"Semua biaya rumah sakit Papamu sudah aku urus Aleena. Hasil pemeriksaan kesuburanmu pun sangat baik. Kemungkinan besar, sekali berhubungan saja kau bisa segera hamil.”
Aleena hanya mengangguk kecil mendengar apa yang Marsha katakan.
Siang ini, Marsha mendatangi rumah sakit bersama Asher. Mereka berdua mengurus semua administrasi pengobatan Papanya dan ia juga melakukan tes kesehatan.
"Sekarang semua sudah selesai, ayo kita pergi," sahut Asher meraih tangan Marsha.
"Tunggu, Sayang—"
Marsha menghentikan langkahnya saat ponsel miliknya di dalam tas berdering.
Wanita berambut cokelat sebahu itu menoleh seolah meminta izin, lalu berjalan menjauh saat menjawab panggilan tersebut.
Kini hanya ada Aleena dan Asher berdua di sana. Asher melirik gadis bertubuh kurus di sampingnya yang tengah memeluk sebuah tas besar.
"Apa kau membawa semua pakaianmu?" tanya Asher menoleh.
Aleena menatapnya gugup. "Nyo-Nyonya yang meminta pada saya, Tuan," jawabnya.
Hari ini Aleena akan tinggal bersama Marsha dan Asher di kediaman mewahnya. Ia akan ditempatkan di paviliun yang berada di dekat kediaman utama.
Tentu saja, permintaan itu juga atas dasar keinginan Marsha.
Asher kembali menatap Aleena dengan dingin. "Dengar, semua ini terjadi karena permintaan istriku. Kau harus tahu batasan," ujarnya penuh penekanan.
Aleena terpaku sejenak, sebelum ia tertunduk dan mengangguk. "Saya mengerti, Tuan. Saya hanya akan menjalankan tugas saya. Tuan tidak perlu khawatir."
Tidak ada jawaban dari Asher, seolah tidak peduli dengan apapun yang Aleena katakan.
Sampai akhirnya Marsha kembali.
"Ayo kita pulang," ajaknya. Marsha melirik Aleena yang terdiam. "Kau jangan khawatir, Aleena. Aku sudah meminta seseorang untuk menjaga Papamu di sini."
"Baik, Nyonya Marsha, terima kasih banyak."
Marsha pun kembali mendekati Asher, menggenggam tangan suaminya dan berjalan berdua di hadapan Aleena.
Menatap punggung dua orang di depannya sekarang membuat Aleena sedih. Bahkan tak terpikirkan oleh Aleena apa yang harus ia lakukan nanti kedepannya.
Gadis itu berhenti melangkah di depan ruang inap ayahnya dan menatap pria yang berbaring di ranjang itu lewat jendela kaca.
"Pa ... segeralah sembuh. Aleena harap, setelah Papa bangun nanti, Papa tidak marah dengan keputusan Aleena."
Melihat Marsha dan Asher yang sudah tak terlihat, Aleena pun segera bergegas pergi menyusul mereka.
Mulai sekarang, Aleena akan tinggal bersama mereka berdua, sebagai seorang ibu pengganti yang akan mengandung keturunan untuk Asher dan Marsha.
**
Sesampainya di kediaman Keluarga Benedict yang megah, Aleena pun langsung diajak ke dalam rumah mereka lebih dahulu.
"Duduklah, Aleena," ujar Marsha.
Aleena meletakkan tasnya di lantai dan duduk di sebuah sofa, memperhatikan seorang laki-laki dengan pakaian formal mendekati Asher dan memberikan sebuah dokumen.
"Tandatangani perjanjian ini, sebagai kesepakatan," ujar Asher membuka berkas itu.
"Hmm? Kesepakatan?” Marsha mengerutkan keningnya bingung. Sejak kapan Asher menyiapkannya?
"Aku membuat aturan untuk memenuhi permintaanmu, Marsha," jawab Asher ringan.
Meski tampak bingung, Marsha hanya mengangguk setuju dengan suaminya.
Sedangkan Asher kini menatap Aleena yang meraih bolpoin di atas meja, air muka Aleena terlihat begitu bingung.
Gadis itu terdiam membaca isi surat perjanjian itu. Matanya melebar saat ia membaca salah satu satu poin yang tertulis di sana. Tangannya seketika gemetar.
Aleena mendongak menatap Asher dengan seribu tanda tanya. “Pe-pernikahan?”
"Aku akan menikahimu hingga batas waktu tertentu. Aku tidak ingin nama baikku tercoreng dan membuat publik berasumsi aku menghamili gadis tanpa tanggung jawab," jelas Asher masih dengan nada dingin. Seolah apa yang ia katakan hanyalah angin lewat tak berarti.
Napas Aleena seperti tercekik ketika ia membaca semua isi perjanjian itu. Banyak sekali larangan-larangan di dalamnya.
Salah satunya, Aleena dilarang jatuh cinta pada Asher atau memiliki perasaan tertentu. Dan setelah Aleena melahirkan anak untuk mereka, Aleena harus pergi sejauh mungkin meninggalkan anaknya, dan pernikahan pun berakhir.
Aleena menyetujui hal itu, karena tugasnya hanya mengandung anak untuk Asher dan Marsha. Aleena tidak akan lancang sampai memiliki perasaan pada Asher. Dia cukup tahu diri.
Tapi pernikahan? Aleena merasa berat menerimanya.
“Tunggu apa lagi?”
Bariton yang terdengar tak sabaran itu membuat Aleena berjengit. Setelah meyakinkan diri, ia lantas menandatangani perjanjian itu dan menyerahkannya pada Asher.
"Mulai sekarang kau menjadi bagian dari kami, Aleena. Aku akan mengurus persiapan pernikahanmu dengan suamiku," ujar Marsha duduk bersedekap. "Dan sekarang, bawa semua pakaianmu ke paviliun. Kau akan tinggal di sana, ada satu pelayan yang akan membantumu setiap hari."
Aleena mengangguk. "Baik Nyonya Marsha, terima kasih. Saya permisi."
Gadis itu berjalan keluar dari rumah utama. Ia berjalan melewati taman dan melihat sebuah paviliun tak jauh dari sana.
Bangunan klasik bernuansa warna putih, tempat Aleena tinggal selama beberapa bulan kedepan, lebih megah daripada rumah Aleena.
"Permisi, Nona, mari saya bawakan tasnya."
Seorang wanita paruh baya dengan pakaian pelayan mendekati Aleena tiba-tiba. Wanita itu tersenyum saat melihat ekspresi Aleena yang terkejut dan bertanya-tanya.
"Perkenalkan, saya Julien. Nyonya memerintahkan saya untuk menjadi pelayan Nona Aleena selama di sini," ujar wanita itu.
Aleena membalas senyuman Pelayan Julien. "Salam kenal, Bibi Julien..."
"Nyonya Marsha meminta saya untuk melayani dan menemani Nona setiap hari, jadi kalau ada sesuatu yang Nona Aleena butuhkan, jangan sungkan-sungkan, ya," ujar wanita itu ramah.
"Terima kasih, Bi," jawab Aleena.
Bibi Julien pun membuka pintu paviliun dan mengajak Aleena masuk ke dalam.
Kedua mata Aleena mengerjap kagum menatap isi paviliun yang begitu mewah. Tempat itu memiliki dua lantai dan dinding kaca yang tinggi, tepat seperti rumah impian Aleena dulu.
"Nona Aleena, kamar Nona ada di lantai dua. Silakan berisitirahat ... biar saya yang merapikan pakaian Nona."
Meski sungkan, tapi Aleena tidak memprotes. "Baik, Bi, terima kasih," ucap Aleena tulus.
"Sama-sama, Nona."
Aleena pun masuk ke dalam kamar dan menutup pintu tersebut.
Langkahnya yang ragu mengantarkan Aleena mendekati sebuah ranjang besar, ia menelisik kamarnya yang tampak rapi dan nyaman. Aleena mengusap permukaan kasur dan duduk di tepinya.
"Dalam waktu dekat, aku akan menikah dengan Tuan Asher dan tinggal di tempat ini."
Aleena termenung, tenggelam dalam pikirannya yang terombang-ambing.
Meskipun pernikahan ini bukan hal yang Aleena impikan, tapi ia akan berusaha melakukan yang terbaik, demi sang Papa.
Di tengah lamunannya, tiba-tiba terdengar ponsel Aleena berdering. Gadis itu meraih benda pipih tersebut dari dalam tas dan melihat nama Carl di sana.
Seketika rasa marah dan kesal Aleena kembali membuncah.
Namun, Aleena segera menjawab panggilan itu.
"Halo," sahutnya datar.
"Halo, Sayang. Bagaimana kemarin? Maaf ya, aku tidak bisa menunggumu sampai kau selesai berbincang dengan mereka. Jadi, bagaimana? Mereka jadi memberikan uang satu miliarnya padamu, kan?" tanya Carl terdengar tak sabaran.
"Mereka sudah mengurus biaya pengobatan Papa, kau tidak perlu khawatir,” jawab Aleena. “Sekarang aku tinggal bersama mereka. Uang sisanya akan segera diberikan oleh Nyonya Marsha," jawab Aleena.
"Baguslah kalau begitu. Aku akan menghubungimu nanti lagi ya, pekerjaanku masih menumpuk," ujar Carl. “Sampai nanti, Sayang.”
"Hmm, sampai nanti."
Aleena memutus panggilan itu dengan cepat. Ia muak harus berpura-pura mengikuti permainan busuk lelaki brengsek itu.
Aleena mengepalkan kedua tangannya dan menghela napas panjang.
Seulas senyum getir terbit di wajah cantiknya yang mengeras.
"Kau terlalu besar kepala, Carl Malvine. Laki-laki brengsek sepertimu, jangan harap bisa memanfaatkan aku lagi!"
Dua hari berlalu dengan cepat. Aleena masih berada di kediaman Keluarga Benedict dan tidak pergi ke mana pun. Apalagi, sekarang Aleena telah memiliki status baru, yaitu menjadi istri kedua Asher. Malam ini, gadis bertubuh kurus itu duduk di tepi ranjang dengan balutan dress berwarna biru muda. Aleena tampak cemas dan kalut. Dalam waktu yang begitu singkat, Aleena dan Asher resmi menikah. Meskipun pernikahan itu hanya untuk sementara waktu saja, dan juga berjalan demi keuntungan masing-masing."Nona Aleena..." Suara Bibi Julien berhasil membuyarkan lamunan Aleena, gadis itu menoleh cepat ke arah pintu dan berdiri dari duduknya. "Iya, Bi? Ada apa?" tanya Aleena menatapnya. "Ini gaun tidur tidur yang Nyonya Marsha siapkan untuk Nona Aleena pakai malam ini," ujar Bibi Julien meletakkan gaun tidur satin berwarna merah di atas ranjang. Wajah Aleena mendadak pucat. Rasa takut menyelimutinya dengan cepat.Ia tidak bisa membayangkan seperti apa malam pertama itu?"A-apa Nyonya Marsha sed
Sepanjang malam Aleena setia terjaga. Rasanya, kedua mata gadis itu tidak bisa ia pejamkan. Bahkan hingga pagi, Aleena masih duduk di atas ranjang memeluk kedua lututnya merenungi nasibnya yang malang.Aleena tidak tahu, apa yang akan ia katakan pada Marsha. Membayangkan betapa kecewanya wanita itu membuat Aleena tak bisa menahan air mata.Bagaimana jika Marsha menarik semua uang yang telah ia gelontorkan untuk pengobatan ayahnya karena ia gagal melakukan tugasnya?"Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya sambil menyeka air mata. Gadis itu menyandarkan punggungnya dan menatap langit-langit kamar dan tenggelam dengan lamunannya yang gelap. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu kamar dari luar, membuat lamunan Aleena seketika buyar. "Selamat pagi, Nona ... apa Nona sudah bangun?" Suara Bibi Julien di luar membuat tubuh Aleena tersentak. Ia segera merapikan penampilannya yang berantakan seadanya, lalu beranjak dari atas ranjang. Ia membuka pintu kamar dan mendapati Bibi Julien di had
Aleena merasa jenuh berada di dalam paviliun sepanjang hari. Setelah kejadian pagi tadi, ia memang sengaja tidak keluar dari paviliun dan terus merenung di sana. Namun, saat hari menjelang malam, Aleena kepikiran kondisi Papanya yang masih terbaring di rumah sakit. Gadis itu pun berinisiatif untuk mengunjunginya malam itu juga.Kalau sudah sadar, Papanya pasti akan mencari Aleena. Belum lagi, pria paruh baya itu akan merasa kesepian bila tak menemukan keberadaannya. Aleena berpikir sambil menggigit bibir bagian dalamnya, lalu mengangguk kecil untuk meyakinkan diri. "Mungkin aku harus meminta izin pada Nyonya Marsha sebentar untuk ke rumah sakit," ucap Aleena. Perasaan ragu langsung hinggap di hatinya, tapi Aleena berusaha menepisnya. Bagaimanapun, ia harus memastikan kondisi Papanya agar tak terus merasa khawatir. Aleena melangkah keluar dari paviliun. Ia melewati taman samping untuk sampai di teras rumah megah milik Marsha dan Asher. Sesampainya di kediaman utama, Aleena memelan
Setelah kedua orang tua Asher pulang beberapa menit yang lalu, rumah megah itu pun tersisa Marsha dan Asher saja. Terlihat Marsha yang kini berdiri bersedekap menatap lurus ke arah paviliun tempat Aleena tinggal. "Aku tidak ingin kau mengulur banyak waktu, Asher," ucap Marsha tiba-tiba. Asher yang mendengarkannya pun menoleh. "Apa maksudmu, Sayang?" Marsha membuat tubuhnya menatap sang suami. "Aku sudah muak dengan semua cercaan Mamamu tentang anak sampai telingaku terasa panas karena terus mendengar hal itu setiap bertemu!""Sayang—""Kau tidak menepati janjimu padaku, Asher. Aku hanya memintamu untuk bermalam dengan Aleena, kita sudah membayar gadis itu. Hanya dia harapan kita satu-satunya!" desak Marsha dengan wajah memerah. Asher memijit pangkal hidungnya, tampak benar-benar frustrasi. “Marsha, aku bisa melakukannya kapan-kapan—”"Kapan-kapan?” sela Marsha. “Tapi sampai kapan, Asher? Apa kau tidak keberatan melihatku terus direndahkan seperti ini? Atau sebenarnya kau ingin be
“Akh—shh—” Aleena meringis menahan sakit pada bagian inti tubuhnya ketika ia terbangun di ranjang yang asing pagi itu. Ia menarik selimut dan mendekapnya dengan erat di dada saat menyadari tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun. Bayangan-bayangan dari malam panas itu kembali terulang dalam ingatannya, seolah tak membiarkan Aleena lupa begitu saja. “Siapa dirimu sebenarnya, Aleena?” Aleena tidak tahu mengapa Asher tampak kalut dan tidak percaya bahwa dirinya masih suci. “S-saya—”“Tak mungkin aku yang pertama bagimu! Katakan, apa tujuanmu melakukan ini? Kenapa kau—”“Lakukan saja, Tuan,” Aleena menyela sebelum Asher kembali menghinanya dengan kata-kata tajam. Suaranya bergetar di bawah dominasi Asher yang membuat tubuhnya meremang. Ia hanya ingin semua ini segera berakhir. “Lakukan saja dengan cepat, seperti yang Nyonya Marsha inginkan….”Aleena tidak mengerti mengapa setelah itu Asher tiba-tiba berubah seperti predator kelaparan. Sentuhan dan gerakannya berantakan, menuntut,
"A-apa maksud Tuan mengatakan hal itu?" Aleena menatap Asher dengan lekat, dan napasnya tercekat seolah ingin mencekiknya kuat-kuat. Mengapa Asher tidak pernah berhenti merendahkannya?Melihat ekspresi kesal di wajah Aleena, Asher hanya tersenyum miring. Dagunya terangkat, menunjukkan ekspresi remeh. "Memang begitu kenyataannya, bukan?" katanya dengan nada datar. "Baru semalam kau berhasil merayuku, siang ini kau sudah bertemu laki-laki lain.”“Saya hanya—”Asher lebih dulu menyela. “Kali ini apa yang kau tawarkan padanya? Tubuhmu, seperti yang kau lakukan padaku?”Dada Aleena bergemuruh hebat tak terima. Perkataan Asher selalu berhasil mencabik dan melukai perasaan serta harga dirinya setiap kali dia berbicara. Dengan kedua tangan terkepal, Aleena berdiri dengan tegap memberanikan diri menatap Asher yang kini duduk di sofa menyilangkan kakinya, memperhatikan Aleena dengan begitu rendahnya. Aleena menahan air matanya yang berdesakan dan berusaha menjelaskan. Bibirnya menipis gera
Butuh beberapa menit perjalanan dari rumah Asher menuju rumah sakit dengan bus kota yang Aleena tumpangi. Di sepanjang jalan, hatinya dipenuhi perasaan tak sabar ingin segera memeluk Papanya. Setibanya di rumah sakit, Aleena berjalan memasuki lorong di lantai lima. Papanya kini dirawat di ruang kelas A, tempat di mana pasien-pasien mendapatkan penanganan khusus dan istimewa. Aleena berjalan bersama Dokter Camael, sosok dokter yang sudah dua tahun ini menangani Papa Aleena. "Kondisi Papa saya berarti sudah jauh lebih baik, kan, dok?" tanya Aleena mendongak menatap dokter itu sembari berjalan menuju ruangan rawat inap. "Sudah Nona. Kondisi Tuan Liam sudah jauh lebih baik semenjak beliau dioperasi," jawab dokter Camael menjelaskan.Aleena tersenyum lega mendengarnya. Ia bersyukur Tuhan menyelamatkan Papanya. Kini, ia bisa kembali melihat senyuman sang Papa yang terus menjadi penyemangat hidupnya. Aleena akhirnya tiba di depan pintu kamar inap Papanya. Dokter Camael pun berpamitan ke
Di kediaman utama pagi ini terlihat ramai. Tampak beberapa orang perempuan cantik dengan penampilan glamor dan berkelas yang sedang duduk bersama di teras samping kediaman utama. Aleena memperhatikan mereka dari taman di dekat paviliun saat ia mengikuti Bibi Julien memindahkan beberapa pot bunga. Aleena yang penasaran dengan para wanita itu, ia pun bertanya pada Bibi Julien. "Bi, mereka itu siapa?" Aleena menatap ke arah para wanita itu sebentar. "Mereka semua adalah teman Nyonya Marsha, para wanita dari kalangan masyarakat kelas atas, Nona," jawab Bibi Julien menjelaskan. Aleena mengangguk paham. Dalam hati ia sangat kagum dengan Marsha yang memiliki lingkungan pertemanan yang hebat. Tak menyangkal, Marsha memang wanita berkelas yang disegani.Tanpa Aleena sadari, tampaknya para wanita yang tengah duduk di teras itu juga memperhatikannya dari kejauhan.Mereka menatap sosok Aleena dengan rasa penasaran. Karena sejauh ini mereka tidak pernah melihat seorang gadis di kediaman sahab
Aleena terkejut mendengar apa yang Asher katakan barusan. Ia menatap benci pada laki-laki di depannya ini. Sungguh, mimpi terburuk baginya bisa melihat laki-laki ini lagi. Air mata Aleena tidak bisa berhenti, ia merangkulnya Theo yang kini memeluk kakinya. Anak itu menatap bingung apa yang terjadi pada dua orang dewasa ini. "Mama ... Mama kenapa menangis?" Theo mendongakkan kepalanya dan bertanya dengan wajah sedih. Aleena menundukkan kepalanya menatap Theo, ia tidak bisa berkata-kata saat menatap Theo. Kedua kaki Aleena terasa lemas, ia menekuk kedua lututnya dan memeluk Theo dengan sangat erat. Aleena menangis, tidak bisa ia tahan lagi. Tak peduli dengan Asher yang masih berdiri di hadapannya saat ini. Theo tampak bingung melihat Ibu gurunya itu manangis memeluknya. "Mama," lirih Theo memeluk Aleena. "Kenapa menangis? Siapa yang nakal? Papaku ya, yang nakal? Mau Theo pukul Papa?" tawarnya. Aleena membenamkan wajahnya di pundak kecil Theo. "Anakku," lirih Aleena histeris. "Aa
Aleena berangkat ke taman tempat ia biasanya membawa Theo. Bagaimanapun juga, Aleena tidak akan tega melihat anak itu menangis. Hingga beberapa menit kemudian, Aleena telah sampai di taman. Gadis itu berjalan masuk ke dalam area taman dan tampak mencari-cari. "Di mana Theo?" gumam Aleena lirih. Aleena menoleh ke kanan dan ke kiri, sampai akhirnya Aleena melihat anak kecil laki-laki duduk di bangku taman sendirian. Napas Aleena berembus lega, gadis itu segera bergegas mendekati Theo yang kini tidak menyadari kedatangannya. "Theo," sapa Aleena memanggil anak itu. Theo pun menoleh cepat, dia terkejut melihat Aleena berjalan ke arahnya. Ekspresi wajah Theo pun langsung menunjukkan kesedihan. "Ma...!" Anak itu berlari ke arahnya sambil merentangkan kedua tangannya. Segera Aleena memeluk anak itu dengan sangat erat. Theo menangis dalam pelukan Aleena. "Kenapa Mama tidak ke sekolah?" tanya anak itu sambil meletakkan kepalanya di pundak Aleena. "Theo tidak mau ke sekolah kalau Mama t
Liam sangat terkejut melihat kondisi Aleena yang pulang dari toko diantarkan oleh asistennya dengan keadaan cemas dan ketakutan. Kini, Aleena berdiam diri di dalam kamarnya. Ia duduk menekuk kedua lututnya dan memeluknya dengan erat sambil diam melamun jauh. Ditemani Papanya yang baru meletakkan segelas air putih di atas meja. "Nak, apa yang terjadi? Kenapa pulang-pulang menangis seperti ini? Cerita pada Papa," bujuk Liam menatap lekat putrinya. "Tidak apa-apa, Pa. Sepertinya ... aku hanya kelelahan saja," jawab Aleena lirih. "Sungguh? Kau tidak berbohong, kan, pada Papa?" Liam memastikan. Aleena menggeleng dan ia mencoba untuk tersenyum pada sang Papa. Papanya sudah tua, Aleena tidak mau mengatakan hal yang sebenarnya pada Papanya, ia takut bagaimana bila Papanya jatuh sakit karena ia. "Ya sudah, kalau begitu cepatlah istirahat. Besok tidak usah bekerja dulu, diam di rumah dan istirahat saja, mengerti!" Aleena mengangguk patuh. "Iya, Pa." "Hm. Sudah, Papa kembali ke lantai s
Saat hari sudah gelap, Asher meminta kedua ajudannya menjaga Theo di rumah. Putra kecilnya sibuk dan asik bermain, ia tidak mau ikut pergi ke luar bersama Asher. Sedangkan Marsha juga masih berada di rumah Asher dan menolak keras untuk pulang. Diam-diam malam ini Asher pergi ke toko mainan milik Liam Eston. Asher melihat seorang wanita cantik yang kini terlihat berada di dalam tempat itu. Aleena Pandora, tampak berdiri sendirian di dalam sebuah ruangan yang dipenuhi dengan mainan-mainan dan hiasan lampu natal yang menggantung-gantung, lampu yang bersinar terang membuatnya terlihat sangat cantik dari pantulan cahaya kuning ruangan itu. Asher menatapnya lekat dan dalam. "Aleena," ucapnya lirih. Perlahan, Asher meraih sebuah buket Peony di bangku kemudi sampingnya. Asher bergegas turun dari dalam mobil. Ia berjalan masuk ke dalam toko dan kedatangannya di sambut oleh salah seorang karyawan perempuan. "Selamat datang di Prayola Toy store, Tuan..." Asher menatap wanita itu dan menga
Pukul tiga sore, Asher mendapatkan telfon dari guru yang menjaga Theo untuk menjemputnya di sebuah taman bermain di tengah-tengah kota Lamberg. Asher segera berangkat bersama dengan Stefan, bersamaan dengannya pulang sore ini. Sepanjang perjalanan, Asher tidak bisa tenang, ia terus memikirkan Aleena. Bagaimana bisa Asher tidak menemui wanita itu, sanggupkah ia bila melihat Aleena lalu tidak memeluknya setelah lima tahun kerinduan di dalam hatinya menyiksa begitu kejam. "Kita sudah sampai, Tuan," ujar Stefan menghentikan mobilnya. Lamunan Asher buyar, laki-laki itu menyergah napasnya pelan dan saat ia hendak membuka pintu mobil, Asher melihat seorang wanita cantik berjalan dengan Theo. Wanita berkulit putih, bertubuh ramping dengan balutan dress biru muda, dan rambut panjangnya yang diikat, mereka tampak tertawa bersama duduk di atas rerumputan taman. Wanita cantik itu tengah membawakan cup es krim yang sesekali ia suapkan pada Theo. Senyuman wanita itu, raut wajah cantiknya ...
Jam menunjukkan pukul sebelas siang, Theo terlihat duduk di bangku depan sekolah menunggu pengasuh yang akan datang menjemputnya. Dari jauh, Aleena memperhatikan anak itu. Sebenarnya, tak cukup bagi Aleena untuk hanya bertemu dengan Theo di sekolah saja. Apalagi ... sejak anak itu memanggilnya dengan panggilan 'Mama'. Aleena merasa ingin terus berada di dekatnya. "Ms. Aleena," sapa Ms. Ambeer mendekatinya. "Ya, Ms. Ambeer?" Aleena menoleh dan menatap rekannya tersebut. "Saya pikir Ms. Aleena sudah pulang. Ternyata masih di sini," ujarnya. "Iya. Saya masih memperhatikan Theo. Kasihan, dia sendirian belum ada jemputan," jawab Aleena menatap Theo di depan sana. "Orang tuanya pasti sebentar lagi akan datang," ujar Ms. Ambeer. Aleena mengangguk. "Iya, Ms." "Kalau begitu, saya duluan ya ... saya ada acara sebentar lagi. Aleena hanya memberikan jawaban dengan anggukan dan senyuman di bibirnya. Sebelum akhirnya Ambeer bergegas pergi. Setelah itu, Aleena kembali mendekati Theo. Anak
Keesokan paginya, Theo bersiap berangkat ke sekolah. Kali ini, Asher lah yang mengantarkan Theo ke sekolah. Dengan seragam berwarna putih dan biru muda di bagian blazer dan celana pendeknya, Theo tampak cerah berseri-seri bersemangat bertemu teman-temannya. "Jangan nakal di sekolah ya, Sayang," ujar Asher menekuk kedua lututnya di hadapan Theo. Kedua tangannya memegang pundak kecil Theo dengan hangat. "Pulang nanti, Nanny Kara akan menjemput Theo. Jadi, jangan pulang sebelum Nanny sampai ke sini, paham?" Theo mengangguk. "Paham, Papa." "Bagus, anak pinta." Asher mengusap gemas pucuk kepala Theo. "Ayo, kecup Papa dulu..." Anak itu terkikik geli, ia membubuhkan kecupan di pipi Asher hingga berkali-kali. Asher tersenyum dengan keceriaan di kecil. "Nanti kalau Papa pulang, Theo mau makan pizza, belikan Theo pizza yang banyak!" serunya sambil mengulurkan tangannya. "Iya, Sayang. Nanti Papa belikan. Asal Theo sekolah yang pintar," jawab Asher. Anak itu mengacungkan jempolnya. Theo p
Asher masih tertegun di tempatnya setelah melihat seorang wanita cantik yang benar-benar sangat mirip dengan Aleena. Bedanya, dia sangat berkelas dan jauh dari kata sederhana seperti Aleena. Dengan raut wajah tegang dan gemetar tak percaya, Asher berusaha untuk meyakinkan. "Aku akan menemui wanita itu dan memastikannya," ucap Asher penuh keseriusan. Saat Asher hendak mendekati ruangan tempat wanita tadi masuk, tiba-tiba Asher mendengar suara Theo memanggilnya. "Papa...!" teriakan Theo menghentikan langkah Asher. Putra kecilnya itu berlari sambil membawa sebuah kotak mainan berukuran besar. Dengan wajah berseri-seri, Theo menunjukkannya pada Asher. "Papa lihat, Theo mau beli kereta yang ini!" seru Theo tersenyum cerah sambil lompat-lompat kesenangan menunjukkan mainannya pada Asher. Asher menoleh ke belakang, ke arah ruangan di mana wanita yang mirip dengan Aleena tadi masuk. Asher tidak bisa mengabaikan Theo, ia menatap putranya dan tersenyum manis. "Hanya kereta saja, Sayan
Asher terdiam di dalam ruangan kerjanya yang sunyi. Cahaya temaram memenuhi ruangan itu. Asher meletakkan ponsel di tangannya dengan ekspresi wajah yang tegang dan jemari tangannya terasa dingin. Siang dan malam, dua kali Asher mendengar suara seorang wanita yang hampir mirip dengan suara istrinya. Suara Aleena ... dan wanita itu adalah guru di sekolah Theo. Mana mungkin? Asher memijit pangkal hidungnya. "Ya Tuhan ... kenapa aku berasumsi yang tidak-tidak," ucapnya lirih. Laki-laki itu kembali menatap ponselnya. "Tidak mungkin dia Aleena ... sungguh, benar-benar tidak mungkin!" Asher memejamkan kedua matanya erat. Laki-laki itu duduk bersandar dan mendongakkan kepalanya. Asher kembali memikirkan apa yang dikatakan oleh guru di sekolah Theo yang menelfonnya beberapa menit yang lalu. Perlahan, Asher membuka kedua matanya dan menatap langit-langit ruangan kerjanya. "Marsha ... memarahi Theo," gumamnya. "Theo kenapa tidak mengatakan apapun padaku? Dan ... mana mungkin guru itu berb