Bab 13

Cek Palsu

Gilang membaca daftar itu dengan lebih tajam, tapi dia tidak bisa menghindari tatapan kotor dari sekretaris itu seolah dia adalah seekor serangga.

Dia mengabaikannya. Lagi pula, dia seharusnya sedang menyamar. Dia menatap daftar itu lekat-lekat dan menyadari bahwa sebagian dibintangi.

Dia menatap sekretaris itu dan dia malah membalikkan badannya dengan cepat untuk menghindari tatapannya.

“Yang dibintangi ini…” ujarnya, malas menjelaskan lebih lanjut.

“Bintang-bintang itu menandakan bahwa tidak ada posisi yang kosong.” Dia membalikkan badannya lagi dan tersenyum palsu. “Apakah Anda mau kopi atau teh?”

Gilang balik mengabaikannya dan badannya menjadi kaku. Tampaknya dia jengkel.

“Aku akan menjadi manajer,” katanya akhirnya dan meletakkan dokumen itu di meja dan menatap sekretaris itu.

“Namun,” ujarnya sambil mengerutkan dahinya. “Itu sudah dibintangi.”

“Iya, aku lihat. Jadi, aku memintamu,” katanya dengan lembut.

“Lalu, kenapa mengambil posisi yang sudah penuh? Apakah kamu akan memberhentikan karyawan itu?”

Gilang menatapnya sesaat dan melihat daftar itu lagi, lalu kembali menatapnya. “Bukankah kamu yang memberikan aku daftar ini tadi? Sepertinya aku lupa.”

Jihan mengamatinya. “Memang aku yang memberikan daftarnya, tapi…” Dia dipotong oleh Gilang.

“Nona posisi…” sebutnya dengan polos.

“Jihan,” koreksinya dengan cepat, marah pada ingatannya yang pendek.

Gilang mengangguk, tidak begitu peduli pada namanya. Dia tahu bahwa wanita itu tidak menyukainya sama sekali.

“Kamu membawakan daftarnya. Pasti ada alasannya. Aku tidak mau tahu alasannya.” Dia berdiri. “Aku hanya memilih apa yang aku inginkan.”

Jihan memandangnya selama beberapa saat. “Baiklah, Tuan Gilang. Aku akan memerlukan beberapa informasimu. Ruang kerjamu akan siap besok.” Dia mengamati pakaiannya, tapi dia tidak berani mengatakan apa-apa.

Gilang mengangguk lagi dan akhirnya meninggalkan perusahaan itu. Ian sudah tidak ada di luar sana lagi ketika dia keluar, tapi dia bertanya-tanya kenapa tadi dia ada di sana.

Menghela nafas lega di luar gedung perusahaan itu, Gilang tahu dia memerlukan beberapa hal sebagai seorang manajer baru. Dia membutuhkan setelan jas dan mungkin mengganti ponselnya juga.

Itu berarti dia harus menyentuh uang yang Alfred berikan padanya.

Dia tiba di rumahnya tidak lama dan mengambil cek itu. Mertuanya sedang kembali, jadi Gilang tahu dia harus tidur di rumah Ganendra lagi malamnya. Bagian menyedihkannya adalah dia mungkin harus tidur di kamar pelayan lagi.

Yah, dia harus membuktikan mertuanya bahwa dia adalah menantu terbaik sepanjang masa.

Bank itu terletak tidak jauh dari sana. Bahkan, semua orang di bank itu mengenalnya dengan baik karena dia selalu mengantarkan barang untuk mereka.

Selain itu, hal selanjutnya yang dia sadari adalah mereka sering bersikap pilih kasih. Mereka selalu mencemoohnya setiap kali mereka menginginkannya.

Itu adalah sesuatu yang harus dibiasakan oleh Gilang untuk bertahan hidup.

“Lihat siapa yang datang,” goda Pandu. Dia adalah musuh Gilang nomor satu. Dia juga merupakan bankir dan salah satu orang terpenting di sekitar sini. Dia bukan miliarder, tapi dia cukup kaya dan memiliki penampilan yang tampan.

Namun, dia masih tidak bisa dibandingkan dengan ketampanan Gilang. Yang Gilang butuhkan adalah uang.

“Hai,” balas Gilang dan dia berjalan mendekat dengan cek di tangannya.

“Kenapa kamu tidak memakai seragam hari ini?” Jessica menggoda dan memandangnya.

Gilang mencoba tidak terkecoh seraya menghampiri Pandu. “Aku perlu menarik beberapa uang.”

“Di konter?” Pandu mengangkat alisnya curiga. Gilang menatapnya dan tidak menjawab apa-apa. “Apakah kamu tahu hanya jumlah uang yang besar yang bisa ditarik di konter?”

“Aku tidak menariknya di sini…” katanya tapi langsung dipotong oleh tawa Jessica yang lantang.

“Gilang itu selalu lucu, tahu?” Dia kembali menoleh pada pelanggan di depannya.

Gilang menatap Jessica, kemudian Pandu. “Aku ingin menemui manajermu karena uangku terlalu besar untuk ditarik dari konter,” gumamnya.

“Apakah aku sedang berbicara dengan Walt Disney?” Pandu tertawa lagi. “Kamu benar-benar membuatku tertawa. Aku tidak pernah tertawa selepas ini pagi ini,” godanya lagi-lagi.

Gilang merasa jengkel lagi. Orang-orang selalu memandangnya rendah ke mana pun dia pergi. Rasanya seperti mereka tidak pernah memperhatikan hal baik darinya.

Tidak, mereka hanya terlalu buta untuk melihat bahwa dia adalah Garuda.

“Pandu, bawa aku ke manajer kantormu atau aku akan masuk sendiri ke sana!” ancamnya dengan ringan.

“Tidak perlu. Biar aku periksa cekmu, aku tidak ingin membuatku terlibat masalah jika kamu bermain-main dengan kami,” ejek Pandu.

“Terserah saja. Namun, tutup mulutmu,” jawab Gilang.

Pandu mengambil cek darinya. Walaupun dia tahu tidak mungkin Gilang mempunyai uang sebanyak itu, dia tetap harus memeriksanya.

“Aha! Rekeningnya tidak ditemukan? Pasti ini cek palsu!” teriak Pandu. Tidak mungkin dia tidak memiliki kewenangan untuk mencari rekeningnya, jadi satu-satunya kemungkinan adalah cek itu palsu.

Dia sudah tahu bahwa Gilang adalah seorang pecundang sejak dia mulai bekerja sebagai kurir. Dia bahkan mendengar kalau Gilang adalah seorang yatim piatu. Jadi, Pandu tidak pernah tidak memandangnya rendah sedikit pun.

“Sekarang, ada yang mau kamu katakan, pecundang?” Pandu menyeringai, menunggu sesaat sebelum merobek cek itu berkali-kali.