Devan akhirnya memberanikan diri masuk ke dalam ruangan. Alnando dan Fania menengok ke arah pintu yang terbuka. Bahkan Alnando langsung menyambut kedatangan menantunya dengan gembira.“Devan!” sapa Alnando ketika Devan berjalan masuk.“Pah, sudah lama di sini?” tanya Devan basa basi.“Belum lama. Maaf, Papah ke sini tidak mengasih kabar terlebih dahulu.” Alnando merasa sungkan terhadap menantunya.Devan yang sedang meletakan tas kantor di meja langsung menggeleng. Ia pun mendekat ke arah brankar di mana sang istri dan mertuanya berada.“Tidak masalah, Pah. Aku malah senang jika Papah mau menengok Fania,” ujar Devan.Alnando hanya tersenyum canggung. “Ya, Papah hanya mau berterima kasih sama kamu. Kamu sudah menjaga Fania dengan baik, dan membuat dirinya bahagia.”“Tidak perlu berterima kasih, Pah. Yang aku lalukan untuk Fania. Itu karena sudah kewajibanku sebagai suaminya.” Devan menjawab dengan menatap ke arah Fania yang tersenyum.Alnando sendiri mengangguk paham. Dan tidak lama ia
Devan mendekat ke arah brankar lalu berkata, “Tenang saja, Sayang. Aku sudah mengusir Alya. Meski niat dia baik mau menjenguk kamu, tapi aku tidak ingin kita salah paham lagi.” Devan mencoba menjelaskan.Fania tersenyum sekarang. “Lagian jika mbak Alya mau ke sini juga tidak masalah, Mas. Aku beneran tidak apa-apa, kok.”“Iya, Sayang. Sudah tidak perlu dibahas. Aku potongin alpukatnya, ya?” tanya Devan dengan mengalihkan pembicaraan. Fania pun hanya mengangguk.Fania menatap gerak gerik sang suami yang sedang memotong buah alpukat untuknya. Jujur saja, Fania sebenarnya sedikit terkejut mendengar penuturan sang suami jika mantannya ingin menjenguk dirinya. Padahal, hatinya sebenarnya tidak mempermasalahkan. Ia sangat percaya dan yakin kepada sang suami jika cintanya begitu tulus untuknya.Setelah buah kesukaan istrinya sudah terpotong semua, Devan menyerahkan buah alpukat mentega yang sudah dicampuri dengan susu kental manis rasa cokelat, kepada sang istri yang sudah menunggu sedari ta
Devan tersenyum kepada sang istri yang bertanya.“Ini enak banget, sungguh aku tidak bohong,” ucap Devan dengan antusias. Ia juga berulang kali menyuapi kuah soto ke dalam mulutnya.Fania yang tadinya khawatir melihat ekspresi suaminya kini tersenyum senang.“Ya ‘kan, enak!”Devan mengangguk setuju. “Enak banget, Sayang.”Fania bersyukur, suaminya kini sudah tampak lebih santai, tidak seperti pertama kali datang. Dan karena hal ini membuat Fania ingin mengajak sang suami ke tempat makanan yang lain juga.Setelah makanan selesai dan membayar. Mereka pun kembali masuk ke dalam mobil untuk pulang ke apartemen.“Sayang, kok kamu tahu sih? Tempat-tempat makanan pinggir jalan kaya gitu? Kamu lahir dari seorang pengusaha, biasanya ‘kan memilih tempat makan kalo enggak di restoran, di hotel berbintang atau mall, gitu?” tanya Devan yang masih penasaran kepada istrinya.Fania terkikik. “Kamu masih penasaran aja, Mas?” Fania malah membalik tanya membuat Devan tersenyum.“Ya, aku pengen tahu aja!
Fania membuka amplop cokelat itu secara perlahan. Setelah terbuka, ia dibuat tercengang oleh isi di dalamnya.“Mas, ini tiket pesawat?” Fania bertanya kepada Devan yang mengangguk.“Lusa kita ke Paris. Sesuai dengan keinginanmu, Sayang.”Kedua mata Fania seketika langsung mengembun. Impiannya ke negeri Eropa akan terwujud. Meski Fania anak pengusaha kaya raya. Namun, ia tidak diperbolehkan ke luar negeri saat masih gadis. Alnando sangat keras dalam mendidik putrinya. Jangankan ke luar negeri, ke luar kota saja harus mendapat izin berhari-hari.“Mas, bukannya seharusnya akhir bulan, ya? Kok dipercepat?” tanya Fania penasaran dengan memasukkan kembali tiket pesawat ke dalam amplop.“Karena Lusa, Reihan dan Karina sudah tiba di tanah air. Jadi, mumpung sudah ada Reihan, pekerjaan biar Reihan yang mengurus. Waktunya tinggal kita yang liburan. Karena, aku juga ada pertemuan dengan rekan bisnis di sana. Maka dari itu kita berangkat lebih awal,” terang Devan. Fania hanya mengangguk dan menge
Saat panggilan itu telah diangkat oleh Fania. Namun, tiba-tiba panggilan itu diputus sebelah pihak. Hal itu juga membuat Fania kesal karena merasa dipermainkan.“Huh! Siapa sih! Jangan-jangan orang iseng. Aku blokir aja deh, daripada di teror lagi,” gumam Fania sendiri. Dan ia langsung memblokir nomor asing itu.Fania pun kembali berjalan menuju kamar apartemennya. Ia akan bersiap-siap. Karena hari sudah mulai gelap, dan Devan juga sebentar lagi akan pulang.Dan benar saja, Fania setelah selesai membersihkan diri. Tidak lama suara pintu terbuka, ia melihat suaminya sudah pulang dengan membawa beberapa paper bag.“Mas?” sapa Fania menyambut kepulangan sang suami.“Ini untuk kamu, Sayang.” Devan memberikan salah satu paper bag yang ia bawa ke arah istrinya.“Apa ini, Mas?”“Buka saja.”Fania pun membuka paper bag itu. Setelah terbuka, ia langsung tersenyum.“Kamu membelikan aku tas, Mas?” tanya Fania dengan mengeluarkan tas berwarna hitam merek brand terkenal.“Kamu suka?”“Banget, Mas.
“Ternyata dia spesial banget, ya, Mas, dahulu. Sampai kamu masih memajang lukisan ini,” ucap Fania dengan memberikan lukisan berbentuk bunga dengan bayangan seseorang di dalamnya. Siapa lagi kalo bukan Alya, mantan kekasih suaminya.Devan menarik napasnya secara perlahan. Ia baru teringat akan lukisan itu. “Maaf, Sayang. Aku hanya lupa belum membereskan. Kan kamu tahu sendiri aku lebih banyak menghabiskan waktu di Indonesia, bukan di sini!” terang Devan agar sang istri percaya padanya.Fania hanya mengangguk pelan. Ia pun berjalan ke arah jendela. Setelah terbuka, hatinya seakan-akan bisa bernapas kali ini. Meski ia tidak ingin terlalu cemburu kepada mantan kekasih suaminya. Namun, perasaannya tidak bisa di bohongi.Devan yang menatap sang istri seakan-akan rasa bersalahnya datang kembali. Harusnya ia sudah menghapus semua kenangan masa lalunya. Namun, untuk masalah lukisan ini, ia benar-benar lupa untuk menarik dari koleksi lukisan pajangannya.“Kamu marah denganku, Sayang?” Devan be
Saat mobil telah melaju, pandangan Fania menatap ke punggung seseorang yang sedang berjalan di trotoar menuju halte bis yang berada di belakang mobil suaminya. Jantungnya seketika berdebar begitu kencang. Bahkan, Fania sampai menengok ke arah belakang mobil. Menatap punggung wanita paruh baya yang membuat Fania mengingatkan dengan tubuh seseorang.“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Devan saat melihat gelagat istrinya aneh.Fania tersenyum canggung. “Nggak, kok, Mas.”“Apa ada yang kamu lihat?” tanya Devan lagi karena ia masih sedikit penasaran dengan tingkah sang istri.Fania tak bergeming. Namun, jelas sekali dari raut wajahnya seperti sedang memikirkan sesuatu.Akhirnya, Fania berniat memberitahu suaminya tentang apa yang ia lihat dan ia pikirkan.“Mas, kamu lihat seorang wanita yang berjalan terburu-buru ke arah halte bis dekat rumahmu?” tanya Fania membuka suara.“Hmm, yang mana, Sayang? Aku nggak lihat apa pun!” ujar Devan. Karena ia memang tidak memperhatikan sekeliling.“Itu lho, Mas
Devan menutup pintu kamar hotelnya kembali setelah pegawai hotel datang membawakan pesanan makan malam untuk istrinya.Ia pun melirik ke arah istrinya yang masih meringkuk di bawah selimut tebal.“Kamu mau makan dulu apa melanjutkan yang tadi?” tanya Devan dengan senyuman menggoda.“Makan saja dulu lah, Mas. Aku laper banget nih,” sahut Fania dengan membuka selimut tebalnya dan menurunkan kaki jenjangnya ke lantai.Devan pun mengangguk. “Ya, sudah. Kamu makan dulu saja, biar nanti dilanjut lagi.”“Apanya yang dilanjut?” tanya polos Fania.“Kamu melupakan yang tadi kita lakukan?” tanya Devan dengan mengerutkan dahinya.Fania terkikik. Lalu ia berkata, “Sudah lah, Mas. Aku mau makan dulu.”Devan akhirnya mengangguk. Ia membawa makanan yang di pesan menuju balkon.“Kita makan di sini saja ya,” ajak Devan.Fania tidak menolak sama sekali. Apalagi memang pemandangannya sebagus ini.Sepasang suami-istri itu pun menikmati makan malam bersama penuh kenikmatan.***Namun, berbeda di tempat lai