Langit yang semakin gelap menggelayut di atas sungai Seine, kota Paris. Hari yang semakin malam membuat suhu dingin terasa semakin menggigit dan menusuk permukaan kulit. Meskipun begitu, hal tersebut sama sekali tak menyurutkan antusiasme ratusan orang yang tetap ingin berada di sana. Mereka tetap menikmati keindahan sungai Seine dan menara Eiffel yang saling berdekatan itu.
Angin dari sungai yang membelah kota Paris menjadi dua bagian itu terasa berembus kencang saat Nicholas menghentikan sepeda motornya di sana. Dingin. Sangat dingin. Nicholas bahkan sampai menggesek kedua telapak tangannya guna menepis rasa dingin yang menusuk tersebut.“Dingin?”“Ya.” Aleeta menjawab seraya merapatkan coat-nya. “Berapa derajat suhunya sekarang? Kenapa sampai sedingin ini?”Nicholas mengangkat bahu. “Nggak usah terlalu memedulikan suhunya. Lebih baik kita nikmati saja suasananya.”Aleeta mendengus. “Suasana dingin maksudnya?”Nicho“Aleeta.”Nicholas memanggil Aleeta yang beberapa menit terakhir hanya terlihat diam saja.“....,”“Aleeta!”“Ya?”Aleeta tersentak ketika merasakan sebuah tepukan pelan di lengannya. Ia lalu menoleh ke arah Nicholas yang menatapnya bingung. Aleeta mengerjap lalu kembali membuang muka.“Ada apa?” Nicholas bertanya, tapi Aleeta hanya menggeleng.“Nggak apa-apa.”“Aleeta, katakan padaku ada apa? Kenapa kamu—““Aku bilang nggak apa-apa, Nicho,” sahut Aleeta masih membuang muka.Wanita itu menunduk, meremas kedua telapak tangannya yang terasa dingin. ‘Ada apa denganku? Kenapa perasaan ini harus muncul?’ tanyanya dalam hati.“Kamu ini kenapa?” Nicholas kembali bertanya. Kali ini dengan sedikit jengkel. Sedangkan Aleeta hanya diam.Aleeta tidak apa-apa. Hanya saja saat ini Aleeta merasa takut dan juga khawatir. Sejak tadi benaknya terus memikirkan soal Nichol
Nicholas masih terdiam seraya menggenggam gembok pemberian seorang wanita yang tak di kenalnya tadi. Untuk ke sekian kalinya Nicholas merutuk, kenapa ia harus menerima gemboknya?“Nicho.”“Hm.” Pria itu menyahut hanya dengan gumaman pelan.Aleeta menelan ludah. Sejujurnya ia merasa takut untuk menanyakan hal ini kepada Nicholas. Tapi jika Aleeta tidak bertanya maka rasa penasaran itu akan semakin bertambah besar nantinya.“K-kamu ... kenapa kamu terima gembok pemberian wanita tadi?” Tanya Aleeta pelan.Nicholas langsung menoleh. “Aku juga nggak tahu. Mungkin karena kasihan,” jawab Nicholas datar.“Kasihan?”Aleeta menatap Nicholas yang hanya mengangguk seraya menatap gembok di tangannya.“Lalu sekarang ...” Aleeta menjeda kalimatnya sejenak. “Kamu mau apakan gembok itu?” Wanita itu menjerit dalam hati. Kenapa sejak tadi ia terus mengikuti kata hatinya? Aleeta takut jika Nicholas akan
Aleeta mengerjap ketika Nicholas menarik tangannya agar mendekat ke arah pria tersebut. “Kamu yang menulis atau aku?” Nicholas kembali bertanya.Aleeta berdehem pelan. “K-kamu saja,” jawabnya gugup.“Baiklah. Aku yang akan menulisnya. Bisa tolong bawakan gembok ini terlebih dahulu.” Nicholas berujar seraya menyerahkan gemboknya ke tangan Aleeta. Sedangkan Aleeta langsung mengangguk dan menerima gembok tersebut dengan senang hati.Saat Aleeta memikirkan atas ketakutannya jika Nicholas kembali mengingat tentang apa yang sudah pernah pria itu lakukan di tempat ini. Atau tentang bagaimana jika Nicholas kembali menatapnya dengan penuh dendam dan kebencian. Tapi ternyata Aleeta salah. Sejak tadi Nicholas sama sekali tidak menunjukkan hal itu kepada Aleeta. Pria itu bahkan juga masih terus menatapnya dengan penuh kehangatan. Sama seperti yang pria itu lakukan sejak memutuskan untuk membawa Aleeta berkeliling kota Paris.Entah apa yang
Aleeta turun di halte bus sembari merapatkan jaket. Ia melangkah lunglai menuju gang kecil yang akan membawanya ke kontrakan yang selama bertahun-tahun ini menjadi tempat tinggalnya. Rasanya lelah luar biasa. Aleeta melangkah pelan, bahkan sesekali berhenti, menatap ujung sepatunya dengan pikiran kosong. Kemudian Aleeta kembali melangkah menuju kontrakannya. Dalam satu hari ia harus bekerja di dua tempat sekaligus. Mulai dari pagi hingga menjelang pagi lagi. Tubuh Aleeta bahkan sampai terlihat begitu kurus dan pucat dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang setiap hari semakin bertambah kentara. Terkadang tubuhnya juga terasa lemah karena kekurangan jam istirahat. Tapi Aleeta tidak boleh mengeluh. Aleeta menarik napas dalam-dalam dan membuka pintu rumah. Belum sempat pintu itu tertutup, dia sudah mendengar seruan yang memekakkan telinganya. “Mana uangku?!” Aleeta mendesah lelah. Ia tidak kaget lagi mendapati Sonya menunggu kepulangannya di balik pintu. Bukan, bukan kepulangan
“Oh, sudah sadar rupanya?” Suara itu membuyarkan lamunan Aleeta. Ia segera menoleh dan menemukan Sonya yang sedang berdiri di dekat pintu. “Aku kira kamu akan mati dalam kecelakaan tadi?” Lagi-lagi Sonya kembali bersuara. Aleeta memejamkan mata sebelum kemudian ia berkata. “Ya. Jika bisa memilih aku memang lebih baik memilih untuk mati dalam kecelakaan tadi,” desisnya tajam. Sonya memicing. “Lalu kenapa kamu tidak mati saja, heh? Dari pada membuatku repot begini. Kamu tahu berapa banyak waktuku yang terbuang hanya untuk menunggumu di sini?” Aleeta tidak habis pikir. Ia baru saja terbangun beberapa menit yang lalu. Tapi kenapa Sonya sudah tega mengatakan hal seperti itu pada dirinya? Apa tidak ada hal lain yang bisa Ibunya katakan selain mengatakan tentang kematiannya? Apa memang sebegitu tidak berharganya Aleeta di mata Ibunya, hingga wanita itu mengharapkan kematiannya? “Ma ...” Aleeta menatap Sonya. “Kalau Mama ingin aku mati, kenapa Mama nggak membiarkan aku tergeletak di jal
“Tenanglah, Nicholas. Semuanya pasti akan baik-baik saja.” Karina—Ibu Nicholas berusaha menenangkan putranya.Karina tiba di rumah sakit satu jam setelah kecelakaan itu terjadi.“Bagaimana aku bisa tenang, Ma. Di sana ...” Nicholas tak sanggup melanjutkan perkataan.Karina mengangguk, paham dengan apa yang Nicholas rasakan. Ia hanya terus memeluk sembari mengusap lengan putranya sampai tiba-tiba pintu ruang operasi itu terbuka. Nicholas segera berdiri, menghapus air matanya dan menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi.“Dokter, bagaimana keadaannya, Dok? Bagaimana keadaan calon istri saya?” Tanya Nicholas tak sabaran.Dokter Moses langsung menatap Nicholas dengan tatapan yang tak bisa Nicholas artikan sama sekali. Tidak. Nicholas hanya tidak sanggup menerima jika apa yang akan di katakan oleh Dokter Moses adalah hal yang paling tidak ingin ia dengar sekarang. “Maafkan kami, Tuan Nicholas ...” Nicholas hanya bisa menggeleng saat dokter mengatakan hal tersebut. “Kami
Hari ini sudah genap tiga bulan sejak kecelakaan itu terjadi. Kecelakaan yang membuat seorang wanita yang tidak tahu apa-apa harus rela kehilangan nyawa demi Aleeta. Jujur, jika boleh mengakui sampai detik ini Aleeta juga masih merasa begitu bersalah. Wanita itu begitu baik, seharusnya dia tidak perlu menolongnya. Biarkan saja dirinya yang mati dalam kecelakaan itu. Aleeta mendesah, bagaimanapun juga ia tidak bisa memutar waktu. Memangnya ia siapa? Mungkin saja semua itu memang sudah menjadi takdir dari Tuhan.Tapi keluarga wanita itu ....Aleeta menggeleng. Ia tidak ingin mengingat tentang keluarga wanita itu. Terutama pada pria yang dengan terang-terangan mengatainya seorang pembunuh. Aleeta kembali menggeleng. Aleeta takut. Meski Ibu Nicholas maupun pria satunya yang tidak Aleeta ketahui namanya itu tidak ikut menuduhnya sebagai pembunuh. Tapi tetap saja, Aleeta merasa ketakutan saat mengingat tatapan mematikan yang penuh kebencian dari kedua bola mata Nicholas.Nicholas Axel Fre
“Maafkan aku, Aleeta. Aku tidak bisa membantumu.”Seketika bahu Aleeta merosot lesu saat mendengar jawaban dari Thomas—Bos di Cafe tempat ia bekerja. Di jam makan siangnya ini, Aleeta menyempatkan diri untuk menemui Thomas di ruangan kerja pria itu. Ia sudah mengatakan alasannya kepada Thomas untuk apa ia sampai harus meminjam uang, tapi ternyata Thomas tidak bisa membantu Aleeta.“Kamu pasti berpikir kalau aku ini pelit,” imbuh Thomas.“Nggak, Thom. Sungguh aku nggak berpikiran seperti itu,” sahut Aleeta sembari menggeleng.Thomas hanya bisa terkekeh kecil. “Berpikiran seperti itu juga tidak masalah, Aleeta. Orang-orang pasti berpikir kalau Cafeku ini ramai, dan untung yang aku dapatkan pasti juga lumayan. Tapi kenyataannya tidak seperti itu.”Aleeta hanya terdiam menatap pria yang selama beberapa tahun ini menjadi Bosnya.“Aku punya banyak sekali tanggungan yang harus aku bayar setiap bulannya. Termasuk tempat ini, tempat tinggalku. Gaji kalian. Dan percayalah, aku rela menghemat ke
Aleeta mengerjap ketika Nicholas menarik tangannya agar mendekat ke arah pria tersebut. “Kamu yang menulis atau aku?” Nicholas kembali bertanya.Aleeta berdehem pelan. “K-kamu saja,” jawabnya gugup.“Baiklah. Aku yang akan menulisnya. Bisa tolong bawakan gembok ini terlebih dahulu.” Nicholas berujar seraya menyerahkan gemboknya ke tangan Aleeta. Sedangkan Aleeta langsung mengangguk dan menerima gembok tersebut dengan senang hati.Saat Aleeta memikirkan atas ketakutannya jika Nicholas kembali mengingat tentang apa yang sudah pernah pria itu lakukan di tempat ini. Atau tentang bagaimana jika Nicholas kembali menatapnya dengan penuh dendam dan kebencian. Tapi ternyata Aleeta salah. Sejak tadi Nicholas sama sekali tidak menunjukkan hal itu kepada Aleeta. Pria itu bahkan juga masih terus menatapnya dengan penuh kehangatan. Sama seperti yang pria itu lakukan sejak memutuskan untuk membawa Aleeta berkeliling kota Paris.Entah apa yang
Nicholas masih terdiam seraya menggenggam gembok pemberian seorang wanita yang tak di kenalnya tadi. Untuk ke sekian kalinya Nicholas merutuk, kenapa ia harus menerima gemboknya?“Nicho.”“Hm.” Pria itu menyahut hanya dengan gumaman pelan.Aleeta menelan ludah. Sejujurnya ia merasa takut untuk menanyakan hal ini kepada Nicholas. Tapi jika Aleeta tidak bertanya maka rasa penasaran itu akan semakin bertambah besar nantinya.“K-kamu ... kenapa kamu terima gembok pemberian wanita tadi?” Tanya Aleeta pelan.Nicholas langsung menoleh. “Aku juga nggak tahu. Mungkin karena kasihan,” jawab Nicholas datar.“Kasihan?”Aleeta menatap Nicholas yang hanya mengangguk seraya menatap gembok di tangannya.“Lalu sekarang ...” Aleeta menjeda kalimatnya sejenak. “Kamu mau apakan gembok itu?” Wanita itu menjerit dalam hati. Kenapa sejak tadi ia terus mengikuti kata hatinya? Aleeta takut jika Nicholas akan
“Aleeta.”Nicholas memanggil Aleeta yang beberapa menit terakhir hanya terlihat diam saja.“....,”“Aleeta!”“Ya?”Aleeta tersentak ketika merasakan sebuah tepukan pelan di lengannya. Ia lalu menoleh ke arah Nicholas yang menatapnya bingung. Aleeta mengerjap lalu kembali membuang muka.“Ada apa?” Nicholas bertanya, tapi Aleeta hanya menggeleng.“Nggak apa-apa.”“Aleeta, katakan padaku ada apa? Kenapa kamu—““Aku bilang nggak apa-apa, Nicho,” sahut Aleeta masih membuang muka.Wanita itu menunduk, meremas kedua telapak tangannya yang terasa dingin. ‘Ada apa denganku? Kenapa perasaan ini harus muncul?’ tanyanya dalam hati.“Kamu ini kenapa?” Nicholas kembali bertanya. Kali ini dengan sedikit jengkel. Sedangkan Aleeta hanya diam.Aleeta tidak apa-apa. Hanya saja saat ini Aleeta merasa takut dan juga khawatir. Sejak tadi benaknya terus memikirkan soal Nichol
Langit yang semakin gelap menggelayut di atas sungai Seine, kota Paris. Hari yang semakin malam membuat suhu dingin terasa semakin menggigit dan menusuk permukaan kulit. Meskipun begitu, hal tersebut sama sekali tak menyurutkan antusiasme ratusan orang yang tetap ingin berada di sana. Mereka tetap menikmati keindahan sungai Seine dan menara Eiffel yang saling berdekatan itu.Angin dari sungai yang membelah kota Paris menjadi dua bagian itu terasa berembus kencang saat Nicholas menghentikan sepeda motornya di sana. Dingin. Sangat dingin. Nicholas bahkan sampai menggesek kedua telapak tangannya guna menepis rasa dingin yang menusuk tersebut.“Dingin?”“Ya.” Aleeta menjawab seraya merapatkan coat-nya. “Berapa derajat suhunya sekarang? Kenapa sampai sedingin ini?”Nicholas mengangkat bahu. “Nggak usah terlalu memedulikan suhunya. Lebih baik kita nikmati saja suasananya.”Aleeta mendengus. “Suasana dingin maksudnya?”Nicho
Setelah merasa puas mengamati pohon Natal. Nicholas kembali mengajak Aleeta untuk meneruskan perjalanannya. Mereka semakin melangkah mendekati kaki dari menara Eiffel. Di sana ada banyak sekali spot yang bisa di gunakan untuk bersantai, berfoto ria dan sebagainya. Nicholas berniat untuk mengajak Aleeta duduk di sebuah bangku kosong yang ada di ujung. Setelah berjalan beberapa menit lamanya, Nicholas yakin Aleeta pasti merasa kelelahan dan membutuhkan waktu untuk duduk barang sejenak. Meski Aleeta tidak meminta untuk beristirahat. Tapi Nicholas tetap sadar diri, ia tidak mungkin menjadi pria yang egois dengan membiarkan Aleeta tidak beristirahat.“Ayo, kita duduk di sana terlebih dahulu,” ajak Nicholas. Menarik Aleeta mendekati bangku kosong yang ia maksud.Namun, saat langkahnya hendak mencapai bangku. Tiba-tiba saja ada sepasang kekasih yang menghentikan langkah Nicholas.“Permisi. Maaf mengganggu ...,” Nicholas menoleh pada
“Ayo, kita ke sana. Aku ingin melihat menara Eiffel lebih dekat,” ajak Aleeta. Wanita itu sengaja mengatakan hal itu untuk mengalihkan topik pembicaraan yang sedang di bicarakan oleh Nicholas. Rasanya sangat tidak tepat untuk membicarakan hal romantis saat ini. Apa lagi dengan suasana hati Aleeta yang sedang tidak bisa terkontrol. Aleeta hanya takut kalau ia akan terbawa suasana.Nicholas hanya bisa menurut ketika Aleeta menarik tangannya. Pria itu mengikuti langkah Aleeta yang terus mengajaknya mendekat ke menara Eiffel. Sementara itu tangan keduanya tetap tertatut. Nicholas terus menggenggam tangan Aleeta, seolah ia tidak ingin melepaskan tangan mungil dan lembut itu dari genggamannya.“Wah, betapa indahnya itu. Tampak begitu berkilau dan bercahaya.” Kata Aleeta seraya menatap puncak menara Eiffel.“Sudah aku bilang, kota Paris akan jauh lebih indah jika di malam hari.”Aleeta menoleh menatap Nicholas yang ternyata ... Juga t
Nicholas menghentikan sepeda motornya di area parkir khusus yang ada di dekat kawasan menara Eiffel. Pria itu sengaja memarkirkan sepeda motornya di sana supaya ia bisa menikmati waktu sambil berjalan-jalan bersama Aleeta. Ia lalu turun dari sepeda motor, begitu juga dengan Aleeta.“Kemarikan helmmu,” ujar Nicholas, meminta helm yang di pakai Aleeta agar ia bisa menaruhnya di atas motor.Namun, lama Nicholas mengulurkan tangan, Aleeta tak kunjung juga menyerahkan helm itu padanya. Nicholas mengernyit. Apa Aleeta sedang melamun?“Aleeta.”“Ya?” Wanita itu mengerjap kaget lalu menoleh ke arah Nicholas. “Ada apa?” Tanya Aleeta.Nicholas tersenyum tipis. Sepertinya Aleeta memang benar-benar melamun tadi. “Apa yang membuatmu sampai melamun seperti itu?”Melamun? Aleeta mengernyit. Siapa yang melamun? Perasaan ia tidak melamun. Aleeta menatap Nicholas yang sudah meraih helm dari tangannya, lalu meletakkannya di
Aleeta masih terdiam ketika wanita bernama Gwen tadi mendekati Nicholas.“Astaga, Nich. Aku nggak menyangka bisa bertemu denganmu di sini.”Nicholas tersenyum. “Ya. Aku juga nggak menyangka. Sudah lama sekali kita nggak bertemu, Gwen.”Aleeta seketika memelotot ketika wanita bernama Gwen itu langsung memeluk suaminya begitu saja, tanpa permisi. Ck! Apa-apaan wanita itu?!“Kamu yang menolak bertemu denganku.” Gwen tersenyum seraya melepas pelukan.Nicholas hanya tertawa, lalu tiba-tiba meraih pinggang Aleeta dan memeluknya. “Perkenalkan, Aleeta. Istriku.”Mata Gwen menatap tangan Nicholas yang memeluk pinggang Aleeta.“Wah, jadi kamu sudah menikah Frederick?” “Tentu saja,” jawab Nicholas santai.Sementara Aleeta, ia hanya terdiam dan membiarkan tangan Nicholas terus memeluk pinggangnya. Aleeta tidak menyangka kalau Nicholas benar-benar mengenalkannya sebagai istrinya. Entah apa hubunga
“Sudah selesai?” Nicholas masuk ke dalam kamar tepat saat baru saja Aleeta selesai mengganti bajunya. Wanita itu lalu menoleh dan menatap Nicholas.“Memangnya kamu ingin mengajakku kemana? Kenapa tiba-tiba menyuruhku untuk mengganti pakaian?” Aleeta balik bertanya.Nicholas menaikkan sebelah alisnya. “Kamu lupa, bukankah sore tadi kita sudah berencana untuk pergi ke menara Eiffel hari ini?”Astaga, benar. Aleeta lupa. Ia pikir Nicholas tidak bersungguh-sungguh dengan hal itu. Pasalnya mereka berdua masih akan berada di Paris sampai tahun baru nanti. Jadi kalau hanya untuk sekedar mengunjungi menara Eiffel, Aleeta pikir hal itu tidak harus di lakukan sekarang. Masih banyak hari lain yang bisa mereka gunakan untuk pergi ke sana. Tapi tampaknya Nicholas benar-benar ingin menepati janjinya. Dan Aleeta harus menghargai keputusan Nicholas.“Sebenarnya nggak harus hari ini juga nggak apa-apa, Nicho. Lagipula ini sudah jam tujuh.”