Share

Bab 7

Terbuat dari Besi

Gilang tidak menjawabnya dan mengambil segelas anggur. Dia menyesapnya pelan-pelan dengan hati yang berat.

Dia bahkan tidak memiliki waktu untuk berbincang dengan mereka. Apa yang ada di benaknya hanyalah orang-orang yang telah meninggalkannya.

“Sialan!” umpat Satya. “Dasar orang bodoh.”

Gilang tiba-tiba berbalik menghadapnya, merasa kesal. Dia bisa saja mematahkan hidungnya lagi di saat itu.

Aria menolak berbicara dengan Gilang sampai pesta selesai dan mereka sedang beranjak ke mobil.

Aria menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Gilang. “Aku harap kamu tahu bahwa tidak mungkin aku mau pulang ke rumahmu. Aku tidak bisa tinggal di rumah seperti itu,” bentaknya.

Gilang menatapnya selama beberapa saat. “Aku suamimu, kenapa tidak bisa?” godanya.

Aria mendengus. “Sungguh? Apakah ini karena kakekku menyerahkan aku padamu di atas piring emas? Aku yakin kamu tahu nilaiku.”

“Sedari awal, kenapa kamu bisa ada di kasurku?” tanyanya dengan marah.

Gilang menghela nafas. “Aku juga ingin menanyakan hal yang sama padamu.”

“Yah, aku tidak peduli. Kamu harus mencari sesuatu untuk mengurus hal itu. Aku pergi dari sini,” kata Aria lelah. Salah satu pengawalnya membukakan pintu dan dia memasukinya.

Gilang memperhatikannya sampai dia sudah tidak terlihat lagi. Dia menghela nafas dan menatap cincinnya.

Apa yang akan terjadi jika dia tidak memakai cincin itu ke pesta?

Alarmnya berdering dan menyadarkan Gilang dari tidurnya. Dia memutarkan badannya di atas kasur dan akhirnya menghantam lantai.

Dia bangkit duduk dan mengusap lengannya pelan. Dia memimpikan dirinya sendiri, John, dan ayahnya. Rasanya masih menyakitkan baginya bahwa mereka telah tiada dan dia tidak akan bertemu dengan mereka lagi.

Namun, dia juga merasa bersyukur pada Alfa karena segala usahanya untuk meneruskan kerajaan bisnisnya dengan luar biasa dan mempertahankan kelompok mafianya. Sekarang karena dia telah kembali, ini adalah gilirannya untuk meneruskan pekerjaan yang telah mereka mulai.

Akan tetapi, dia masih bertanya-tanya kenapa ayahnya akan merahasiakan kelompok mafianya darinya. Mungkin jika dia tidak merahasiakannya, dia masih hidup sampai sekarang.

Namun, seperti yang Alfa katakan, akan lebih baik jika dia berusaha untuk tidak menonjol. Dia memiliki pekerjaan sebagai kurir yang merupakan penyamaran terbaik untuk identitasnya.

Siapa yang akan menyangka kalau anak dari Garuda yang terkenal itu adalah seorang kurir? Itu sangat tidak mungkin.

Gilang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Dia masih memiliki cek yang Alfa tulis untuknya, tapi dia tidak tahu bagaimana harus mempergunakannya. Dia akan menunggu waktu yang tepat.

Dalam satu jam, Gilang sudah berangkat ke perusahaan pengiriman dengan sepedanya. Dia tiba tepat waktu karena rumahnya dekat.

“Hei, kurir,” goda Ciko sambil menyeringai ketika dia masuk ke lobi.

Gilang menghela nafas. Sebenarnya, Ciko adalah salah satu karyawan yang selalu mempermalukannya setiap dia memiliki kesempatan. Melihat bahwa Ciko adalah karyawan tetap yang telah mendapatkan lebih banyak uang darinya, dia tidak menyalahkannya.

“Aku mau bekerja,” gumamnya kesal.

Ciko tertawa lagi seolah dia sehabis mengatakan sesuatu yang lucu. “Omong-omong, Bos ingin menemuimu. Namun, kamu pergi ke mana kemarin?”

Gilang mengabaikannya dan beranjak ke ruang kerja bosnya. Menjawab Ciko hanya akan membuang-buang waktu.

Dia tiba ke depan pintunya dan mengetuk pelan. “Selamat pagi, Bos,” bisiknya sambil meletakkan kepalanya di pintu.

“Masuklah sebelum aku memaksamu untuk masuk,” ujar Pamungkas dari dalam ruangan.

Gilang mendorong pintu dan mendapati seorang pria yang kuat berumur 60-an, menatapnya dengan lekat-lekat.

“Selamat pagi, Bos. Ciko bilang Anda ingin bertemu dengan saya.” Gilang mencoba sebisa mungkin berpura-pura seolah dia tidak tahu apa-apa.

Pamungkas menyilangkan tangannya di hadapannya. “Apa yang harus diselamatkan dari pagi ini, Gilang? Kenapa kamu tidak masuk kerja kemarin?”

Gilang terdiam. Dia belum memikirkan alasan apa pun.

“Tidak, kamu tidak perlu mengatakannya!” ujar Pamungkas ketika Gilang baru membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu. “Aku sudah tahu bahwa kamu adalah orang miskin tidak berguna. Beraninya kamu bertingkah seolah kamu adalah pemilik perusahaan ini?” Dia menggeram.

“Aku tidak membutuhkan omong kosongmu! Pergi dari perusahaan ini, Gilang. Kamu dipecat!” serunya.

Gilang merasa marah mendengar perkataannya. Dia menyangka Pamungkas akan memecatnya karena dia mendengar bahwa dia dan Satya cukup akrab.

Karena dia terus bertengkar dengan Satya, dia akan selalu mencari cara untuk mempermalukannya ke mana pun dia pergi. Dia tahu Satya-lah pasti yang membujuk Pamungkas untuk membuat keputusan itu.

Namun, itu adalah salahnya juga. Jika dia masuk kerja sehari sebelumnya, Pamungkas tidak akan menggunakan itu sebagai alasan.

Dia mengangguk singkat. “Baiklah. Aku akan meninggalkan perusahaan Anda, tapi Anda harus memberikan bayaranku untuk bulan ini.”

Pamungkas mendengus. “Kamu pasti bermimpi jika berharap itu akan terjadi. Kamu tidak berhak mendapatkan selembar uang pun dan kamu tidak akan mendapatkannya!”

“Apa? Apakah Anda bercanda? Aku telah bekerja keras! Itu adalah bayaranku!” protes Gilang.

“Mari kita lihat,” ujar Pamungkas dan meraih teleponnya. Dia menekan beberapa tombol. “Hei! Bawa orang-orangmu masuk ke ruang kerjaku sekarang!”

Dia hampir belum selesai berbicara ketika pintu tiba-tiba terbuka dan delapan pria masuk ke dalam.

Pamungkas menunjuk pada Gilang. “Pukul dia sekeras mungkin dan keluarkan dia dari perusahaanku!” perintahnya.

Gilang menatap Pamungkas selama beberapa saat. Dia merasa marah dan heran. Dia menatap balik orang-orang itu dan menyaksikan mereka mendekat padanya.

Pria pertama melancarkan serangan pada Gilang, tapi dia menghindarinya dan memukul hidungnya. Pria itu berteriak dan terhuyung mundur.

Dua orang langsung menyerbunya sekaligus. Dia menghindari serangan pertama dan menendang pria yang kedua.

“Serang dia, dasar bodoh!” teriak Pamungkas frustrasi.

Gilang tersenyum pada lima pria yang tersisa dan memberi isyarat pada mereka untuk menyerangnya lagi. Gilang menarik satu orang yang berada di dekatnya dan membalikkan badannya dengan cepat. Dia melakukan tendangan melayang pada empat pria lainnya. Dia berbalik menghadap pria yang tadi dia pegang dan memukul wajahnya.

Gilang menghadap Pamungkas dengan senyuman lebar di wajahnya. Dia bergerak maju dan menangkap tangannya, lalu memelintirnya.

Pamungkas berteriak kesakitan.

“Berikan gajiku atau kamu juga akan mati.”

“Kumohon,” pinta Pamungkas dengan pelan. “Aku akan membuatkan ceknya sekarang.”

Gilang terus memelintirnya.

“Maafkan aku,” teriak Pamungkas lagi. “Aku akan memberikannya padamu.”

Gilang melepaskan tangannya dan melihatnya melangkah ke mejanya. Dia mengambil sebuah amplop berisikan uang dan menyerahkannya pada Gilang.

Gilang tersenyum dan menerimanya. Ponselnya tiba-tiba berdering seraya dia beranjak keluar dari ruangan itu. Itu telepon dari nomor tidak dikenal, tapi dia mengangkatnya.

“Iya, halo.”

“Garuda, Ini Alfa. Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang, dia merupakan bos mafia juga di kota ini dan sangat bisa dipercaya. Bagaimana dengan makan malam? Makan malam di Restoran Weathervane.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status