Setelah menyerahkan resep obat kepada Ilham, Maudy tidak melihatnya lagi. Dia pun terperanjat melihat Dhio yang begitu panik. "Apa yang terjadi?"Ammar dan lainnya menatap Dhio. Dhio menyeka air matanya sambil berujar dengan terisak-isak, "Tuan Ilham terkena pes. Sekarang wabah sedang merajalela di kota. Aku juga nggak seharusnya mengganggumu.""Tapi, kondisi Tuan Ilham benar-benar buruk. Dari semalam, demamnya masih belum reda. Dia terus gemetaran. Dia sudah makan resep obat darimu, tapi nggak berkhasiat. Para tabib sampai angkat tangan. Makanya, aku mencarimu."Maudy cukup terkejut mendengarnya. Resep obat darinya tidak mungkin tidak berguna. Sebenarnya apa yang terjadi pada Ilham?"Nona, apa kamu bisa ikut aku sebentar?" pinta Dhio.Ammar berkata, "Kamu pergi saja. Tuan Ilham pejabat baik, harus disembuhkan."Wabah di Provinsi Troba baru mereda. Jika terjadi sesuatu pada Ilham di situasi genting seperti ini, para rakyat yang akan terkena imbasnya."Baik." Maudy mengangguk, lalu berk
Maudy mengerutkan dahinya. Pantas saja, kondisi Ilham begitu parah. Ternyata karena kelelahan."Jangan panik dulu. Biar kuperiksa sebentar," ucap Maudy.Di situasi seperti ini, obat tradisional tidak akan menimbulkan khasiat terlalu besar. Maudy menyuruh Dhio keluar.Ketika Nirina tidak memperhatikan, Maudy mengeluarkan obat mujarab dari ruang ajaibnya dan menyuntik Ilham. Kemudian, dia mengeluarkan jarum perak untuk melakukan akupunktur."Nirina, bantu aku jaga pintu. Jangan ada yang menggangguku.""Baik."Maudy memegang jarum perak sambil mencari titik akupunktur Ilham. Seseorang harus sangat fokus saat melakukan akupunktur. Jika terjadi sedikit saja kesalahan, usahanya akan sia-sia. Jarum pertama di atas kepala, jarum kedua di belakang telinga, jarum ketiga di dagu.Entah berapa lama kemudian, Maudy bercucuran keringat. Terakhir, dia menancapkan jarum lagi di dahi Ilham.Rona wajah Ilham berangsur membaik. Matanya yang terpejam pun perlahan-lahan terbuka."Maudy?" Ilham mengira Niri
Melihat Dafin telah pergi, Ammar baru berkata dengan ragu-ragu, "Kamu dan Ilham ...."Maudy mengangkat alisnya. "Memangnya kenapa aku dan Ilham? Jangan-jangan kamu curiga kami selingkuh?""Tentu bukan," sergah Ammar buru-buru, "Aku percaya sama karaktermu." Ammar tentu saja percaya bahwa Maudy hanya memperlakukan Ilham dengan sebatas sopan santun, bukan menaruh hati padanya. Namun, Ammar tidak yakin dengan Ilham.Bagaimanapun, kedua orang itu adalah teman sejak kecil. Ilham pasti punya perasaan yang mendalam terhadap Maudy.Ammar mengerutkan alisnya, lalu bertanya, "Kalau Ilham suruh kamu tinggal, apa kamu bakal tinggal?"Maudy tertegun sejenak. Akhirnya dia mengerti apa yang sedang dikhawatirkan oleh Ammar. Dia sengaja berkata, "Kalau aku mau tinggal, apa kamu akan mengizinkannya?"Ammar mengerutkan alisnya, lalu menjawab dengan kesulitan, "Nggak akan.""Bukannya sudah jelas kalau begitu?" Maudy menguap sekilas, lalu berbaring di tempat tidur. Dia sudah kelelahan melakukan akupunktur
Ammar terkejut bukan main. "Cepat lepaskan aku!" Pose ini terlalu memalukan.Maudy menyunggingkan senyuman di sudut bibirnya, "Bukannya kamu suruh aku bawa kamu?""Maudy!" Ammar menggertakkan giginya."Sudah, jangan bercanda lagi. Nanti Dafin dan yang lainnya kebangun!" Maudy menepuk bokong Ammar yang montok. Rasanya benar-benar menyenangkan.Ammar merasa sangat malu sekarang. Namun, perasaan ini tidak bertahan lama. Dia langsung dikejutkan oleh gerakan Maudy selanjutnya yang berkelebat hingga belasan meter jauhnya dalam sekejap.Setelah itu, Maudy mengikuti Aniq dari kejauhan di belakangnya dan akhirnya mereka sampai di toko obat keluarga Aniq. Toko obat ini adalah toko obat terbesar di Provinsi Troba. Bangunannya terdiri dari dua lantai, dengan beberapa gudang di belakang yang dipenuhi dengan berbagai macam obat.Setelah mendapatkan buku medis tersebut, Aniq kegirangan seolah-olah mendapatkan harta karun. Dia segera mengunci diri di dalam kamar untuk mempelajarinya. Aniq sama sekali
Buku itu sama sekali bukan buku medis, melainkan hasil coretan Maudy. Isinya penuh dengan gambar-gambar acak, mulai dari kura-kura hingga kata-kata kasar dari zaman modern. Aniq yang telah mengesampingkan harga dirinya untuk "mencuri" buku itu dan menghabiskan sepanjang malam untuk mempelajarinya, berakhir sia-sia.Dia merasa hancur. Dengan marah, dia melemparkan buku itu ke lantai dan keluar dengan emosi yang meluap-luap. "Maudy, dasar gadis sialan! Berani sekali kamu menipuku, kamu pasti akan celaka! Hah? Mana semua obat-obatanku?"Ketika melihat toko obatnya yang kosong melompong, Aniq sempat mengira itu hanya ilusi. Dia buru-buru mengucek matanya untuk memastikan sekali lagi.Setelah menguceknya berkali-kali dan tetap melihat pemandangan yang sama, dia akhirnya ketakutan dan jatuh terduduk di lantai. "Tokoku, obat-obatanku ...!"Tangisan pilu Aniq menarik perhatian tabib lain dan para asisten. Semua orang terkejut dan buru-buru melapor ke pihak berwenang. Kehilangan obat-obatan seb
Ibnu mengentakkan kakinya. "Orang Keluarga Lesmana terjangkit wabah!""Kenapa bisa begini?" Ekspresi Maudy langsung berubah. Jelas-jelas dia sudah menyuruh Nirina untuk memberikan sup obat pencegahan wabah kepada semua orang setiap hari. Jika semua orang meminum obat itu dengan tepat waktu, mereka pasti tidak akan terjangkit wabah.Dari dalam, Nirina buru-buru menjelaskan pada Maudy, "Kak Maudy, dengarkan penjelasanku. Aku selalu merebus obat-obatan sesuai resep yang kamu berikan padaku. Dijamin nggak bermasalah.""Nirina, aku percaya padamu." Dulu Nirina memang agak manja. Namun setelah sifatnya berubah sekarang, Nirina sangat teliti dalam merebus obat. Maudy pernah mengawasinya beberapa kali, sehingga dia yakin akan hal ini.Maudy menoleh kepada Ibnu, lalu melanjutkan pertanyaannya, "Apa yang terjadi sebenarnya? Ada berapa orang yang terjangkit wabah?""Aku juga nggak tahu spesifiknya, pokoknya Eva sepertinya sudah sekarat. Yang lainnya juga mungkin sudah tertular. Ketua sudah mengur
Secara logika, jika meminum obat itu dengan rutin setiap hari dan tidak melakukan kontak fisik apa pun dengan penderita, mereka tidak mungkin akan tertular. Kecuali, mereka menggunakan benda yang pernah digunakan oleh penderita.Namun, kenapa benda yang pernah digunakan oleh penderita wabah bisa sampai di sini?Maudy merasa penasaran. Dia meminta Nirina untuk menyiapkan beberapa lusin potongan kapa, kemudian menuliskan nama setiap orang di potongan kapas tersebut. Setelah itu, dia membagikan kapas kepada para anggota keluarga Hidayat dan para petugas.Langkah selanjutnya, dia meminta setiap orang untuk mengusap kapas tersebut ke tenggorokan dan memasukkannya ke dalam cangkir yang bersih, lalu menyerahkannya kepadanya. Maudy kemudian memasukkan kapas-kapas tersebut ke dalam sistem ruang medis di ruang ajaibnya untuk diuji."Syukurlah, nggak ada yang terinfeksi," kata Maudy.Petra merasa sangat bersyukur dan para petugas lainnya juga menghela napas lega. Selanjutnya, giliran para tahanan
Setelah hasilnya keluar, Maudy baru bisa menghela napas lega. Untungnya, hanya empat orang yang terjangkit wabah. Wulan, Eva, Ratna, dan putra bungsu keluarga Taufik."Yang nggak ketularan boleh keluar dari gudang, lalu buka semua pakaian kalian dan bakar. Ganti pakaian, lalu ambil sup obat dari Nirina," pesan Maudy dengan tegas."Empat orang yang terinfeksi tetap di dalam gudang kayu, nggak boleh keluar," kata Maudy tegas.Tiga dari mereka patuh, tapi Wulan memelototi Maudy dengan wajah muram sambil berjalan tertatih-tatih dengan tongkatnya menuju pintu keluar."Kamu nggak boleh keluar," Maudy buru-buru mengadangnya. Apa nenek ini tidak mengerti? Sudah sakit dan masih ingin keluar, apa dia mau menulari semua orang?Wulan menatapnya dengan marah, "Kenapa aku nggak boleh keluar? Aku nggak sakit! Badanku masih kuat! Dasar gadis jahat, kamu cuma mau balas dendam dan membunuhku!"Lihat saja, tiga orang lain yang terkena wabah pes semuanya sudah sangat lemah. Sementara itu, Wulan tidak batu