“Sudah selesai?”
Nicholas masuk ke dalam kamar tepat saat baru saja Aleeta selesai mengganti bajunya. Wanita itu lalu menoleh dan menatap Nicholas.“Memangnya kamu ingin mengajakku kemana? Kenapa tiba-tiba menyuruhku untuk mengganti pakaian?” Aleeta balik bertanya.Nicholas menaikkan sebelah alisnya. “Kamu lupa, bukankah sore tadi kita sudah berencana untuk pergi ke menara Eiffel hari ini?”Astaga, benar. Aleeta lupa. Ia pikir Nicholas tidak bersungguh-sungguh dengan hal itu. Pasalnya mereka berdua masih akan berada di Paris sampai tahun baru nanti. Jadi kalau hanya untuk sekedar mengunjungi menara Eiffel, Aleeta pikir hal itu tidak harus di lakukan sekarang. Masih banyak hari lain yang bisa mereka gunakan untuk pergi ke sana. Tapi tampaknya Nicholas benar-benar ingin menepati janjinya. Dan Aleeta harus menghargai keputusan Nicholas.“Sebenarnya nggak harus hari ini juga nggak apa-apa, Nicho. Lagipula ini sudah jam tujuh.”Aleeta masih terdiam ketika wanita bernama Gwen tadi mendekati Nicholas.“Astaga, Nich. Aku nggak menyangka bisa bertemu denganmu di sini.”Nicholas tersenyum. “Ya. Aku juga nggak menyangka. Sudah lama sekali kita nggak bertemu, Gwen.”Aleeta seketika memelotot ketika wanita bernama Gwen itu langsung memeluk suaminya begitu saja, tanpa permisi. Ck! Apa-apaan wanita itu?!“Kamu yang menolak bertemu denganku.” Gwen tersenyum seraya melepas pelukan.Nicholas hanya tertawa, lalu tiba-tiba meraih pinggang Aleeta dan memeluknya. “Perkenalkan, Aleeta. Istriku.”Mata Gwen menatap tangan Nicholas yang memeluk pinggang Aleeta.“Wah, jadi kamu sudah menikah Frederick?” “Tentu saja,” jawab Nicholas santai.Sementara Aleeta, ia hanya terdiam dan membiarkan tangan Nicholas terus memeluk pinggangnya. Aleeta tidak menyangka kalau Nicholas benar-benar mengenalkannya sebagai istrinya. Entah apa hubunga
Nicholas menghentikan sepeda motornya di area parkir khusus yang ada di dekat kawasan menara Eiffel. Pria itu sengaja memarkirkan sepeda motornya di sana supaya ia bisa menikmati waktu sambil berjalan-jalan bersama Aleeta. Ia lalu turun dari sepeda motor, begitu juga dengan Aleeta.“Kemarikan helmmu,” ujar Nicholas, meminta helm yang di pakai Aleeta agar ia bisa menaruhnya di atas motor.Namun, lama Nicholas mengulurkan tangan, Aleeta tak kunjung juga menyerahkan helm itu padanya. Nicholas mengernyit. Apa Aleeta sedang melamun?“Aleeta.”“Ya?” Wanita itu mengerjap kaget lalu menoleh ke arah Nicholas. “Ada apa?” Tanya Aleeta.Nicholas tersenyum tipis. Sepertinya Aleeta memang benar-benar melamun tadi. “Apa yang membuatmu sampai melamun seperti itu?”Melamun? Aleeta mengernyit. Siapa yang melamun? Perasaan ia tidak melamun. Aleeta menatap Nicholas yang sudah meraih helm dari tangannya, lalu meletakkannya di
Aleeta turun di halte bus sembari merapatkan jaket. Ia melangkah lunglai menuju gang kecil yang akan membawanya ke kontrakan yang selama bertahun-tahun ini menjadi tempat tinggalnya. Rasanya lelah luar biasa. Aleeta melangkah pelan, bahkan sesekali berhenti, menatap ujung sepatunya dengan pikiran kosong. Kemudian Aleeta kembali melangkah menuju kontrakannya. Dalam satu hari ia harus bekerja di dua tempat sekaligus. Mulai dari pagi hingga menjelang pagi lagi. Tubuh Aleeta bahkan sampai terlihat begitu kurus dan pucat dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang setiap hari semakin bertambah kentara. Terkadang tubuhnya juga terasa lemah karena kekurangan jam istirahat. Tapi Aleeta tidak boleh mengeluh. Aleeta menarik napas dalam-dalam dan membuka pintu rumah. Belum sempat pintu itu tertutup, dia sudah mendengar seruan yang memekakkan telinganya. “Mana uangku?!” Aleeta mendesah lelah. Ia tidak kaget lagi mendapati Sonya menunggu kepulangannya di balik pintu. Bukan, bukan kepulangan
“Oh, sudah sadar rupanya?” Suara itu membuyarkan lamunan Aleeta. Ia segera menoleh dan menemukan Sonya yang sedang berdiri di dekat pintu. “Aku kira kamu akan mati dalam kecelakaan tadi?” Lagi-lagi Sonya kembali bersuara. Aleeta memejamkan mata sebelum kemudian ia berkata. “Ya. Jika bisa memilih aku memang lebih baik memilih untuk mati dalam kecelakaan tadi,” desisnya tajam. Sonya memicing. “Lalu kenapa kamu tidak mati saja, heh? Dari pada membuatku repot begini. Kamu tahu berapa banyak waktuku yang terbuang hanya untuk menunggumu di sini?” Aleeta tidak habis pikir. Ia baru saja terbangun beberapa menit yang lalu. Tapi kenapa Sonya sudah tega mengatakan hal seperti itu pada dirinya? Apa tidak ada hal lain yang bisa Ibunya katakan selain mengatakan tentang kematiannya? Apa memang sebegitu tidak berharganya Aleeta di mata Ibunya, hingga wanita itu mengharapkan kematiannya? “Ma ...” Aleeta menatap Sonya. “Kalau Mama ingin aku mati, kenapa Mama nggak membiarkan aku tergeletak di jal
“Tenanglah, Nicholas. Semuanya pasti akan baik-baik saja.” Karina—Ibu Nicholas berusaha menenangkan putranya.Karina tiba di rumah sakit satu jam setelah kecelakaan itu terjadi.“Bagaimana aku bisa tenang, Ma. Di sana ...” Nicholas tak sanggup melanjutkan perkataan.Karina mengangguk, paham dengan apa yang Nicholas rasakan. Ia hanya terus memeluk sembari mengusap lengan putranya sampai tiba-tiba pintu ruang operasi itu terbuka. Nicholas segera berdiri, menghapus air matanya dan menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi.“Dokter, bagaimana keadaannya, Dok? Bagaimana keadaan calon istri saya?” Tanya Nicholas tak sabaran.Dokter Moses langsung menatap Nicholas dengan tatapan yang tak bisa Nicholas artikan sama sekali. Tidak. Nicholas hanya tidak sanggup menerima jika apa yang akan di katakan oleh Dokter Moses adalah hal yang paling tidak ingin ia dengar sekarang. “Maafkan kami, Tuan Nicholas ...” Nicholas hanya bisa menggeleng saat dokter mengatakan hal tersebut. “Kami
Hari ini sudah genap tiga bulan sejak kecelakaan itu terjadi. Kecelakaan yang membuat seorang wanita yang tidak tahu apa-apa harus rela kehilangan nyawa demi Aleeta. Jujur, jika boleh mengakui sampai detik ini Aleeta juga masih merasa begitu bersalah. Wanita itu begitu baik, seharusnya dia tidak perlu menolongnya. Biarkan saja dirinya yang mati dalam kecelakaan itu. Aleeta mendesah, bagaimanapun juga ia tidak bisa memutar waktu. Memangnya ia siapa? Mungkin saja semua itu memang sudah menjadi takdir dari Tuhan.Tapi keluarga wanita itu ....Aleeta menggeleng. Ia tidak ingin mengingat tentang keluarga wanita itu. Terutama pada pria yang dengan terang-terangan mengatainya seorang pembunuh. Aleeta kembali menggeleng. Aleeta takut. Meski Ibu Nicholas maupun pria satunya yang tidak Aleeta ketahui namanya itu tidak ikut menuduhnya sebagai pembunuh. Tapi tetap saja, Aleeta merasa ketakutan saat mengingat tatapan mematikan yang penuh kebencian dari kedua bola mata Nicholas.Nicholas Axel Fre
“Maafkan aku, Aleeta. Aku tidak bisa membantumu.”Seketika bahu Aleeta merosot lesu saat mendengar jawaban dari Thomas—Bos di Cafe tempat ia bekerja. Di jam makan siangnya ini, Aleeta menyempatkan diri untuk menemui Thomas di ruangan kerja pria itu. Ia sudah mengatakan alasannya kepada Thomas untuk apa ia sampai harus meminjam uang, tapi ternyata Thomas tidak bisa membantu Aleeta.“Kamu pasti berpikir kalau aku ini pelit,” imbuh Thomas.“Nggak, Thom. Sungguh aku nggak berpikiran seperti itu,” sahut Aleeta sembari menggeleng.Thomas hanya bisa terkekeh kecil. “Berpikiran seperti itu juga tidak masalah, Aleeta. Orang-orang pasti berpikir kalau Cafeku ini ramai, dan untung yang aku dapatkan pasti juga lumayan. Tapi kenyataannya tidak seperti itu.”Aleeta hanya terdiam menatap pria yang selama beberapa tahun ini menjadi Bosnya.“Aku punya banyak sekali tanggungan yang harus aku bayar setiap bulannya. Termasuk tempat ini, tempat tinggalku. Gaji kalian. Dan percayalah, aku rela menghemat ke
Nicholas menghentikan mobil tepat saat mobil yang ada di depannya berhenti. Hari ini ia ada janji dengan salah satu rekan bisnis dari perusahaannya. Rekan bisnisnya tersebut mengundang Nicholas datang ke sebuah klub untuk merayakan kerja sama yang sedang di jalani perusahaan mereka. Kali ini Nicholas datang bersama Julian—sepupunya, karena Lukas sedang tidak bisa menemaninya. Saat Nicholas melangkah keluar mobil, tiba-tiba ponselnya berbunyi.“Ma ....”“Kamu sudah pulang ke apartemen?”“Belum, Ma. Aku sedang menghadiri acara yang di buat oleh salah satu rekan bisnisku di perusahaan.”“Ya sudah. Jangan pulang terlalu malam. Dan ingat, jangan sampai pulang dalam keadaan mabuk, Nicholas.”“Iya, Ma.”Nicholas tersenyum tipis saat panggilan dengan Ibunya—Karina terputus. Perlu di akui, sejak kematian Sesilia, hidup Nicholas memang mengalami banyak sekali perubahan.Ia jadi lebih sering pergi ke sebua
Nicholas menghentikan sepeda motornya di area parkir khusus yang ada di dekat kawasan menara Eiffel. Pria itu sengaja memarkirkan sepeda motornya di sana supaya ia bisa menikmati waktu sambil berjalan-jalan bersama Aleeta. Ia lalu turun dari sepeda motor, begitu juga dengan Aleeta.“Kemarikan helmmu,” ujar Nicholas, meminta helm yang di pakai Aleeta agar ia bisa menaruhnya di atas motor.Namun, lama Nicholas mengulurkan tangan, Aleeta tak kunjung juga menyerahkan helm itu padanya. Nicholas mengernyit. Apa Aleeta sedang melamun?“Aleeta.”“Ya?” Wanita itu mengerjap kaget lalu menoleh ke arah Nicholas. “Ada apa?” Tanya Aleeta.Nicholas tersenyum tipis. Sepertinya Aleeta memang benar-benar melamun tadi. “Apa yang membuatmu sampai melamun seperti itu?”Melamun? Aleeta mengernyit. Siapa yang melamun? Perasaan ia tidak melamun. Aleeta menatap Nicholas yang sudah meraih helm dari tangannya, lalu meletakkannya di
Aleeta masih terdiam ketika wanita bernama Gwen tadi mendekati Nicholas.“Astaga, Nich. Aku nggak menyangka bisa bertemu denganmu di sini.”Nicholas tersenyum. “Ya. Aku juga nggak menyangka. Sudah lama sekali kita nggak bertemu, Gwen.”Aleeta seketika memelotot ketika wanita bernama Gwen itu langsung memeluk suaminya begitu saja, tanpa permisi. Ck! Apa-apaan wanita itu?!“Kamu yang menolak bertemu denganku.” Gwen tersenyum seraya melepas pelukan.Nicholas hanya tertawa, lalu tiba-tiba meraih pinggang Aleeta dan memeluknya. “Perkenalkan, Aleeta. Istriku.”Mata Gwen menatap tangan Nicholas yang memeluk pinggang Aleeta.“Wah, jadi kamu sudah menikah Frederick?” “Tentu saja,” jawab Nicholas santai.Sementara Aleeta, ia hanya terdiam dan membiarkan tangan Nicholas terus memeluk pinggangnya. Aleeta tidak menyangka kalau Nicholas benar-benar mengenalkannya sebagai istrinya. Entah apa hubunga
“Sudah selesai?” Nicholas masuk ke dalam kamar tepat saat baru saja Aleeta selesai mengganti bajunya. Wanita itu lalu menoleh dan menatap Nicholas.“Memangnya kamu ingin mengajakku kemana? Kenapa tiba-tiba menyuruhku untuk mengganti pakaian?” Aleeta balik bertanya.Nicholas menaikkan sebelah alisnya. “Kamu lupa, bukankah sore tadi kita sudah berencana untuk pergi ke menara Eiffel hari ini?”Astaga, benar. Aleeta lupa. Ia pikir Nicholas tidak bersungguh-sungguh dengan hal itu. Pasalnya mereka berdua masih akan berada di Paris sampai tahun baru nanti. Jadi kalau hanya untuk sekedar mengunjungi menara Eiffel, Aleeta pikir hal itu tidak harus di lakukan sekarang. Masih banyak hari lain yang bisa mereka gunakan untuk pergi ke sana. Tapi tampaknya Nicholas benar-benar ingin menepati janjinya. Dan Aleeta harus menghargai keputusan Nicholas.“Sebenarnya nggak harus hari ini juga nggak apa-apa, Nicho. Lagipula ini sudah jam tujuh.”
Aleeta menatap jam yang menempel di dinding kamarnya. Hampir pukul setengah enam sore. Itu berarti sudah hampir satu jam sejak kepergian Nicholas, Aleeta belum juga beranjak dari tempatnya. Wanita itu masih berbaring di atas tempat tidur seraya menonton layar televisi yang tengah menampilkan acara drama keluarga.Tiba-tiba Aleeta teringat kalau dirinya belum meminum pil kontrasepsinya sejak Nicholas pergi tadi. Seraya menepuk kening, wanita itu beranjak turun dari tempat tidur.“Astaga, Aleeta. Apa yang kamu pikirkan sejak tadi? Ini kesempatan untukmu sebelum Nicholas kembali pulang,” gerutu Aleeta seraya membuka kopernya untuk mengambil pil pencegah kehamilannya.Aleeta mengamati pil kecil itu di tangannya. Apa tidak apa-apa ia mengonsumsinya sekarang? Atau besok saja? Wanita itu tiba-tiba merasa bimbang. Setahu Aleeta jenis kontrasepsi yang ia konsumsi harus di minum sehari sekali pada jam yang sama. Dan biasanya Aleeta meminumnya di pagi hari. Tap
“Kamu cemburu?” Aleeta hanya bisa mendengus. Sepertinya Nicholas memang tidak akan berhenti bertanya jika Aleeta tidak segera menyanggah tuduhan tersebut. Enak saja pria itu. Memangnya siapa yang cemburu? Rutuk Aleeta dalam hati.“Kamu—““Aku nggak cemburu!” Sahut Aleeta ketus.Nicholas hanya mengangguk-angguk dan tetap meneruskan sarapannya dengan santai. Sementara Aleeta menggerutu pelan dengan suara yang tidak jelas terdengar. Membuat Nicholas tersenyum geli menatapnya. Pria itu meraih gelas minuman Aleeta, lalu meneguknya hingga setengah.“Nicho!” “Hm.” Nicholas kembali meletakkan gelas minuman yang tinggal separuh itu ke hadapan Aleeta.“Kamu ini kenapa, sih?” “Kenapa apanya?”Aleeta memutar bola mata. “Kamu sudah punya minuman sendiri. Kenapa masih meminum punyaku?”“Aku masih haus,” jawab Nicholas datar.“Kalau masih haus minta saja Helena untuk membuat
Keesokan harinya, Aleeta terbangun tepat saat jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Wanita itu menggeliat lalu mengerjap-ngerjapkan matanya. Seluruh tubuhnya terasa begitu remuk tetapi juga terasa ringan secara bersamaan. Sebuah kombinasi pas yang selalu Aleeta rasakan setiap kali selesai bercinta sepanjang malam dengan Nicholas. Beberapa waktu belakangan ini Nicholas selalu memperlakukan Aleeta dengan baik, termasuk dalam urusan bercinta. Jika biasanya ia akan mendapatkan rasa sakit setelah pria itu menyetubuhinya, tapi beberapa kali ini Aleeta sudah tidak pernah merasakan hal itu lagi. Dan Aleeta harap seterusnya akan seperti itu.Wanita itu lalu memiringkan tubuh polosnya yang masih berbalut selimut itu ke samping. Ke arah Nicholas yang masih terlelap dalam tidurnya. Aleeta tersenyum melihat wajah Nicholas yang masih terlelap tersebut. Wajah pria itu begitu tenang dan damai, hingga Aleeta merasa takut untuk mengganggunya. Namun, ketika Aleeta
Nicholas masih mengamati wajah Aleeta yang berada di bawah tubuhnya. Dan hal itu lagi-lagi membuat Aleeta merasa salah tingkah. Ia mencoba menelan ludah dengan susah payah. Rasanya malu. Nicholas belum pernah menatapnya seperti itu. Tatapan pria itu begitu dekat, lekat dan menggoda, membuat jantung Aleeta berulah karenanya. Aleeta memalingkan wajah menatap dinding. “Aleeta.” Tangan Nicholas menyentuh pipi Aleeta. Membuat Aleeta kembali menatapnya. Aleeta hanya diam, menatap Nicholas tanpa bersuara. Nicholas mengusap bibir bawah Aleeta, bibir yang pucat itu terasa begitu dingin di kulitnya. Tangan Nicholas membelai daun telinga Aleeta, ia bisa mendengar Aleeta menarik napas berat. Pria itu perlahan menunduk. Dan Aleeta masih menatapnya tanpa mengatakan apapun, tidak menolak, dan juga tidak merasa keberatan. Saat bibir pria itu menempel di bibirnya, mata Aleeta terpejam. Bibir Nicholas berg
“Apa kamu lapar?” Tanya Nicholas begitu ia dan Aleeta memasuki rumah.Mereka baru tiba di rumah ketika hari sudah menjelang pukul dua dini hari. Udara di luar bahkan sudah semakin terasa begitu dingin. Jika mereka berada di luar lebih lama lagi, Nicholas yakin kalau tubuh mereka bisa membeku karena udara dingin yang menusuk tersebut.Aleeta menggeleng pelan. “Aku makan besok pagi saja.”“Kamu yakin? Aku bisa membangunkan Helena agar dia menyiapkan makanan untukmu kalau kamu mau.”Lagi-lagi Aleeta kembali menggeleng. “Nggak usah, Nicho. Aku makan besok pagi saja,” ujar Aleeta.Wanita itu bukanya tidak lapar. Aleeta ingat betul kalau seharian tadi ia belum memakan apapun kecuali dua buah Croissant yang ia beli di Cafe siang tadi. Tapi saat ini ia terlalu malas untuk makan. Tubuhnya terlalu lelah, lemas dan juga kedinginan. Hal itulah yang membuat Aleeta kehilangan rasa laparnya. Sekarang ia lebih tertarik untuk segera masuk ke dal
Aleeta terus membawa Nicholas menjauh. Ia terus menggenggam dan menarik tangan Nicholas tanpa melepaskannya sedikitpun. Aleeta tidak akan membiarkan Nicholas kembali mendekati ketiga berandalan tadi. Aleeta tidak ingin Nicholas membunuh mereka.Wanita itu menarik napas dan semakin mempercepat langkahnya. Nicholas yang menyadari hal tersebut seketika mendongak. Menatap Aleeta yang terus saja berjalan seraya menggenggam tangannya. Apa yang di lakukan wanita itu? Kenapa Aleeta terus membawanya menjauh?Tatapan Nicholas lalu kembali beralih pada genggaman tangan Aleeta. Ia bisa merasakan tangan wanita itu yang terus saja bergetar sejak tadi. Tapi wanita itu tampaknya tidak ingin menyerah. Aleeta terus menggenggam dan bahkan semakin mengeratkannya. Seolah takut jika Nicholas akan kembali ke belakang dan membunuh para berandalan tadi.Nicholas lalu berdecak pelan. “Kenapa kamu melakukan ini?” Tanyanya dengan suara datar.Aleeta yang