintar. Mungkin karena aku sangat marah padanya, jadi aku merasa sangat sakit hati … putus asa …Waktu antara aku dan dia seakan berhenti. Aku menatapnya cukup lama dan akhirny
Gavin tampak sangat malu, tetapi aku tidak berani menoleh ke belakang.Aku takut melihat wajahnya yang pucat seperti salju dan matanya yang gelap dengan kilaunya yang sudah hilang.Aku menggunakan sisa kewarasanku untuk memanggil perawat, tanpa memikirkan apakah perawat bertubuh kecil itu sanggup menopang lelaki setinggi itu, lalu aku meninggalkan rumah sakit secepat mungkin dalam keadaan tergesa-gesa.Kelopak bunga jingga bergetar hebat tertiup angin.Selain di batu nisan orang tuaku, aku tidak tahu di mana lagi aku bisa menangis sepuasnya.Orang dewasa memang seperti ini, bahkan untuk menangis pun mereka harus mencari alasan dan memilih tempat.Aku pikir, aku akan menangis histeris.Namun, saat aku benar-benar berlutut di depan batu nisan orang tuaku, emosi yang kuat, marah, dan sedih itu pun mereda. Sayangnya, aku seolah kehilangan kemampuan untuk menangis.Atau mungkin merasa sulit berbicara dengan orang tuaku tentang hubunganku dengan Gavin yang tidak wajar ini dan yang tersisa ha
Tiba-tiba, pandanganku terasa gelap. Aku menyandarkan kepalaku ke batu nisan karena kesakitan. Rasanya seperti ada jarum yang menusuk pelipisku. Beberapa kenangan yang terlupakan perlahan-lahan kembali …Sintia Jane, pantas saja dia terlihat tidak asing, pantas saja aku merasa seperti pernah melihatnya di suatu tempat.Gavin tampan dan berasal dari keluarga kaya. Aku bahkan tidak bisa menghitung jumlah pelamar yang ada sejak dia masih kecil dan aku bahkan tidak mengingatnya.Ketika aku masih muda, aku selalu berpikir bahwa orang seperti dia, anak berharga, bukanlah sesuatu yang bisa diraih oleh manusia biasa.Namun, bisa ada juga hal yang tidak terduga terjadi. Suatu hari, dia menyelamatkan seorang gadis yang diganggu oleh teman-teman sekelasnya. Kemudian, untuk melindunginya, dia mengizinkan gadis itu untuk lebih dekat dengannya dan bahkan membiayainya untuk pergi ke luar negeri …Aku rasa, dia tampan sekaligus baik hati. Jadi, gadis itu adalah Sintia Jane …Ayana berkata dengan nada