“Ternyata dia spesial banget, ya, Mas, dahulu. Sampai kamu masih memajang lukisan ini,” ucap Fania dengan memberikan lukisan berbentuk bunga dengan bayangan seseorang di dalamnya. Siapa lagi kalo bukan Alya, mantan kekasih suaminya.Devan menarik napasnya secara perlahan. Ia baru teringat akan lukisan itu. “Maaf, Sayang. Aku hanya lupa belum membereskan. Kan kamu tahu sendiri aku lebih banyak menghabiskan waktu di Indonesia, bukan di sini!” terang Devan agar sang istri percaya padanya.Fania hanya mengangguk pelan. Ia pun berjalan ke arah jendela. Setelah terbuka, hatinya seakan-akan bisa bernapas kali ini. Meski ia tidak ingin terlalu cemburu kepada mantan kekasih suaminya. Namun, perasaannya tidak bisa di bohongi.Devan yang menatap sang istri seakan-akan rasa bersalahnya datang kembali. Harusnya ia sudah menghapus semua kenangan masa lalunya. Namun, untuk masalah lukisan ini, ia benar-benar lupa untuk menarik dari koleksi lukisan pajangannya.“Kamu marah denganku, Sayang?” Devan be
Saat mobil telah melaju, pandangan Fania menatap ke punggung seseorang yang sedang berjalan di trotoar menuju halte bis yang berada di belakang mobil suaminya. Jantungnya seketika berdebar begitu kencang. Bahkan, Fania sampai menengok ke arah belakang mobil. Menatap punggung wanita paruh baya yang membuat Fania mengingatkan dengan tubuh seseorang.“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Devan saat melihat gelagat istrinya aneh.Fania tersenyum canggung. “Nggak, kok, Mas.”“Apa ada yang kamu lihat?” tanya Devan lagi karena ia masih sedikit penasaran dengan tingkah sang istri.Fania tak bergeming. Namun, jelas sekali dari raut wajahnya seperti sedang memikirkan sesuatu.Akhirnya, Fania berniat memberitahu suaminya tentang apa yang ia lihat dan ia pikirkan.“Mas, kamu lihat seorang wanita yang berjalan terburu-buru ke arah halte bis dekat rumahmu?” tanya Fania membuka suara.“Hmm, yang mana, Sayang? Aku nggak lihat apa pun!” ujar Devan. Karena ia memang tidak memperhatikan sekeliling.“Itu lho, Mas
Devan menutup pintu kamar hotelnya kembali setelah pegawai hotel datang membawakan pesanan makan malam untuk istrinya.Ia pun melirik ke arah istrinya yang masih meringkuk di bawah selimut tebal.“Kamu mau makan dulu apa melanjutkan yang tadi?” tanya Devan dengan senyuman menggoda.“Makan saja dulu lah, Mas. Aku laper banget nih,” sahut Fania dengan membuka selimut tebalnya dan menurunkan kaki jenjangnya ke lantai.Devan pun mengangguk. “Ya, sudah. Kamu makan dulu saja, biar nanti dilanjut lagi.”“Apanya yang dilanjut?” tanya polos Fania.“Kamu melupakan yang tadi kita lakukan?” tanya Devan dengan mengerutkan dahinya.Fania terkikik. Lalu ia berkata, “Sudah lah, Mas. Aku mau makan dulu.”Devan akhirnya mengangguk. Ia membawa makanan yang di pesan menuju balkon.“Kita makan di sini saja ya,” ajak Devan.Fania tidak menolak sama sekali. Apalagi memang pemandangannya sebagus ini.Sepasang suami-istri itu pun menikmati makan malam bersama penuh kenikmatan.***Namun, berbeda di tempat lai
Hari pun telah berganti. Setelah melewati pergulatan semalam sepasang suami-istri kali ini masih tertidur dengan lelap. Devan tertidur dengan mendekap badan mungil istrinya dari belakang.Namun, sayangnya waktu tidur mereka terganggu oleh seseorang yang datang. Yaitu pegawai hotel yang datang untuk memberikan sarapan pagi, dan juga pesanan baju untuk si empu kamar yang sudah dipesan sedari malam.Fania yang terusik oleh ketukan pintu kamar hotelnya. Kini ia membuka matanya secara perlahan. Lalu ia mengalihkan tangan kekar suaminya yang melingkar ke pinggangnya.“Mas, aku mau membuka pintu dulu, ya. Kaya pegawai hotel deh!” ucap Fania kepada Devan yang mengangguk pelan.Fania mengelus pipi suaminya secara gemas. Setelah itu ia menurunkan kaki jenjangnya ke lantai dan berjalan menuju pintu untuk membukanya.“Selamat pagi, Nona. Ini sarapan pagi Anda dan juga pesanan tuan Elnathan semalam,” ucap pegawai hotel itu menggunakan bahasa inggris.Fania pun mengangguk. “Terima kasih,” jawabnya
Seperti yang sudah dijanjikan oleh Devan kepada Fania yaitu mengajak jalan-jalan. Devan pun mengabulkan permintaan istrinya.Devan membawa Fania ke Menara Eiffel, setelah itu melanjutkan perjalanan ke Arc de Triomphe. Yaitu tempat wisata yang wajib dikunjungi jika sedang berada di Paris selain Menara Eiffel.Monumen ikonik ini berdiri di ujung barat camps—Elysees dan menjadi simbol kebanggaan nasional Prancis. Bukan hanya itu saja, monumen ini juga bisa di mendaki untuk melihat pemandangan indah di Paris.Saat mengajak Fania keliling Paris. Devan lebih meminta di pandu oleh tour guide (pemandu wisata). Bukan karena ia tidak paham dengan jalanan di sana. Namun, ia ingin menikmati momen liburan ini benar-benar menjadi terkesan untuk dirinya.Devan dan Fania kini sedang berada di mobil untuk kembali ke hotel. Acara kunjungan ke tempat wisata mereka sudahi, karena malam nanti mereka berdua akan mengikuti makan malam bersama yang dibuat oleh keluarga besar Samuel.“Bagaimana perasaanmu? Se
Dan malam harinya, Devan mengajak Fania untuk menghadiri acara makan malam yang diselenggarakan oleh keluarga besar ayahnya.Fania berdandan sangat anggun dan pastinya cantik. Ia memakai gaun berwarna cream dengan aksesoris pita di belakang pinggangnya. Rambutnya sengaja ia ikat satu dengan bagian bawah rambut yang terurai. Ia juga merubah gaya rambutnya bagian depan menjadi berponi.Devan bahkan sampai tidak berkedip saat melihat istrinya kini berdiri di ambang anak tangga sambil tersenyum.“Kenapa, Mas? Aneh, ya?” tanya Fania sembari melihat tampilannya kembali.Devan menggeleng pelan. “Tidak. Seperti ada yang berbeda darimu?” Devan masih saja mengamati istrinya.Fania yang mendengar terkikik. Ia sudah paham dengan apa yang suaminya katakan.“Oh itu, aku bikin poni. Menurutmu bagus enggak sih? Aku di poni kaya gini?” Fania berbalik tanya.“Ah, benar itu. Ponimu baru, pantas saja ada yang berbeda,” sahut Devan. Lalu ia berkata kembali, “Bagus, Kok. Kamu kelihatan makin imut.”Fania s
Wanita paruh baya itu langsung membuang muka dari hadapan Fania. Ia bahkan ingin masuk ke ruang sebelah tepatnya samping toilet, namun dengan cepat tangan Fania memegang lengannya dengan kuat.“Apa kamu Ibu?” tanya Fania sekali lagi. Kedua matanya mengembun seketika. Karena postur tubuh wanita yang ada di hadapannya sama persis seperti postur tubuh wanita yang ia lihat dua hari yang lalu.Wanita itu masih saja terbungkam, tanpa melihat ke arah Fania.“Maaf, aku bukan ibumu,” ucap suara wanita itu. Membuat Fania melepaskan cengkeraman jemarinya di lengannya.“Siapa namamu? Jika namamu Elfina, berarti kamu adalah ibuku. Aku masih paham bentuk tubuh ibuku. Aku sangat hafal dengan suara ibuku. Kamu pasti ibu ‘kan?” tanya Fania kembali memastikan.Wanita paruh baya dengan berambut pendek lurus masih saja tak bergeming menanggapi ucapan Fania. Ia pun menyeka air matanya yang kini berjatuhan.‘Takdir macam apa ini, Tuhan?’ gumamnya dalam hati.Namun, tidak lama kepala pelayan ketring acara k
“Kamu serius?” tanya Devan memastikan.Fania mengangguk cepat. “Serius, Mas. Dan postur tubuhnya sama persis dengan wanita yang saat itu aku lihat di trotoar. Kamu ingat ‘kan, Mas?”Devan masih tampak berpikir kali ini. Lalu ia berkata, “Ya, sudah. Setelah acara selesai kita bahas hal ini lagi,” ujarnya kepada sang istri.Tidak lama kemudian, terdengar suara ketukkan pintu. Membuat Devan langsung bergegas berdiri dan berjalan ke arah pintu lalu membukanya.“Malam, Tuan. Ini pesanan bajunya sudah sampai,” ucap salah satu pihak hotel.“Terima kasih. Ini untukmu.” Devan mengambil paper bag di tangan pihak hotel dengan memberikan uang tip kepadanya.Setelah pihak hotel pergi, ia pun menutup pintunya kembali. Dan berjalan mendekat ke arah sofa di mana sang istri sedang duduk dengan menatap ke layar ponselnya.“Ini bajumu, Sayang. Lebih baik kamu lekas berganti.” Devan menyerahkan paper bag berwarna cokelat itu ke hadapan istrinya.Fania yang sudah menerima ia pun masuk ke dalam kamar mand