Share

Bab 3

Harapan Kematian

Aria memelototinya. “Pertanyaan macam apa itu? Seharusnya aku yang bertanya begitu!”

Pintu itu hampir langsung terbuka dan Ian masuk ke dalam sembari tersenyum lebar. “Aku tahu kamu pasti sedang bersama seorang pria. Aku tidak tahu mengapa Kakek tidak mau memercayaiku.”

“Apa-apaan!” bentak Aria. “Aku tidak tahu apa-apa. Aku bahkan tidak tahu bagaimana orang bodoh ini bisa masuk ke kamarku!” bantahnya.

Ian tersenyum dan mengeluarkan ponselnya untuk memotret foto. Gilang menyaksikan drama itu, tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi.

Aria bergegas bangun. “Kumohon, jangan begini. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi!” Dia memohon dan bergerak mendekatinya.

Ian mendengus. “Terlambat, aku sudah mengirimkannya ke Kakek.”

“Sialan!” teriak Aria dan dia jatuh ke lantai. Dia tidak bisa menghentikan jantungnya yang berdegup kencang. Dia membayangkan akan sekecewa apa kakeknya padanya.

“Hei! Kenapa aku ada di sini?!” teriak Gilang tiba-tiba, akhirnya bisa bersuara. Awalnya, dia kira dia sedang bermimpi. Dia ingat dia sehabis minum sampai mabuk, tapi tidak ingat sisanya dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi.

Dia menatap Gilang. “Hei, jangan berteriak. Kamu juga terlibat dalam hal ini.” Lalu, dia menatap Aria di lantai. “Simpan air matamu, Kak,” ejek Ian. “Kakek akan segera tiba di sini.”

Aria menatap Ian terkejut. “Apa maksudmu?”

“Yah, Kakek menginap di sini semalam setelah aku memberitahunya tentang omong kosong yang selalu kamu lakukan di belakang.

“Namun, itu memang hanya omong kosong!” bentak Aria. “Aku tidak pernah melakukan ini! Kamu juga tahu itu!”

“Yah…” Ian mengangkat bahunya. “Mungkin iya, mungkin tidak.”

Gilang turun dari kasur dan beranjak ke pintu. Pintu itu tiba-tiba terbuka dan beberapa pria bergegas masuk ke dalam. Gilang tersentak ketakutan, sementara Aria berdiri untuk menyeka air matanya yang sudah mengalir di pipinya.

“Kakek,” kata Ian dengan lembut seraya seorang pria tua masuk ke dalam kamar. Alisnya mengernyit ketika dia menatap Aria.

Perlahan dia bergantian menatap Gilang dan menyeringai melihat pakaiannya.

Tuan Kamala kembali menatap Aria. “Aku kecewa, Aria.”

“Tidak, Kakek. Ini tidak seperti apa yang Kakek pikirkan,” protesnya tidak berdaya.

Kamala menggelengkan kepalanya pelan. “Kamu tahu peraturannya, Aria. Namun, kamu tetap melanggarnya.”

Gilang berhasil berjalan pelan-pelan ke arah pintu tanpa disadari dan baru saja akan keluar ketika beberapa pria menghalaunya.

“Kamu mau ke mana, Nak?”

Gilang berbalik menghadap Kamala dan jantungnya seperti mau copot. Dia tidak mengerti apa-apa. Rasanya masih seperti mimpi baginya.

“Mulai sekarang, kamu akan menjadi menantuku.”

“Apa?! Kenapa?” teriak Gilang, tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Apa yang telah terjadi? Dia sedang minum-minum beberapa jam yang lalu, tiba-tiba sekarang dia menjadi seorang menantu?

“Apa maksudnya itu? Beraninya kamu tidur dengan cucuku dan kamu masih mengatakan hal itu? Apakah kamu berniat untuk tidur dengannya lalu kabur?”

Gilang kebingungan dan menyadari bahwa semua orang sedang menatapnya, kecuali Aria yang sedang menangis dengan pelan. Dia berdeham. “Bukan itu maksudku. Maksudnya, itu tidak benar karena aku tidak mengenalnya dan tidak terjadi apa-apa di antara kami, aku yakin.”

Kamala memandangi kakinya yang tidak memakai celana. Gilang mengikuti pandangannya dan menghela nafas. Dia sudah tertangkap. Dia tidak menyadari bahwa dia bahkan tidak mengenakan celana. “Beraninya kamu bercanda denganku!” teriaknya. “Karena itu,” dia menatap salah satu pengawalnya. “Hajar dia!”

“Apa?” Bola mata Gilang hampir copot.

Gilang baru akan mengatakan argumennya, tapi sebuah tamparan tiba-tiba mendarat di pipinya dan membuatnya tidak bisa berkata-kata.

Dia mendarat di lantai dan beberapa tangan terus memukulnya begitu keras sampai dia mengira bahwa dia akan mati.

Seketika, dia melihat bayangan dirinya berdiri sejajar dengan orang lain yang wajahnya tidak terlihat.

Dia tersentak ketika orang-orang itu berhenti. Dia memuntahkan darah dan mencoba melihat ke sekitar. Kamala sudah meninggalkan kamar dan orang-orang itu satu per satu juga keluar dari sana.

Gilang menutup matanya ketika merasa pusing dan dia tahu dari rasa sakit di hidungnya itu, pasti hidungnya patah. Badannya kesakitan dan rasanya setiap tulang di tubuhnya patah.

“Menyedihkan,” ejek Ian. “Aria, coba periksa keadaan suamimu dan pastikan dia tidak terluka parah. Jadi, kalian tidak akan malu di hadapan Ganendra. Kamu tahu kamu harus hadir ke pesta itu,” tawanya dan dia akhirnya turut meninggalkan ruangan.

“Apa yang telah kamu perbuat padaku?” Aria menangis lebih kencang di belakangnya.

Beberapa pria bergegas masuk lagi dan jantung Gilang seperti copot. Awalnya, dia mengira mereka kembali untuk memukulnya lagi. Alih-alih, mereka menghampiri Aria.

“Nyonya, mobil Anda telah siap,” ujar salah satu pria itu.

Gilang meringkuk menjadi kepalan bola, rasa sakit menjalar ke dalam dirinya.

Aria tidak menjawab pria itu dan terus menangis selama beberapa saat sebelum akhirnya bangkit. Dia menatap Gilang.

“Aku benar-benar membencimu karena telah menghancurkan hidupku.” Dia melangkah dan berhenti. “Salah satu pengawalku akan mengantarmu pulang. Dia akan menjemputmu ke rumah besok pagi supaya kita bisa pergi ke pesta nanti. Kamu juga harus mengunjungi rumah sakit untuk diperiksa. Kakekku akan membunuhmu jika kamu tidak datang ke pestanya.” Dengan begitu, dia beranjak keluar dari kamar dan diikuti oleh semua pengawalnya kecuali satu orang.

Gilang menutup matanya untuk beberapa saat. Dia tidak ingin bangun sedikit pun, tapi dia tahu dia harus melakukannya. Badannya kesakitan dan mungkin dia harus mengunjungi rumah sakit.

Pria yang menunggunya itu tidak menyuruhnya bercepat-cepat dan Gilang lega karenanya. Gilang pelan-pelan berdiri dan memuntahkan darah lagi. Mungkin, ada sesuatu yang patah di tubuhnya.

Jantungnya sudah hancur berkeping-keping, tapi dia tahu sesuatu telah terjadi padanya. Mungkin dia akan mati.

Mungkin dia harus. Lagi pula, dia sudah muak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status