Share

Bab 2. Selalu Dibandingkan

Fania terbangun dan ia langsung terkejut melihat ke sekeliling ruangan yang begitu asing.

“Hah! Gue di mana ini?” Fania mencoba bangun dengan memegang kepalanya yang masih berputar-putar.

Ia menatap ke sekeliling untuk mencari ponselnya. Namun, sayangnya tidak ketemu. Lalu ia mencoba berdiri dan berjalan menuju pintu keluar.

Saat sudah keluar dari kamar. Ia melihat sosok lelaki yang tertidur pulas di sofa depan televisi.

Ia mengendap-ngendap mendekat ke arah pria itu untuk memastikan pria di depannya bukan orang jahat.

Namun, sialnya saat mendekat kakinya tersandung karpet. Membuat tubuh Fania menjadi limbung dan terjatuh ke atas tubuh pria itu.

Ya. Pria itu adalah Elnathan Devandra—sang pemilik mobil.

Devan langsung terbangun dan menatap wanita yang berada di atas tubuhnya.

“Kamu mau godain saya?” ucapnya menelisik. Devan bahkan menatap Fania dengan tatapan tajam.

“Maaf, nggak sengaja!” Fania langsung berdiri dan merapikan bajunya yang berantakan.

Devan terduduk lalu ia berdiri dan melangkah mendekat ke arah Fania.

Fania mundur secara perlahan.

“Awas ya, kalo lo berani macem-macem sama gue. Gue bakalan teriak!” ancam Fania. Namun, Devan tetap mendekat ke arahnya.

Devan menarik tangan Fania dengan keras. Membuat Fania kini berada di dekapan Devan dengan jarak yang begitu dekat.

“Kenapa kamu berada di mobilku? Apa kamu sengaja, biar orang mengira aku menculikmu? Iya, begitu!” hardik Devan sinis.

Fania pun mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Namun, sialnya dia belum mengingat semua.

“Jadi benar kamu memang sengaja? Ada motif apa kamu sampai masuk ke mobilku! Katakan? Kamu butuh uang? Lalu ingin menjebakku?” cecar Devan membuat Fania tidak terima dikatakan seperti itu.

“Jangan nuduh sembarangan! Gue wanita baik-baik, ya. Dan gue nggak ada maksud menjebak lo. Gue hanya—,” jeda Fania. Dia bahkan tidak bisa mengingat semuanya. “Plis. Lo siapa? Kenapa gue bisa ada di sini!” sambung Fania bertanya. Dia benar-benar tidak ingat.

Namun, Devan tidak semudah itu percaya. “Kamu kira aku percaya dengan alasanmu?”

“Aku serius. Aku ti—,” ucapan Fania terhenti karena ada suara bel dari luar.

Devan melangkahkan kakinya ke arah pintu. Lalu ia membukanya.

Betapa terkejutnya Fania melihat siapa yang datang.

“Karina ....” teriak Fania senang ia bahkan berlari menghampiri sahabatnya dan memeluknya.

“Lo nggak apa-apa kan, Fan?” tanya Karina cemas.

Fania menggeleng. “Lo kok bisa tahu gue ada di sini?” tanya Fania.

“Ceritanya panjang. Ya udah kita pulang ya. Lo pasti bakal kena omel bokap lo, jam segini baru pulang!” cecar Karina. Fania pun mengangguk.

Karina menatap ke arah Devan. “Tuan Elnathan, maaf kami jadi menganggumu dan maafkan teman saya!” ucap Karina tidak enak.

“Tidak masalah,” sahut Devan. Ia juga melirik ke assisten pribadinya yang mengantar seorang wanita ke apartemennya. “Jadi dia pacarmu?” tanya Devan yang langsung diangguki oleh Reihan.

“Maaf, Tuan. Fania ini,” unjuk Reihan ke arah Fania yang berdiri di dekat Karina. “Dia adalah teman pacar saya.” Reihan memberi tahu.

Fania terdiam menatap tajam ke arah Devan. Ia bahkan merasa malu dan bersalah.

Devan hanya mengangguk. “Ingat, Nona. Lain kali hati-hati. Jangan sampai ceroboh!” kata Devan menghadap ke Fania dengan sorot mata yang tajam juga.

Fania akhirnya meminta maaf atas kecerobohan dirinya. Meski ia masih sangat kesal karena sudah dituduh sebagai wanita penggoda.

Mereka bertiga pun berpamitan. Fania mengambil tasnya yang di sofa ruang tengah. Lalu ia berjalan keluar meninggalkan apartemen milik Devan.

***

Satu jam kemudian. Mobil Karina kini berhenti di gerbang tinggi berwarna hitam.

Fania berterima kasih kepada Karina dan Reihan yang sudah menjemputnya. Fania turun lalu masuk ke dalam rumah setelah mobil sahabatnya menghilang dari bayangan matanya.

Waktu sudah menunjuk pukul dua pagi. Fania sudah menduga jika ayahnya pasti sudah tertidur. Ia berjalan pelan naik ke arah tangga. Namun, saat baru naik beberapa tangga. Dirinya dipanggil oleh suara yang ia sangat kenal.

“Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang?” tanya Alnando—ayah Fania. Dia menatap tajam ke arah putrinya.

Langkah Fania langsung terhenti. Dan ia membalikkan badannya ke arah Alnando yang berdiri tepat di depan anak tangga. Fania bahkan hanya terdiam menatap wajah ayahnya yang penuh amarah.

“Mau jadi apa kamu Fania, jika kamu sering keluyuran tiap malam? Contoh kakakmu. Dia tidak pernah keluar malam kalo bukan pekerjaan. Harusnya kamu mencontoh dia, bukan malah seenaknya seperti ini!” cecar Alnando dengan keras.

Dada Fania seketika memanas mendengar perbandingan dirinya dengan kakak tirinya. Hal yang sangat ia benci.

“Terus aja, Pah. Apapun yang Fania lakukan selalu salah di mata Papah!” Fania membela diri.

“Salah bagaimana? Sudah jelas kamu memang salah, Fania!” geram Alnando semakin memuncak. Ia bahkan akan melayangkan tangan kanannya ke arah putrinya.

Fania langsung memejamkan mata. Namun, tangan Alnando langsung di cekal oleh Angela—ibu tiri Fania.

“Sudah, Mas. Jangan terlalu keras pada Fania,” ucap Angela lembut. Ia juga mendekat ke arah Fania lalu mengusap rambut Fania dengan pelan.

“Fania hanya bermain dengan temannya, Mas. Kenapa kamu malah mempermasalahkan?” sambung Angela lagi dengan bibir yang menyungging.

“Aku hanya ingin Fania bisa meniru kakaknya. Bukan malah suka keluyuran tidak jelas seperti i—,”

“Sudah, tidak perlu diperpanjang,” sela Angela. Ia menatap ke arah anak tirinya. “Fania dan Shanum mereka berbeda, Mas. Fania juga pasti akan berubah seperti kakaknya. Iya ‘kan Fania?” tanya Angela dengan senyum jahatnya.

Fania melolot ke arah ibu tirinya. Dia tidak menjawab. Bahkan ia langsung berlari ke arah kamarnya meninggalkan ayah dan ibu tirinya.

Alnando mengusap wajahnya dengan kasar. Ia merasa bersalah karena sudah terlalu keras pada putri kandungnya. Namun, yang ia lakukan demi kebaikan masa depan Fania.

“Terima kasih untuk sikapmu yang selalu baik pada putriku. Meski ia belum mau menerimamu sampai detik ini!” ucap Alnando pada Angela yang sudah berdiri di hadapannya ia bahkan langsung memeluk tubuh istrinya.

“Tidak masalah, Mas. Suatu saat Fania pasti akan menerimaku, dan juga Shanum,” sahut Angela tersenyum setelah pelukannya terlepas.

Alnando mengusap pipi Angela. Lalu mengecup keningnya.

“Aku cinta kamu,” ucap Alnando. Lalu mereka kembali masuk ke dalam kamar.

Angela tersenyum bahagia. Ia sudah menguasai hati Alnando. Hanya saja Fania belum bisa menerima kehadirannya. Itu tidak masalah!

Sedangkan di tempat lain. Yakni kamar Fania. Fania sendiri sedang menangis sesegukan. Semenjak Alnando menikah kembali, ayahnya sedikit berubah. Ia pun sangat membenci sikap manis ibu tirinya. Pandai bermuka dua. Menjijikan!  

Fania mengambil sebuah foto di laci meja dan meraba foto kecilnya yang begitu terlihat bahagia. Ia juga menatap ke arah seorang perempuan yang sangat berarti di hidupnya. Ya dia adalah ibu kandung Fania.

“Bu, Fania kangen!”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Harfendi Kartawijaya
&&&&hhh&hhhhhhhh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status