“Sudah Fan, lo sudah minum banyak.” Karina mengambil gelas kecil di tangan Fania.“Sekali lagi, Rin. Gue janji ini gelas terakhir.” Fania memegang gelas dengan erat meski Karina memaksa mengambilnya.Karina memutar bola matanya. Dia sudah sangat jengah pada sahabatnya ini.“Terserah, lo! Kalo sampai ada apa-apa. Jangan bawa-bawa gue. Gue males berurusan sama bokap, lo!” Karina mengancam Fania. Sedangkan, Fania hanya tersenyum mengangguk.Kesadaran Fania sudah sedikit hilang. Ia bahkan sampai limbung.“Nah ‘kan!” Karina langsung menangkap tubuh Fania yang mulai sempoyongan. Karina bahkan sedikit panik, tetapi Fania malah tertawa terbahak-bahak.“G**a, lo, ya, Fan. Udah kaya gini masih bisa ketawa-tawa!” seru Karina terheran.“Udah, sih. Lo berisik banget. Lo senang lihat gue ketawa apa nangis sih?” sahut Fania.“Iya, ketawalah. Tapi nggak gini juga, Fan. Makanya dengerin orang tua kalo ngomong. Riko itu laki-laki nggak bener, udah tau ‘kan kalo dia buaya darat. Masih aja ke makan omon
Fania terbangun dan ia langsung terkejut melihat ke sekeliling ruangan yang begitu asing.“Hah! Gue di mana ini?” Fania mencoba bangun dengan memegang kepalanya yang masih berputar-putar.Ia menatap ke sekeliling untuk mencari ponselnya. Namun, sayangnya tidak ketemu. Lalu ia mencoba berdiri dan berjalan menuju pintu keluar.Saat sudah keluar dari kamar. Ia melihat sosok lelaki yang tertidur pulas di sofa depan televisi.Ia mengendap-ngendap mendekat ke arah pria itu untuk memastikan pria di depannya bukan orang jahat.Namun, sialnya saat mendekat kakinya tersandung karpet. Membuat tubuh Fania menjadi limbung dan terjatuh ke atas tubuh pria itu.Ya. Pria itu adalah Elnathan Devandra—sang pemilik mobil.Devan langsung terbangun dan menatap wanita yang berada di atas tubuhnya.“Kamu mau godain saya?” ucapnya menelisik. Devan bahkan menatap Fania dengan tatapan tajam.“Maaf, nggak sengaja!” Fania langsung berdiri dan merapikan bajunya yang berantakan.Devan terduduk lalu ia berdiri dan m
Hari dengan cepat telah berganti. Fania pagi ini akan bersiap-siap ke kampus. Sebagai mahasiswa akhir membuat ia sedikit sibuk mempersiapkan untuk sidang skripsi.Skripsi sudah ia mulai kerjakan meski belum sepenuhnya selesai.Fania keluar dari kamar menuruni anak tangga. Netranya melihat ke sekeliling rumah yang sudah disulap menjadi taman bunga.“Bi Iyas!” panggil Fania saat duduk di ruang makan.“Iya, Non. Mau sarapan apa?” tanya Iyas yang mendekat ke hadapan Fania.Fania bukannya menjawab. Ia malah bertanya pada Bi Iyas. “Mau ada acara apa, Bi? Rumah dihias begini?” Fania penasaran.“Oh itu, Non. Non shanum mau kedatangan calon besan dan calon suaminya.”“Shanum? Calon suami?”“Iya, Non. Tadi Tuan sudah berpesan. Nanti malam non Fania tidak boleh pergi,” ucap Bi Iyas membuat Fania memutar bola matanya.“Kan yang mau nikah Shanum, apa hubungannya sama aku!” cebik Fania kesal.Iyas hanya tersenyum. Ia sudah paham dengan anak majikannya.“Ya udah, aku berangkat dulu, Bi.” Fania berpa
Fania membelalak saat tahu Devan menunjuk dirinya.“Nak Devan, kamu tidak lagi becanda, ‘kan?” tanya Angela yang sangat terkejut.“Tidak. Aku serius!” sahut Devan tegas.“Tapi, Dev. Shanum yang akan bersanding denganmu, bukan Fania!” Sam kini bersuara.Shanum sendiri langsung memucat mendengar perkataan calon suaminya. Sedangkan, Fania dia menatap Devan dengan tatapan kesal.“Aku menginginkan dia! Ehm, Fania.” Yakin Devan. Bahkan, ia berani menyebut nama Fania di depan semua orang.Fania menutup matanya, lalu menatap ke arah Devan yang tersenyum mengejek padanya.“Emang nggak waras tuh orang. Sial banget gue di kambing hitamkan kaya gini! Awas aja, gue bakal balas,” gerutu fania dalam hati.Shanum memegang tangan ibunya. Ia tidak menyangka acara yang seharusnya dia bahagia, tetapi malah seperti ini.Alnando akhirnya bersuara. Ia berkata,”Nak Dev, kamu tidak salah memilih Fania. Dia bahkan belum lulus kuliah? Apa tidak akan dipertimbangkan kembali?”“Tidak, Om. Kalo Fania tidak mau. Ak
Acara pernikahan Fania dan Devan sudah selesai tiga jam yang lalu. Banyak sekali teman Fania yang tidak percaya ia menikah secepat ini. Bahkan banyak teman kampusnya yang memuji ketampanan Devan dan membandingkannya dengan Riko—mantan kekasihnya.Kini Fania dan Devan sudah berada di kamar hotel. Devan bahkan meminta pihak hotel untuk menghias kamarnya.“Mau aku bantuin?” tanya Devan saat melihat Fania kesusahan membuka resleting baju gaunnya.“Nggak perlu.” Fania menolak dengan nada ketus. Ia tetap berusaha membuka resleting bajunya sendiri.Namun, Devan langsung mendekat. Tangannya dengan cepat membuka resleting gaun Fania secara perlahan. Fania tidak memberontak sama sekali. Karena ia memang tidak bisa membuka resleting bajunya.Jantung Devan berdebar saat melihat punggung Fania yang putih mulus. Meski ia sering melihat punggung wanita terbuka saat berada di club malam.Namun, kali ini berbeda. Apalagi ia pria normal yang memiliki h****t.Fania langsung membalikkan badannya saat mer
Shanum menyeringai setelah Angela membisikkannya. Mereka berdua tertawa dengan saling memandang. “Mamah memang yang terbaik!” Shanum berkata pada Angela dengan sangat bangga. Angela mengangguk dan tersenyum. “Apa sih yang nggak buat anak Mamah!” Shanum dan Angela kembali ke meja. Acara makan malam berjalan lancar. Meski dalam hati Fania ia melihat ada sesuatu yang janggal pada Angela dan Shanum saat menatap dirinya. Namun, Fania tidak mau memikirkan hal itu. Karena memang seperti itu tatapan mereka padanya. *** Acara makan malam telah usai. Fania kini sudah berada di kamar hotelnya bersama dengan Devan. Sungguh ini hal pertama kali untuk Fania sekamar dengan pria asing yang kini sudah menjadi suaminya. Terasa aneh. Fania masih betah duduk di depan cermin sembari memainkan ponsel. Sebab, ia sedang membalas ucapan dari teman-teman onlinenya. Sedangkan Devan, ia sudah lebih dulu berbaring di ranjang yang masih terhias oleh kelopak mawar merah. “Emang nggak cape apa duduk di situ s
Malam pertama tinggal di apartemen Devan. Fania dan Devan tidak tidur seranjang seperti keinginan Fania. Devan akhirnya mengalah tidur di sofa yang berada di ruang tengah.Fania kini terbangun karena mendengar suara alarm dari ponselnya.Fania mengambil ponsel di nakas lalu melihat jam yang tertera di layar ponsel.“Hah! udah jam enam?” ucap Fania terkejut. Ia memilih untuk bangun dan duduk terlebih dahulu sebelum turun dari ranjang.Ia bahkan mengingat kejadian semalam saat Devan dengan lancangnya mencium dirinya. Entah kenapa hatinya merasakan hal yang aneh.“Gue benci banget sikap lancang dia! Berani banget cium pipi gue. Huh!” gerutu Fania jengkel.Fania melihat ke sekeliling ruangan kamar Devan. Ia bahkan tidak melihat batang hidung pria yang kini menjadi suaminya.“Ke mana dia? Jangan-jangan tidur di luar?” tebak Fania dan ia tidak memperdulikannya. Fania memutuskan turun dari ranjang dan berjalan menuju ruang lembab.Hampir lima belas menit berada di kamar mandi. Kini Fania ke
Fania yang sudah sampai di kampus. Ia sedikit terkejut akan panggilan dari Alnando untuk pulang ke rumah.Apalagi nada suara Alnando terdengar meninggi. Dan Fania sangat paham jika nada ayahnya seperti itu dipastikan ada masalah di rumah.Fania sudah menjawab. Namun, karena ia ada pembekalan untuk sidang skripsi. Membuat Fania meminta kepada Alnando untuk datang ke rumah malam nanti.Kini Fania sudah berada di dalam kelas. Ia membuka laptop untuk memeriksa skripsi yang sudah ia revisi semalam.“Eh, pengantin baru!” sapa Karina yang baru datang lalu duduk kursi samping Fania.“Apaan si!” sahut Fania bete karena Karina memanggil sebutan itu.“Lho memang pengantin baru ‘kan?” ledek Karina lagi.“Tau ah! Nggak usah nyebut-nyebut panggilan itu.” Fania mencebik.Karina tertawa. “Gimana rasanya malam pertama enak nggak?” tanya Karina membisik di telinga Fania.Fania melotot. “Nggak ada malam pertama, Rin. Gue aja tidur terpisah,” ucap Fania santai sambil melihat ke layar monitor.“Apa?” Kari
Pagi ini sesuai rencana Fania untuk berpindah di kediaman ayahnya. Ia dan Elfina sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Alnando.“Bi Darmi, titip rumah ini, ya,” ucap Fania saat sudah di depan pintu apartemen.“Iya, Nyonya. Hati-hati di jalan,” kata Darmi dengan rasa haru. Sebab, setelah menginap di rumah Alnando. Fania dan Devan akan langsung berpindah ke Paris.“Kalo ada apa-apa atau butuh apa pun. Jangan sungkan hubungi aku atau ke istriku, ya, Bi,” pesan Devan.“Baik, Tuan.”“Kami pamit dulu, Bi Darmi.” Elfina ikut bersuara kali ini.Darmi hanya mengangguk dan tersenyum.Devan mengajak istri dan ibu mertuanya untuk berjalan ke arah lobi apartemen. Sementara di sana pak Aris sudah menunggu sedari tadi.Setelah masuk ke dalam mobil. Pak Aris melajukan mobilnya mengarah ke kediaman Alnando.Sesampainya di rumah Alnando. Mereka langsung di sambut oleh bi Iyas dan pak Joko yang sudah menunggu.“Selamat datang nyonya Elfina, non Fania dan den Devan,” kata Iyas dan Joko secara bersamaa
“Lo, tunggu sini, ya. Ingat! Jangan ke mana-mana!” Fania memberi peringatan kepada Karina. Lalu ia pergi keluar dari toko pelengkapan bayi.Fania menengok kanan kiri. Lalu netranya pun melihat ada seorang satpam mall yang sedang berjalan ke arahnya. Fania langsung mendekati satpam itu, untuk meminta bantuan.“Pak, bisa minta tolong?” tanya Fania langsung.“Iya, Mbak. Apa yang bisa saya bantu?”“Temanku mau lahiran, Pak. Apa Bapak, bisa bantuin saya siapkan mobilnya ke lobi?” titah Fania sopan.“Baik, Mbak. Akan saya bantu. Kalo boleh tahu berapa nomor plat mobilnya?” tanya Satpam itu.“Hayo, Pak. Ikut saya ke dalam, soalnya itu mobil teman saya,” sahut Fania sembari berjalan masuk ke tempat perlengkapan bayi.Satpam itu pun mengekori di belakang Fania yang masuk ke tempat di mana Karina berada. Setelah memberitahu kepada Satpam itu plat mobil Karina. Karina kini dirangkul oleh Fania untuk berjalan ke arah lobi. Untungnya tempat perlengkapan bayi ada di lantai dasar, membuat Fania tida
Setelah kepergian Elfina. Devan langsung menahan istrinya agar tidak memaksa kehendak sang ibu.“Sudah, tidak perlu kamu paksa Ibu agar mau tinggal di rumah Papah. Mungkin, ada hal yang tidak ingin Ibu beri tahu ke kamu, jadi kamu harus menjaga privasi Ibu, ya,” ucap Devan lirih. Berharap jika istrinya akan mengerti.Fania mengangguk pelan. “Iya, Mas. Kamu benar juga.”“Iya, sudah kamu mau ikut bareng aku ke toko atau mau diantar pak Aris?” tanya Devan saat sarapan selesai.“Aku ikut kamu saja, Mas.”Devan tersenyum. “Aku tunggu di bawah,” sahutnya dengan keluar ke arah pintu untuk mengambil mobil di basemen.Fania lebih dulu membereskan meja makan terlebih dahulu sebelum dia keluar. Setelah selesai, ia berjalan ke kamar ibunya untuk berpamitan.“Bu, Fania ke toko, ya,” ucapnya setelah mengetuk pintu.Tidak ada sahutan sama sekali dari kamar ibunya. Membuat hati Fania sedih kali ini. Ia merasa bersalah telah berbicara masalah untuk tinggal di rumah papahnya.Fania berjalan meninggalka
“Pak Devan?” sapa orang itu saat melihat ke arah Devan. Dia bahkan beranjak dari kursinya lalu mengulur tangan kanannya kepada Devan yang sedikit terkejut.“Anton?” panggil Devan singkat. “Kamu sudah di Jakarta berarti?” tanya Devan langsung. Karena setahu Devan, Anton waktu itu pindah ke Kalimantan.“Iya, Pak. Saya pindah ke sini lagi,” jawab Anton sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Kerja apa kamu sekarang? Kalau belum kerja, kamu bisa balik ke kantor saya lagi,” ajak Devan. Namun, dengan cepat Anton menggeleng.“Maaf, pak Devan. Bukan saya menolak rezeki, tetapi saya sudah buka usaha sendiri di sini, Pak,” sahut Anton sopan.Devan tersenyum mendengarnya. “Wah, bagus itu. Apa usahamu?”“Warung nasi padang, Pak. Itu yang seberang sana,” unjuk Anton ke warung usahanya dekat minimarket.“Oh, ya, kapan-kapan aku mampir,” ucap Devan. Ia juga bertanya tujuannya ke sini. Lalu Anton pun memberitahu tempat Angkringan yang buka hingga pagi, tempatnya memang tidak jauh dari lokasi s
Seseorang yang datang ke kantor Devan hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari si empu ruangan yang terdengar sinis kepadanya.“Sebelumnya aku mau meminta maaf, karena sudah lancang duduk di sini. Dan tujuan kedatanganku, hanya ingin memberikan ini padamu,” kata orang itu dengan mengeluarkan satu lembar kertas undangan pernikahan ke hadapan Devan.Devan masih terdiam menatap undangan di atas mejanya. “Kau akan menikah?” tanyanya singkat.Alya mengangguk. Memang benar yang datang ke kantor saat ini adalah Alya mantan kekasihnya dulu. Orang yang dulu pernah merencanakan menjebak istrinya di apartemen milik Riko.“Ya, ada seseorang yang melamarku satu bulan yang lalu. Aku kira, tak ada salahnya aku membuka hatiku lagi untuk orang lain. Aku sudah sadar jika kita tak ditakdirkan untuk bersama,” sahut Alya.“Ya, kamu sadar juga,” ucap Devan.Alya hanya tersenyum kecut mendengar jawaban Devan padanya.“Aku minta maaf, jika aku banyak salah. Sepertinya hanya itu saja kedatanganku ke sini,” k
Satu minggu kemudian. Seusai mengikuti sidang seminggu yang lalu, Fania dan Devan seperti memulai kehidupan yang baru. Meski sebenarnya, Beni masih menjadi buronan, tetapi Devan sudah menyerahkan semua keputusan kepada pak Gunawan selaku kepala kepolisian Jakarta Selatan.Elfina sementara masih tinggal di apartemen Fania untuk sementara waktu. Dan pagi ini seperti yang sudah dijanjikan oleh Fania kepada ibu dan ibu mertuanya yaitu mengajak ke toko bunga serta keliling Jakarta. Membuat Fania dan Elfina kini dalam perjalanan menjemput Berliana di kediaman Sam.Setelah sampai, ternyata Berliana sudah menunggu di ruang tamu bersama dengan Sam yang sedang menikmati secangkir teh dengan membaca koran surat kabar.“Hai, Mami!” sapa Fania dengan mendekat ke arah ruang tamu. Lalu bersalaman dengan Sam dan juga Berliana yang kini berdiri.“Hai, Sayang. Kita langsung jalan atau kalian mau mampir di sini dulu?” tanya Berliana setelah bersalaman dengan Elfina.“Langsung jalan saja, ya, Mi. Karena
Devan menaruh ponselnya di jasnya kembali. Disaat itu pula Fania mendekat dan bertanya siapa yang menghubungi.“Pak Gunawan yang menelpon tadi, Sayang.” Devan berkata seraya mendekat ke arah istrinya.Fania hanya mengangguk meski sebenarnya dia ingin bertanya lagi, tetapi dia urungkan. Sebab, melihat ibunya yang begitu terpuruk saat ini, ia merasa kasihan. Ada sedikit rasa cemburu, kenapa ibunya begitu kehilangan Bisma dibandingkan saat ayahnya tiada.Banyak sekali yang ingin Fania ketahui, tetapi ia tidak mau membuka masa lalu ibunya kembali.“Ibu, yakin tidak apa-apa?” tanya Fania ikut berjongkok. Elfina pun mengangguk.“Benar, Nak. Ibu tak apa-apa, kok. Hayo kita pulang, sepertinya bakalan hujan,” sahut Elfina dengan menatap ke atas melihat awan yang kini sudah berubah menjadi awan gelap.Fania mengangguk. Di perjalanan menuju kediaman rumah Bisma. Elfina menatap ke arah wanita paruh baya dan ia pun berterima kasih karena sudah mau mengantarkan dirinya ke makam teman lamanya itu.“
Bab 103. Berkunjung ke rumah Bisma Devan mengangguk saat istrinya bertanya tentang dirinya yang sudah melaporkan Angela. Sebenarnya, Devan bukan hanya melaporkan Angela, tetapi dia juga melaporkan Shanum dan juga Beni. Dia ingin memberi peringatan kepada Angela agar dia sadar jika dirinya adalah otak dibalik rencana melenyapkan Alnando. “Terus, apa yang kamu katakan kepada Shanum, Mas? Apa kamu mengabulkan belas kasihnya, saat dia mengemis padamu?” tanya Fania lagi penasaran. Devan menggeleng. “Tidak, aku tidak menanggapi, Sayang. Aku sudah memperingatkan Shanum, jika dia mau memohon pun aku tidak akan pernah mencabut tuntutanku. Karena nyawa harus dibalas dengan nyawa juga!” tegas Devan. Fania tersenyum kali ini. “Baguslah, Mas. Harusnya seperti itu. Biar ibu tiriku jera juga. Aku sudah muak juga dengan sandiwara Angela,” ucap Fania. Dengan berani menyebut nama ibu tirinya kepada Devan. Devan yang mendengar dia tertawa renyah kali ini. Bukan karena mengejek, tetapi mendengar is
Jujur saja Shanum sangat syok mendengar ucapan dari pak Gunawan. Setelah itu, dia pun bertanya siapa yang melaporkan ibunya. Karena ia ingin menemui orang itu agar bisa mempertimbangkan tuntutannya kepada sang ibu.Pak Gunawan akhirnya memberitahu Shanum siapa orang yang telah melaporkan ibunya itu.Dan kini Shanum yang berada di dalam mobilnya dibuat gusar. Ia tak menduga jika yang melaporkan ibunya adalah suami adik tirinya.“Aku harus menemui Devan sekarang. Aku harus membebaskan, Mamah,” ucap Shanum. Namun, sebelum dia melajukan mobilnya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia melihat siapa yang telah menghubunginya.Setelah membaca nama di layar ponsel. Shanum pun segera mengangkat.“Mamah, sekarang sedang ditahan di kantor polisi. Apa kamu punya cara agar Mamah bisa bebas?” tanya Shanum setelah menyapa.“Apa? Di tahan?” tanya Beni terkejut.“Iya, ada yang diam-diam menaruh kamera pengintai di seluruh ruangan rumah, dan Mamah dinyatakan bersalah karena ada bukti yang kuat saat Mamah m