Pagi ini, Marsha menemui Aleena di paviliun. Wanita berambut sepunggung itu sudah rapi dengan pakaian formal berwarna biru tua dan aksesoris mahal yang melekat di tubuhnya. Marsha duduk berhadapan dengan Aleena di ruang tamu paviliun."Aku akan pergi ke Pedonia selama beberapa hari, Aleena," ujarnya. "Selama aku pergi, jangan buang-buang waktumu." Mendengar hal itu, Aleena langsung meremas jemarinya. Ia tahu apa yang dimaksud oleh wanita itu. "Ba-baik, Nyonya." Marsha meletakkan cangkir teh madunya di atas meja dan kembali menatap Aleena. "Tidak ada tanda-tanda kehamilan darimu setelah malam yang kau habiskan dengan Asher. Tapi kali ini aku harap menjadi yang terakhir. Lakukan tugasmu dengan benar, aku tidak suka menunggu terlalu lama." Mudahnya Marsha mengatakan itu pada Aleena. Sedangkan Aleena masih merasa takut bila bayangan-bayangan yang terjadi antara ia dan Asher malam itu kembali muncul di benaknya. Teringat bagaimana buasnya Asher saat itu hingga membuat Aleena kewalah
Hujan turun sangat deras malam ini. Asher melangkah keluar dari dalam kediaman utama melewati taman samping rumah dan payung hitam yang ia pegang di tangan kanannya. Dengan wajah tampannya yang dingin, laki-laki berbalut kemeja putih dilapisi vest hitam itu melangkah masuk ke dalam paviliun tempat tinggal Aleena. Kedatangannya mengejutkan Bibi Julien yang baru saja turun dari anak tangga. "Tu-Tuan..." Bibi Julien membungkuk badannya cepat. "Di mana Aleena?" tanya Asher. "Nona ada di dalam kamarnya, Tuan. Baru saja saya mengantarkan susu untuk Nona," jawab Bibi Julien. Asher tidak berucap lagi, ia menaiki anak tangga sebelum menghentikan langkahnya sebentar. "Pergilah ke kediaman utama," ucap Asher dingin. Bibi Julien mengangguk. "Baik, Tuan." Asher kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar Aleena hingga ia sampai di depan kamar gadis itu. Sebuah gejolak aneh menjalar dalam dada Asher setiap kali ia melihat atau mendengar nama Aleena. Apalagi, sore tadi Asher tidak sengaja
Setelah kejadian dipermalukan oleh Asher, Aleena tidak menampakkan dirinya selama dua hari terakhir. Ia mencari banyak cara untuk melupakan kejadian memalukan itu. Malam ini Aleena mendatangi acara pernikahan sahabatnya yang digelar di sebuah hotel berbintang yang ada di tengah kota Murniche. Pesta yang sangat meriah dan semua teman Aleena juga berada di sana. Namun, sejak tadi Aleena dipaksa oleh Grecia untuk meminum sebuah minuman hingga membuat Aleena merasa kepalanya pusing. "Aduh ... kenapa kepalaku rasanya seperti diputar-putar begini?" rintih Aleena. "Apa aku bisa sampai di paviliun dengan selamat malam ini?" Gadis dengan balutan dress merah marun itu berjalan sempoyongan di lorong hotel. Ini kali pertama Aleena mabuk, karena Aleena tidak pernah minum alkohol sebelum ini."Apa jadinya kalau aku pulang ... laki-laki menyebalkan itu pasti akan menghinaku lagi! Huh, aku tidak sudi melihat wajah Asher Benedict yang sombong itu!"Di tengah racauannya yang tak karuan, tiba-tiba
"Engh…." Lenguhan terdengar dari bibir Aleena. Gadis itu merasakan sesuatu yang berat melilit pinggangnya, sebuah pelukan yang begitu erat dan hangat. Aleena membuka kedua matanya perlahan, tubuhnya terasa begitu lemas dan lelah tak bertenaga. Namun, tiba-tiba Aleena tersentak saat kesadarannya penuh, dan ia menyadari kini ia tidak berada di dalam kamarnya, bahkan pakaiannya terlihat berserakan di lantai. "Astaga!" Aleena menutup mulutnya. "A-apa yang terjadi—ahh…." Aleena memekik pelan merasakan kebas dan sakit di tubuhnya. Gadis itu menoleh ke belakang, kedua matanya terbeliak menatap sosok Asher Benedict yang ternyata tidur di sampingnya. Mereka berdua berada di bawah selimut yang sama tanpa sehelai pakaian pun. Perlahan, Aleena menyingkirkan lengan Asher yang melilit pinggangnya. Namun, rengkuhan itu justru bertambah erat. "Mau ke mana?" Suara Asher terdengar serak. Kedua matanya terbuka dan mereka saling bertatapan. Gemetar sekujur tubuh Aleena saat laki-laki itu menatapny
Hari ini, kediaman utama kedatangan Mamanya Asher yang mampir berkunjung. Wanita tua berpakaian glamor itu duduk bersama Asher di ruang tamu. Seperti biasa, Camelia datang tanpa mengabari Asher lebih dulu. Terlebih lagi saat ini Marsha juga belum pulang dari bepergiannya. "Kenapa rumahmu sepi sekali, di mana istrimu, Asher?" tanya Camelia sembari membuka kipas kain di tangannya. "Marsha sedang pergi ke luar kota karena urusan bisnis, Ma," jawab Asher tenang. Camelia berdecih bosan. "Selalu saja istrimu itu. Bisnis, bisnis, bisnis ... dia sama sekali tidak menghormatimu sebagai suami! Bodohnya kau diam saja!" Asher tidak menjawab gerutuan Mamanya, ia tidak mau kedatangan Mamanya ke sini hanya untuk membuat keributan dan pertengkaran saja dengannya. Aleena muncul dari arah dapur membawa sebuah nampan berisi teko kaca kecil dan dua cangkir. Karena dua pelayan sedang libur dan Bibi Julien tengah pergi berbelanja, maka Aleena lah yang diperintah oleh Asher untuk menyajikan minuman d
Setelah pergi ke luar kota selama beberapa hari, pagi ini Marsha kembali.Wanita itu diantarkan oleh seorang laki-laki yang terlihat begitu akrab dengannya. Asher memperhatikan mereka dari arah teras depan, hingga mobil yang mengantarkan istrinya pergi."Siapa yang mengantarmu?" tanya Asher begitu Marsha berada tak jauh darinya. "Dia Celven, teman sekaligus rekanku," jawab Marsha ringan. Begitu saja, Marsha langsung masuk ke dalam rumah tanpa basa-basi terlebih dahulu. Padahal mereka sudah beberapa hari tidak bertemu.Asher merasa tidak senang dengan hal itu. Beberapa saat yang lalu, Marsha tampak begitu ceria bersama rekannya tadi. Tapi mengapa ia begitu dingin pada suaminya sendiri?Asher tahu, mungkin istrinya lelah habis perjalanan bisnis beberapa hari. Dan wajar pula apabila seorang rekan mengantarnya pulang. Tetapi biar bagaimanapun, Asher adalah seorang suami. Layak saja dia punya perasaan ini, bukan?Asher masuk ke dalam rumah mengikuti istrinya yang berjalan membawa koper.
Keesokan harinya, Aleena dan Marsha benar-benar pergi ke rumah sakit. Seperti yang Marsha katakan kemarin, wanita itu ingin memeriksakan kondisi Aleena lagi. Saat diperiksa, Aleena tak henti-hentinya berdoa semoga tidak terjadi hal buruk pada dirinya. "Bagaimana, dok? Apa ada hal buruk yang terjadi dengan saya?" tanya Aleena setelah diperiksa. Dokter perempuan itu menggeleng. "Tidak, Nyonya. Semuanya sehat dan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," jawabnya. Marsha yang berdiri di belakang dokter pun memicingkan matanya pada Aleena. "Jadi ... apakah adik saya bisa segera hamil, dok?" tanya Marsha menyahut. Dokter mengangguk. "Tentu saja bisa, rahim Nyonya Aleena juga bagus dan subur," ujarnya. "Melihat hasil pemeriksaannya, tidak ada yang dikhawatirkan. Pasti dalam waktu dekat, Nyonya Aleena bisa segera hamil." Mendengar penjelasan dari dokter barusan, entah kenapa Aleena merasa lega. Aleena berharap, dalam waktu dekat ini Tuhan benar-benar mempercayainya dengan m
Berada satu mobil dengan Asher membuat Aleena berdebar-debar. Apalagi ia masuk ke dalam mobil tanpa komando karena ingin melarikan diri dari Carl. Asher menoleh pada Aleena yang tampak diam dengan wajah tegang. Batinnya terkekeh, untuk kesekian kalinya Asher melihat tingkah konyol Aleena. "Kenapa kau malah masuk ke dalam mobilku? Bukannya lelakimu itu berniat mengajakmu pergi?" tanya Asher memecah keheningan. Aleena menggigit bibir bawahnya mendengar pertanyaan Asher. "Sa-saya—""Apa kau sedang berusaha agar aku tidak berasumsi buruk padamu?" sela Asher dengan cepat. “Padahal aku berhenti tadi hanya ingin menjawab sebuah telepon, tapi rupanya malah ada seseorang yang menumpang sembarangan.” Aleena menggeleng cepat, wajahnya mendadak terasa panas. "Tidak Tuan, sa-saya memang ingin pulang dengan Tuan." Asher mendengus mendengar jawaban Aleena. Meski sebenarnya, ia tidak merasa keberatan untuk pulang bersama gadis itu.Asher melirik Aleena yang memeluk buku-bukunya dengan sangat era
Puas berputar-putar mengelilingi kota dengan bus kota sambil menikmati hujan salju yang turun malam ini. Arabelle dan Theo bernostalgia mengenang masa kecil mereka saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak saat bus melewati sekolah mereka. "Kau sudah pamit pada Ayahmu kalau akan pulang terlambat?" tanya Theo menatap Arabelle. Gadis cantik itu mengangguk. "Iya, Kak. Aku sudah pamit," jawabnya. "Baguslah." Theo mengusap pucuk kepala Arabelle. Arabelle duduk diam menatap salju yang turun, gadis itu menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Sedangkan Theo merangkulnya dengan satu lengannya. Mereka sama-sama menatap hujan salju di luar yang sangat indah malam ini. "Kak Theo, aku ingin mengatakan sesuatu," ujar Arabelle menoleh menatap Theo. "Sesuatu apa?" Theo menaikkan kedua alisnya. "Emm ... besok Kak Theo tanding basket, kan?" cicitnya. "Hm." Theo bergumam, ia masih terus menatap wajah cantik Arabelle. "Kenapa?" "Mungkin aku tidak bisa datang," ucap Arabelle jujur. "Besok pagi
Satu Minggu kemudian.Arabelle tampak murung siang ini di sekolah. Gadis itu menatap ke arah jendela luar di sekolahnya. Pandangan mata Arabelle sudah pulih, meskipun ia tidak bisa memandang jarak jauh, namun setidaknya Arabelle sudah bisa menatap sesuatu di dekatnya. "Arabelle, hmm ... kau kenapa diam saja? Ayo, kita ke super market di depan, kita beli cemil," ajak Vivian menarik lengan Arabelle. "Uang sakuku tertinggal di kamar, Vian," jawab Arabelle menatap Vivian. "Yahh, bagaimana bisa?" Vivian mengerjapkan kedua matanya. "Pakai uangku saja, ayolah..." Arabelle mendengus pelan. Mau tidak mau Vivian sudah menarik lengannya lebih dulu. Arabelle pun ikut beranjak dari duduknya. Gadis itu merapatkan kembali jaket seragam berwarna biru dan putih yang ia pakai kini. Kedua gadis itu berjalan di taman sekolah. "Huhh ... hari ini sangat dingin, Arabelle. Semoga malam ini saljunya turun, besok ada pertandingan basket anak-anak kelas sebelas. Aku akan berangkat dan membawa banner yang
Sekolah pulang pukul sembilan, itu terlalu pagi untuk bersantai-santai di rumah. Theo pun berkumpul dengan teman-temannya di warung belakang sekolah. Semua teman-temannya berada di sana. Tetapi Theo sedang menyusul Arabelle di sekolah, ia mengajak gadis itu ikut dengannya dulu, karena Ayahnya belum bisa menjemputnya. "Si Bos ke mana?" tanya Gerald sambil mengambil gitarnya di atas kursi. "Tuh, lagi jemput Arabelle," jawab Vero. "Tidak menyangka ya, cowok ajaib seperti Theo setia sama satu cewek," ujar Adam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dari bayi lagi!" sahut Gery. Semua teman-temannya pun tertawa mendengar hal itu. Hingga kini Theo melangkah masuk ke dalam tempat itu bersama dengan Arabelle. Tampak Ibu pemilik warung tersenyum saat melihat Theo bersama Arabelle ke sana. "Diajak duduk di dalam saja, Theo. Kasihan kalau di luar panas," ujar wanita itu. "Iya, Bu." Theo mengangguk. Arabelle duduk di sebuah bangku, dia terus memegangi lengan Theo karena gadis itu tidak
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah seperti biasa. Gadis itu datang lebih pagi kali ini. Di depan pintu gerbang, Vivian sudah menunggu Arabelle. "Arabelle ... hai!" pekik Vivian langsung memeluknya, tampaknya gadis itu sangat kegirangan pagi ini. Arabelle menyipitkan kedua matanya. "Hemm, ada apa ini? Rasa-rasanya bahagia sekali," ujar gadis itu pada temannya. "Iya! Aku sangat senang sekali!" seru Vivian menganggukkan kepalanya penuh antusias. "Ada apa, Vian? Tidak mau bilang-bilang sama Arabelle?" tanya Arabelle sambil berjalan dengan bantuan Vivian yang memeluk lengannya. "Iya, aku akan memberitahumu. Tapi jangan kaget, ya," ujar Vivian. "Oke, siap!" Arabelle mengangguk patuh. Vivian pun menarik pundak Arabelle dan ia membisikkan sesuatu pada Arabelle saat itu juga. Sampai tiba-tiba langkah Arabelle terhenti, gadis itu terdiam mematung seketika. Ekspresi Arabelle sontak membuat Vivian tertawa terpingkal-pingkal."Vian!" pekik Arabelle. "Iya. Aku dan si Dugong sudah
Arabelle dan sang Ayah kini pergi ke rumah sakit ibu kota. Hari ini adalah jadwal Arabelle untuk cek up terkait kondisi kesehatannya. Bersama Jordan yang selalu menemaninya, Arabelle tampak duduk di samping sang Ayah yang kini menunggu hasil pemeriksaan oleh dokter. "Ayah, Ara pasti sembuh, kan?" bisik Arabelle memeluk lengan sang Ayah. Jordan menoleh dan tersenyum, laki-laki itu mengecup pucuk kepala putri kesayangannya. "Pasti, Nak. Ayah akan mengusahakan yang terbaik untuk anak Ayah," jawab Jordan. "Kalau biayanya mahal, bagaimana, Ayah?" tanya gadis itu. "Biar saja meskipun Ayah harus menjual ginjal asal anak Ayah sembuh," jawab Jordan. Kedua mata Arabelle membola. "A-Ayah tidak menjual ginjal, kan?" pekik gadis itu. Jordan tertawa pelan. "Tentu saja tidak, Sayang. Uang Ayah sangat banyak, jangan khawatir. Bahkan Ayah bisa membeli rumah sakit ini." Arabelle langsung terkikik geli. "Ayah tahu tidak, nanti kalau Arabelle sudah lulus sekolah, Arabelle ingin meneruskan ke per
Cahaya matahari berwarna jingga sore ini. Arabelle ditemani Theo berdua di depan gerbang sekolah menunggu Ayah gadis menjemputnya. Theo yang masih ada jadwal latihan basket pun belum diperbolehkan pulang. Dan ia menemani Arabelle di sana. "Kenapa Ayah lama sekali?" gerutu Arabelle meremas tongkat di tangannya. "Mungkin masih di kantor," jawab Theo. "Pasti sekarang sudah di perjalanan. Papa paham kalau Ayahmu sekarang tidak bisa bekerja full seperti dulu." "Om Asher tidak marah kan, Kak?" tanya Arabelle. "Tentu saja tidak." Theo tersenyum dan mengusap pucuk kepala Arabelle dengan lembut. Arabelle pun juga tersenyum. Gadis itu memeluk satu lengan Theo dan menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Dari dalam gerbang sekolah, muncul seorang siswa membawa sebuah motor sport sama seperti milik Theo dan dia berhenti di depan gerbang menoleh ke arah Theo dan Arabelle. "Sedang apa berduaan di sini?" tanyanya pada mereka berdua. "Mau apa? Kau tidak terima? Atau iri?!" seru Theo tanpa sung
Saat jam istirahat, Arabelle berada di dalam kelas sendirian. Gadis itu duduk diam dan mendengarkan materi listening yang Mr. Diana berikan padanya tadi. Berkali-kali Arabelle mendengarkannya. Sampai tiba-tiba saja gadis itu tersentak saat seseorang menempelkan susu kotak dingin di pipinya. "Aduh, ya ampun..." Arabelle terperanjat. Suara kekehan terdengar begitu renyah dan manis. Arabelle terdiam sejenak, suara itu bukanlah suara Theo, tetapi suara Harvey. Arabelle tersenyum tipis menyadari keberadaan Harvey di sana. "Selamat datang lagi di sekolah, Arabelle," ucap Harvey mengusap pucuk kepala Arabelle. "Kak Harvey, aku pikir siapa..." "Pasti kau pikir Theo, kan?" tanyanya. "Heem." Arabelle langsung mengangguk. Harvey meraih satu bangku dan duduk di sana. Laki-laki itu menatap wajah Arabelle yang tampak semakin putih, bersih, dan cantik setelah beberapa minggu Arabelle tidak pergi ke sekolah. Bagaimanapun juga, Harvey sangat menyukai gadis ini meskipun ia tahu kalau Arabelle
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle bersekolah setelah sempat beberapa Minggu gadis itu tidak hadir ke sekolah. Arabelle datang bersama dengan Ayahnya. Guru-guru pun tampak senang Arabelle sudah kembali bersekolah, terlebih lagi saat ini kepala sekolah di tempat itu sudah diganti dan murid yang merundung Arabelle pun juga sudah dikeluarkan dari sekolah."Ara, nanti kalau pulang sekolah jangan akal-akalan pulang sendirian, oke!" Jordan menatap putrinya yang berdiri di depan pintu kelas. Arabelle mengangguk. "Iya, Ayah. Siap!" Jordan beralih menatap Vivian yang ada di samping Arabelle. "Vian, tolong bantu Arabelle, ya, Nak," ujar Jordan pada gadis berambut sepundak itu. "Iya, Om. Jangan khawatir, saya pasti akan membantu Arabelle. Om tidak perlu cemas, sekali ada saya, semuanya aman!" seru Vivian memeluk Arabelle dan tersenyum gemas. Jordan pun ikut tersenyum, laki-laki itu merasa lega saat melihat putrinya sudah kembali tersenyum manis bersama teman-temannya. "Kalau begitu, A
Kedatangan Arabelle membuat Theo dan kedua adiknya tampak begitu senang. Gadis itu datang tanpa mengabari Theo lebih dulu. Theo juga langsung mendekati Arabelle yang tengah bersama dengan Ayahnya dan juga bersama kedua orang tua Theo. Tatapan Jordan menajam pada Theo saat pemuda itu mendekat. "Kenapa ada acara tidak bilang-bilang pada Paman?! Sengaja tidak mengundang Paman?!" seru Jordan pada Theo. Theo terkekeh geli. "Tidak begitu, Paman..." Pemuda itu mendekati Arabelle yang duduk di samping Leo dan Lea, juga Vivian di sana. Theo duduk di samping Leo dan merangkul Arabelle dari belakang. "Kau mengajak Ayah ke sini?" tanya Theo pada Arabelle. Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Kak." Theo menghela napasnya pelan. "Padahal aku tadi sempat berpikir mau ke sana setelah membantu anak-anak membakar ikan. Aku terus kepikiran dirimu, Ra. Hanya kau saja yang tidak ada di sini." "Tidak apa-apa, Kak. Ini Ara sudah di sini." Theo tersenyum mengusap pucuk kepala Arabelle. "Heem,