“Sudah Fan, lo sudah minum banyak.” Karina mengambil gelas kecil di tangan Fania.
“Sekali lagi, Rin. Gue janji ini gelas terakhir.” Fania memegang gelas dengan erat meski Karina memaksa mengambilnya.
Karina memutar bola matanya. Dia sudah sangat jengah pada sahabatnya ini.
“Terserah, lo! Kalo sampai ada apa-apa. Jangan bawa-bawa gue. Gue males berurusan sama bokap, lo!” Karina mengancam Fania. Sedangkan, Fania hanya tersenyum mengangguk.
Kesadaran Fania sudah sedikit hilang. Ia bahkan sampai limbung.
“Nah ‘kan!” Karina langsung menangkap tubuh Fania yang mulai sempoyongan. Karina bahkan sedikit panik, tetapi Fania malah tertawa terbahak-bahak.
“G**a, lo, ya, Fan. Udah kaya gini masih bisa ketawa-tawa!” seru Karina terheran.
“Udah, sih. Lo berisik banget. Lo senang lihat gue ketawa apa nangis sih?” sahut Fania.
“Iya, ketawalah. Tapi nggak gini juga, Fan. Makanya dengerin orang tua kalo ngomong. Riko itu laki-laki nggak bener, udah tau ‘kan kalo dia buaya darat. Masih aja ke makan omongannya. Heran gue sama lo,” gerutu Karina. Badannya masih menahan Fania agar tetap berdiri tegak.
Fania terdiam.
“Gue udah berkali-kali ngomong sama lo, tapi nggak pernah di dengerin. Cinta boleh, tapi g****k jangan,” cecar Karina lagi pada Fania yang duduk di kursinya kembali.
Fania bukannya menimpali ia malah menangis. Membuat Karina mengusap wajahnya dengan kasar.
“Maafin gue, Fan. Bukan maksud gue marahin lo. Gue bicara kaya gitu, itu karena gue sayang sama lo. Gue peduli sama lo, Fan. Gue nggak suka lihat lo disakiti kaya gini,” ucap Karina. Ia merasa bersalah sudah bicara berlebihan pada sahabatnya. Namun, ia sendiri geram kepada sahabatnya yang masih aja mau dikibulin oleh janji manis Riko—mantan kekasih Fania.
“Lo nggak salah, Rin. Lo bener, gue emang g****k. Riko sudah berkali-kali khianati gue, tapi gue tetep aja percaya sama omongannya. Dan sekarang gue nggak mau percaya sama Riko lagi. Gue benci sama dia!” Fania mendongak menatap Karina. Dia langsung memeluk sahabatnya itu.
“Makasih, Rin. Lo baik banget sama gue. Dan lo juga peduli banget sama gue,” ucap Fania lagi saat memeluk Karina.
Karina menepuk-nepuk punggung sahabatnya. “Iya, Fan. Gue harap mata hati lo terbuka ya. Gue nggak mau lagi lihat lo kaya gini. Janji?” Karina melepas pelukannya dan menunjukkan jari kelingkingnya.
“Janji.” Fania menautkan jari kelingkingnya ke jari Karina.
Perasaan Fania langsung lega. Fania juga berharap dirinya akan lebih baik lagi dalam masalah percintaan. Dan pastinya tidak percaya dengan janji manis yang Riko berikan padanya.
Ini sudah ke sekian kalinya Riko mengkhianati. Namun, bukannya Fania meminta putus. Ia malah memaafkan kesalahannya. Dengan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
“Ingat, Fan. Selingkuh itu penyakit. Penyakitnya itu nggak ada obatnya. Dan yang bisa ngobatin itu hanya dirinya sendiri.” Karina berkata kembali pada Fania.
“Iya, Rin. Tau kok,” ujar Fania.
“Syukur, deh. Kalo lo tau sekarang.” Karina meminum soda yang ia pesan. Setelah di tenggak habis dia mengajak Fania pulang.
“Lo mau ikut pulang atau di sini aja?” tanya Karina saat ia sudah berdiri.
“Ikutlah, tapi kayanya gue nginep di tempat lo, ya. Nggak mungkin ‘kan kalo gue pulang dengan keadaan begini!” timpal Fania sambil mencoba berdiri.
“Iyalah, paham. Sini gue bantu berdiri.” Karina mengulurkan tangannya ke hadapan Fania.
Fania menerima uluran tangan Karina. Lalu mereka berdua berjalan keluar dari club.
Saat berjalan ke arah pintu keluar. Pandangan Karina melihat ke arah gerombolan lawan jenis yang sedang bermesraan. Lalu tatapannya tertuju pada laki-laki yang dia sangat kenali siapa lagi kalo bukan Riko—mantan kekasih Fania.
Hatinya geram melihat Riko asik merangkul wanita seksi dengan bercanda tawa.
‘B******k emang tuh laki, jangan harap Fania bisa kembali sama lo. Nggak akan gue biarkan!’ batin Karina penuh amarah.
Untung saja Fania sedikit kehilangan kesadaran membuat dirinya hanya fokus berjalan ke depan.
Sesampainya di depan club. Tiba-tiba perut Karina mulas.
“Aduh, Fan. Perut gue mules banget. Lo ke mobil dulu, ya,” ucap Karina yang langsung diangguki oleh Fania.
“Ya, udah sana. Gue ke mobil sendiri aja.” Fania berkata pada Karina yang memegang perut.
“Lo yakin bisa ke mobil sendiri?” tanya Karina cemas. Sebab, Fania berjalan saja tertatih.
“Iya, bisa. Gue masih sadar Karina,” seru Fania melolotkan matanya ke Karina. “Mobilmu urutan ke berapa?”
“Ketiga!” teriak Karina sambil berlari masuk ke dalam club.
“Iya, oke.” Fania mengacungkan jempolnya. Ia melangkahkan kakinya ke parkiran.
Namun, saat sudah di parkiran. Ternyata ada dua mobil hitam yang sama persis dengan mobil milik Karina.
Jika di hitung dari sebelah kanan dan kiri, mobil hitam yang berjejer itu sama-sama di urutan nomor tiga.
Fania masuk ke mobil hitam sebelah kanan. Kebetulan mobil tidak terkunci. Membuat dia sangat yakin jika itu mobil milik sahabatnya. Apalagi Fania tidak paham dengan nomor plat mobil Karina.
Fania yang merasa pusing ia langsung tertidur tanpa melihat isi dalam mobil itu.
Sedangkan di dalam club seorang laki-laki berbadan atlentis sedang duduk santai sambil meneguk sebotol wine.
Ketampanan yang dimiliki olehnya membuat banyak wanita datang menghampiri. Namun, ia tidak menggubris satu pun wanita yang mendekatinya.
Pikirannya masih kalut dengan masalah yang sedang ia hadapi. Apalagi seharian ia disibukkan oleh berbagai pekerjaan yang membuat dirinya semakin terasa letih. Malam pun semakin larut, pria itu berdiri lalu meninggalkan tempat duduknya.
“Sepertinya berendam air panas, enak!” gumamnya dalam hati. Lalu melangkahkan kakinya menuju parkiran.
Saat sudah sampai di depan mobilnya. Ternyata ia lupa tidak menguncinya. Ia langsung membuka mobilnya karena takut ada orang yang jahat.
Namun, saat pintu terbuka dia malah dikejutkan oleh seorang wanita yang tertidur pulas. Ya, wanita itu adalah Fania.
Pria itu mengguncangkan tubuh Fania.
“Hei ... Bangun!” kata pria itu.
Dia bahkan sudah membangunkan dengan guncangan keras. Namun, usahanya sia-sia. Fania tetap tidak bangun.
“Ah, pasti dia m***k!”
Akhirnya pria itu melajukan mobilnya dan terpaksa membawa Fania. Padahal ia bisa saja melaporkan ke penjaga club. Akan tetapi, dia tidak ingin terjadi masalah. Apalagi tampilan Fania saat ini sangat berantakan. Pasti orang akan curiga padanya.
Mobil hitam melaju meninggalkan parkiran club. Dan saat mobil itu keluar area parkir. Disitulah Karina keluar dari dalam club.
Karina berjalan tergesa-gesa karena merasa tidak enak berlama-lama di dalam. Padahal ia sudah keluar dari toilet sedari tadi. Namun, ia dicegah oleh temannya yang baru datang.
Karina sempat menolak. Akan tetapi, temannya memaksa untuk berbincang sebentar. Mau tidak mau. Karina mengiyakan.
Karina mempercepat langkahnya menuju parkiran. Saat sudah sampai di samping mobilnya. Pintu mobil langsung dibuka oleh Karina. Ia kaget. Sebab, Fania tidak ada di dalam mobilnya.
“Lho, Fania mana? Fan ... Fania ....”
Fania terbangun dan ia langsung terkejut melihat ke sekeliling ruangan yang begitu asing.“Hah! Gue di mana ini?” Fania mencoba bangun dengan memegang kepalanya yang masih berputar-putar.Ia menatap ke sekeliling untuk mencari ponselnya. Namun, sayangnya tidak ketemu. Lalu ia mencoba berdiri dan berjalan menuju pintu keluar.Saat sudah keluar dari kamar. Ia melihat sosok lelaki yang tertidur pulas di sofa depan televisi.Ia mengendap-ngendap mendekat ke arah pria itu untuk memastikan pria di depannya bukan orang jahat.Namun, sialnya saat mendekat kakinya tersandung karpet. Membuat tubuh Fania menjadi limbung dan terjatuh ke atas tubuh pria itu.Ya. Pria itu adalah Elnathan Devandra—sang pemilik mobil.Devan langsung terbangun dan menatap wanita yang berada di atas tubuhnya.“Kamu mau godain saya?” ucapnya menelisik. Devan bahkan menatap Fania dengan tatapan tajam.“Maaf, nggak sengaja!” Fania langsung berdiri dan merapikan bajunya yang berantakan.Devan terduduk lalu ia berdiri dan m
Hari dengan cepat telah berganti. Fania pagi ini akan bersiap-siap ke kampus. Sebagai mahasiswa akhir membuat ia sedikit sibuk mempersiapkan untuk sidang skripsi.Skripsi sudah ia mulai kerjakan meski belum sepenuhnya selesai.Fania keluar dari kamar menuruni anak tangga. Netranya melihat ke sekeliling rumah yang sudah disulap menjadi taman bunga.“Bi Iyas!” panggil Fania saat duduk di ruang makan.“Iya, Non. Mau sarapan apa?” tanya Iyas yang mendekat ke hadapan Fania.Fania bukannya menjawab. Ia malah bertanya pada Bi Iyas. “Mau ada acara apa, Bi? Rumah dihias begini?” Fania penasaran.“Oh itu, Non. Non shanum mau kedatangan calon besan dan calon suaminya.”“Shanum? Calon suami?”“Iya, Non. Tadi Tuan sudah berpesan. Nanti malam non Fania tidak boleh pergi,” ucap Bi Iyas membuat Fania memutar bola matanya.“Kan yang mau nikah Shanum, apa hubungannya sama aku!” cebik Fania kesal.Iyas hanya tersenyum. Ia sudah paham dengan anak majikannya.“Ya udah, aku berangkat dulu, Bi.” Fania berpa
Fania membelalak saat tahu Devan menunjuk dirinya.“Nak Devan, kamu tidak lagi becanda, ‘kan?” tanya Angela yang sangat terkejut.“Tidak. Aku serius!” sahut Devan tegas.“Tapi, Dev. Shanum yang akan bersanding denganmu, bukan Fania!” Sam kini bersuara.Shanum sendiri langsung memucat mendengar perkataan calon suaminya. Sedangkan, Fania dia menatap Devan dengan tatapan kesal.“Aku menginginkan dia! Ehm, Fania.” Yakin Devan. Bahkan, ia berani menyebut nama Fania di depan semua orang.Fania menutup matanya, lalu menatap ke arah Devan yang tersenyum mengejek padanya.“Emang nggak waras tuh orang. Sial banget gue di kambing hitamkan kaya gini! Awas aja, gue bakal balas,” gerutu fania dalam hati.Shanum memegang tangan ibunya. Ia tidak menyangka acara yang seharusnya dia bahagia, tetapi malah seperti ini.Alnando akhirnya bersuara. Ia berkata,”Nak Dev, kamu tidak salah memilih Fania. Dia bahkan belum lulus kuliah? Apa tidak akan dipertimbangkan kembali?”“Tidak, Om. Kalo Fania tidak mau. Ak
Acara pernikahan Fania dan Devan sudah selesai tiga jam yang lalu. Banyak sekali teman Fania yang tidak percaya ia menikah secepat ini. Bahkan banyak teman kampusnya yang memuji ketampanan Devan dan membandingkannya dengan Riko—mantan kekasihnya.Kini Fania dan Devan sudah berada di kamar hotel. Devan bahkan meminta pihak hotel untuk menghias kamarnya.“Mau aku bantuin?” tanya Devan saat melihat Fania kesusahan membuka resleting baju gaunnya.“Nggak perlu.” Fania menolak dengan nada ketus. Ia tetap berusaha membuka resleting bajunya sendiri.Namun, Devan langsung mendekat. Tangannya dengan cepat membuka resleting gaun Fania secara perlahan. Fania tidak memberontak sama sekali. Karena ia memang tidak bisa membuka resleting bajunya.Jantung Devan berdebar saat melihat punggung Fania yang putih mulus. Meski ia sering melihat punggung wanita terbuka saat berada di club malam.Namun, kali ini berbeda. Apalagi ia pria normal yang memiliki h****t.Fania langsung membalikkan badannya saat mer
Shanum menyeringai setelah Angela membisikkannya. Mereka berdua tertawa dengan saling memandang. “Mamah memang yang terbaik!” Shanum berkata pada Angela dengan sangat bangga. Angela mengangguk dan tersenyum. “Apa sih yang nggak buat anak Mamah!” Shanum dan Angela kembali ke meja. Acara makan malam berjalan lancar. Meski dalam hati Fania ia melihat ada sesuatu yang janggal pada Angela dan Shanum saat menatap dirinya. Namun, Fania tidak mau memikirkan hal itu. Karena memang seperti itu tatapan mereka padanya. *** Acara makan malam telah usai. Fania kini sudah berada di kamar hotelnya bersama dengan Devan. Sungguh ini hal pertama kali untuk Fania sekamar dengan pria asing yang kini sudah menjadi suaminya. Terasa aneh. Fania masih betah duduk di depan cermin sembari memainkan ponsel. Sebab, ia sedang membalas ucapan dari teman-teman onlinenya. Sedangkan Devan, ia sudah lebih dulu berbaring di ranjang yang masih terhias oleh kelopak mawar merah. “Emang nggak cape apa duduk di situ s
Malam pertama tinggal di apartemen Devan. Fania dan Devan tidak tidur seranjang seperti keinginan Fania. Devan akhirnya mengalah tidur di sofa yang berada di ruang tengah.Fania kini terbangun karena mendengar suara alarm dari ponselnya.Fania mengambil ponsel di nakas lalu melihat jam yang tertera di layar ponsel.“Hah! udah jam enam?” ucap Fania terkejut. Ia memilih untuk bangun dan duduk terlebih dahulu sebelum turun dari ranjang.Ia bahkan mengingat kejadian semalam saat Devan dengan lancangnya mencium dirinya. Entah kenapa hatinya merasakan hal yang aneh.“Gue benci banget sikap lancang dia! Berani banget cium pipi gue. Huh!” gerutu Fania jengkel.Fania melihat ke sekeliling ruangan kamar Devan. Ia bahkan tidak melihat batang hidung pria yang kini menjadi suaminya.“Ke mana dia? Jangan-jangan tidur di luar?” tebak Fania dan ia tidak memperdulikannya. Fania memutuskan turun dari ranjang dan berjalan menuju ruang lembab.Hampir lima belas menit berada di kamar mandi. Kini Fania ke
Fania yang sudah sampai di kampus. Ia sedikit terkejut akan panggilan dari Alnando untuk pulang ke rumah.Apalagi nada suara Alnando terdengar meninggi. Dan Fania sangat paham jika nada ayahnya seperti itu dipastikan ada masalah di rumah.Fania sudah menjawab. Namun, karena ia ada pembekalan untuk sidang skripsi. Membuat Fania meminta kepada Alnando untuk datang ke rumah malam nanti.Kini Fania sudah berada di dalam kelas. Ia membuka laptop untuk memeriksa skripsi yang sudah ia revisi semalam.“Eh, pengantin baru!” sapa Karina yang baru datang lalu duduk kursi samping Fania.“Apaan si!” sahut Fania bete karena Karina memanggil sebutan itu.“Lho memang pengantin baru ‘kan?” ledek Karina lagi.“Tau ah! Nggak usah nyebut-nyebut panggilan itu.” Fania mencebik.Karina tertawa. “Gimana rasanya malam pertama enak nggak?” tanya Karina membisik di telinga Fania.Fania melotot. “Nggak ada malam pertama, Rin. Gue aja tidur terpisah,” ucap Fania santai sambil melihat ke layar monitor.“Apa?” Kari
Devan datang ke rumah mertuanya dengan tergesa-gesa. Ia dikabari oleh Aris, saat Aris hendak memberikan tas Fania yang tertinggal di mobil. Ia tidak sengaja melihat secara langsung bagaimana Fania disudutkan dan juga dimarahi oleh Alnando. Meskipun Aris tidak paham permasalahannya apa.Namun, ia merasa kasihan kepada Fania. Membuat ia langsung mengabari bosnya untuk datang kemari.Dan benar saja ketika Devan sudah sampai di rumah mertuanya. Ia melihat secara langsung bagaimana sikap Alnando yang akan melayangkan tangan kanannya ke arah wajah istrinya.“Jangan pukul istriku!” suara Devan membuyarkan semua dan Fania bahkan terkejut akan kehadiran Devan di sini.“Seperti inikah perlakuan anda sebagai seorang ayah? Saya tidak menduga jika anda sebrutal ini terhadap putrimu!” ucap Devan menatap mertuanya secara tajam.“Dev! Fania sudah mempermainkan pernikahan dengan membuat perjanjian yang konyol! Sebagai seorang ayah, saya kecewa!” ujar Alnando. Ia kini menatap tajam ke arah Devan. “Dan