Ibnu mengentakkan kakinya. "Orang Keluarga Lesmana terjangkit wabah!""Kenapa bisa begini?" Ekspresi Maudy langsung berubah. Jelas-jelas dia sudah menyuruh Nirina untuk memberikan sup obat pencegahan wabah kepada semua orang setiap hari. Jika semua orang meminum obat itu dengan tepat waktu, mereka pasti tidak akan terjangkit wabah.Dari dalam, Nirina buru-buru menjelaskan pada Maudy, "Kak Maudy, dengarkan penjelasanku. Aku selalu merebus obat-obatan sesuai resep yang kamu berikan padaku. Dijamin nggak bermasalah.""Nirina, aku percaya padamu." Dulu Nirina memang agak manja. Namun setelah sifatnya berubah sekarang, Nirina sangat teliti dalam merebus obat. Maudy pernah mengawasinya beberapa kali, sehingga dia yakin akan hal ini.Maudy menoleh kepada Ibnu, lalu melanjutkan pertanyaannya, "Apa yang terjadi sebenarnya? Ada berapa orang yang terjangkit wabah?""Aku juga nggak tahu spesifiknya, pokoknya Eva sepertinya sudah sekarat. Yang lainnya juga mungkin sudah tertular. Ketua sudah mengur
Secara logika, jika meminum obat itu dengan rutin setiap hari dan tidak melakukan kontak fisik apa pun dengan penderita, mereka tidak mungkin akan tertular. Kecuali, mereka menggunakan benda yang pernah digunakan oleh penderita.Namun, kenapa benda yang pernah digunakan oleh penderita wabah bisa sampai di sini?Maudy merasa penasaran. Dia meminta Nirina untuk menyiapkan beberapa lusin potongan kapa, kemudian menuliskan nama setiap orang di potongan kapas tersebut. Setelah itu, dia membagikan kapas kepada para anggota keluarga Hidayat dan para petugas.Langkah selanjutnya, dia meminta setiap orang untuk mengusap kapas tersebut ke tenggorokan dan memasukkannya ke dalam cangkir yang bersih, lalu menyerahkannya kepadanya. Maudy kemudian memasukkan kapas-kapas tersebut ke dalam sistem ruang medis di ruang ajaibnya untuk diuji."Syukurlah, nggak ada yang terinfeksi," kata Maudy.Petra merasa sangat bersyukur dan para petugas lainnya juga menghela napas lega. Selanjutnya, giliran para tahanan
Setelah hasilnya keluar, Maudy baru bisa menghela napas lega. Untungnya, hanya empat orang yang terjangkit wabah. Wulan, Eva, Ratna, dan putra bungsu keluarga Taufik."Yang nggak ketularan boleh keluar dari gudang, lalu buka semua pakaian kalian dan bakar. Ganti pakaian, lalu ambil sup obat dari Nirina," pesan Maudy dengan tegas."Empat orang yang terinfeksi tetap di dalam gudang kayu, nggak boleh keluar," kata Maudy tegas.Tiga dari mereka patuh, tapi Wulan memelototi Maudy dengan wajah muram sambil berjalan tertatih-tatih dengan tongkatnya menuju pintu keluar."Kamu nggak boleh keluar," Maudy buru-buru mengadangnya. Apa nenek ini tidak mengerti? Sudah sakit dan masih ingin keluar, apa dia mau menulari semua orang?Wulan menatapnya dengan marah, "Kenapa aku nggak boleh keluar? Aku nggak sakit! Badanku masih kuat! Dasar gadis jahat, kamu cuma mau balas dendam dan membunuhku!"Lihat saja, tiga orang lain yang terkena wabah pes semuanya sudah sangat lemah. Sementara itu, Wulan tidak batu
Rani menunduk dan berkata, "Nenek duluan yang nggak mau rawat Ibu. Waktu dia sakit, Ibu selalu merawatnya. Sekarang Ibu sakit, dia malah nggak perhatian sama sekali. Bukannya pantas kalau dia dipukul?""Rani, kenapa kamu bicara begini? Mana tata krama yang biasa kuajarkan padamu?" maki Hidayat dengan ekspresi dingin.Seolah-olah terprovokasi, Rani langsung mendongak menatap ayahnya. "Memangnya salah yang kubilang? Keluarga kita sudah berusaha keras demi Nenek sepanjang perjalanan ini, tapi apa Nenek pernah baik sama kita?""Ayah cuma peduli sama Nenek, apa nggak peduli dengan nasib ibuku?" tambah Rani.Wajah Hidayat seketika memerah. Tentu saja dia perhatian pada Eva. Namun, Hidayat selalu mengedepankan rasa baktinya. Dia merasa sudah sepantasnya harus berbakti pada Wulan."Rani, kamu mau memberontak ya bicara seperti itu pada ayahmu sendiri?" Sambil berkata demikian, Hidayat mengangkat tangannya dan mengayunkannya ke wajah Rani. Namun, tangannya seketika dihentikan oleh Zayn."Ayah, j
Ammar menggelengkan kepalanya. "Segala sesuatu butuh bukti. Kamu nggak punya bukti sekarang. Dia nggak akan mengaku kalau kamu menuduhnya.""Lalu mau bagaimana? Masa biarkan dia begitu saja?" Maudy tidak bisa bersabar menerima hal ini."Aku punya cara untuk membuatnya mengaku sendiri." Setelah itu, Ammar berbisik pada Maudy dan mata Maudy langsung berbinar.Dua hari kemudian, para pasien di gudang kayu hampir semuanya sembuh. Bahkan Eva yang sempat koma sebelumnya juga sudah sadar kembali. Rani sangat berterima kasih kepada Maudy dan menganggapnya sebagai penyelamat.Bersama Petra, Maudy mengusulkan untuk membeli beberapa ekor ayam kampung dan membuat sup ayam untuk membantu memulihkan kondisi tubuh semua orang. Begitu mendengar bahwa ada sup ayam kampung, suasana langsung berubah ceria.Semua orang bergegas mengambil mangkuk dan mengantre untuk mendapatkan sup, termasuk Sandra. Namun, ketika Sandra melihat panci yang digunakan Maudy untuk merebus sup, dia hampir menjatuhkan mangkuknya
"Untuk apa lagi kalau nggak menceraikanmu?" Mail masuk ke rumah dengan tergesa-gesa, lalu mengambil secarik kertas dan menuliskan surat cerai, lalu melemparkannya ke wajah Sandra."Sayang, bagaimanapun, kita ini pernah jadi suami istri!" Sandra memeluk kaki Mail dengan wajah yang berlinang air mata."Pergi sana!" Wulan menendangnya, lalu menggosok sepatunya di rerumputan, seolah-olah baru saja menginjak kotoran. Semua orang melemparkan tatapan sinis pada Sandra. Tidak ada satu pun yang merasa simpati padanya."Kami semua minum sup dari panci itu, nggak akan tertular wabah, 'kan?""Nggak, kok," jelas Maudy agar tidak memicu kekacauan. "Aku sengaja mencari panci yang mirip persis dengan panciku sebelumnya. Yang sebelumnya itu sudah kubakar."Semua orang baru merasa lega setelah mendengarnya."Maudy, berani-beraninya kamu menipuku!" Mengetahui dirinya tertipu, Sandra meraih mangkuk di samping dan hendak melemparkannya ke arah Maudy. Maudy langsung menghindar dan menendang Sandra hingga te
Lagi pula, tidak ada gunanya Maudy menyimpan obat-obatan itu. Hanya dengan membagikannya kepada pasien yang terjangkit wabah, obat-obatan itu baru akan bermanfaat. Selain itu, Maudy juga yakin Yabil tidak akan berani memanfaatkan kesempatan ini."Tabib Ajaib, seharusnya aku yang berterima kasih padamu, bukan sebaliknya. Aku mau berterima kasih karena telah menyelamatkanku dan atas sumbanganmu kepada rakyat Provinsi Troba," kata Yabil dengan ramah sambil mengangkat gelasnya.Dengan nada ringan, dia menambahkan, "Karena aku masih belum sembuh total, aku minum teh sebagai pengganti anggur untuk menghormatimu.""Tuan Yabil terlalu sungkan," jawab Maudy sambil mengangkat gelasnya untuk bersulang. Dia menyukai sikap Yabil yang ramah. Berbicara dengannya selalu terasa nyaman dan santai. Saat taatapan mereka bertemu, kedua orang itu pun tertawa kecil."Sayang, makan ini." Tiba-tiba Ammar menyela dengan wajah cemburu dan menyodorkan makanan di antara mereka.Yabil buru-buru berkata, "Coba cicip
Selama waktu yang dihabiskan bersama Maudy belakangan ini, Ilham akhirnya merasa lega dan bisa menerima kenyataan. Dia bisa melihat dengan jelas bahwa Maudy dan Ammar memiliki hubungan yang sangat baik sebagai suami istri.Ilham bukanlah tipe orang yang ingin merebut istri orang lain. Saat ini, yang paling dia inginkan hanyalah mendoakan kebahagiaan mereka. Biarlah kenangan mereka sebagai teman masa kecil tersimpan selamanya di masa lalu.Bagaimanapun, hidup harus terus berjalan ke depan. Tentu saja, persahabatan mereka akan selalu setia."Maudy, kalau ada kesulitan yang bisa kubantu ke depannya, aku pasti akan berusaha membantu," kata Ilham sambil tersenyum."Baik," jawab Maudy dengan senyum tulus. Menyadari waktu sudah semakin siang, dia segera menambahkan, "Masih banyak urusan yang harus kamu tangani di Provinsi Troba. Kamu nggak usah mengantar kami lebih jauh lagi.""Baiklah," Ilham mengangguk setuju. Memang benar, masih banyak hal yang harus dia selesaikan di Provinsi Troba. Tanp