Berada satu mobil dengan Asher membuat Aleena berdebar-debar. Apalagi ia masuk ke dalam mobil tanpa komando karena ingin melarikan diri dari Carl. Asher menoleh pada Aleena yang tampak diam dengan wajah tegang. Batinnya terkekeh, untuk kesekian kalinya Asher melihat tingkah konyol Aleena. "Kenapa kau malah masuk ke dalam mobilku? Bukannya lelakimu itu berniat mengajakmu pergi?" tanya Asher memecah keheningan. Aleena menggigit bibir bawahnya mendengar pertanyaan Asher. "Sa-saya—""Apa kau sedang berusaha agar aku tidak berasumsi buruk padamu?" sela Asher dengan cepat. “Padahal aku berhenti tadi hanya ingin menjawab sebuah telepon, tapi rupanya malah ada seseorang yang menumpang sembarangan.” Aleena menggeleng cepat, wajahnya mendadak terasa panas. "Tidak Tuan, sa-saya memang ingin pulang dengan Tuan." Asher mendengus mendengar jawaban Aleena. Meski sebenarnya, ia tidak merasa keberatan untuk pulang bersama gadis itu.Asher melirik Aleena yang memeluk buku-bukunya dengan sangat era
'Nona, Nyonya Marsha berpesan pada saya untuk menyampaikan pada Nona, kalau malam ini beliau mengundang Nona untuk acara makan malam bersama di luar. Nona wajib datang.' Aleena mengembuskan napasnya panjang sambil mencengkeram gagang payung hitam yang ia bawa.Ia berjalan menembus hujan untuk datang ke sebuah restoran mewah tempat di mana Marsha mengundangnya untuk makan malam. "Meskipun firasatku terasa buruk, tetapi aku harus masuk ke dalam tempat itu," gumam Aleena, ia menatap rumah makan megah di depan sana. Gadis itu menutup payungnya yang basah dan menaruhnya di luar. Aleena berjalan memasuki restoran. Ia melihat ada Marsha dan Asher yang sudah sampai di sana lebih dulu. Aleena mendekati mereka dan menundukkan kepalanya. "Selamat malam, Nyonya, Tuan. Ma-maaf, saya datang terlambat," ucapnya. Marsha hanya tersenyum tipis. "Tidak masalah. Memang di luar sedang hujan, kan?" jawabnya. "Silakan duduk, Aleena." Perlahan, Aleena menarik satu kursi dan duduk berhadapan dengan Ashe
Sesampainya di rumah setelah acara makan malam, Asher dibuat tidak tenang karena meninggalkan Aleena sendiri di restoran tadi. Apalagi, malam ini turun sangat deras dan angin yang berhembus cukup kencang. Pikiran Asher berlarian ke mana-mana, mungkin ia mengakui kali ini ia mencemaskan Aleena. "Ke mana gadis itu?" gumam Asher, panik sendiri. "Sudah pukul sebelas malam dan dia belum kembali!" Laki-laki itu melihat Bibi Julien yang mondar-mandir di teras menunggu kepulangan Aleena. Asher berdecak kesal, ia terus berperang dengan pikirannya sendiri. "Sial!" umpat Asher putus asa.Tak lama kemudian, Asher terkejut melihat seorang gadis dengan balutan mantel hangat merah muda berjalan masuk ke dalam pekarangan rumahnya, sekujur tubuhnya basah kuyup kehujanan. Asher tercenung di tempat. Di luar dugaannya, gadis itu benar-benar kembali dalam keadaan basah kuyup dan berjalan kaki. 'Aleena Pandora ... kau sudah banyak mengejutkanku dengan tingkahmu!' batin Asher masih terus memperhatika
Dokter Reigen datang ke paviliun depan untuk memeriksa kondisi Aleena yang kini tengah demam tinggi. Bibi Julien yang berjalan di belakang, mengajak Dokter Reigen masuk ke dalam kamar Aleena untuk segera memeriksa dan memberikan obat pada nonanya. Dengan sopan, Bibi Julien mendekati Aleena dan mengusap lengannya perlahan-lahan. "Nona Aleena, ada Dokter Reigen di sini. Nona akan diperiksa sebentar," ujar Bibi Julien membangunkannya. Gadis itu membuka kedua matanya yang terasa berat. "Iya, Bi, kepalaku sangat pusing." Dokter pun mendekati Aleena. "Permisi, Nona," ucapnya dengan sopan. Aleena mengerjapkan kedua matanya saat dokter mulai memeriksanya dengan hati-hati. "Demamnya memang sangat tinggi, jadi tidak kaget kalau merasa sangat pusing. Tapi Nona jangan khawatir, saya akan resepkan obatnya," ujar dokter itu, ia kembali melirik Aleena yang juga tampak flu. "Apa Nona baru-baru ini kehujanan?" "Iya dok, semalam saya kehujanan," jawab gadis itu dengan suaranya yang serak. "Ya,
Hari telah berubah gelap, Asher baru saja kembali dari kantor. Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam rumah sembari menyampirkan tuxedo navy miliknya di lengan kirinya. Begitu Asher masuk ke dalam rumah, suasana yang pertama kali menyambutnya adalah kesunyian. Hanya ada satu pelayan di sana. "Apa istriku belum pulang?" tanya Asher pada wanita setengah baya yang kini menyuguhkan secangkir teh padanya. "Sore tadi Nyonya sudah pulang, Tuan. Tapi tidak lama, Nyonya pergi lagi," jawab wanita itu menundukkan kepalanya. Asher berdecak seketika, laki-laki itu sudah menduga kalau Marsha memang tidak betah di rumah. Meskipun seharian penuh istrinya berada di kantor, namun malam harinya Marsha masih jarang di rumah. Selain ada acara arisan sosialita dengan teman-temannya, pasti ada urusan lainnya yang tidak Asher ketahui. "Apa perlu saya siapkan makan malam untuk Tuan?" tawar pelayan itu. "Tidak. Aku tidak lapar," jawabnya. Laki-laki itu beranjak dari duduknya saat itu juga. Asher berjala
Seharian Marsha menunggu suaminya kembali dari kantor. Wanita itu menahan kekesalan yang mendalam pada Asher sejak pagi tadi. Sore hari saat Asher akhirnya pulang, Marsha langsung mendekatinya yang baru saja duduk di sofa dengan wajah lelah. "Selamat sore, Sayang," sapa Asher mentapnya sambil tersenyum manis. "Hm," jawab Marsha bergumam pelan, tampak tidak tertarik sedikit pun. "Ada yang ingin aku tanyakan padamu."Kening Asher sedikit mengerut. "Katakan, ada apa?" Marsha menarik napasnya panjang dan maju satu langkah menatap kesal suaminya. "Apa kau yang memanggil dokter ke sini untuk memeriksa Aleena?" tanya Marsha dengan nada menuntut. "Katakan dengan jujur, apa kau sekarang benar-benar yang mulai perhatian dengan gadis itu?" Wajah Asher yang mulanya tenang, kini terlihat sedikit demi sedikit mulai mengeruh karena ucapan istrinya.Laki-laki itu berdecak, lalu membuang muka dan memijit pangkal hidungnya dengan perasaan kesal. Lelah di tubuhnya masih belum berkurang sedikit pun
Hingga larut malam, Marsha belum juga kembali. Wanita itu mengirimkan pesan pada Asher untuk tidak mencarinya, karena Marsha ingin menenangkan diri. Sebelum Marsha meninggalkan rumah, Asher sempat melihat sosok Aleena yang entah sejak kapan berdiri di depan rumahnya saat ia ribut dengan Marsha.Asher memutuskan untuk datang paviliun menemui Aleena. Gadis cantik dengan balutan gaun tidur putih panjang itu, duduk di sebuah sofa yang berada di lantai dua paviliun. Aleena duduk melamun dan sedih. "Aleena," panggil Asher dengan suara dingin. Mendengar namanya dipanggil, Aleena menoleh cepat dan terkejut melihat kedatangan Asher secara tiba-tiba di malam-malam seperti ini. "Tu-Tuan Asher…."Aleena langsung beranjak dari duduknya dan mengusap air matanya cepat. Asher melangkah mendekati Aleena, menatap wajah kecilnya yang tampak sembab dan sedih. Sorot matanya terlihat antara ragu dan was-was hingga terasa jelas perasaan takut Aleena hanya dengan memandangnya. "Tidak perlu memasang eks
Malam ini, lagi-lagi Asher tidak mendapati istrinya di rumah. Untuk kesekian kalinya ia pulang ke rumah dalam keadaan sepi dan tidak ada sambutan apapun. Setelah pertengkaran kemarin, Asher mencoba membujuk istrinya. Ia berupaya memperbaiki hubungannya. Namun, ternyata Marsha masih tidak bisa mengerti perasaannya."Mau sampai kapan kita akan terus seperti ini, Marsha?" dengus Asher, ia menyergah napasnya panjang. Asher beranjak dari duduknya saat itu juga. Rumahnya terasa sepi dan membosankan, hingga ia memutuskan untuk datang ke paviliun menemui Aleena. Sesampainya di tempat itu, Asher mengetuk pintu paviliun karena pintu itu terkunci dari dalam. "Tunggu sebentar!” Suara Aleena terdengar dari dalam. Asher merasakan desiran aneh di hatinya saat mendengar suara gadis itu. Tak lama, pintu paviliun terbuka lebar menyambutnya. Aleena menatapnya terkejut. Wajahnya terlihat begitu segar dan cantik, apalagi gadis itu memakai dress panjang berwarna kuning cerah yang kontras dengan kuli
Puas berputar-putar mengelilingi kota dengan bus kota sambil menikmati hujan salju yang turun malam ini. Arabelle dan Theo bernostalgia mengenang masa kecil mereka saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak saat bus melewati sekolah mereka. "Kau sudah pamit pada Ayahmu kalau akan pulang terlambat?" tanya Theo menatap Arabelle. Gadis cantik itu mengangguk. "Iya, Kak. Aku sudah pamit," jawabnya. "Baguslah." Theo mengusap pucuk kepala Arabelle. Arabelle duduk diam menatap salju yang turun, gadis itu menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Sedangkan Theo merangkulnya dengan satu lengannya. Mereka sama-sama menatap hujan salju di luar yang sangat indah malam ini. "Kak Theo, aku ingin mengatakan sesuatu," ujar Arabelle menoleh menatap Theo. "Sesuatu apa?" Theo menaikkan kedua alisnya. "Emm ... besok Kak Theo tanding basket, kan?" cicitnya. "Hm." Theo bergumam, ia masih terus menatap wajah cantik Arabelle. "Kenapa?" "Mungkin aku tidak bisa datang," ucap Arabelle jujur. "Besok pagi
Satu Minggu kemudian.Arabelle tampak murung siang ini di sekolah. Gadis itu menatap ke arah jendela luar di sekolahnya. Pandangan mata Arabelle sudah pulih, meskipun ia tidak bisa memandang jarak jauh, namun setidaknya Arabelle sudah bisa menatap sesuatu di dekatnya. "Arabelle, hmm ... kau kenapa diam saja? Ayo, kita ke super market di depan, kita beli cemil," ajak Vivian menarik lengan Arabelle. "Uang sakuku tertinggal di kamar, Vian," jawab Arabelle menatap Vivian. "Yahh, bagaimana bisa?" Vivian mengerjapkan kedua matanya. "Pakai uangku saja, ayolah..." Arabelle mendengus pelan. Mau tidak mau Vivian sudah menarik lengannya lebih dulu. Arabelle pun ikut beranjak dari duduknya. Gadis itu merapatkan kembali jaket seragam berwarna biru dan putih yang ia pakai kini. Kedua gadis itu berjalan di taman sekolah. "Huhh ... hari ini sangat dingin, Arabelle. Semoga malam ini saljunya turun, besok ada pertandingan basket anak-anak kelas sebelas. Aku akan berangkat dan membawa banner yang
Sekolah pulang pukul sembilan, itu terlalu pagi untuk bersantai-santai di rumah. Theo pun berkumpul dengan teman-temannya di warung belakang sekolah. Semua teman-temannya berada di sana. Tetapi Theo sedang menyusul Arabelle di sekolah, ia mengajak gadis itu ikut dengannya dulu, karena Ayahnya belum bisa menjemputnya. "Si Bos ke mana?" tanya Gerald sambil mengambil gitarnya di atas kursi. "Tuh, lagi jemput Arabelle," jawab Vero. "Tidak menyangka ya, cowok ajaib seperti Theo setia sama satu cewek," ujar Adam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dari bayi lagi!" sahut Gery. Semua teman-temannya pun tertawa mendengar hal itu. Hingga kini Theo melangkah masuk ke dalam tempat itu bersama dengan Arabelle. Tampak Ibu pemilik warung tersenyum saat melihat Theo bersama Arabelle ke sana. "Diajak duduk di dalam saja, Theo. Kasihan kalau di luar panas," ujar wanita itu. "Iya, Bu." Theo mengangguk. Arabelle duduk di sebuah bangku, dia terus memegangi lengan Theo karena gadis itu tidak
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah seperti biasa. Gadis itu datang lebih pagi kali ini. Di depan pintu gerbang, Vivian sudah menunggu Arabelle. "Arabelle ... hai!" pekik Vivian langsung memeluknya, tampaknya gadis itu sangat kegirangan pagi ini. Arabelle menyipitkan kedua matanya. "Hemm, ada apa ini? Rasa-rasanya bahagia sekali," ujar gadis itu pada temannya. "Iya! Aku sangat senang sekali!" seru Vivian menganggukkan kepalanya penuh antusias. "Ada apa, Vian? Tidak mau bilang-bilang sama Arabelle?" tanya Arabelle sambil berjalan dengan bantuan Vivian yang memeluk lengannya. "Iya, aku akan memberitahumu. Tapi jangan kaget, ya," ujar Vivian. "Oke, siap!" Arabelle mengangguk patuh. Vivian pun menarik pundak Arabelle dan ia membisikkan sesuatu pada Arabelle saat itu juga. Sampai tiba-tiba langkah Arabelle terhenti, gadis itu terdiam mematung seketika. Ekspresi Arabelle sontak membuat Vivian tertawa terpingkal-pingkal."Vian!" pekik Arabelle. "Iya. Aku dan si Dugong sudah
Arabelle dan sang Ayah kini pergi ke rumah sakit ibu kota. Hari ini adalah jadwal Arabelle untuk cek up terkait kondisi kesehatannya. Bersama Jordan yang selalu menemaninya, Arabelle tampak duduk di samping sang Ayah yang kini menunggu hasil pemeriksaan oleh dokter. "Ayah, Ara pasti sembuh, kan?" bisik Arabelle memeluk lengan sang Ayah. Jordan menoleh dan tersenyum, laki-laki itu mengecup pucuk kepala putri kesayangannya. "Pasti, Nak. Ayah akan mengusahakan yang terbaik untuk anak Ayah," jawab Jordan. "Kalau biayanya mahal, bagaimana, Ayah?" tanya gadis itu. "Biar saja meskipun Ayah harus menjual ginjal asal anak Ayah sembuh," jawab Jordan. Kedua mata Arabelle membola. "A-Ayah tidak menjual ginjal, kan?" pekik gadis itu. Jordan tertawa pelan. "Tentu saja tidak, Sayang. Uang Ayah sangat banyak, jangan khawatir. Bahkan Ayah bisa membeli rumah sakit ini." Arabelle langsung terkikik geli. "Ayah tahu tidak, nanti kalau Arabelle sudah lulus sekolah, Arabelle ingin meneruskan ke per
Cahaya matahari berwarna jingga sore ini. Arabelle ditemani Theo berdua di depan gerbang sekolah menunggu Ayah gadis menjemputnya. Theo yang masih ada jadwal latihan basket pun belum diperbolehkan pulang. Dan ia menemani Arabelle di sana. "Kenapa Ayah lama sekali?" gerutu Arabelle meremas tongkat di tangannya. "Mungkin masih di kantor," jawab Theo. "Pasti sekarang sudah di perjalanan. Papa paham kalau Ayahmu sekarang tidak bisa bekerja full seperti dulu." "Om Asher tidak marah kan, Kak?" tanya Arabelle. "Tentu saja tidak." Theo tersenyum dan mengusap pucuk kepala Arabelle dengan lembut. Arabelle pun juga tersenyum. Gadis itu memeluk satu lengan Theo dan menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Dari dalam gerbang sekolah, muncul seorang siswa membawa sebuah motor sport sama seperti milik Theo dan dia berhenti di depan gerbang menoleh ke arah Theo dan Arabelle. "Sedang apa berduaan di sini?" tanyanya pada mereka berdua. "Mau apa? Kau tidak terima? Atau iri?!" seru Theo tanpa sung
Saat jam istirahat, Arabelle berada di dalam kelas sendirian. Gadis itu duduk diam dan mendengarkan materi listening yang Mr. Diana berikan padanya tadi. Berkali-kali Arabelle mendengarkannya. Sampai tiba-tiba saja gadis itu tersentak saat seseorang menempelkan susu kotak dingin di pipinya. "Aduh, ya ampun..." Arabelle terperanjat. Suara kekehan terdengar begitu renyah dan manis. Arabelle terdiam sejenak, suara itu bukanlah suara Theo, tetapi suara Harvey. Arabelle tersenyum tipis menyadari keberadaan Harvey di sana. "Selamat datang lagi di sekolah, Arabelle," ucap Harvey mengusap pucuk kepala Arabelle. "Kak Harvey, aku pikir siapa..." "Pasti kau pikir Theo, kan?" tanyanya. "Heem." Arabelle langsung mengangguk. Harvey meraih satu bangku dan duduk di sana. Laki-laki itu menatap wajah Arabelle yang tampak semakin putih, bersih, dan cantik setelah beberapa minggu Arabelle tidak pergi ke sekolah. Bagaimanapun juga, Harvey sangat menyukai gadis ini meskipun ia tahu kalau Arabelle
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle bersekolah setelah sempat beberapa Minggu gadis itu tidak hadir ke sekolah. Arabelle datang bersama dengan Ayahnya. Guru-guru pun tampak senang Arabelle sudah kembali bersekolah, terlebih lagi saat ini kepala sekolah di tempat itu sudah diganti dan murid yang merundung Arabelle pun juga sudah dikeluarkan dari sekolah."Ara, nanti kalau pulang sekolah jangan akal-akalan pulang sendirian, oke!" Jordan menatap putrinya yang berdiri di depan pintu kelas. Arabelle mengangguk. "Iya, Ayah. Siap!" Jordan beralih menatap Vivian yang ada di samping Arabelle. "Vian, tolong bantu Arabelle, ya, Nak," ujar Jordan pada gadis berambut sepundak itu. "Iya, Om. Jangan khawatir, saya pasti akan membantu Arabelle. Om tidak perlu cemas, sekali ada saya, semuanya aman!" seru Vivian memeluk Arabelle dan tersenyum gemas. Jordan pun ikut tersenyum, laki-laki itu merasa lega saat melihat putrinya sudah kembali tersenyum manis bersama teman-temannya. "Kalau begitu, A
Kedatangan Arabelle membuat Theo dan kedua adiknya tampak begitu senang. Gadis itu datang tanpa mengabari Theo lebih dulu. Theo juga langsung mendekati Arabelle yang tengah bersama dengan Ayahnya dan juga bersama kedua orang tua Theo. Tatapan Jordan menajam pada Theo saat pemuda itu mendekat. "Kenapa ada acara tidak bilang-bilang pada Paman?! Sengaja tidak mengundang Paman?!" seru Jordan pada Theo. Theo terkekeh geli. "Tidak begitu, Paman..." Pemuda itu mendekati Arabelle yang duduk di samping Leo dan Lea, juga Vivian di sana. Theo duduk di samping Leo dan merangkul Arabelle dari belakang. "Kau mengajak Ayah ke sini?" tanya Theo pada Arabelle. Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Kak." Theo menghela napasnya pelan. "Padahal aku tadi sempat berpikir mau ke sana setelah membantu anak-anak membakar ikan. Aku terus kepikiran dirimu, Ra. Hanya kau saja yang tidak ada di sini." "Tidak apa-apa, Kak. Ini Ara sudah di sini." Theo tersenyum mengusap pucuk kepala Arabelle. "Heem,