Dua hari berlalu dengan cepat. Aleena masih berada di kediaman Keluarga Benedict dan tidak pergi ke mana pun. Apalagi, sekarang Aleena telah memiliki status baru, yaitu menjadi istri kedua Asher.
Malam ini, gadis bertubuh kurus itu duduk di tepi ranjang dengan balutan dress berwarna biru muda. Aleena tampak cemas dan kalut.
Dalam waktu yang begitu singkat, Aleena dan Asher resmi menikah. Meskipun pernikahan itu hanya untuk sementara waktu saja, dan juga berjalan demi keuntungan masing-masing.
"Nona Aleena..."
Suara Bibi Julien berhasil membuyarkan lamunan Aleena, gadis itu menoleh cepat ke arah pintu dan berdiri dari duduknya.
"Iya, Bi? Ada apa?" tanya Aleena menatapnya.
"Ini gaun tidur tidur yang Nyonya Marsha siapkan untuk Nona Aleena pakai malam ini," ujar Bibi Julien meletakkan gaun tidur satin berwarna merah di atas ranjang.
Wajah Aleena mendadak pucat. Rasa takut menyelimutinya dengan cepat.
Ia tidak bisa membayangkan seperti apa malam pertama itu?
"A-apa Nyonya Marsha sedang di rumahnya, Bi?" tanya Aleena.
"Nyonya Marsha ada di bawah bersama Tuan Asher."
Aleena mengembuskan napasnya pelan. "Aku ingin menemui Nyonya Marsha sebentar, Bi."
"Baik Nyonya, mari..."
Mereka berdua keluar dari dalam kamar, Aleena berjalan di selasar lantai dua menuju anak tangga.
Namun, di sana Aleena menghentikan langkahnya saat mendengar percakapan Asher dan Marsha di lantai satu.
"Sayang, apa kau yakin akan baik-baik saja?" ujar Asher mencekal pundak Marsha dengan tatapan penuh kasih sayang. "Ayo kita pulang ke rumah."
"Tidak, Sayang," Marsha melepaskan tangan Asher dengan pelan.
Wanita cantik itu tersenyum menangkup kedua pipi Asher.
"Sekarang, habiskan malam ini dengan Aleena. Semakin cepat semakin baik. Jangan cemaskan aku."
"Aku tidak setega itu padamu, Marsha." Asher berusaha menolak.
"Kumohon, Asher…," Marsha menangkup kedua pipi Asher. "Aku akan menunggumu di rumah sampai kau selesai, hmm?"
Asher berdecak kesal, menyesal ia pernah berkata akan menuruti semua hal yang istrinya inginkan, bila pada akhirnya Marsha menginginkan hal di luar dugaannya.
Sedangkan Aleena, gadis itu diam terpaku mendengar perbincangan Asher dan Marsha tanpa sengaja. Melihat Marsha sampai memohon pada Asher, di situlah pintu hati Aleena terketuk.
Ia tidak boleh membuat Marsha kecewa padanya. Aleena harus melakukan tugasnya dengan baik.
"Aleen?"
Tubuh Aleena tersentak pelan mendengar suara Marsha.
"Nyonya Marsha, sa-saya tidak bermaksud menguping pembicaraan Tuan dan Nyonya. Sa-saya tadinya hanya ingin menemui Nyonya," ujar Aleena melirik takut ke arah Asher.
Laki-laki itu berdiri dengan sorot mata dingin dan berlalu melangkah menuju lantai dua.
Marsha menghampirinya. "Jangan takut, Aleena. Asher tidak menyeramkan, dia pasti akan memperlakukanmu dengan baik malam ini, percayalah padaku," ujarnya menyakinkan.
Aleena tertunduk sedih. "Tapi, saya ingin meminta maaf pada Nyonya. Saya berjanji saya tidak akan membuat Nyonya kecewa."
"Aku percaya padamu." Marsha tersenyum tipis. "Sekarang, segeralah ke kamar. Asher sudah menunggumu. Dan ingat, jaga perasaanmu pada suamiku, kau mengerti?"
"Saya mengerti, Nyonya."
Marsha pun berlalu meninggalkan tempat itu dan menutup pintu utama paviliun.
Sementara Aleena berjalan kembali masuk ke dalam kamar. Ia tidak menemukan Asher di sana, namun dia mendengar suara air di dalam kamar mandi.
Aleena menatap gaun tidur di atas ranjang dan meraihnya. Gaun tipis itu membuat Aleena merinding. Selama ini, ia tidak pernah menunjukkan lekuk tubuhnya pada siapapun, lalu bagaimana bisa ia akan memakai gaun setipis itu?
Saat dalam kegalauan, tiba-tiba Alena tersentak saat ia mendengar suara pintu kamar mandi yang terbuka, di sana Asher berdiri menatapnya tanpa ekspresi.
Asher mendekati Aleena dan mematikan penerangan kamar itu.
"Mari lakukan semua ini dengan cepat, aku harus menemani Marsha malam ini," ujar Asher.
Aleena menelan salivanya gugup. Ia menggigit bibir bawahnya gelisah.
Gaun tidur di tangannya pun teremas kuat oleh jemari Aleena saat gadis itu melihat Asher melepaskan kemeja putih yang laki-laki itu pakai.
"Tu-tuan Asher, saya ... saya tidak tahu harus memulai dari mana," ujar Aleena sambil mengalihkan pandangannya.
Asher tersenyum kecut. Baginya, tidak mungkin Aleena tidak mengerti tentang apa yang akan mereka lakukan. Bukankah dia rela menukarkan dirinya dan hamil anak orang lain demi uang?
"Mustahil," ucap Asher remeh.
"A-apa yang mustahil, Tuan?" tanya Aleena bingung.
Asher membalikkan badannya, laki-laki itu berdiri dengan tubuh atasnya yang terpampang.
Sekali lagi, Aleena menelan ludah gugup. Napasnya tercekat saat ia berhadapan dengan dada bidang dan kokoh milik laki-laki itu. Kulit tubuh Asher yang putih dan otot perutnya yang terpahat sempurna, membuat Aleena benar-benar ingin lari.
Gadis itu mundur perlahan hingga betisnya terbentur sisi pinggiran ranjang dan sontak Aleena terjatuh terlentang di atas ranjang.
Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Asher untuk mengurung kedua sisi tubuh Aleena. Wajah pucat Aleena nampak terlihat jelas saat Asher menatapnya tajam dan lekat.
Saat jemari tangan Asher hendak melepas kancing dress yang Aleena pakai, laki-laki itu merasakan gemetar pada tubuh Aleena.
"Jangan menghambat, aku ingin lakukan ini dengar cepat," desis Asher.
"Ma-maaf, Tuan...," cicit Aleena dengan suara bergetar.
"Pejamkan matamu, jangan menatapku," perintah Asher dengan suara beratnya.
Bahkan kamar yang sekarang menjadi minim cahaya pun rasanya masih kurang untuk Asher. Dia benar-benar tidak ingin melihat wajah gadis itu, begitupun sebaliknya, dia tidak ingin Aleena menatapnya.
Kedua mata Aleena mulai terpejam, gadis itu tersentak saat merasakan sensasi menggelikan di sekitar lehernya. Ia berjengit lagi saat sentuhan bibir itu menyapu kulit lehernya dengan kasar, seperti menggigitnya kuat-kuat hingga Aleena mendesis sakit.
Aleena ingin mendorong Asher menjauh, tapi kedua tangannya dicengkeram erat di atas kepalanya oleh pria itu.
Satu tangan Asher kemudian membuka satu persatu kancing dress yang Aleena pakai, hingga hanya menyisakan pakaian dalam yang menutupi tubuh indahnya. Tanpa menghentikan cumbuan kasar di leher Aleena, Asher menyentuh bagian tubuh Aleena yang tak tertutup pakaian lagi.
“Akh!” Aleena meringis saat satu titik di lehernya terasa perih. Apakah Asher baru saja menggigitnya?!
Aleena tersentak saat merasakan tangan besar Asher menyentuh bagian paling intim miliknya yang masih berbalut pakain dalam. Ia menahan napas dan memejamkan mata dengan erat.
Namun, tiba-tiba saja laki-laki itu menghentikan kegiatannya.
Napas Aleena memburu. Suaranya bergetar. "Tu-Tuan Asher..." panggil Aleena sambil membuka matanya perlahan.
Asher menekan cengkeramannya pada tangan Aleena hingga membuat gadis itu tersentak. Wajah marahnya muncul dalam hitungan detik saat gadis itu menyebut namanya.
"Kau sangat menjijikkan,” desisnya dengan suara yang terdengar menyeramkan. “Lihat betapa murahnya dirimu."
Kedua mata Aleena melebar sempurna. Bibirnya bergetar dan kedua matanya berkaca-kaca. Aleena tidak tahu, mengapa Asher tiba-tiba mengatakan hal itu.
Laki-laki itu lalu melepaskan cengkeraman tangannya dan beranjak menjauhinya.
Asher menyahut kemeja putihnya di tepi ranjang dan memakaikan cepat, dia berdiri memunggungi Aleena.
"Aku tidak bisa menghabiskan malam dengan wanita yang tidak aku cintai. Apalagi dengan gadis sepertimu," ujar Asher dingin.
"Ta-tapi Tuan—"
Ucapan Aleena terhenti saat Asher pergi dari kamar dan membanting pintu dengan keras.
Aleena tertegun, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Ia beranjak duduk menutup tubuhnya dengan selimut.
Menjijikkan! Murahan!
Kata-kata itu terngiang di kepalanya, menikamnya tanpa ampun.
Aleena merasa dadanya sesak. Ia memeluk dirinya sendiri dan menangis dalam diam.
Sebegitu hinakah dirinya?
Tak pernah terbayang di benak Aleena akan ada seseorang yang mengatakan hal ini padanya.
Dan bagaimana besok Aleena menjelaskan pada Marsha tentang malam pertama yang menyakitkan ini?
"Nyonya Muda dari Keluarga Benedict sedang mencari seorang ibu pengganti. Kalau kau mau menyewakan rahimmu, kau bisa mendapatkan uang ratusan juta yang kau butuhkan, Sayang."Kedua bola mata Aleena melebar saat mendengar calon suaminya melontarkan ide gila itu.Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu menatapnya tak percaya. "Kau memintaku untuk menjadi seorang ibu pengganti dan menyewakan rahimku? Apa kau sudah gila, Carl Malvine?!" pekik Aleena, benar-benar tidak habis pikir dengan calon suaminya itu.Carl tampak tenang. "Tapi kau butuh uang untuk pengobatan Papamu kan, Sayang?" ucapnya sembari menggenggam lengan Aleena lembut, yang langsung ditepis oleh gadis itu. "Tapi tidak dengan cara itu, Carl! Aku ini calon istrimu. Bisa-bisanya kau malah menawarkan hal seperti itu padaku? Aku tidak mau!" tolak Aleena dengan tegas. Sungguh, Aleena tidak menyangka kalau Carl akan menawarkan hal ini padanya. Rasa sedih memenuhi ruang hati gadis itu. Ia memang membutuhkan uang ratusan juta untu
Esok harinya, Aleena mendatangi kediaman Keluarga Benedict bersama Carl.Ya, Aleena sudah membuat keputusan. Ia akan menerima tawaran menjadi ibu pengganti demi pengobatan ayahnya, sekaligus membuktikan pada Carl bahwa ia bukan gadis yang mudah diperdaya. Aleena bersandiwara seolah tidak tahu kenyataan menyakitkan bahwa selama ini calon suaminya telah berkhianat. "Aku yakin, Sayang, kau tidak akan menyesali keputusanmu," bisik Carl yang kini duduk bersebelahan dengan Aleena di ruang tamu rumah mewah itu. "Ya," balas Aleena singkat. Dapat Aleena lihat betapa berseri-serinya wajah Carl saat ini, seolah tak sabar mendapatkan keuntungan besar dengan memanfaatkan dirinya. Tapi hal itu tak akan terjadi. Aleena akan memastikan Carl tidak mendapat keuntungan sepeser pun darinya!"Aku berharap setelah ini Papa cepat sembuh," ujar Carl menoleh pada Aleena dan tersenyum lembut. "Dan kita akan segera menikah." Aleena hanya tersenyum kecut dan merasa jijik mendengar ungkapan penuh kebohongan
Kedatangan Asher Benedict membuat suasana menjadi tegang. Sekilas saja, Aleena langsung tahu bahwa Asher adalah sosok pria dingin, tegas, dan mengintimidasi. Aura penuh wibawanya itu membuat siapapun akan merasa gugup jika berhadapan dengannya. Aleena menelan ludah saat Asher menatapnya. Ia tidak menduga bahwa ternyata laki-laki itu jauh lebih dewasa darinya."Sayang, mereka adalah tamu kita," ujar Marsha menjelaskan. Asher menaikkan salah satu alisnya. Ia tidak pernah tahu sejak kapan istrinya bergaul dengan gadis berpenampilan sederhana seperti gadis di depannya ini."Ada keperluan apa?" tanya Asher, sembari duduk di sofa menyilangkan kakinya. "Ada hal penting yang ingin aku bahas," jawab Marsha. Asher tidak lagi berkata-kata. Di sampingnya, Marsha memperhatikan Carl yang masih duduk di samping Aleena. Marsha ingin berbincang dengan suaminya dan Aleena saja saat ini. "Carl, bisakah kau pergi dulu dan tinggalkan Aleena sebentar di sini?" Aleena sontak menatap Carl dengan lekat.
"Semua biaya rumah sakit Papamu sudah aku urus Aleena. Hasil pemeriksaan kesuburanmu pun sangat baik. Kemungkinan besar, sekali berhubungan saja kau bisa segera hamil.” Aleena hanya mengangguk kecil mendengar apa yang Marsha katakan. Siang ini, Marsha mendatangi rumah sakit bersama Asher. Mereka berdua mengurus semua administrasi pengobatan Papanya dan ia juga melakukan tes kesehatan."Sekarang semua sudah selesai, ayo kita pergi," sahut Asher meraih tangan Marsha. "Tunggu, Sayang—"Marsha menghentikan langkahnya saat ponsel miliknya di dalam tas berdering. Wanita berambut cokelat sebahu itu menoleh seolah meminta izin, lalu berjalan menjauh saat menjawab panggilan tersebut. Kini hanya ada Aleena dan Asher berdua di sana. Asher melirik gadis bertubuh kurus di sampingnya yang tengah memeluk sebuah tas besar. "Apa kau membawa semua pakaianmu?" tanya Asher menoleh. Aleena menatapnya gugup. "Nyo-Nyonya yang meminta pada saya, Tuan," jawabnya.Hari ini Aleena akan tinggal bersama Ma
Dua hari berlalu dengan cepat. Aleena masih berada di kediaman Keluarga Benedict dan tidak pergi ke mana pun. Apalagi, sekarang Aleena telah memiliki status baru, yaitu menjadi istri kedua Asher. Malam ini, gadis bertubuh kurus itu duduk di tepi ranjang dengan balutan dress berwarna biru muda. Aleena tampak cemas dan kalut. Dalam waktu yang begitu singkat, Aleena dan Asher resmi menikah. Meskipun pernikahan itu hanya untuk sementara waktu saja, dan juga berjalan demi keuntungan masing-masing."Nona Aleena..." Suara Bibi Julien berhasil membuyarkan lamunan Aleena, gadis itu menoleh cepat ke arah pintu dan berdiri dari duduknya. "Iya, Bi? Ada apa?" tanya Aleena menatapnya. "Ini gaun tidur tidur yang Nyonya Marsha siapkan untuk Nona Aleena pakai malam ini," ujar Bibi Julien meletakkan gaun tidur satin berwarna merah di atas ranjang. Wajah Aleena mendadak pucat. Rasa takut menyelimutinya dengan cepat.Ia tidak bisa membayangkan seperti apa malam pertama itu?"A-apa Nyonya Marsha sed
"Semua biaya rumah sakit Papamu sudah aku urus Aleena. Hasil pemeriksaan kesuburanmu pun sangat baik. Kemungkinan besar, sekali berhubungan saja kau bisa segera hamil.” Aleena hanya mengangguk kecil mendengar apa yang Marsha katakan. Siang ini, Marsha mendatangi rumah sakit bersama Asher. Mereka berdua mengurus semua administrasi pengobatan Papanya dan ia juga melakukan tes kesehatan."Sekarang semua sudah selesai, ayo kita pergi," sahut Asher meraih tangan Marsha. "Tunggu, Sayang—"Marsha menghentikan langkahnya saat ponsel miliknya di dalam tas berdering. Wanita berambut cokelat sebahu itu menoleh seolah meminta izin, lalu berjalan menjauh saat menjawab panggilan tersebut. Kini hanya ada Aleena dan Asher berdua di sana. Asher melirik gadis bertubuh kurus di sampingnya yang tengah memeluk sebuah tas besar. "Apa kau membawa semua pakaianmu?" tanya Asher menoleh. Aleena menatapnya gugup. "Nyo-Nyonya yang meminta pada saya, Tuan," jawabnya.Hari ini Aleena akan tinggal bersama Ma
Kedatangan Asher Benedict membuat suasana menjadi tegang. Sekilas saja, Aleena langsung tahu bahwa Asher adalah sosok pria dingin, tegas, dan mengintimidasi. Aura penuh wibawanya itu membuat siapapun akan merasa gugup jika berhadapan dengannya. Aleena menelan ludah saat Asher menatapnya. Ia tidak menduga bahwa ternyata laki-laki itu jauh lebih dewasa darinya."Sayang, mereka adalah tamu kita," ujar Marsha menjelaskan. Asher menaikkan salah satu alisnya. Ia tidak pernah tahu sejak kapan istrinya bergaul dengan gadis berpenampilan sederhana seperti gadis di depannya ini."Ada keperluan apa?" tanya Asher, sembari duduk di sofa menyilangkan kakinya. "Ada hal penting yang ingin aku bahas," jawab Marsha. Asher tidak lagi berkata-kata. Di sampingnya, Marsha memperhatikan Carl yang masih duduk di samping Aleena. Marsha ingin berbincang dengan suaminya dan Aleena saja saat ini. "Carl, bisakah kau pergi dulu dan tinggalkan Aleena sebentar di sini?" Aleena sontak menatap Carl dengan lekat.
Esok harinya, Aleena mendatangi kediaman Keluarga Benedict bersama Carl.Ya, Aleena sudah membuat keputusan. Ia akan menerima tawaran menjadi ibu pengganti demi pengobatan ayahnya, sekaligus membuktikan pada Carl bahwa ia bukan gadis yang mudah diperdaya. Aleena bersandiwara seolah tidak tahu kenyataan menyakitkan bahwa selama ini calon suaminya telah berkhianat. "Aku yakin, Sayang, kau tidak akan menyesali keputusanmu," bisik Carl yang kini duduk bersebelahan dengan Aleena di ruang tamu rumah mewah itu. "Ya," balas Aleena singkat. Dapat Aleena lihat betapa berseri-serinya wajah Carl saat ini, seolah tak sabar mendapatkan keuntungan besar dengan memanfaatkan dirinya. Tapi hal itu tak akan terjadi. Aleena akan memastikan Carl tidak mendapat keuntungan sepeser pun darinya!"Aku berharap setelah ini Papa cepat sembuh," ujar Carl menoleh pada Aleena dan tersenyum lembut. "Dan kita akan segera menikah." Aleena hanya tersenyum kecut dan merasa jijik mendengar ungkapan penuh kebohongan
"Nyonya Muda dari Keluarga Benedict sedang mencari seorang ibu pengganti. Kalau kau mau menyewakan rahimmu, kau bisa mendapatkan uang ratusan juta yang kau butuhkan, Sayang."Kedua bola mata Aleena melebar saat mendengar calon suaminya melontarkan ide gila itu.Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu menatapnya tak percaya. "Kau memintaku untuk menjadi seorang ibu pengganti dan menyewakan rahimku? Apa kau sudah gila, Carl Malvine?!" pekik Aleena, benar-benar tidak habis pikir dengan calon suaminya itu.Carl tampak tenang. "Tapi kau butuh uang untuk pengobatan Papamu kan, Sayang?" ucapnya sembari menggenggam lengan Aleena lembut, yang langsung ditepis oleh gadis itu. "Tapi tidak dengan cara itu, Carl! Aku ini calon istrimu. Bisa-bisanya kau malah menawarkan hal seperti itu padaku? Aku tidak mau!" tolak Aleena dengan tegas. Sungguh, Aleena tidak menyangka kalau Carl akan menawarkan hal ini padanya. Rasa sedih memenuhi ruang hati gadis itu. Ia memang membutuhkan uang ratusan juta untu