"Uang satu miliar akan kuberikan padamu asal kau melahirkan anak untuk kami. Tapi ingat, kau hanyalah wanita sekali pakai, Aleena!" Aleena Pandora membutuhkan uang untuk pengobatan ayahnya yang sakit keras. Niat hati ingin meminta bantuan pada sang calon suami, Aleena malah diminta untuk menyewakan rahimnya pada sepasang suami istri yang akan memberinya imbalan besar. Aleena marah dan sakit hati. Bagaimana mungkin, calon suaminya meminta hal seperti itu?! Namun, pria yang Aleena pikir mencintainya dengan tulus ternyata tak lebih dari bajingan ulung yang hanya ingin memanfaatkan dirinya! Terbakar amarah, Aleena pun menerima tawaran untuk menyewakan rahimnya dan hamil anak dari seorang laki-laki yang sudah beristri, yaitu Asher Benedict—seorang CEO yang terkenal dingin dan tak tersentuh. Akankah Aleena bertahan di saat Asher memperlakukannya seperti wanita murahan yang rela menjual tubuh demi uang?
Lihat lebih banyak"Nyonya Muda dari Keluarga Benedict sedang mencari seorang ibu pengganti. Kalau kau mau menyewakan rahimmu, kau bisa mendapatkan uang ratusan juta yang kau butuhkan, Sayang."
Kedua bola mata Aleena melebar saat mendengar calon suaminya melontarkan ide gila itu.
Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu menatapnya tak percaya.
"Kau memintaku untuk menjadi seorang ibu pengganti dan menyewakan rahimku? Apa kau sudah gila, Carl Malvine?!" pekik Aleena, benar-benar tidak habis pikir dengan calon suaminya itu.
Carl tampak tenang. "Tapi kau butuh uang untuk pengobatan Papamu kan, Sayang?" ucapnya sembari menggenggam lengan Aleena lembut, yang langsung ditepis oleh gadis itu.
"Tapi tidak dengan cara itu, Carl! Aku ini calon istrimu. Bisa-bisanya kau malah menawarkan hal seperti itu padaku? Aku tidak mau!" tolak Aleena dengan tegas.
Sungguh, Aleena tidak menyangka kalau Carl akan menawarkan hal ini padanya.
Rasa sedih memenuhi ruang hati gadis itu. Ia memang membutuhkan uang ratusan juta untuk pengobatan Papanya. Tadinya ia berniat meminta bantuan pada Carl karena sudah tak tahu harus minta tolong ke mana, tapi Carl malah menawarkan hal yang mustahil untuk Aleena lakukan.
"Sayang, hanya dengan cara ini kita bisa dengan cepat mendapat uang untuk pengobatan Papa," bujuk Carl dengan lembut.
Tidak ada jawaban apapun dari Aleena, dia sangat marah dan kecewa pada Carl. Gadis cantik berkulit putih dan berambut sepinggang itu tampak lelah.
Aleena meremas kertas tagihan rumah sakit di tangannya dengan kedua matanya yang mulai berkaca-kaca, ia tertunduk menahan rasa sakit di dalam hatinya.
Apakah sekarang ia sudah tidak berharga lagi untuk Carl?
Melihat Aleena yang begitu marah, Carl mengulurkan tangannya menyentuh kedua pundak Aleena dan mengusapnya lembut. Tatapan mata cokelatnya memancarkan kasih dan sayang yang begitu besar.
"Dengar, Aleena. Meskipun kau menerima tawaran ini, aku akan tetap setia menunggumu. Setelah kau melahirkan anak untuk pasangan itu, kita akan menikah. Aku berjanji padamu, kau tidak perlu khawatir," ujar Carl lagi.
Aleena mengusap wajahnya pelan. "Tapi, Carl—"
"Sayang…," Carl menyela cepat. "Aku sangat ingin membantumu, tapi kondisi perusahaanku sedang tidak baik-baik saja. Satu-satunya hal yang bisa aku berikan padamu adalah tawaran itu. Ini demi Papa, Sayang."
Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh membasahi pipi Aleena. Ia sungguh tidak siap menerimanya. Tapi ia juga tidak punya pilihan yang lebih baik.
Aleena tidak mau kehilangan Papa yang sangat ia sayangi.
Carl menggenggam hangat kedua telapak tangan Aleena dan mengecupnya. "Aku berjanji padamu, kita akan menikah setelah itu. Kalau perusahaanku sudah pulih, aku pasti akan membahagiakanmu dan Papa. Percayalah padaku, hmm?"
Aleena menatap wajah Carl dengan lekat, mencari keseriusan dalam ucapannya.
"Aku ini calon istrimu, Carl, bagaimana mungkin aku harus hamil anak laki-laki lain demi uang? Apa itu tidak akan menyakiti perasaanmu?" tanya Aleena sembari menyeka air mata.
"Tidak, Sayang. Karena semua ini demi Papa. Aku tidak cemburu karena aku sangat memahami keadaanmu."
Jawaban Carl membuat Aleena merasa sedih. Carl rela melakukan ini karena dia peduli padanya dan juga Papanya.
Carl memeluk Aleena untuk menenangkannya. Gadis itu menangis putus asa dalam pelukannya. Ia merasa begitu frustrasi dan tidak berdaya.
Setelah cukup tenang, Carl melepas pelukannya dan menatap Aleena lembut. "Aku harus kembali ke kantor sekarang," katanya. "Aku harap kau mempertimbangkannya dengan baik."
Bibir Aleena masih setia mengatup rapat hingga akhirnya Carl pergi meninggalkannya di lorong rumah sakit seorang diri.
Aleena termenung lama, sebelum gadis itu kembali berjalan mendekati ruangan di mana Papanya kini terbaring tak berdaya.
Tepat saat itu, seorang dokter bersama dua perawat keluar dari dalam ruangan inap Papanya. Aleena bergegas menghampiri mereka.
"Dokter, bagaimana keadaan Papa saya sekarang?" tanyanya dengan wajah cemas.
"Kondisi jantung pasien sudah sangat parah, Nona. Kami perlu melakukan tindakan operasi secepat mungkin," ungkap dokter laki-laki itu. "Mohon untuk segera mengurus administrasi, agar kami bisa melakukan tindakan operasi secepatnya."
"Ba-baik, dok," ujar Aleena tertunduk lesu.
Dokter pun permisi meninggalkan Aleena sendirian di sana.
Aleena merasa putus asa, jalan yang ia lalui seolah buntu.
‘Haruskah aku menerima tawaran gila itu?’ pikir Aleena.
Sejauh ini … hanya itulah cara yang paling memungkinkan.
Aleena menggigit bibir. ‘Demi kesembuhan Papa!’ batinnya menguatkan diri.
Gadis itu lantas tak membuang waktu dan bergegas menemui calon suaminya sekarang juga.
Hujan lebat yang mengguyur kota Murniche sore ini tidak menjadi penghalang untuk Aleena. Ia memutuskan pergi ke apartemen Carl setelah panggilan darinya tidak kunjung dijawab.
Bus kota yang Aleena tumpangi berhenti di depan gedung apartemen mewah tak lama kemudian. Aleena pun segera turun dan berlari masuk ke dalam gedung itu dengan pakaian yang sudah setengah basah.
Aleena bergegas cepat menuju lantai lima, di mana unit apartemen Carl berada.
Ia menekan kode kunci dan melangkah pelan masuk ke dalam apartemen yang tampak gelap.
"Mungkin dia belum pulang," gumam gadis itu sambil menahan tubuhnya yang kedinginan.
Baru saja Aleena hendak menekan saklar lampu di dekat pintu, ia mendengar suara yang membuat tubuhnya membeku.
“Ahh … Carl ….”
Aleena menelan ludah. Dadanya seketika bergemuruh hebat. Perlahan Aleena melangkah mengikuti suara yang semakin terdengar jelas, yang ternyata berasal dari arah kamar Carl.
Sepasang matanya membeliak saat mendapati sepasang insan tengah bergelung di bawah selimut tanpa sehelai benang pun.
Aleena menutup mulutnya tak percaya. Jantungnya seolah berhenti berdetak begitu melihat wanita yang bersama Carl, adalah … Brenda, adik tiri Aleena sendiri!
"Sayang, bagaimana dengan calon istrimu?" tanya Brenda dengan suara menggoda.
"Gadis bodoh itu maksudmu?" sahut Carl sembari mengecupi wanita dalam dekapannya. “Jangan membahasnya. Bagaimana kalau kita lanjut ke ronde berikutnya saja?”
Brenda memekik tertahan saat Carl mulai menyerangnya dengan sentuhan intim. “Ah …!”
Aleena menahan sesak sekaligus perasaan jijik yang campur aduk dalam hatinya melihat adegan memuakkan itu.
“Serius, Carl … bagaimana? Apa dia setuju?”
Carl tertawa. "Seperti yang kau katakan, Sayang. Dia itu sangat bodoh dan mudah dimanfaatkan. Dia tidak punya pilihan selain menerima tawaran yang aku berikan. Setelah ia mendapatkan uang itu, aku akan segera mengambilnya. Sabar sedikit lagi ya?”
Brenda langsung memeluk Carl erat-erat. "Aku bangga padamu, Sayang. Aku mencintaimu!"
"Aku lebih mencintaimu, Brenda."
Mereka pun kembali berciuman dengan mesra tanpa tahu kalau ada seseorang yang berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka.
Aleena tidak bisa menahan air mata yang lolos membasahi pipinya. Apa yang ia temukan hari ini benar-benar menggoreskan luka begitu dalam di hatinya.
Ia tidak menyangka, pria yang ia pikir mencintainya dengan tulus, ternyata berselingkuh di belakangnya. Terlebih lagi, wanita selingkuhannya itu adik tirinya sendiri!
Aleena pun mundur perlahan-lahan, mengurungkan niatnya menemui Carl. Gadis itu keluar dari dalam apartemen dengan tubuh bergetar hebat.
"Jadi selama ini kau mengkhianatiku?" lirih Aleena mengepalkan tangannya dan memukul dinding dengan perasaan berkecamuk. "Brengsek! Kau laki-laki brengsek!"
Saat ia sedang terpuruk karena kondisi Papanya, kini Aleena semakin hancur karena calon suaminya juga menyakitinya dengan tega.
Bagaimana mungkin Carl sampai hati memanfaatkannya seperti ini?
Aleena menipiskan bibir geram. Ia menyeka air matanya dengan tangannya yang gemetar.
Aleena kembali berdiri tegap di tengah rasa sakit yang menyelimutinya. Tatapan kesalnya kini dipenuhi tekad yang besar.
"Aku tidak akan membiarkanmu membodohiku, Carl. Aku bersumpah ... aku akan membalas perbuatanmu!"
Puas berputar-putar mengelilingi kota dengan bus kota sambil menikmati hujan salju yang turun malam ini. Arabelle dan Theo bernostalgia mengenang masa kecil mereka saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak saat bus melewati sekolah mereka. "Kau sudah pamit pada Ayahmu kalau akan pulang terlambat?" tanya Theo menatap Arabelle. Gadis cantik itu mengangguk. "Iya, Kak. Aku sudah pamit," jawabnya. "Baguslah." Theo mengusap pucuk kepala Arabelle. Arabelle duduk diam menatap salju yang turun, gadis itu menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Sedangkan Theo merangkulnya dengan satu lengannya. Mereka sama-sama menatap hujan salju di luar yang sangat indah malam ini. "Kak Theo, aku ingin mengatakan sesuatu," ujar Arabelle menoleh menatap Theo. "Sesuatu apa?" Theo menaikkan kedua alisnya. "Emm ... besok Kak Theo tanding basket, kan?" cicitnya. "Hm." Theo bergumam, ia masih terus menatap wajah cantik Arabelle. "Kenapa?" "Mungkin aku tidak bisa datang," ucap Arabelle jujur. "Besok pagi
Satu Minggu kemudian.Arabelle tampak murung siang ini di sekolah. Gadis itu menatap ke arah jendela luar di sekolahnya. Pandangan mata Arabelle sudah pulih, meskipun ia tidak bisa memandang jarak jauh, namun setidaknya Arabelle sudah bisa menatap sesuatu di dekatnya. "Arabelle, hmm ... kau kenapa diam saja? Ayo, kita ke super market di depan, kita beli cemil," ajak Vivian menarik lengan Arabelle. "Uang sakuku tertinggal di kamar, Vian," jawab Arabelle menatap Vivian. "Yahh, bagaimana bisa?" Vivian mengerjapkan kedua matanya. "Pakai uangku saja, ayolah..." Arabelle mendengus pelan. Mau tidak mau Vivian sudah menarik lengannya lebih dulu. Arabelle pun ikut beranjak dari duduknya. Gadis itu merapatkan kembali jaket seragam berwarna biru dan putih yang ia pakai kini. Kedua gadis itu berjalan di taman sekolah. "Huhh ... hari ini sangat dingin, Arabelle. Semoga malam ini saljunya turun, besok ada pertandingan basket anak-anak kelas sebelas. Aku akan berangkat dan membawa banner yang
Sekolah pulang pukul sembilan, itu terlalu pagi untuk bersantai-santai di rumah. Theo pun berkumpul dengan teman-temannya di warung belakang sekolah. Semua teman-temannya berada di sana. Tetapi Theo sedang menyusul Arabelle di sekolah, ia mengajak gadis itu ikut dengannya dulu, karena Ayahnya belum bisa menjemputnya. "Si Bos ke mana?" tanya Gerald sambil mengambil gitarnya di atas kursi. "Tuh, lagi jemput Arabelle," jawab Vero. "Tidak menyangka ya, cowok ajaib seperti Theo setia sama satu cewek," ujar Adam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dari bayi lagi!" sahut Gery. Semua teman-temannya pun tertawa mendengar hal itu. Hingga kini Theo melangkah masuk ke dalam tempat itu bersama dengan Arabelle. Tampak Ibu pemilik warung tersenyum saat melihat Theo bersama Arabelle ke sana. "Diajak duduk di dalam saja, Theo. Kasihan kalau di luar panas," ujar wanita itu. "Iya, Bu." Theo mengangguk. Arabelle duduk di sebuah bangku, dia terus memegangi lengan Theo karena gadis itu tidak
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah seperti biasa. Gadis itu datang lebih pagi kali ini. Di depan pintu gerbang, Vivian sudah menunggu Arabelle. "Arabelle ... hai!" pekik Vivian langsung memeluknya, tampaknya gadis itu sangat kegirangan pagi ini. Arabelle menyipitkan kedua matanya. "Hemm, ada apa ini? Rasa-rasanya bahagia sekali," ujar gadis itu pada temannya. "Iya! Aku sangat senang sekali!" seru Vivian menganggukkan kepalanya penuh antusias. "Ada apa, Vian? Tidak mau bilang-bilang sama Arabelle?" tanya Arabelle sambil berjalan dengan bantuan Vivian yang memeluk lengannya. "Iya, aku akan memberitahumu. Tapi jangan kaget, ya," ujar Vivian. "Oke, siap!" Arabelle mengangguk patuh. Vivian pun menarik pundak Arabelle dan ia membisikkan sesuatu pada Arabelle saat itu juga. Sampai tiba-tiba langkah Arabelle terhenti, gadis itu terdiam mematung seketika. Ekspresi Arabelle sontak membuat Vivian tertawa terpingkal-pingkal."Vian!" pekik Arabelle. "Iya. Aku dan si Dugong sudah
Arabelle dan sang Ayah kini pergi ke rumah sakit ibu kota. Hari ini adalah jadwal Arabelle untuk cek up terkait kondisi kesehatannya. Bersama Jordan yang selalu menemaninya, Arabelle tampak duduk di samping sang Ayah yang kini menunggu hasil pemeriksaan oleh dokter. "Ayah, Ara pasti sembuh, kan?" bisik Arabelle memeluk lengan sang Ayah. Jordan menoleh dan tersenyum, laki-laki itu mengecup pucuk kepala putri kesayangannya. "Pasti, Nak. Ayah akan mengusahakan yang terbaik untuk anak Ayah," jawab Jordan. "Kalau biayanya mahal, bagaimana, Ayah?" tanya gadis itu. "Biar saja meskipun Ayah harus menjual ginjal asal anak Ayah sembuh," jawab Jordan. Kedua mata Arabelle membola. "A-Ayah tidak menjual ginjal, kan?" pekik gadis itu. Jordan tertawa pelan. "Tentu saja tidak, Sayang. Uang Ayah sangat banyak, jangan khawatir. Bahkan Ayah bisa membeli rumah sakit ini." Arabelle langsung terkikik geli. "Ayah tahu tidak, nanti kalau Arabelle sudah lulus sekolah, Arabelle ingin meneruskan ke per
Cahaya matahari berwarna jingga sore ini. Arabelle ditemani Theo berdua di depan gerbang sekolah menunggu Ayah gadis menjemputnya. Theo yang masih ada jadwal latihan basket pun belum diperbolehkan pulang. Dan ia menemani Arabelle di sana. "Kenapa Ayah lama sekali?" gerutu Arabelle meremas tongkat di tangannya. "Mungkin masih di kantor," jawab Theo. "Pasti sekarang sudah di perjalanan. Papa paham kalau Ayahmu sekarang tidak bisa bekerja full seperti dulu." "Om Asher tidak marah kan, Kak?" tanya Arabelle. "Tentu saja tidak." Theo tersenyum dan mengusap pucuk kepala Arabelle dengan lembut. Arabelle pun juga tersenyum. Gadis itu memeluk satu lengan Theo dan menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Dari dalam gerbang sekolah, muncul seorang siswa membawa sebuah motor sport sama seperti milik Theo dan dia berhenti di depan gerbang menoleh ke arah Theo dan Arabelle. "Sedang apa berduaan di sini?" tanyanya pada mereka berdua. "Mau apa? Kau tidak terima? Atau iri?!" seru Theo tanpa sung
Saat jam istirahat, Arabelle berada di dalam kelas sendirian. Gadis itu duduk diam dan mendengarkan materi listening yang Mr. Diana berikan padanya tadi. Berkali-kali Arabelle mendengarkannya. Sampai tiba-tiba saja gadis itu tersentak saat seseorang menempelkan susu kotak dingin di pipinya. "Aduh, ya ampun..." Arabelle terperanjat. Suara kekehan terdengar begitu renyah dan manis. Arabelle terdiam sejenak, suara itu bukanlah suara Theo, tetapi suara Harvey. Arabelle tersenyum tipis menyadari keberadaan Harvey di sana. "Selamat datang lagi di sekolah, Arabelle," ucap Harvey mengusap pucuk kepala Arabelle. "Kak Harvey, aku pikir siapa..." "Pasti kau pikir Theo, kan?" tanyanya. "Heem." Arabelle langsung mengangguk. Harvey meraih satu bangku dan duduk di sana. Laki-laki itu menatap wajah Arabelle yang tampak semakin putih, bersih, dan cantik setelah beberapa minggu Arabelle tidak pergi ke sekolah. Bagaimanapun juga, Harvey sangat menyukai gadis ini meskipun ia tahu kalau Arabelle
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle bersekolah setelah sempat beberapa Minggu gadis itu tidak hadir ke sekolah. Arabelle datang bersama dengan Ayahnya. Guru-guru pun tampak senang Arabelle sudah kembali bersekolah, terlebih lagi saat ini kepala sekolah di tempat itu sudah diganti dan murid yang merundung Arabelle pun juga sudah dikeluarkan dari sekolah."Ara, nanti kalau pulang sekolah jangan akal-akalan pulang sendirian, oke!" Jordan menatap putrinya yang berdiri di depan pintu kelas. Arabelle mengangguk. "Iya, Ayah. Siap!" Jordan beralih menatap Vivian yang ada di samping Arabelle. "Vian, tolong bantu Arabelle, ya, Nak," ujar Jordan pada gadis berambut sepundak itu. "Iya, Om. Jangan khawatir, saya pasti akan membantu Arabelle. Om tidak perlu cemas, sekali ada saya, semuanya aman!" seru Vivian memeluk Arabelle dan tersenyum gemas. Jordan pun ikut tersenyum, laki-laki itu merasa lega saat melihat putrinya sudah kembali tersenyum manis bersama teman-temannya. "Kalau begitu, A
Kedatangan Arabelle membuat Theo dan kedua adiknya tampak begitu senang. Gadis itu datang tanpa mengabari Theo lebih dulu. Theo juga langsung mendekati Arabelle yang tengah bersama dengan Ayahnya dan juga bersama kedua orang tua Theo. Tatapan Jordan menajam pada Theo saat pemuda itu mendekat. "Kenapa ada acara tidak bilang-bilang pada Paman?! Sengaja tidak mengundang Paman?!" seru Jordan pada Theo. Theo terkekeh geli. "Tidak begitu, Paman..." Pemuda itu mendekati Arabelle yang duduk di samping Leo dan Lea, juga Vivian di sana. Theo duduk di samping Leo dan merangkul Arabelle dari belakang. "Kau mengajak Ayah ke sini?" tanya Theo pada Arabelle. Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Kak." Theo menghela napasnya pelan. "Padahal aku tadi sempat berpikir mau ke sana setelah membantu anak-anak membakar ikan. Aku terus kepikiran dirimu, Ra. Hanya kau saja yang tidak ada di sini." "Tidak apa-apa, Kak. Ini Ara sudah di sini." Theo tersenyum mengusap pucuk kepala Arabelle. "Heem,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen