Satu minggu kemudian. Seusai mengikuti sidang seminggu yang lalu, Fania dan Devan seperti memulai kehidupan yang baru. Meski sebenarnya, Beni masih menjadi buronan, tetapi Devan sudah menyerahkan semua keputusan kepada pak Gunawan selaku kepala kepolisian Jakarta Selatan.Elfina sementara masih tinggal di apartemen Fania untuk sementara waktu. Dan pagi ini seperti yang sudah dijanjikan oleh Fania kepada ibu dan ibu mertuanya yaitu mengajak ke toko bunga serta keliling Jakarta. Membuat Fania dan Elfina kini dalam perjalanan menjemput Berliana di kediaman Sam.Setelah sampai, ternyata Berliana sudah menunggu di ruang tamu bersama dengan Sam yang sedang menikmati secangkir teh dengan membaca koran surat kabar.“Hai, Mami!” sapa Fania dengan mendekat ke arah ruang tamu. Lalu bersalaman dengan Sam dan juga Berliana yang kini berdiri.“Hai, Sayang. Kita langsung jalan atau kalian mau mampir di sini dulu?” tanya Berliana setelah bersalaman dengan Elfina.“Langsung jalan saja, ya, Mi. Karena
Seseorang yang datang ke kantor Devan hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari si empu ruangan yang terdengar sinis kepadanya.“Sebelumnya aku mau meminta maaf, karena sudah lancang duduk di sini. Dan tujuan kedatanganku, hanya ingin memberikan ini padamu,” kata orang itu dengan mengeluarkan satu lembar kertas undangan pernikahan ke hadapan Devan.Devan masih terdiam menatap undangan di atas mejanya. “Kau akan menikah?” tanyanya singkat.Alya mengangguk. Memang benar yang datang ke kantor saat ini adalah Alya mantan kekasihnya dulu. Orang yang dulu pernah merencanakan menjebak istrinya di apartemen milik Riko.“Ya, ada seseorang yang melamarku satu bulan yang lalu. Aku kira, tak ada salahnya aku membuka hatiku lagi untuk orang lain. Aku sudah sadar jika kita tak ditakdirkan untuk bersama,” sahut Alya.“Ya, kamu sadar juga,” ucap Devan.Alya hanya tersenyum kecut mendengar jawaban Devan padanya.“Aku minta maaf, jika aku banyak salah. Sepertinya hanya itu saja kedatanganku ke sini,” k
“Pak Devan?” sapa orang itu saat melihat ke arah Devan. Dia bahkan beranjak dari kursinya lalu mengulur tangan kanannya kepada Devan yang sedikit terkejut.“Anton?” panggil Devan singkat. “Kamu sudah di Jakarta berarti?” tanya Devan langsung. Karena setahu Devan, Anton waktu itu pindah ke Kalimantan.“Iya, Pak. Saya pindah ke sini lagi,” jawab Anton sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Kerja apa kamu sekarang? Kalau belum kerja, kamu bisa balik ke kantor saya lagi,” ajak Devan. Namun, dengan cepat Anton menggeleng.“Maaf, pak Devan. Bukan saya menolak rezeki, tetapi saya sudah buka usaha sendiri di sini, Pak,” sahut Anton sopan.Devan tersenyum mendengarnya. “Wah, bagus itu. Apa usahamu?”“Warung nasi padang, Pak. Itu yang seberang sana,” unjuk Anton ke warung usahanya dekat minimarket.“Oh, ya, kapan-kapan aku mampir,” ucap Devan. Ia juga bertanya tujuannya ke sini. Lalu Anton pun memberitahu tempat Angkringan yang buka hingga pagi, tempatnya memang tidak jauh dari lokasi s
Setelah kepergian Elfina. Devan langsung menahan istrinya agar tidak memaksa kehendak sang ibu.“Sudah, tidak perlu kamu paksa Ibu agar mau tinggal di rumah Papah. Mungkin, ada hal yang tidak ingin Ibu beri tahu ke kamu, jadi kamu harus menjaga privasi Ibu, ya,” ucap Devan lirih. Berharap jika istrinya akan mengerti.Fania mengangguk pelan. “Iya, Mas. Kamu benar juga.”“Iya, sudah kamu mau ikut bareng aku ke toko atau mau diantar pak Aris?” tanya Devan saat sarapan selesai.“Aku ikut kamu saja, Mas.”Devan tersenyum. “Aku tunggu di bawah,” sahutnya dengan keluar ke arah pintu untuk mengambil mobil di basemen.Fania lebih dulu membereskan meja makan terlebih dahulu sebelum dia keluar. Setelah selesai, ia berjalan ke kamar ibunya untuk berpamitan.“Bu, Fania ke toko, ya,” ucapnya setelah mengetuk pintu.Tidak ada sahutan sama sekali dari kamar ibunya. Membuat hati Fania sedih kali ini. Ia merasa bersalah telah berbicara masalah untuk tinggal di rumah papahnya.Fania berjalan meninggalka
“Lo, tunggu sini, ya. Ingat! Jangan ke mana-mana!” Fania memberi peringatan kepada Karina. Lalu ia pergi keluar dari toko pelengkapan bayi.Fania menengok kanan kiri. Lalu netranya pun melihat ada seorang satpam mall yang sedang berjalan ke arahnya. Fania langsung mendekati satpam itu, untuk meminta bantuan.“Pak, bisa minta tolong?” tanya Fania langsung.“Iya, Mbak. Apa yang bisa saya bantu?”“Temanku mau lahiran, Pak. Apa Bapak, bisa bantuin saya siapkan mobilnya ke lobi?” titah Fania sopan.“Baik, Mbak. Akan saya bantu. Kalo boleh tahu berapa nomor plat mobilnya?” tanya Satpam itu.“Hayo, Pak. Ikut saya ke dalam, soalnya itu mobil teman saya,” sahut Fania sembari berjalan masuk ke tempat perlengkapan bayi.Satpam itu pun mengekori di belakang Fania yang masuk ke tempat di mana Karina berada. Setelah memberitahu kepada Satpam itu plat mobil Karina. Karina kini dirangkul oleh Fania untuk berjalan ke arah lobi. Untungnya tempat perlengkapan bayi ada di lantai dasar, membuat Fania tida
Pagi ini sesuai rencana Fania untuk berpindah di kediaman ayahnya. Ia dan Elfina sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Alnando.“Bi Darmi, titip rumah ini, ya,” ucap Fania saat sudah di depan pintu apartemen.“Iya, Nyonya. Hati-hati di jalan,” kata Darmi dengan rasa haru. Sebab, setelah menginap di rumah Alnando. Fania dan Devan akan langsung berpindah ke Paris.“Kalo ada apa-apa atau butuh apa pun. Jangan sungkan hubungi aku atau ke istriku, ya, Bi,” pesan Devan.“Baik, Tuan.”“Kami pamit dulu, Bi Darmi.” Elfina ikut bersuara kali ini.Darmi hanya mengangguk dan tersenyum.Devan mengajak istri dan ibu mertuanya untuk berjalan ke arah lobi apartemen. Sementara di sana pak Aris sudah menunggu sedari tadi.Setelah masuk ke dalam mobil. Pak Aris melajukan mobilnya mengarah ke kediaman Alnando.Sesampainya di rumah Alnando. Mereka langsung di sambut oleh bi Iyas dan pak Joko yang sudah menunggu.“Selamat datang nyonya Elfina, non Fania dan den Devan,” kata Iyas dan Joko secara bersamaa
“Sudah Fan, lo sudah minum banyak.” Karina mengambil gelas kecil di tangan Fania.“Sekali lagi, Rin. Gue janji ini gelas terakhir.” Fania memegang gelas dengan erat meski Karina memaksa mengambilnya.Karina memutar bola matanya. Dia sudah sangat jengah pada sahabatnya ini.“Terserah, lo! Kalo sampai ada apa-apa. Jangan bawa-bawa gue. Gue males berurusan sama bokap, lo!” Karina mengancam Fania. Sedangkan, Fania hanya tersenyum mengangguk.Kesadaran Fania sudah sedikit hilang. Ia bahkan sampai limbung.“Nah ‘kan!” Karina langsung menangkap tubuh Fania yang mulai sempoyongan. Karina bahkan sedikit panik, tetapi Fania malah tertawa terbahak-bahak.“G**a, lo, ya, Fan. Udah kaya gini masih bisa ketawa-tawa!” seru Karina terheran.“Udah, sih. Lo berisik banget. Lo senang lihat gue ketawa apa nangis sih?” sahut Fania.“Iya, ketawalah. Tapi nggak gini juga, Fan. Makanya dengerin orang tua kalo ngomong. Riko itu laki-laki nggak bener, udah tau ‘kan kalo dia buaya darat. Masih aja ke makan omon
Fania terbangun dan ia langsung terkejut melihat ke sekeliling ruangan yang begitu asing.“Hah! Gue di mana ini?” Fania mencoba bangun dengan memegang kepalanya yang masih berputar-putar.Ia menatap ke sekeliling untuk mencari ponselnya. Namun, sayangnya tidak ketemu. Lalu ia mencoba berdiri dan berjalan menuju pintu keluar.Saat sudah keluar dari kamar. Ia melihat sosok lelaki yang tertidur pulas di sofa depan televisi.Ia mengendap-ngendap mendekat ke arah pria itu untuk memastikan pria di depannya bukan orang jahat.Namun, sialnya saat mendekat kakinya tersandung karpet. Membuat tubuh Fania menjadi limbung dan terjatuh ke atas tubuh pria itu.Ya. Pria itu adalah Elnathan Devandra—sang pemilik mobil.Devan langsung terbangun dan menatap wanita yang berada di atas tubuhnya.“Kamu mau godain saya?” ucapnya menelisik. Devan bahkan menatap Fania dengan tatapan tajam.“Maaf, nggak sengaja!” Fania langsung berdiri dan merapikan bajunya yang berantakan.Devan terduduk lalu ia berdiri dan m