Setelah kedua orang tua Asher pulang beberapa menit yang lalu, rumah megah itu pun tersisa Marsha dan Asher saja.
Terlihat Marsha yang kini berdiri bersedekap menatap lurus ke arah paviliun tempat Aleena tinggal. "Aku tidak ingin kau mengulur banyak waktu, Asher," ucap Marsha tiba-tiba. Asher yang mendengarkannya pun menoleh. "Apa maksudmu, Sayang?" Marsha membuat tubuhnya menatap sang suami. "Aku sudah muak dengan semua cercaan Mamamu tentang anak sampai telingaku terasa panas karena terus mendengar hal itu setiap bertemu!" "Sayang—" "Kau tidak menepati janjimu padaku, Asher. Aku hanya memintamu untuk bermalam dengan Aleena, kita sudah membayar gadis itu. Hanya dia harapan kita satu-satunya!" desak Marsha dengan wajah memerah. Asher memijit pangkal hidungnya, tampak benar-benar frustrasi. “Marsha, aku bisa melakukannya kapan-kapan—” "Kapan-kapan?” sela Marsha. “Tapi sampai kapan, Asher? Apa kau tidak keberatan melihatku terus direndahkan seperti ini? Atau sebenarnya kau ingin bercerai dariku karena aku bukan istri yang berguna seperti kata ibumu?” "Jangan bawa-bawa perceraian di antara kita, Marsha," desis Asher tak terima. Marsha tersenyum pahit. "Kenapa? Bukankah itu yang kau mau?" Asher mengepal kuat jemari kedua tangannya dan menatap istrinya dengan tajam. Seolah tak takut dengan kemarahan yang terpancar dari wajah Asher, Marsha pun berdiri tegap menatapnya. "Kalau memang tidak, maka malam ini lakukan dengan Aleena," kata Marsha. Lalu tanpa mengatakan apapun lagi, ia menyahut kunci mobilnya dan tas miliknya. Asher yang melihat itu, lantas ia mencekal lengan istrinya, berusaha menahannya. "Kau mau ke mana malam-malam begini?" “Aku butuh waktu untuk menjernihkan pikiranku,” sahut Marsha, lalu melenggang pergi tanpa mempedulikan panggilan dari suaminya. Asher tercenung dengan segala perasaan tak menentu. Sengaja ia tidak mengejar Marsha yang sedang marah padanya, karena tidak ingin suasana hati Marsha semakin buruk. Namun, permintaan Marsha tetap membuat Asher tidak sudi melakukannya. Bagaimana bisa istrinya meminta hal itu padanya? Apakah Marsha terlalu sakit hati dengan ucapan Mamanya? Asher menggeram kesal menatap ke arah paviliun tempat Aleena dengan garis rahangnya yang kini terlukis jelas. ** Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam saat Aleena keluar dari paviliun menuju rumah utama. Ia ingin mengambil ponselnya yang tertinggal di dapur sejak siang tadi. Gadis itu melangkah masuk tanpa suara ke dalam rumah melalui pintu samping. "Apa yang sedang kau lakukan?" Bariton yang terdengar dingin dan dalam itu membuat langkah kaki Aleena terhenti, tubuhnya seolah membeku di tempat. Aleena menelan ludah saat ia menoleh dan mendapati sosok Asher duduk di sofa dengan tatapan menghunus tajam. Aleena langsung tertunduk dan seketika menyadari pakaian tipis yang ia pakai. Tangannya sontak menutupi tubuhnya. Tadinya ia berpikir karena rumah sudah sepi, jadi tak masalah jika ia hanya mengenakan gaun tidur tipis. Toh ia hanya sebentar berada di sana. Tapi kini … tatapan pria itu seakan tengah melucuti Aleena hingga membuatnya menggigil. "I-itu Tuan, saya hanya—" Lidah Aleena terasa kelu, ia tergagap hingga ucapannya terhenti saat Asher beranjak dari duduknya dan melangkah ke arahnya. Saat Asher mendekat, aroma pekat alkohol menguar darinya. Tatapan mata sayu dan kemejanya yang berantakan membuat Aleena menyadari bahwa Asher tengah mabuk! "Ma-maaf, Tuan, saya hanya ingin mengambil ponsel saya yang tertinggal," ujar Aleena gugup. Asher berdecih mendengarnya. "Alasan!" katanya, sepasang matanya menelisik penampilan Aleena, "Kau kemari ingin menggodaku agar tidur denganmu, iya kan?" Aleena menggeleng cepat. "Ti-tidak, Tuan, saya tidak bermaksud—" Asher tersenyum miring dengan tatapan remeh. Ia berjalan semakin mendekat hingga hanya menyisakan sedikit jarak di antara keduanya. “Kau memang wanita murahan yang tidak tahu diri!” Bagai tertusuk seribu duri, hati Aleena nyeri atas penghinaan yang Asher lontarkan padanya. Namun, ia berusaha menguatkan diri. Asher sedang mabuk, ia mungkin tidak sadar dengan ucapannya sendiri. Aleena hendak melangkah pergi, tapi tiba-tiba saja satu lengannya ditahan oleh Asher dengan cengkeraman erat. Matanya membeliak saat Asher menarik lengannya hingga wajah mereka menjadi sangat dekat. Hangat napas pria itu menerpa wajah Aleena saat berkata, "Bukankah ini yang kau inginkan? Tidur denganku?" Satu lengan Asher menarik pinggang Aleena hingga menghapus jarak di antara mereka. Aleena tercekat, seluruh saraf motoriknya seolah tak berfungsi. Ia hanya bisa terpaku seperti patung. "Kau menunjukkan seberapa murahnya dirimu di mataku dengan pakaian hinamu ini," bisik Asher dengan seringai di bibirnya. Telapak tangan Aleena mendorong dada bidang Asher yang kokoh. "Anda mabuk, Tuan,” ujarnya, berusaha menekan rasa sakit hati atas penghinaan Asher. “Sebaiknya Anda beristirahat, saya akan—” “Sekarang kau bersikap jual mahal, eh?” Asher mendengus. “Siapa yang ingin kau bodohi, gadis sia—” Aleena menggertakkan rahang. Kata-kata sinis penuh penghinaan itu membuatnya tak tahan. Ia langsung menyela dan mendorong tubuh Asher sekali lagi. “Saya di sini hanya untuk sebuah kesepakatan, Tuan Asher yang terhormat. Berhenti menghina saya karena saya bukan gadis seperti yang—” Aleena tidak sempat melanjutkan kalimatnya saat Asher tiba-tiba saja menarik tengkuk lehernya dan mencium bibirnya dengan kasar. Aleena terkejut. Ia berusaha mendorong tubuh Asher, namun tenaganya tak seberapa untuk melawan laki-laki itu. Asher memeluk tubuh kecilnya dan membawanya ke dalam sebuah kamar di lantai satu tanpa melepaskan tautan bibir mereka. "Tu-Tuan Asher, tunggu—" Aleena memekik saat Asher mendorongnya ke atas ranjang. Asher menatap dingin seraya membuka satu persatu kancing kemeja putih yang ia pakai dan melemparkannya begitu saja. "Aku akan mengabulkan permintaanmu," ucap Asher dengan suara nyaris seperti menggeram. Aleena gemetar ketakutan, ia menelan saliva susah payah saat Asher kembali mengurung tubuhnya di atas ranjang. Tanpa membuang waktu, Asher kembali mencium Aleena. Ciuman itu kasar dan menuntut. Ia menyingkap gaun tidur tipis yang melekat di tubuh gadis itu dengan tak sabar. Aleena tak berdaya. Sentuhan-sentuhan panas yang membelai lekuk tubuh indahnya membuatnya gemetar, antara terkejut dan juga takut. Ini kali pertama seorang laki-laki menyentuh tubuhnya dengan begitu intim. Bahkan Carl tak pernah menyentuhnya seperti ini karena ia selalu menjaga martabatnya sebagai seorang wanita. Tapi kini … Aleena merasa dirinya seperti wanita murahan. Seperti kata Asher. "Tuan Asher, tung—ahh—" Aleena memejamkan kedua matanya erat saat ia merasakan sesuatu yang keras menekan pangkal pahanya. Air mata jatuh membasahi pipinya tanpa bisa dicegah. Aleena ketakutan saat bagian inti tubuhnya seolah tengah dimasuki dengan paksa, hingga tanpa sadar ia mencengkeram erat punggung Asher dengan kuku jemarinya yang menancap kuat. Gestur itu justru membuat gerakan Asher semakin tergesa. Ia menganggap Aleena menikmati apa yang tengah mereka lakukan. “Kau menikmatinya, hm?” Aleena menggeleng, tapi justru lenguhan lirih yang keluar dari bibirnya saat Asher semakin jauh menyentuhnya. “Hngh—” Embusan napas berat menggema di kamar itu. Asher menggeram saat miliknya tenggelam lebih dalam, memasuki bagian paling intim dan yang paling dijaga Aleena sepanjang hidupnya. Tiba-tiba, gerakan Asher terhenti saat menyadari sesuatu. "Kau … masih perawan?" bisiknya dengan nada rendah. Ia terdengar tak percaya sekaligus takjub saat melihat noktah merah pada sprei di bawah mereka. Sepasang matanya yang menggelap itu menelusuri wajah Aleena yang basah dan memerah di bawah kungkungannya. Aleena membalas tatapan itu berkaca-kaca. Bibirnya gemetar menahan suara tangis. Asher mengatupkan rahangnya yang tegas. Tatapannya pada Aleena begitu sulit diartikan. Suaranya terdengar berat dan mengintimidasi saat bertanya, “Siapa dirimu sebenarnya, Aleena?”“Akh—shh—” Aleena meringis menahan sakit pada bagian inti tubuhnya ketika ia terbangun di ranjang yang asing pagi itu. Ia menarik selimut dan mendekapnya dengan erat di dada saat menyadari tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun. Bayangan-bayangan dari malam panas itu kembali terulang dalam ingatannya, seolah tak membiarkan Aleena lupa begitu saja. “Siapa dirimu sebenarnya, Aleena?” Aleena tidak tahu mengapa Asher tampak kalut dan tidak percaya bahwa dirinya masih suci. “S-saya—”“Tak mungkin aku yang pertama bagimu! Katakan, apa tujuanmu melakukan ini? Kenapa kau—”“Lakukan saja, Tuan,” Aleena menyela sebelum Asher kembali menghinanya dengan kata-kata tajam. Suaranya bergetar di bawah dominasi Asher yang membuat tubuhnya meremang. Ia hanya ingin semua ini segera berakhir. “Lakukan saja dengan cepat, seperti yang Nyonya Marsha inginkan….”Aleena tidak mengerti mengapa setelah itu Asher tiba-tiba berubah seperti predator kelaparan. Sentuhan dan gerakannya berantakan, menuntut,
"A-apa maksud Tuan mengatakan hal itu?" Aleena menatap Asher dengan lekat, dan napasnya tercekat seolah ingin mencekiknya kuat-kuat. Mengapa Asher tidak pernah berhenti merendahkannya?Melihat ekspresi kesal di wajah Aleena, Asher hanya tersenyum miring. Dagunya terangkat, menunjukkan ekspresi remeh. "Memang begitu kenyataannya, bukan?" katanya dengan nada datar. "Baru semalam kau berhasil merayuku, siang ini kau sudah bertemu laki-laki lain.”“Saya hanya—”Asher lebih dulu menyela. “Kali ini apa yang kau tawarkan padanya? Tubuhmu, seperti yang kau lakukan padaku?”Dada Aleena bergemuruh hebat tak terima. Perkataan Asher selalu berhasil mencabik dan melukai perasaan serta harga dirinya setiap kali dia berbicara. Dengan kedua tangan terkepal, Aleena berdiri dengan tegap memberanikan diri menatap Asher yang kini duduk di sofa menyilangkan kakinya, memperhatikan Aleena dengan begitu rendahnya. Aleena menahan air matanya yang berdesakan dan berusaha menjelaskan. Bibirnya menipis gera
Butuh beberapa menit perjalanan dari rumah Asher menuju rumah sakit dengan bus kota yang Aleena tumpangi. Di sepanjang jalan, hatinya dipenuhi perasaan tak sabar ingin segera memeluk Papanya. Setibanya di rumah sakit, Aleena berjalan memasuki lorong di lantai lima. Papanya kini dirawat di ruang kelas A, tempat di mana pasien-pasien mendapatkan penanganan khusus dan istimewa. Aleena berjalan bersama Dokter Camael, sosok dokter yang sudah dua tahun ini menangani Papa Aleena. "Kondisi Papa saya berarti sudah jauh lebih baik, kan, dok?" tanya Aleena mendongak menatap dokter itu sembari berjalan menuju ruangan rawat inap. "Sudah Nona. Kondisi Tuan Liam sudah jauh lebih baik semenjak beliau dioperasi," jawab dokter Camael menjelaskan.Aleena tersenyum lega mendengarnya. Ia bersyukur Tuhan menyelamatkan Papanya. Kini, ia bisa kembali melihat senyuman sang Papa yang terus menjadi penyemangat hidupnya. Aleena akhirnya tiba di depan pintu kamar inap Papanya. Dokter Camael pun berpamitan ke
Di kediaman utama pagi ini terlihat ramai. Tampak beberapa orang perempuan cantik dengan penampilan glamor dan berkelas yang sedang duduk bersama di teras samping kediaman utama. Aleena memperhatikan mereka dari taman di dekat paviliun saat ia mengikuti Bibi Julien memindahkan beberapa pot bunga. Aleena yang penasaran dengan para wanita itu, ia pun bertanya pada Bibi Julien. "Bi, mereka itu siapa?" Aleena menatap ke arah para wanita itu sebentar. "Mereka semua adalah teman Nyonya Marsha, para wanita dari kalangan masyarakat kelas atas, Nona," jawab Bibi Julien menjelaskan. Aleena mengangguk paham. Dalam hati ia sangat kagum dengan Marsha yang memiliki lingkungan pertemanan yang hebat. Tak menyangkal, Marsha memang wanita berkelas yang disegani.Tanpa Aleena sadari, tampaknya para wanita yang tengah duduk di teras itu juga memperhatikannya dari kejauhan.Mereka menatap sosok Aleena dengan rasa penasaran. Karena sejauh ini mereka tidak pernah melihat seorang gadis di kediaman sahab
Ketenangan Marsha terusik karena ucapan teman-temannya siang tadi tentang Aleena terngiang di kepalanya.Teringat bagaimana mereka mengatakan kalau Aleena sangat cantik dan masih muda, kemungkinan bisa membuat Asher berpaling darinya. Marsha merasa cemburu. Mempermalukan Aleena seperti tadi pun rasanya tidak cukup.Wanita itu melirik suaminya yang duduk di sofa kamar memangku laptopnya. "Sayang," panggilnya pelan. Ia menatap Asher dari pantulan cermin meja riasnya. "Hm?" Asher mengangkat wajahnya menatap sang istri. "Ada apa?" "Menurutmu … seperti apa sosok Alena?" tanya Marsha penasaran. "Kau bisa menjawabnya dengan jujur." Alis tebal Asher menukik seketika mendengar pertanyaan konyol istrinya, seolah tak suka Marsha membahas gadis itu saat mereka berdua. Asher kembali menatap laptopnya. "Biasa saja," jawabnya singkat. "Apa dia tidak cantik? Apa kau tidak tertarik dengannya karena dia muda dan menarik?" Mendengar pertanyaan istrinya yang semakin keterlaluan, Asher menutup lapt
Asher kembali pulang ke rumah setelah ia bertemu dengan Papanya untuk membahas pekerjaan, bahkan ia juga sempat ribut dengan Mamanya perkara Marsha. Namun, saat mobil hitamnya tiba di depan gerbang kediaman megahnya, di sana Asher melihat seorang laki-laki tampak berdiri memperhatikan rumahnya.Asher melepaskan kacamata hitam yang ia pakai. Keningnya mengerut saat mendapati orang itu ternyata pria yang sama dengan pria yang kapan hari berbincang dengan Aleena."Mau apa dia?" Asher mendengus kesal. Ia segera membuka pintu mobilnya dan melangkah keluar saat gerbang rumahnya di buka. Ia juga memerintahkan ajudannya untuk membawa mobil hitamnya masuk. Sedangkan Carl berdiri mematung menatap Asher yang turun dari dalam mobil dan berjalan ke arahnya. "Tu-Tuan, selamat siang," sapanya gugup. "Sedang apa kau di depan rumahku?" tanya Asher tanpa basa-basi. Carl tersenyum canggung. "Saya ingin bertemu sebentar dengan Aleena, Tuan," jawabnya. "Ada hubungan apa kau dengannya, sampai kau be
Beberapa menit kemudian, Aleena sampai di rumah sakit. Pakaiannya basah kuyup, membuat tubuhnya menggigil. Namun, ia tidak peduli dengan kondisinya sendiri. Ia bergegas menemui Dokter Camael yang sudah menunggu kedatangannya. Dokter itu menjelaskan tentang kondisi Liam yang tiba-tiba saja drop hingga membuat Aleena panik. "Jangan khawatir, Nona, hal ini bisa terjadi karena kondisi Tuan Liam belum benar-benar pulih seratus persen. Semuanya butuh proses," ujar Dokter Camael yang duduk di hadapan Aleena. Wajah Aleena tertekuk sedih. "Jadi ... meskipun sudah operasi, Papa saya masih akan sering kambuh, dok?" "Benar, Nona. Tapi hanya untuk sementara saja, kalau kondisinya sudah stabil, maka tidak akan mudah kambuh lagi," jawab Dokter Camael tersenyum tipis. Aleena mengangguk paham. Panjang lebar dokter itu menjelaskan tentang perkembangan kondisi Papanya saat ini. Beberapa menit kemudian, barulah Aleena keluar dari dalam ruangan Dokter Camael. Meski sedikit lega karena dokter berka
Keesokan paginya, Aleena digaduhkan oleh suara Bibi Julien yang mengetuk pintu kamarnya dengan keras dan memanggil namanya berkali-kali. Aleena sampai terjingkat mendengarnya. Sepertinya, ada sesuatu yang serius sedang terjadi. "Selamat pagi, Nona Aleena ... apakah Nona sudah bangun?" pekiknya dari luar. “Nona, ada yang mau Bibi bicarakan!” "Iya, Bi, tunggu sebentar." Aleena yang sudah bangun dan bersiap sejak pagi tadi pun segera berjalan membuka pintu kamarnya. Tampak Bibi Julien dengan wajah paniknya berdiri di depan pintu. "Ada apa, Bi?" tanya Aleena bingung. "Itu Nona, di depan ada seorang gadis mencari Nona. Ia berkata masih ada hubungan keluarga Nona Aleena," jelas Bibi Julien. Keluarga? Apakah Aleena tidak salah dengar?Padahal Aleena hanya memiliki seorang ayah saja sebagai satu-satunya keluarga. "Aku akan keluar menemuinya sebentar, Bi," ujar Aleena. Ia langsung turun ke lantai satu. Di teras paviliun, Aleena melihat seorang gadis cantik berambut sebahu duduk di so
Aleena tidak tahu sampai kapan Asher akan menemaninya di rumah sakit. Setelah datang pagi tadi, hingga siang hari laki-laki itu tidak kunjung pergi. Meskipun tak banyak percakapan di antara mereka, tetapi tetap saja Aleena merasa sangat canggung.Aleena memperhatikan laki-laki tampan berbalut tuxedo hitam yang tengah duduk di sofa sambil memangku laptopnya dengan pandangan yang fokus ke layar benda tersebut. "Tuan Asher," panggil Aleena pelan. "Hm?" Asher menjawab dengan gumaman, sebelum sorot matanya tertuju padanya. Aleena gugup saat manik mata hitam itu menangkapnya dari pandangan. "Ee ... apa Tuan tidak ke kantor hari ini?" tanya Aleena, suaranya pun terdengar pelan. "Kau mengusirku?" Asher justru balik bertanya, laki-laki itu menatapnya lekat dari arah sofa. "Atau kau tidak senang suamimu menemanimu?" Wajah Aleena mendadak tegang mendengar apa yang Asher tanyakan. Suami, katanya?"Ti-tidak, Tuan, bukan seperti itu. Saya hanya bertanya saja," lirih Aleena sambil menggeleng
Keesokan paginya, Aleena kembali sendirian di rumah sakit setelah subuh tadi Jordan berpamitan pulang. Gadis cantik dengan balutan baju rumah sakit itu baru saja keluar dari ruangan dokter. Karena tidak ada keluarga yang datang untuk mengambil surat pemeriksaannya, maka Aleena pergi mengambil sendiri dan meninggalkan kamar rawat inapnya. Aleena tersenyum lega membaca surat pemeriksaannya. "Syukurlah, tidak terjadi apa-apa. Aku sempat khawatir kalau aku kenapa-kenapa," katanya. Aleena kembali melangkah melewati lorong rumah sakit, sampai akhirnya perhatiannya tersita pada sebuah ruangan berdinding kaca yang amat terang, di mana di dalamnya ada banyak bayi yang baru lahir ditidurkan di atas ranjang kecil di dalam ruangan itu. Perlahan Aleena berjalan mendekat dan berdiri di depan dinding kaca, tersenyum menatap bayi-bayi mungil menggemaskan di dalam sana. "Lucunya mereka," ucap Aleena tersenyum manis dan bahagia. “Ya Tuhan, manis sekali bayi-bayi itu.” Berdesir hangat hati Aleena,
Orang tua Asher memberi kabar kalau mereka akan datang menjenguk menantunya malam ini. Marsha terlihat begitu kalut. Ia berusaha untuk berpura-pura sakit dan cedera di bagian kaki dan juga keningnya yang kini dipasang perban palsu. Wanita itu tidak mau Mama dan Papa mertuanya curiga!"Lihat, bagaimana penampilanku, Sayang?" Marsha menatap ke arah suaminya. "Apa perbannya terlalu kentara kalau ini tipuan?" Asher menatapnya sekilas, sebelum ia kembali menatap layar laptopnya. "Tidak perlu berlebihan," jawab Asher. Wanita cantik berdiri di depan cermin itu pun berdecak sebal mendengar jawaban sang suami. "Ayolah, Asher ... aku juga tidak ingin membuang-buang waktu untuk berakting seperti ini!" pekik Marsha menatap suaminya dari pantulan cermin. "Kalau bukan karena Aleena yang merepotkan itu, aku juga tidak sudi berakting seperti orang bodoh begini!"Marsha mendengus kesal dengan Asher yang terlihat sangat santai, atau lebih tepatnya tidak terlalu peduli dengannya. Tetapi, dengan b
Asher tiba di rumah sakit setelah beberapa menit perjalanan. Raut wajahnya yang keruh, tampak kalut diselimuti rasa khawatir setelah mendengar kabar Aleena mengalami kecelakaan. Laki-laki tampan berbalut tuxedo hitam itu berjalan masuk ke dalam sebuah ruangan di mana ada beberapa suster dan dokter di dalamnya. "Tuan Asher?" sapa seorang dokter laki-laki melangkah ke arahnya. "Ya, di mana pasien atas nama Aleena Pandora, dok?" tanya Asher cemas. "Bagaimana keadaannya?" "Pasien sudah dipindahkan ke kamar perawatan, Tuan," jawab dokter itu. "Syukurlah tidak ada luka serius yang dialami oleh Nona Aleena. Hanya lecet di beberapa bagian, dan benturan di kepalanya mungkin akan membuat Nona Aleena merasa pusing untuk beberapa waktu." Asher berdecak kesal. "Di mana ruangan itu?" "Mari ikut dengan saya." Dengan langkah lebarnya yang tergesa, dokter menunjukkan ruangan perawatan di mana Aleena kini berada. Segera Asher masuk ke dalam ruangan itu dan ia melihat Aleena terbaring lemah deng
Keesokan harinya, Aleena tetap menjauh dari Asher. Ia mengubah semua jadwal kegiatan hariannya, demi tidak bertemu dengan pria itu. Aleena berjalan terburu-buru menuju ke tempatnya mengajar. Ia baru saja kembali dari rumah sakit menjenguk Papanya."Ya ampun, tinggal setengah jam lagi. Aku bisa terlambat," gerutu Aleena menatap layar ponselnya. Gadis itu tidak menemukan bus kota yang melewati jalur menuju gedung sekolah. Hingga mau tidak mau, Aleena harus berjalan kaki. Namun, tiba-tiba saja langkah Aleena terhenti saat ia melihat Carl berjalan dengan beberapa orang laki-laki, keluar dari dalam sebuah restoran. "Aleena," sapa Carl menghadang langkahnya. "C-Carl," lirih Aleena kaget dan gugup. Ia tidak menduga akan bertemu pria itu di sini."Kenapa kau berjalan kaki?" tanya Carl menatap sekitar. "Kau akan berangkat bekerja, kan?" Aleena mengangguk. "Aku tidak menemukan bus pagi ini. Sepertinya aku kesiangan." "Lalu kenapa kau tidak naik taksi saja? Itu lebih memudahkanmu," katany
Beberapa hari berlalu, Asher terlihat tak seperti biasanya. Laki-laki itu tampak gelisah setelah beberapa hari ini dia tidak melihat Aleena. Lebih tepatnya sejak keributan bersama Marsha di paviliun. Sejak saat itu, Asher tidak lagi melihat Aleena sama sekali. Asher tidak tahu, seharian ini ia tidak fokus bekerja dan terus memikirkan Aleena. Entah apa yang membuatnya tak tahan ingin bertemu gadis itu, sekalipun hanya melihatnya."Apa ada jadwal pertemuan lagi nanti?" tanya Asher pada Jordan yang duduk di sofa di dalam ruangan kerjanya. "Tidak ada, Tuan. Setelah meeting sore ini, semua jadwal pertemuan dilanjutkan besok," jawab Jordan. Asher mengangguk. "Oke. Hari ini aku akan pulang sendiri, kau lanjutkan beberapa pekerjaan yang tertunda," ujarnya beranjak dari duduknya. "Baik, Tuan." Jordan memperhatikan bosnya yang tidak biasanya pergi dengan terburu-buru seperti ini, apalagi tidak mau ditemani.Asher melangkah keluar dari dalam ruangan CEO, laki-laki berbalut tuxedo navy itu
Marsha berdiri di ambang pintu kamar Aleena dengan wajah memerah penuh amarah melihat Asher mencium Aleena. Kedatangan Marsha kali ini membuat Aleena sangat takut, ia berusaha mendorong Asher untuk menjauh darinya, namun laki-laki itu malah menatapnya lekat-lekat. "Ah, rupanya ada yang datang," ucap Asher seolah tak berdosa. Asher melirik ke arah Marsha berdiri. Setelah itu, barulah ia menegakkan tubuhnya dan memutar tubuhnya menatap ke arah istrinya yang menatapnya kesal. "Jadi begini kau di belakangku, Asher! Seperti ini?!" seru Marsha, ia berjalan mendekati Asher. "Kau pasti digoda oleh gadis itu, kan? Benar, kan?!" Marsha beralih menatap Aleena dengan tatapan tajam seolah siap menerkam. "Kau memang gadis tidak tahu diri, Aleena!" Saat Marsha hendak menerjang Aleena, dengan sigap Asher menghadang istrinya. Ia melindungi Aleena dari amukan Marsha. Aleena gemetar. Ia tahu ia salah, tapi Aleena juga sudah menolak, tapi nyatanya ... ia tetap tidak bisa melawan Asher dan berujung
Setelah kejadian tadi siang di sekolah, Aleena merasa bersyukur karena adanya Asher yang datang dan menolongnya. Meskipun Aleena juga penasaran, apa yang Asher datang ke sana?Pukul tujuh malam, Aleena baru saja sampai di paviliun. Ia bergegas membersihkan tubuhnya, kini Aleena tampak berdiri termenung dan murung di depan meja riasnya. Aleena mengembuskan napasnya berat. "Padahal aku sudah memutuskan untuk menjauhi Tuan Asher. Tetapi, kalau aku tidak berterima kasih untuk kejadian pagi tadi, rasanya sangat tidak sopan." Rasa ragu yang melanda membuat Aleena tenggelam dalam kegelisahan.Hingga suara pintu kamarnya yang terbuka, membuat Aleena menoleh dengan cepat.Aleena menegakkan tubuhnya, dengan wajah sayu ia menatap sosok Asher yang masuk ke dalam kamarnya. Laki-laki dengan setelan tuxedo hitam itu menutup pintu kamar dan melangkah mendekatinya. "Tuan A-Asher," lirih Aleena dengan wajah tegang. Asher berdiri tepat di hadapannya. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu menatapnya hi
Keesokan harinya, Aleena bersiap pergi pagi-pagi sekali. Setelah kejadian semalam, Aleena meneguhkan hatinya untuk tidak lagi bertemu Asher. Aleena akan mencoba menghindari laki-laki itu mulai hari ini. Bahkan pagi ini, Aleena keluar dari paviliun pukul enam. Dari paviliun ke gedung sekolah seni, Aleena berjalan kaki hingga hampir satu setengah jam lamanya. Setelah sampai di sekolah, Aleena ternyata sudah ditunggu oleh Madam Calister di depan ruangannya. "Selamat pagi, Ms. Aleena," sapa Madam Calister, wanita itu memperhatikan Aleena lekat-lekat dan tampak terkejut. "O-oh astaga, apa kau habis menangis?" Aleena tersenyum tipis dan menggeleng, ia menundukkan kepalanya cepat. Matanya memang membengkak pagi ini. Meski sudah ia tutupi dengan makeup, tapi rupanya itu tidak terlalu berhasil."Bu-bukan, Madam," jawab Aleena mengusap pipinya. Madam Calister mengusap pundak Aleena dengan lembut. "Oh, Ms. Aleena … kau pasti sangat kepikiran akan masalah ini ya,” ujarnya prihatin. Aleena t