Fania terbangun dan ia langsung terkejut melihat ke sekeliling ruangan yang begitu asing.
“Hah! Gue di mana ini?” Fania mencoba bangun dengan memegang kepalanya yang masih berputar-putar.
Ia menatap ke sekeliling untuk mencari ponselnya. Namun, sayangnya tidak ketemu. Lalu ia mencoba berdiri dan berjalan menuju pintu keluar.
Saat sudah keluar dari kamar. Ia melihat sosok lelaki yang tertidur pulas di sofa depan televisi.
Ia mengendap-ngendap mendekat ke arah pria itu untuk memastikan pria di depannya bukan orang jahat.
Namun, sialnya saat mendekat kakinya tersandung karpet. Membuat tubuh Fania menjadi limbung dan terjatuh ke atas tubuh pria itu.
Ya. Pria itu adalah Elnathan Devandra—sang pemilik mobil.
Devan langsung terbangun dan menatap wanita yang berada di atas tubuhnya.
“Kamu mau godain saya?” ucapnya menelisik. Devan bahkan menatap Fania dengan tatapan tajam.
“Maaf, nggak sengaja!” Fania langsung berdiri dan merapikan bajunya yang berantakan.
Devan terduduk lalu ia berdiri dan melangkah mendekat ke arah Fania.
Fania mundur secara perlahan.
“Awas ya, kalo lo berani macem-macem sama gue. Gue bakalan teriak!” ancam Fania. Namun, Devan tetap mendekat ke arahnya.
Devan menarik tangan Fania dengan keras. Membuat Fania kini berada di dekapan Devan dengan jarak yang begitu dekat.
“Kenapa kamu berada di mobilku? Apa kamu sengaja, biar orang mengira aku menculikmu? Iya, begitu!” hardik Devan sinis.
Fania pun mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Namun, sialnya dia belum mengingat semua.
“Jadi benar kamu memang sengaja? Ada motif apa kamu sampai masuk ke mobilku! Katakan? Kamu butuh uang? Lalu ingin menjebakku?” cecar Devan membuat Fania tidak terima dikatakan seperti itu.
“Jangan nuduh sembarangan! Gue wanita baik-baik, ya. Dan gue nggak ada maksud menjebak lo. Gue hanya—,” jeda Fania. Dia bahkan tidak bisa mengingat semuanya. “Plis. Lo siapa? Kenapa gue bisa ada di sini!” sambung Fania bertanya. Dia benar-benar tidak ingat.
Namun, Devan tidak semudah itu percaya. “Kamu kira aku percaya dengan alasanmu?”
“Aku serius. Aku ti—,” ucapan Fania terhenti karena ada suara bel dari luar.
Devan melangkahkan kakinya ke arah pintu. Lalu ia membukanya.
Betapa terkejutnya Fania melihat siapa yang datang.
“Karina ....” teriak Fania senang ia bahkan berlari menghampiri sahabatnya dan memeluknya.
“Lo nggak apa-apa kan, Fan?” tanya Karina cemas.
Fania menggeleng. “Lo kok bisa tahu gue ada di sini?” tanya Fania.
“Ceritanya panjang. Ya udah kita pulang ya. Lo pasti bakal kena omel bokap lo, jam segini baru pulang!” cecar Karina. Fania pun mengangguk.
Karina menatap ke arah Devan. “Tuan Elnathan, maaf kami jadi menganggumu dan maafkan teman saya!” ucap Karina tidak enak.
“Tidak masalah,” sahut Devan. Ia juga melirik ke assisten pribadinya yang mengantar seorang wanita ke apartemennya. “Jadi dia pacarmu?” tanya Devan yang langsung diangguki oleh Reihan.
“Maaf, Tuan. Fania ini,” unjuk Reihan ke arah Fania yang berdiri di dekat Karina. “Dia adalah teman pacar saya.” Reihan memberi tahu.
Fania terdiam menatap tajam ke arah Devan. Ia bahkan merasa malu dan bersalah.
Devan hanya mengangguk. “Ingat, Nona. Lain kali hati-hati. Jangan sampai ceroboh!” kata Devan menghadap ke Fania dengan sorot mata yang tajam juga.
Fania akhirnya meminta maaf atas kecerobohan dirinya. Meski ia masih sangat kesal karena sudah dituduh sebagai wanita penggoda.
Mereka bertiga pun berpamitan. Fania mengambil tasnya yang di sofa ruang tengah. Lalu ia berjalan keluar meninggalkan apartemen milik Devan.
***
Satu jam kemudian. Mobil Karina kini berhenti di gerbang tinggi berwarna hitam.
Fania berterima kasih kepada Karina dan Reihan yang sudah menjemputnya. Fania turun lalu masuk ke dalam rumah setelah mobil sahabatnya menghilang dari bayangan matanya.
Waktu sudah menunjuk pukul dua pagi. Fania sudah menduga jika ayahnya pasti sudah tertidur. Ia berjalan pelan naik ke arah tangga. Namun, saat baru naik beberapa tangga. Dirinya dipanggil oleh suara yang ia sangat kenal.
“Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang?” tanya Alnando—ayah Fania. Dia menatap tajam ke arah putrinya.
Langkah Fania langsung terhenti. Dan ia membalikkan badannya ke arah Alnando yang berdiri tepat di depan anak tangga. Fania bahkan hanya terdiam menatap wajah ayahnya yang penuh amarah.
“Mau jadi apa kamu Fania, jika kamu sering keluyuran tiap malam? Contoh kakakmu. Dia tidak pernah keluar malam kalo bukan pekerjaan. Harusnya kamu mencontoh dia, bukan malah seenaknya seperti ini!” cecar Alnando dengan keras.
Dada Fania seketika memanas mendengar perbandingan dirinya dengan kakak tirinya. Hal yang sangat ia benci.
“Terus aja, Pah. Apapun yang Fania lakukan selalu salah di mata Papah!” Fania membela diri.
“Salah bagaimana? Sudah jelas kamu memang salah, Fania!” geram Alnando semakin memuncak. Ia bahkan akan melayangkan tangan kanannya ke arah putrinya.
Fania langsung memejamkan mata. Namun, tangan Alnando langsung di cekal oleh Angela—ibu tiri Fania.
“Sudah, Mas. Jangan terlalu keras pada Fania,” ucap Angela lembut. Ia juga mendekat ke arah Fania lalu mengusap rambut Fania dengan pelan.
“Fania hanya bermain dengan temannya, Mas. Kenapa kamu malah mempermasalahkan?” sambung Angela lagi dengan bibir yang menyungging.
“Aku hanya ingin Fania bisa meniru kakaknya. Bukan malah suka keluyuran tidak jelas seperti i—,”
“Sudah, tidak perlu diperpanjang,” sela Angela. Ia menatap ke arah anak tirinya. “Fania dan Shanum mereka berbeda, Mas. Fania juga pasti akan berubah seperti kakaknya. Iya ‘kan Fania?” tanya Angela dengan senyum jahatnya.
Fania melolot ke arah ibu tirinya. Dia tidak menjawab. Bahkan ia langsung berlari ke arah kamarnya meninggalkan ayah dan ibu tirinya.
Alnando mengusap wajahnya dengan kasar. Ia merasa bersalah karena sudah terlalu keras pada putri kandungnya. Namun, yang ia lakukan demi kebaikan masa depan Fania.
“Terima kasih untuk sikapmu yang selalu baik pada putriku. Meski ia belum mau menerimamu sampai detik ini!” ucap Alnando pada Angela yang sudah berdiri di hadapannya ia bahkan langsung memeluk tubuh istrinya.
“Tidak masalah, Mas. Suatu saat Fania pasti akan menerimaku, dan juga Shanum,” sahut Angela tersenyum setelah pelukannya terlepas.
Alnando mengusap pipi Angela. Lalu mengecup keningnya.
“Aku cinta kamu,” ucap Alnando. Lalu mereka kembali masuk ke dalam kamar.
Angela tersenyum bahagia. Ia sudah menguasai hati Alnando. Hanya saja Fania belum bisa menerima kehadirannya. Itu tidak masalah!
Sedangkan di tempat lain. Yakni kamar Fania. Fania sendiri sedang menangis sesegukan. Semenjak Alnando menikah kembali, ayahnya sedikit berubah. Ia pun sangat membenci sikap manis ibu tirinya. Pandai bermuka dua. Menjijikan!
Fania mengambil sebuah foto di laci meja dan meraba foto kecilnya yang begitu terlihat bahagia. Ia juga menatap ke arah seorang perempuan yang sangat berarti di hidupnya. Ya dia adalah ibu kandung Fania.
“Bu, Fania kangen!”
Hari dengan cepat telah berganti. Fania pagi ini akan bersiap-siap ke kampus. Sebagai mahasiswa akhir membuat ia sedikit sibuk mempersiapkan untuk sidang skripsi.Skripsi sudah ia mulai kerjakan meski belum sepenuhnya selesai.Fania keluar dari kamar menuruni anak tangga. Netranya melihat ke sekeliling rumah yang sudah disulap menjadi taman bunga.“Bi Iyas!” panggil Fania saat duduk di ruang makan.“Iya, Non. Mau sarapan apa?” tanya Iyas yang mendekat ke hadapan Fania.Fania bukannya menjawab. Ia malah bertanya pada Bi Iyas. “Mau ada acara apa, Bi? Rumah dihias begini?” Fania penasaran.“Oh itu, Non. Non shanum mau kedatangan calon besan dan calon suaminya.”“Shanum? Calon suami?”“Iya, Non. Tadi Tuan sudah berpesan. Nanti malam non Fania tidak boleh pergi,” ucap Bi Iyas membuat Fania memutar bola matanya.“Kan yang mau nikah Shanum, apa hubungannya sama aku!” cebik Fania kesal.Iyas hanya tersenyum. Ia sudah paham dengan anak majikannya.“Ya udah, aku berangkat dulu, Bi.” Fania berpa
Fania membelalak saat tahu Devan menunjuk dirinya.“Nak Devan, kamu tidak lagi becanda, ‘kan?” tanya Angela yang sangat terkejut.“Tidak. Aku serius!” sahut Devan tegas.“Tapi, Dev. Shanum yang akan bersanding denganmu, bukan Fania!” Sam kini bersuara.Shanum sendiri langsung memucat mendengar perkataan calon suaminya. Sedangkan, Fania dia menatap Devan dengan tatapan kesal.“Aku menginginkan dia! Ehm, Fania.” Yakin Devan. Bahkan, ia berani menyebut nama Fania di depan semua orang.Fania menutup matanya, lalu menatap ke arah Devan yang tersenyum mengejek padanya.“Emang nggak waras tuh orang. Sial banget gue di kambing hitamkan kaya gini! Awas aja, gue bakal balas,” gerutu fania dalam hati.Shanum memegang tangan ibunya. Ia tidak menyangka acara yang seharusnya dia bahagia, tetapi malah seperti ini.Alnando akhirnya bersuara. Ia berkata,”Nak Dev, kamu tidak salah memilih Fania. Dia bahkan belum lulus kuliah? Apa tidak akan dipertimbangkan kembali?”“Tidak, Om. Kalo Fania tidak mau. Ak
Acara pernikahan Fania dan Devan sudah selesai tiga jam yang lalu. Banyak sekali teman Fania yang tidak percaya ia menikah secepat ini. Bahkan banyak teman kampusnya yang memuji ketampanan Devan dan membandingkannya dengan Riko—mantan kekasihnya.Kini Fania dan Devan sudah berada di kamar hotel. Devan bahkan meminta pihak hotel untuk menghias kamarnya.“Mau aku bantuin?” tanya Devan saat melihat Fania kesusahan membuka resleting baju gaunnya.“Nggak perlu.” Fania menolak dengan nada ketus. Ia tetap berusaha membuka resleting bajunya sendiri.Namun, Devan langsung mendekat. Tangannya dengan cepat membuka resleting gaun Fania secara perlahan. Fania tidak memberontak sama sekali. Karena ia memang tidak bisa membuka resleting bajunya.Jantung Devan berdebar saat melihat punggung Fania yang putih mulus. Meski ia sering melihat punggung wanita terbuka saat berada di club malam.Namun, kali ini berbeda. Apalagi ia pria normal yang memiliki h****t.Fania langsung membalikkan badannya saat mer
Shanum menyeringai setelah Angela membisikkannya. Mereka berdua tertawa dengan saling memandang. “Mamah memang yang terbaik!” Shanum berkata pada Angela dengan sangat bangga. Angela mengangguk dan tersenyum. “Apa sih yang nggak buat anak Mamah!” Shanum dan Angela kembali ke meja. Acara makan malam berjalan lancar. Meski dalam hati Fania ia melihat ada sesuatu yang janggal pada Angela dan Shanum saat menatap dirinya. Namun, Fania tidak mau memikirkan hal itu. Karena memang seperti itu tatapan mereka padanya. *** Acara makan malam telah usai. Fania kini sudah berada di kamar hotelnya bersama dengan Devan. Sungguh ini hal pertama kali untuk Fania sekamar dengan pria asing yang kini sudah menjadi suaminya. Terasa aneh. Fania masih betah duduk di depan cermin sembari memainkan ponsel. Sebab, ia sedang membalas ucapan dari teman-teman onlinenya. Sedangkan Devan, ia sudah lebih dulu berbaring di ranjang yang masih terhias oleh kelopak mawar merah. “Emang nggak cape apa duduk di situ s
Malam pertama tinggal di apartemen Devan. Fania dan Devan tidak tidur seranjang seperti keinginan Fania. Devan akhirnya mengalah tidur di sofa yang berada di ruang tengah.Fania kini terbangun karena mendengar suara alarm dari ponselnya.Fania mengambil ponsel di nakas lalu melihat jam yang tertera di layar ponsel.“Hah! udah jam enam?” ucap Fania terkejut. Ia memilih untuk bangun dan duduk terlebih dahulu sebelum turun dari ranjang.Ia bahkan mengingat kejadian semalam saat Devan dengan lancangnya mencium dirinya. Entah kenapa hatinya merasakan hal yang aneh.“Gue benci banget sikap lancang dia! Berani banget cium pipi gue. Huh!” gerutu Fania jengkel.Fania melihat ke sekeliling ruangan kamar Devan. Ia bahkan tidak melihat batang hidung pria yang kini menjadi suaminya.“Ke mana dia? Jangan-jangan tidur di luar?” tebak Fania dan ia tidak memperdulikannya. Fania memutuskan turun dari ranjang dan berjalan menuju ruang lembab.Hampir lima belas menit berada di kamar mandi. Kini Fania ke
Fania yang sudah sampai di kampus. Ia sedikit terkejut akan panggilan dari Alnando untuk pulang ke rumah.Apalagi nada suara Alnando terdengar meninggi. Dan Fania sangat paham jika nada ayahnya seperti itu dipastikan ada masalah di rumah.Fania sudah menjawab. Namun, karena ia ada pembekalan untuk sidang skripsi. Membuat Fania meminta kepada Alnando untuk datang ke rumah malam nanti.Kini Fania sudah berada di dalam kelas. Ia membuka laptop untuk memeriksa skripsi yang sudah ia revisi semalam.“Eh, pengantin baru!” sapa Karina yang baru datang lalu duduk kursi samping Fania.“Apaan si!” sahut Fania bete karena Karina memanggil sebutan itu.“Lho memang pengantin baru ‘kan?” ledek Karina lagi.“Tau ah! Nggak usah nyebut-nyebut panggilan itu.” Fania mencebik.Karina tertawa. “Gimana rasanya malam pertama enak nggak?” tanya Karina membisik di telinga Fania.Fania melotot. “Nggak ada malam pertama, Rin. Gue aja tidur terpisah,” ucap Fania santai sambil melihat ke layar monitor.“Apa?” Kari
Devan datang ke rumah mertuanya dengan tergesa-gesa. Ia dikabari oleh Aris, saat Aris hendak memberikan tas Fania yang tertinggal di mobil. Ia tidak sengaja melihat secara langsung bagaimana Fania disudutkan dan juga dimarahi oleh Alnando. Meskipun Aris tidak paham permasalahannya apa.Namun, ia merasa kasihan kepada Fania. Membuat ia langsung mengabari bosnya untuk datang kemari.Dan benar saja ketika Devan sudah sampai di rumah mertuanya. Ia melihat secara langsung bagaimana sikap Alnando yang akan melayangkan tangan kanannya ke arah wajah istrinya.“Jangan pukul istriku!” suara Devan membuyarkan semua dan Fania bahkan terkejut akan kehadiran Devan di sini.“Seperti inikah perlakuan anda sebagai seorang ayah? Saya tidak menduga jika anda sebrutal ini terhadap putrimu!” ucap Devan menatap mertuanya secara tajam.“Dev! Fania sudah mempermainkan pernikahan dengan membuat perjanjian yang konyol! Sebagai seorang ayah, saya kecewa!” ujar Alnando. Ia kini menatap tajam ke arah Devan. “Dan
Fania terdiam menatap wajah Devan setelah lumatan mereka terlepas. Ucapan Devan membuat hatinya kini resah kembali. “Apa lo bilang barusan?” tanya Fania sekali lagi. Mereka berdua masih saling berhadapan. “Bilang apa?” Devan berbalik tanya. “Yang tadi lo ucapkan!” “Udah lupakan saja.” Devan berdiri dan ia berpura-pura melepaskan dasi yang masih melingkar di lehernya. Padahal ia hanya ingin menghindar dari pertanyaan Fania. Fania yang berbaring kini ia bangun dan duduk di atas ranjang. Fania menatap Devan yang sibuk di depan cermin. Ia juga tahu jika Devan hanya menghindar darinya. Bibir Fania kini mengembang. Melihat Devan telah masuk ke kamar mandi membuat dirinya langsung memegang bibirnya. “Gue dua kali berciuman? Astaga, ini kaya mimpi. Tapi, perlakuan om Devan bikin jantung gue nggak karuan.” Fania bergumam sambil memegang dadanya. Ada perasaan yang sulit ditebak. Fania juga tidak ingin terlena akan sikap Devan padanya. Apalagi ia belum sepenuhnya mengenal sosok suaminya