Beberapa menit kemudian, Aleena sampai di rumah sakit. Pakaiannya basah kuyup, membuat tubuhnya menggigil. Namun, ia tidak peduli dengan kondisinya sendiri. Ia bergegas menemui Dokter Camael yang sudah menunggu kedatangannya. Dokter itu menjelaskan tentang kondisi Liam yang tiba-tiba saja drop hingga membuat Aleena panik. "Jangan khawatir, Nona, hal ini bisa terjadi karena kondisi Tuan Liam belum benar-benar pulih seratus persen. Semuanya butuh proses," ujar Dokter Camael yang duduk di hadapan Aleena. Wajah Aleena tertekuk sedih. "Jadi ... meskipun sudah operasi, Papa saya masih akan sering kambuh, dok?" "Benar, Nona. Tapi hanya untuk sementara saja, kalau kondisinya sudah stabil, maka tidak akan mudah kambuh lagi," jawab Dokter Camael tersenyum tipis. Aleena mengangguk paham. Panjang lebar dokter itu menjelaskan tentang perkembangan kondisi Papanya saat ini. Beberapa menit kemudian, barulah Aleena keluar dari dalam ruangan Dokter Camael. Meski sedikit lega karena dokter berka
Keesokan paginya, Aleena digaduhkan oleh suara Bibi Julien yang mengetuk pintu kamarnya dengan keras dan memanggil namanya berkali-kali. Aleena sampai terjingkat mendengarnya. Sepertinya, ada sesuatu yang serius sedang terjadi. "Selamat pagi, Nona Aleena ... apakah Nona sudah bangun?" pekiknya dari luar. “Nona, ada yang mau Bibi bicarakan!” "Iya, Bi, tunggu sebentar." Aleena yang sudah bangun dan bersiap sejak pagi tadi pun segera berjalan membuka pintu kamarnya. Tampak Bibi Julien dengan wajah paniknya berdiri di depan pintu. "Ada apa, Bi?" tanya Aleena bingung. "Itu Nona, di depan ada seorang gadis mencari Nona. Ia berkata masih ada hubungan keluarga Nona Aleena," jelas Bibi Julien. Keluarga? Apakah Aleena tidak salah dengar?Padahal Aleena hanya memiliki seorang ayah saja sebagai satu-satunya keluarga. "Aku akan keluar menemuinya sebentar, Bi," ujar Aleena. Ia langsung turun ke lantai satu. Di teras paviliun, Aleena melihat seorang gadis cantik berambut sebahu duduk di so
Setelah mendapatkan izin dari Marsha pagi tadi, Aleena menemui Madam Calister di gedung sekolah seni di kota Murniche. Kedatangan Aleena siang ini disambut dengan hangat oleh semua rekan-rekannya. Tentu saja, Aleena sangat merindukan mereka semua. "Kau ke mana saja, Aleena? Kenapa tidak pernah menampakkan diri selama beberapa bulan ini?" tanya Tuzet, wanita berambut pirang itu memeluknya erat. "Aleena hilang ditelan bumi!" Madam Calister, wanita berkulit hitam berkacamata itu tersenyum manis menatap Aleena. Aleena hanya bisa tersenyum, tidak bisa ia ungkapkan bagaimana senangnya ia bertemu dengan mereka lagi. "Maaf, aku tidak bisa memberikan kabar pada kalian semua. Tapi sekarang aku sudah kembali bergabung dengan kalian untuk mengajar di sini lagi," ujar gadis itu. "Kami sangat merindukanmu, Aleena ... senangnya kau kembali bergabung!" Gracie memeluk Aleena erat-erat. "Anak-anak kelas dua semua mencarimu, mereka bermalas-malasan selama tidak ada dirimu." "Oh, ya?" Aleena terke
Aleena menjalani hari-harinya seperti biasa. Sibuk dengan pekerjaan dan berkumpul dengan teman-teman mengajarnya di gedung seni. Sekarang ia sudah tidak lagi merasakan kejenuhan, terkurung dalam paviliun di kediaman Keluarga Benedict. Aleena tampak sibuk memasukkan semua barang-barangnya ke dalam tas sebelum ia beranjak pulang. "Aleena, aku punya sesuatu untukmu," ujar Grecia, mendekati meja Aleena dan meletakkan selembar kertas undangan pernikahan di meja Aleena. "Aku akan menikah tiga hari lagi. Jangan lupa datang ya, Al!" Grecia langsung melenggang meninggalkannya sebelum sahabatnya itu menjawab. Aleena meraih kertas berwarna merah muda itu dan membacanya sebentar. Undangan pernikahan itu ditatap cukup lama oleh Aleena, sebelum perasaan hampa kembali melandanya. Bayangan sebuah pernikahan indah, acara bahagia dengan laki-laki yang mencintainya setulus hati ….Namun sayangnya, itu semua hanyalah impian yang tak akan pernah tercapai. Kini, Aleena bahkan takut untuk sekedar memb
Aleena bungkam mendengar kata-kata menjijikkan yang keluar dari bibir Asher. Ia masih berdiri di tempatnya dengan kedua tangan yang terkepal kuat. Ternyata, Asher tak pernah lelah menghinanya. Kini Aleena lah yang lelah bersabar. Seiring waktu berjalan, bukannya berkurang, Asher ternyata semakin menjadi-jadi menghinanya. Sampai kapan ia akan membiarkan Asher memperlakukannya seperti ini? "Kenapa kau diam? Apa kau sadar, serendah itu dirimu?" Asher beranjak dan melangkah mendekatinya. Ia berdiri tepat di hadapan Aleena yang tanpa sadar sudah menitikkan air mata. Tatapan gadis itu begitu keras, tampak menahan kemarahan. Seandainya posisi dan derajat mereka sama, Aleena tidak akan ragu melayangkan tamparan keras atau cakaran di wajah sombong lelaki ini. Tapi, ia bukan siapa-siapa.Aleena berusaha meredam perasaan yang tak menentu di hatinya. Meski sedikit gemetar, ia lantas menatap Asher. "Tuan Asher," lirih Aleena menipiskan bibirnya geram. "Saya tidak peduli apapun yang Tuan pik
Setelah kembali dari kediaman utama, Aleena termenung di dalam kamar. Air menetes dari rambutnya yang ikut basah setelah ia membasuh wajah dengan air dingin. Gadis itu menekuk kedua lututnya dan meletakkan kepalanya di atas lipatan tangan. "Tuan Asher," lirihnya. Ia menelan ludah mengingat wajah marah Asher yang begitu jelas. "Apa yang membuatnya sangat benci padaku? Apakah aku memang begitu menjijikkan di matanya?"Aleena menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak yang menyesakkan dada. Sungguh, demi apapun, Aleena sangat membenci Asher. Laki-laki sombong, angkuh, dan tidak punya hati itu! Bahkan semua itu rasanya tidak cukup untuk mewakili betapa mengerikannya sosok Asher di mata Aleena. "Sekarang, apa yang harus aku lakukan?" lirih Aleena. Perasaannya diliputi rasa bingung yang membelenggu.Di tengah-tengah lamunan, Aleena yang memandang taman teras belakang dari balkon kamarnya, tidak sengaja menatap ke arah teras belakang kediaman utama. Di sana, ada Asher dan Marsha yang
Pagi ini, Marsha menemui Aleena di paviliun. Wanita berambut sepunggung itu sudah rapi dengan pakaian formal berwarna biru tua dan aksesoris mahal yang melekat di tubuhnya. Marsha duduk berhadapan dengan Aleena di ruang tamu paviliun."Aku akan pergi ke Pedonia selama beberapa hari, Aleena," ujarnya. "Selama aku pergi, jangan buang-buang waktumu." Mendengar hal itu, Aleena langsung meremas jemarinya. Ia tahu apa yang dimaksud oleh wanita itu. "Ba-baik, Nyonya." Marsha meletakkan cangkir teh madunya di atas meja dan kembali menatap Aleena. "Tidak ada tanda-tanda kehamilan darimu setelah malam yang kau habiskan dengan Asher. Tapi kali ini aku harap menjadi yang terakhir. Lakukan tugasmu dengan benar, aku tidak suka menunggu terlalu lama." Mudahnya Marsha mengatakan itu pada Aleena. Sedangkan Aleena masih merasa takut bila bayangan-bayangan yang terjadi antara ia dan Asher malam itu kembali muncul di benaknya. Teringat bagaimana buasnya Asher saat itu hingga membuat Aleena kewalah
Hujan turun sangat deras malam ini. Asher melangkah keluar dari dalam kediaman utama melewati taman samping rumah dan payung hitam yang ia pegang di tangan kanannya. Dengan wajah tampannya yang dingin, laki-laki berbalut kemeja putih dilapisi vest hitam itu melangkah masuk ke dalam paviliun tempat tinggal Aleena. Kedatangannya mengejutkan Bibi Julien yang baru saja turun dari anak tangga. "Tu-Tuan..." Bibi Julien membungkuk badannya cepat. "Di mana Aleena?" tanya Asher. "Nona ada di dalam kamarnya, Tuan. Baru saja saya mengantarkan susu untuk Nona," jawab Bibi Julien. Asher tidak berucap lagi, ia menaiki anak tangga sebelum menghentikan langkahnya sebentar. "Pergilah ke kediaman utama," ucap Asher dingin. Bibi Julien mengangguk. "Baik, Tuan." Asher kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar Aleena hingga ia sampai di depan kamar gadis itu. Sebuah gejolak aneh menjalar dalam dada Asher setiap kali ia melihat atau mendengar nama Aleena. Apalagi, sore tadi Asher tidak sengaja
Aleena terkejut mendengar apa yang Asher katakan barusan. Ia menatap benci pada laki-laki di depannya ini. Sungguh, mimpi terburuk baginya bisa melihat laki-laki ini lagi. Air mata Aleena tidak bisa berhenti, ia merangkulnya Theo yang kini memeluk kakinya. Anak itu menatap bingung apa yang terjadi pada dua orang dewasa ini. "Mama ... Mama kenapa menangis?" Theo mendongakkan kepalanya dan bertanya dengan wajah sedih. Aleena menundukkan kepalanya menatap Theo, ia tidak bisa berkata-kata saat menatap Theo. Kedua kaki Aleena terasa lemas, ia menekuk kedua lututnya dan memeluk Theo dengan sangat erat. Aleena menangis, tidak bisa ia tahan lagi. Tak peduli dengan Asher yang masih berdiri di hadapannya saat ini. Theo tampak bingung melihat Ibu gurunya itu manangis memeluknya. "Mama," lirih Theo memeluk Aleena. "Kenapa menangis? Siapa yang nakal? Papaku ya, yang nakal? Mau Theo pukul Papa?" tawarnya. Aleena membenamkan wajahnya di pundak kecil Theo. "Anakku," lirih Aleena histeris. "Aa
Aleena berangkat ke taman tempat ia biasanya membawa Theo. Bagaimanapun juga, Aleena tidak akan tega melihat anak itu menangis. Hingga beberapa menit kemudian, Aleena telah sampai di taman. Gadis itu berjalan masuk ke dalam area taman dan tampak mencari-cari. "Di mana Theo?" gumam Aleena lirih. Aleena menoleh ke kanan dan ke kiri, sampai akhirnya Aleena melihat anak kecil laki-laki duduk di bangku taman sendirian. Napas Aleena berembus lega, gadis itu segera bergegas mendekati Theo yang kini tidak menyadari kedatangannya. "Theo," sapa Aleena memanggil anak itu. Theo pun menoleh cepat, dia terkejut melihat Aleena berjalan ke arahnya. Ekspresi wajah Theo pun langsung menunjukkan kesedihan. "Ma...!" Anak itu berlari ke arahnya sambil merentangkan kedua tangannya. Segera Aleena memeluk anak itu dengan sangat erat. Theo menangis dalam pelukan Aleena. "Kenapa Mama tidak ke sekolah?" tanya anak itu sambil meletakkan kepalanya di pundak Aleena. "Theo tidak mau ke sekolah kalau Mama t
Liam sangat terkejut melihat kondisi Aleena yang pulang dari toko diantarkan oleh asistennya dengan keadaan cemas dan ketakutan. Kini, Aleena berdiam diri di dalam kamarnya. Ia duduk menekuk kedua lututnya dan memeluknya dengan erat sambil diam melamun jauh. Ditemani Papanya yang baru meletakkan segelas air putih di atas meja. "Nak, apa yang terjadi? Kenapa pulang-pulang menangis seperti ini? Cerita pada Papa," bujuk Liam menatap lekat putrinya. "Tidak apa-apa, Pa. Sepertinya ... aku hanya kelelahan saja," jawab Aleena lirih. "Sungguh? Kau tidak berbohong, kan, pada Papa?" Liam memastikan. Aleena menggeleng dan ia mencoba untuk tersenyum pada sang Papa. Papanya sudah tua, Aleena tidak mau mengatakan hal yang sebenarnya pada Papanya, ia takut bagaimana bila Papanya jatuh sakit karena ia. "Ya sudah, kalau begitu cepatlah istirahat. Besok tidak usah bekerja dulu, diam di rumah dan istirahat saja, mengerti!" Aleena mengangguk patuh. "Iya, Pa." "Hm. Sudah, Papa kembali ke lantai s
Saat hari sudah gelap, Asher meminta kedua ajudannya menjaga Theo di rumah. Putra kecilnya sibuk dan asik bermain, ia tidak mau ikut pergi ke luar bersama Asher. Sedangkan Marsha juga masih berada di rumah Asher dan menolak keras untuk pulang. Diam-diam malam ini Asher pergi ke toko mainan milik Liam Eston. Asher melihat seorang wanita cantik yang kini terlihat berada di dalam tempat itu. Aleena Pandora, tampak berdiri sendirian di dalam sebuah ruangan yang dipenuhi dengan mainan-mainan dan hiasan lampu natal yang menggantung-gantung, lampu yang bersinar terang membuatnya terlihat sangat cantik dari pantulan cahaya kuning ruangan itu. Asher menatapnya lekat dan dalam. "Aleena," ucapnya lirih. Perlahan, Asher meraih sebuah buket Peony di bangku kemudi sampingnya. Asher bergegas turun dari dalam mobil. Ia berjalan masuk ke dalam toko dan kedatangannya di sambut oleh salah seorang karyawan perempuan. "Selamat datang di Prayola Toy store, Tuan..." Asher menatap wanita itu dan menga
Pukul tiga sore, Asher mendapatkan telfon dari guru yang menjaga Theo untuk menjemputnya di sebuah taman bermain di tengah-tengah kota Lamberg. Asher segera berangkat bersama dengan Stefan, bersamaan dengannya pulang sore ini. Sepanjang perjalanan, Asher tidak bisa tenang, ia terus memikirkan Aleena. Bagaimana bisa Asher tidak menemui wanita itu, sanggupkah ia bila melihat Aleena lalu tidak memeluknya setelah lima tahun kerinduan di dalam hatinya menyiksa begitu kejam. "Kita sudah sampai, Tuan," ujar Stefan menghentikan mobilnya. Lamunan Asher buyar, laki-laki itu menyergah napasnya pelan dan saat ia hendak membuka pintu mobil, Asher melihat seorang wanita cantik berjalan dengan Theo. Wanita berkulit putih, bertubuh ramping dengan balutan dress biru muda, dan rambut panjangnya yang diikat, mereka tampak tertawa bersama duduk di atas rerumputan taman. Wanita cantik itu tengah membawakan cup es krim yang sesekali ia suapkan pada Theo. Senyuman wanita itu, raut wajah cantiknya ...
Jam menunjukkan pukul sebelas siang, Theo terlihat duduk di bangku depan sekolah menunggu pengasuh yang akan datang menjemputnya. Dari jauh, Aleena memperhatikan anak itu. Sebenarnya, tak cukup bagi Aleena untuk hanya bertemu dengan Theo di sekolah saja. Apalagi ... sejak anak itu memanggilnya dengan panggilan 'Mama'. Aleena merasa ingin terus berada di dekatnya. "Ms. Aleena," sapa Ms. Ambeer mendekatinya. "Ya, Ms. Ambeer?" Aleena menoleh dan menatap rekannya tersebut. "Saya pikir Ms. Aleena sudah pulang. Ternyata masih di sini," ujarnya. "Iya. Saya masih memperhatikan Theo. Kasihan, dia sendirian belum ada jemputan," jawab Aleena menatap Theo di depan sana. "Orang tuanya pasti sebentar lagi akan datang," ujar Ms. Ambeer. Aleena mengangguk. "Iya, Ms." "Kalau begitu, saya duluan ya ... saya ada acara sebentar lagi. Aleena hanya memberikan jawaban dengan anggukan dan senyuman di bibirnya. Sebelum akhirnya Ambeer bergegas pergi. Setelah itu, Aleena kembali mendekati Theo. Anak
Keesokan paginya, Theo bersiap berangkat ke sekolah. Kali ini, Asher lah yang mengantarkan Theo ke sekolah. Dengan seragam berwarna putih dan biru muda di bagian blazer dan celana pendeknya, Theo tampak cerah berseri-seri bersemangat bertemu teman-temannya. "Jangan nakal di sekolah ya, Sayang," ujar Asher menekuk kedua lututnya di hadapan Theo. Kedua tangannya memegang pundak kecil Theo dengan hangat. "Pulang nanti, Nanny Kara akan menjemput Theo. Jadi, jangan pulang sebelum Nanny sampai ke sini, paham?" Theo mengangguk. "Paham, Papa." "Bagus, anak pinta." Asher mengusap gemas pucuk kepala Theo. "Ayo, kecup Papa dulu..." Anak itu terkikik geli, ia membubuhkan kecupan di pipi Asher hingga berkali-kali. Asher tersenyum dengan keceriaan di kecil. "Nanti kalau Papa pulang, Theo mau makan pizza, belikan Theo pizza yang banyak!" serunya sambil mengulurkan tangannya. "Iya, Sayang. Nanti Papa belikan. Asal Theo sekolah yang pintar," jawab Asher. Anak itu mengacungkan jempolnya. Theo p
Asher masih tertegun di tempatnya setelah melihat seorang wanita cantik yang benar-benar sangat mirip dengan Aleena. Bedanya, dia sangat berkelas dan jauh dari kata sederhana seperti Aleena. Dengan raut wajah tegang dan gemetar tak percaya, Asher berusaha untuk meyakinkan. "Aku akan menemui wanita itu dan memastikannya," ucap Asher penuh keseriusan. Saat Asher hendak mendekati ruangan tempat wanita tadi masuk, tiba-tiba Asher mendengar suara Theo memanggilnya. "Papa...!" teriakan Theo menghentikan langkah Asher. Putra kecilnya itu berlari sambil membawa sebuah kotak mainan berukuran besar. Dengan wajah berseri-seri, Theo menunjukkannya pada Asher. "Papa lihat, Theo mau beli kereta yang ini!" seru Theo tersenyum cerah sambil lompat-lompat kesenangan menunjukkan mainannya pada Asher. Asher menoleh ke belakang, ke arah ruangan di mana wanita yang mirip dengan Aleena tadi masuk. Asher tidak bisa mengabaikan Theo, ia menatap putranya dan tersenyum manis. "Hanya kereta saja, Sayan
Asher terdiam di dalam ruangan kerjanya yang sunyi. Cahaya temaram memenuhi ruangan itu. Asher meletakkan ponsel di tangannya dengan ekspresi wajah yang tegang dan jemari tangannya terasa dingin. Siang dan malam, dua kali Asher mendengar suara seorang wanita yang hampir mirip dengan suara istrinya. Suara Aleena ... dan wanita itu adalah guru di sekolah Theo. Mana mungkin? Asher memijit pangkal hidungnya. "Ya Tuhan ... kenapa aku berasumsi yang tidak-tidak," ucapnya lirih. Laki-laki itu kembali menatap ponselnya. "Tidak mungkin dia Aleena ... sungguh, benar-benar tidak mungkin!" Asher memejamkan kedua matanya erat. Laki-laki itu duduk bersandar dan mendongakkan kepalanya. Asher kembali memikirkan apa yang dikatakan oleh guru di sekolah Theo yang menelfonnya beberapa menit yang lalu. Perlahan, Asher membuka kedua matanya dan menatap langit-langit ruangan kerjanya. "Marsha ... memarahi Theo," gumamnya. "Theo kenapa tidak mengatakan apapun padaku? Dan ... mana mungkin guru itu berb