"Nyonya Muda dari Keluarga Benedict sedang mencari seorang ibu pengganti. Kalau kau mau menyewakan rahimmu, kau bisa mendapatkan uang ratusan juta yang kau butuhkan, Sayang."
Kedua bola mata Aleena melebar saat mendengar calon suaminya melontarkan ide gila itu.
Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu menatapnya tak percaya.
"Kau memintaku untuk menjadi seorang ibu pengganti dan menyewakan rahimku? Apa kau sudah gila, Carl Malvine?!" pekik Aleena, benar-benar tidak habis pikir dengan calon suaminya itu.
Carl tampak tenang. "Tapi kau butuh uang untuk pengobatan Papamu kan, Sayang?" ucapnya sembari menggenggam lengan Aleena lembut, yang langsung ditepis oleh gadis itu.
"Tapi tidak dengan cara itu, Carl! Aku ini calon istrimu. Bisa-bisanya kau malah menawarkan hal seperti itu padaku? Aku tidak mau!" tolak Aleena dengan tegas.
Sungguh, Aleena tidak menyangka kalau Carl akan menawarkan hal ini padanya.
Rasa sedih memenuhi ruang hati gadis itu. Ia memang membutuhkan uang ratusan juta untuk pengobatan Papanya. Tadinya ia berniat meminta bantuan pada Carl karena sudah tak tahu harus minta tolong ke mana, tapi Carl malah menawarkan hal yang mustahil untuk Aleena lakukan.
"Sayang, hanya dengan cara ini kita bisa dengan cepat mendapat uang untuk pengobatan Papa," bujuk Carl dengan lembut.
Tidak ada jawaban apapun dari Aleena, dia sangat marah dan kecewa pada Carl. Gadis cantik berkulit putih dan berambut sepinggang itu tampak lelah.
Aleena meremas kertas tagihan rumah sakit di tangannya dengan kedua matanya yang mulai berkaca-kaca, ia tertunduk menahan rasa sakit di dalam hatinya.
Apakah sekarang ia sudah tidak berharga lagi untuk Carl?
Melihat Aleena yang begitu marah, Carl mengulurkan tangannya menyentuh kedua pundak Aleena dan mengusapnya lembut. Tatapan mata cokelatnya memancarkan kasih dan sayang yang begitu besar.
"Dengar, Aleena. Meskipun kau menerima tawaran ini, aku akan tetap setia menunggumu. Setelah kau melahirkan anak untuk pasangan itu, kita akan menikah. Aku berjanji padamu, kau tidak perlu khawatir," ujar Carl lagi.
Aleena mengusap wajahnya pelan. "Tapi, Carl—"
"Sayang…," Carl menyela cepat. "Aku sangat ingin membantumu, tapi kondisi perusahaanku sedang tidak baik-baik saja. Satu-satunya hal yang bisa aku berikan padamu adalah tawaran itu. Ini demi Papa, Sayang."
Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh membasahi pipi Aleena. Ia sungguh tidak siap menerimanya. Tapi ia juga tidak punya pilihan yang lebih baik.
Aleena tidak mau kehilangan Papa yang sangat ia sayangi.
Carl menggenggam hangat kedua telapak tangan Aleena dan mengecupnya. "Aku berjanji padamu, kita akan menikah setelah itu. Kalau perusahaanku sudah pulih, aku pasti akan membahagiakanmu dan Papa. Percayalah padaku, hmm?"
Aleena menatap wajah Carl dengan lekat, mencari keseriusan dalam ucapannya.
"Aku ini calon istrimu, Carl, bagaimana mungkin aku harus hamil anak laki-laki lain demi uang? Apa itu tidak akan menyakiti perasaanmu?" tanya Aleena sembari menyeka air mata.
"Tidak, Sayang. Karena semua ini demi Papa. Aku tidak cemburu karena aku sangat memahami keadaanmu."
Jawaban Carl membuat Aleena merasa sedih. Carl rela melakukan ini karena dia peduli padanya dan juga Papanya.
Carl memeluk Aleena untuk menenangkannya. Gadis itu menangis putus asa dalam pelukannya. Ia merasa begitu frustrasi dan tidak berdaya.
Setelah cukup tenang, Carl melepas pelukannya dan menatap Aleena lembut. "Aku harus kembali ke kantor sekarang," katanya. "Aku harap kau mempertimbangkannya dengan baik."
Bibir Aleena masih setia mengatup rapat hingga akhirnya Carl pergi meninggalkannya di lorong rumah sakit seorang diri.
Aleena termenung lama, sebelum gadis itu kembali berjalan mendekati ruangan di mana Papanya kini terbaring tak berdaya.
Tepat saat itu, seorang dokter bersama dua perawat keluar dari dalam ruangan inap Papanya. Aleena bergegas menghampiri mereka.
"Dokter, bagaimana keadaan Papa saya sekarang?" tanyanya dengan wajah cemas.
"Kondisi jantung pasien sudah sangat parah, Nona. Kami perlu melakukan tindakan operasi secepat mungkin," ungkap dokter laki-laki itu. "Mohon untuk segera mengurus administrasi, agar kami bisa melakukan tindakan operasi secepatnya."
"Ba-baik, dok," ujar Aleena tertunduk lesu.
Dokter pun permisi meninggalkan Aleena sendirian di sana.
Aleena merasa putus asa, jalan yang ia lalui seolah buntu.
‘Haruskah aku menerima tawaran gila itu?’ pikir Aleena.
Sejauh ini … hanya itulah cara yang paling memungkinkan.
Aleena menggigit bibir. ‘Demi kesembuhan Papa!’ batinnya menguatkan diri.
Gadis itu lantas tak membuang waktu dan bergegas menemui calon suaminya sekarang juga.
Hujan lebat yang mengguyur kota Murniche sore ini tidak menjadi penghalang untuk Aleena. Ia memutuskan pergi ke apartemen Carl setelah panggilan darinya tidak kunjung dijawab.
Bus kota yang Aleena tumpangi berhenti di depan gedung apartemen mewah tak lama kemudian. Aleena pun segera turun dan berlari masuk ke dalam gedung itu dengan pakaian yang sudah setengah basah.
Aleena bergegas cepat menuju lantai lima, di mana unit apartemen Carl berada.
Ia menekan kode kunci dan melangkah pelan masuk ke dalam apartemen yang tampak gelap.
"Mungkin dia belum pulang," gumam gadis itu sambil menahan tubuhnya yang kedinginan.
Baru saja Aleena hendak menekan saklar lampu di dekat pintu, ia mendengar suara yang membuat tubuhnya membeku.
“Ahh … Carl ….”
Aleena menelan ludah. Dadanya seketika bergemuruh hebat. Perlahan Aleena melangkah mengikuti suara yang semakin terdengar jelas, yang ternyata berasal dari arah kamar Carl.
Sepasang matanya membeliak saat mendapati sepasang insan tengah bergelung di bawah selimut tanpa sehelai benang pun.
Aleena menutup mulutnya tak percaya. Jantungnya seolah berhenti berdetak begitu melihat wanita yang bersama Carl, adalah … Brenda, adik tiri Aleena sendiri!
"Sayang, bagaimana dengan calon istrimu?" tanya Brenda dengan suara menggoda.
"Gadis bodoh itu maksudmu?" sahut Carl sembari mengecupi wanita dalam dekapannya. “Jangan membahasnya. Bagaimana kalau kita lanjut ke ronde berikutnya saja?”
Brenda memekik tertahan saat Carl mulai menyerangnya dengan sentuhan intim. “Ah …!”
Aleena menahan sesak sekaligus perasaan jijik yang campur aduk dalam hatinya melihat adegan memuakkan itu.
“Serius, Carl … bagaimana? Apa dia setuju?”
Carl tertawa. "Seperti yang kau katakan, Sayang. Dia itu sangat bodoh dan mudah dimanfaatkan. Dia tidak punya pilihan selain menerima tawaran yang aku berikan. Setelah ia mendapatkan uang itu, aku akan segera mengambilnya. Sabar sedikit lagi ya?”
Brenda langsung memeluk Carl erat-erat. "Aku bangga padamu, Sayang. Aku mencintaimu!"
"Aku lebih mencintaimu, Brenda."
Mereka pun kembali berciuman dengan mesra tanpa tahu kalau ada seseorang yang berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka.
Aleena tidak bisa menahan air mata yang lolos membasahi pipinya. Apa yang ia temukan hari ini benar-benar menggoreskan luka begitu dalam di hatinya.
Ia tidak menyangka, pria yang ia pikir mencintainya dengan tulus, ternyata berselingkuh di belakangnya. Terlebih lagi, wanita selingkuhannya itu adik tirinya sendiri!
Aleena pun mundur perlahan-lahan, mengurungkan niatnya menemui Carl. Gadis itu keluar dari dalam apartemen dengan tubuh bergetar hebat.
"Jadi selama ini kau mengkhianatiku?" lirih Aleena mengepalkan tangannya dan memukul dinding dengan perasaan berkecamuk. "Brengsek! Kau laki-laki brengsek!"
Saat ia sedang terpuruk karena kondisi Papanya, kini Aleena semakin hancur karena calon suaminya juga menyakitinya dengan tega.
Bagaimana mungkin Carl sampai hati memanfaatkannya seperti ini?
Aleena menipiskan bibir geram. Ia menyeka air matanya dengan tangannya yang gemetar.
Aleena kembali berdiri tegap di tengah rasa sakit yang menyelimutinya. Tatapan kesalnya kini dipenuhi tekad yang besar.
"Aku tidak akan membiarkanmu membodohiku, Carl. Aku bersumpah ... aku akan membalas perbuatanmu!"
Esok harinya, Aleena mendatangi kediaman Keluarga Benedict bersama Carl.Ya, Aleena sudah membuat keputusan. Ia akan menerima tawaran menjadi ibu pengganti demi pengobatan ayahnya, sekaligus membuktikan pada Carl bahwa ia bukan gadis yang mudah diperdaya. Aleena bersandiwara seolah tidak tahu kenyataan menyakitkan bahwa selama ini calon suaminya telah berkhianat. "Aku yakin, Sayang, kau tidak akan menyesali keputusanmu," bisik Carl yang kini duduk bersebelahan dengan Aleena di ruang tamu rumah mewah itu. "Ya," balas Aleena singkat. Dapat Aleena lihat betapa berseri-serinya wajah Carl saat ini, seolah tak sabar mendapatkan keuntungan besar dengan memanfaatkan dirinya. Tapi hal itu tak akan terjadi. Aleena akan memastikan Carl tidak mendapat keuntungan sepeser pun darinya!"Aku berharap setelah ini Papa cepat sembuh," ujar Carl menoleh pada Aleena dan tersenyum lembut. "Dan kita akan segera menikah." Aleena hanya tersenyum kecut dan merasa jijik mendengar ungkapan penuh kebohongan
Kedatangan Asher Benedict membuat suasana menjadi tegang. Sekilas saja, Aleena langsung tahu bahwa Asher adalah sosok pria dingin, tegas, dan mengintimidasi. Aura penuh wibawanya itu membuat siapapun akan merasa gugup jika berhadapan dengannya. Aleena menelan ludah saat Asher menatapnya. Ia tidak menduga bahwa ternyata laki-laki itu jauh lebih dewasa darinya."Sayang, mereka adalah tamu kita," ujar Marsha menjelaskan. Asher menaikkan salah satu alisnya. Ia tidak pernah tahu sejak kapan istrinya bergaul dengan gadis berpenampilan sederhana seperti gadis di depannya ini."Ada keperluan apa?" tanya Asher, sembari duduk di sofa menyilangkan kakinya. "Ada hal penting yang ingin aku bahas," jawab Marsha. Asher tidak lagi berkata-kata. Di sampingnya, Marsha memperhatikan Carl yang masih duduk di samping Aleena. Marsha ingin berbincang dengan suaminya dan Aleena saja saat ini. "Carl, bisakah kau pergi dulu dan tinggalkan Aleena sebentar di sini?" Aleena sontak menatap Carl dengan lekat.
"Semua biaya rumah sakit Papamu sudah aku urus Aleena. Hasil pemeriksaan kesuburanmu pun sangat baik. Kemungkinan besar, sekali berhubungan saja kau bisa segera hamil.” Aleena hanya mengangguk kecil mendengar apa yang Marsha katakan. Siang ini, Marsha mendatangi rumah sakit bersama Asher. Mereka berdua mengurus semua administrasi pengobatan Papanya dan ia juga melakukan tes kesehatan."Sekarang semua sudah selesai, ayo kita pergi," sahut Asher meraih tangan Marsha. "Tunggu, Sayang—"Marsha menghentikan langkahnya saat ponsel miliknya di dalam tas berdering. Wanita berambut cokelat sebahu itu menoleh seolah meminta izin, lalu berjalan menjauh saat menjawab panggilan tersebut. Kini hanya ada Aleena dan Asher berdua di sana. Asher melirik gadis bertubuh kurus di sampingnya yang tengah memeluk sebuah tas besar. "Apa kau membawa semua pakaianmu?" tanya Asher menoleh. Aleena menatapnya gugup. "Nyo-Nyonya yang meminta pada saya, Tuan," jawabnya.Hari ini Aleena akan tinggal bersama Ma
Dua hari berlalu dengan cepat. Aleena masih berada di kediaman Keluarga Benedict dan tidak pergi ke mana pun. Apalagi, sekarang Aleena telah memiliki status baru, yaitu menjadi istri kedua Asher. Malam ini, gadis bertubuh kurus itu duduk di tepi ranjang dengan balutan dress berwarna biru muda. Aleena tampak cemas dan kalut. Dalam waktu yang begitu singkat, Aleena dan Asher resmi menikah. Meskipun pernikahan itu hanya untuk sementara waktu saja, dan juga berjalan demi keuntungan masing-masing."Nona Aleena..." Suara Bibi Julien berhasil membuyarkan lamunan Aleena, gadis itu menoleh cepat ke arah pintu dan berdiri dari duduknya. "Iya, Bi? Ada apa?" tanya Aleena menatapnya. "Ini gaun tidur tidur yang Nyonya Marsha siapkan untuk Nona Aleena pakai malam ini," ujar Bibi Julien meletakkan gaun tidur satin berwarna merah di atas ranjang. Wajah Aleena mendadak pucat. Rasa takut menyelimutinya dengan cepat.Ia tidak bisa membayangkan seperti apa malam pertama itu?"A-apa Nyonya Marsha sed
Dua hari berlalu dengan cepat. Aleena masih berada di kediaman Keluarga Benedict dan tidak pergi ke mana pun. Apalagi, sekarang Aleena telah memiliki status baru, yaitu menjadi istri kedua Asher. Malam ini, gadis bertubuh kurus itu duduk di tepi ranjang dengan balutan dress berwarna biru muda. Aleena tampak cemas dan kalut. Dalam waktu yang begitu singkat, Aleena dan Asher resmi menikah. Meskipun pernikahan itu hanya untuk sementara waktu saja, dan juga berjalan demi keuntungan masing-masing."Nona Aleena..." Suara Bibi Julien berhasil membuyarkan lamunan Aleena, gadis itu menoleh cepat ke arah pintu dan berdiri dari duduknya. "Iya, Bi? Ada apa?" tanya Aleena menatapnya. "Ini gaun tidur tidur yang Nyonya Marsha siapkan untuk Nona Aleena pakai malam ini," ujar Bibi Julien meletakkan gaun tidur satin berwarna merah di atas ranjang. Wajah Aleena mendadak pucat. Rasa takut menyelimutinya dengan cepat.Ia tidak bisa membayangkan seperti apa malam pertama itu?"A-apa Nyonya Marsha sed
"Semua biaya rumah sakit Papamu sudah aku urus Aleena. Hasil pemeriksaan kesuburanmu pun sangat baik. Kemungkinan besar, sekali berhubungan saja kau bisa segera hamil.” Aleena hanya mengangguk kecil mendengar apa yang Marsha katakan. Siang ini, Marsha mendatangi rumah sakit bersama Asher. Mereka berdua mengurus semua administrasi pengobatan Papanya dan ia juga melakukan tes kesehatan."Sekarang semua sudah selesai, ayo kita pergi," sahut Asher meraih tangan Marsha. "Tunggu, Sayang—"Marsha menghentikan langkahnya saat ponsel miliknya di dalam tas berdering. Wanita berambut cokelat sebahu itu menoleh seolah meminta izin, lalu berjalan menjauh saat menjawab panggilan tersebut. Kini hanya ada Aleena dan Asher berdua di sana. Asher melirik gadis bertubuh kurus di sampingnya yang tengah memeluk sebuah tas besar. "Apa kau membawa semua pakaianmu?" tanya Asher menoleh. Aleena menatapnya gugup. "Nyo-Nyonya yang meminta pada saya, Tuan," jawabnya.Hari ini Aleena akan tinggal bersama Ma
Kedatangan Asher Benedict membuat suasana menjadi tegang. Sekilas saja, Aleena langsung tahu bahwa Asher adalah sosok pria dingin, tegas, dan mengintimidasi. Aura penuh wibawanya itu membuat siapapun akan merasa gugup jika berhadapan dengannya. Aleena menelan ludah saat Asher menatapnya. Ia tidak menduga bahwa ternyata laki-laki itu jauh lebih dewasa darinya."Sayang, mereka adalah tamu kita," ujar Marsha menjelaskan. Asher menaikkan salah satu alisnya. Ia tidak pernah tahu sejak kapan istrinya bergaul dengan gadis berpenampilan sederhana seperti gadis di depannya ini."Ada keperluan apa?" tanya Asher, sembari duduk di sofa menyilangkan kakinya. "Ada hal penting yang ingin aku bahas," jawab Marsha. Asher tidak lagi berkata-kata. Di sampingnya, Marsha memperhatikan Carl yang masih duduk di samping Aleena. Marsha ingin berbincang dengan suaminya dan Aleena saja saat ini. "Carl, bisakah kau pergi dulu dan tinggalkan Aleena sebentar di sini?" Aleena sontak menatap Carl dengan lekat.
Esok harinya, Aleena mendatangi kediaman Keluarga Benedict bersama Carl.Ya, Aleena sudah membuat keputusan. Ia akan menerima tawaran menjadi ibu pengganti demi pengobatan ayahnya, sekaligus membuktikan pada Carl bahwa ia bukan gadis yang mudah diperdaya. Aleena bersandiwara seolah tidak tahu kenyataan menyakitkan bahwa selama ini calon suaminya telah berkhianat. "Aku yakin, Sayang, kau tidak akan menyesali keputusanmu," bisik Carl yang kini duduk bersebelahan dengan Aleena di ruang tamu rumah mewah itu. "Ya," balas Aleena singkat. Dapat Aleena lihat betapa berseri-serinya wajah Carl saat ini, seolah tak sabar mendapatkan keuntungan besar dengan memanfaatkan dirinya. Tapi hal itu tak akan terjadi. Aleena akan memastikan Carl tidak mendapat keuntungan sepeser pun darinya!"Aku berharap setelah ini Papa cepat sembuh," ujar Carl menoleh pada Aleena dan tersenyum lembut. "Dan kita akan segera menikah." Aleena hanya tersenyum kecut dan merasa jijik mendengar ungkapan penuh kebohongan
"Nyonya Muda dari Keluarga Benedict sedang mencari seorang ibu pengganti. Kalau kau mau menyewakan rahimmu, kau bisa mendapatkan uang ratusan juta yang kau butuhkan, Sayang."Kedua bola mata Aleena melebar saat mendengar calon suaminya melontarkan ide gila itu.Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu menatapnya tak percaya. "Kau memintaku untuk menjadi seorang ibu pengganti dan menyewakan rahimku? Apa kau sudah gila, Carl Malvine?!" pekik Aleena, benar-benar tidak habis pikir dengan calon suaminya itu.Carl tampak tenang. "Tapi kau butuh uang untuk pengobatan Papamu kan, Sayang?" ucapnya sembari menggenggam lengan Aleena lembut, yang langsung ditepis oleh gadis itu. "Tapi tidak dengan cara itu, Carl! Aku ini calon istrimu. Bisa-bisanya kau malah menawarkan hal seperti itu padaku? Aku tidak mau!" tolak Aleena dengan tegas. Sungguh, Aleena tidak menyangka kalau Carl akan menawarkan hal ini padanya. Rasa sedih memenuhi ruang hati gadis itu. Ia memang membutuhkan uang ratusan juta untu