Di perjalanan pulang, Bayu masih memikirkan kenapa Widya menghilang. Saat berhenti di lampu merah, dia mengeluarkan ponsel. Mencoba menghubungi orang yang seharusnya tau mengenai kematian Dianara. Berita telah tersebar, dan dia diberitau untuk tidak mempercayai siapa pun lagi.
Meski kabar yang akan disampaikan adalah kebohongan, tapi setidaknya dia ingin melihat reaksi Widya secara langsung.
Namun, wanita itu benar-benar menghilang.
Bayu mencoba beberapa kali, tapi panggilannya tak ada jawaban sama sekali. Dia pun membuka sosial media, mencari tahu di mana kini Widya berada. Namun, baru saja Bayu membuka aplikasi jutaan umat itu, keningnya mengerut.
"Widya dalam status online. Kenapa tadi telponku gak diangkat?"
Bayu kembali terkejut dengan postingan yang baru saja Widya kirim. Terpampang foto wanita itu sedang berpesta. Dia pun berpikir, Widya tak seharusnya melakukan ini, berp
“Sayang, aku gak mau setelah ini kamu ninggalin aku!” ujar si gadis cantik ketika merapikan penampilannya.Dialah Dianara Wiratama, putri dari pasangan Ismawan Wiratama dan Asmarini Hermawan. Papanya seorang pengusaha sukses di Surabaya. Saat ini dia bersama sang kekasih hatinya, di dalam sebuah kamar hotel. Permukaan kasur sudah tak beraturan, terdapat noda di atasnya.Ya, gadis itu baru saja memberikan mahkota berharganya kepada sang kekasih, Natan. Pria yang telah bersamanya selama tiga tahun. Hari ini adalah anniversary hubungan mereka dan Dianara memberikan hadiah berharga ini kepada sang kekasih. Sangat disayangkan, ternoda hanya demi sebuah kado. Bujukan Natan berhasil membawanya ke dalam jurang dosa."Baby, aku berjanji. Setelah bisnisku kali ini berhasil, kita akan menikah," jawab pria itu santai mendekati gadis kesayangannya.Dianara menengadah, menatap wajah sang kekasih di hadapan, matanya terlihat berbinar. "Bener ya, Sayang. Papa dan Mama sangat berharap banyak sama kamu
Tak ada seorang pun yang dapat dimintai bantuan. Dianara mencoba bangkit dan jalan perlahan masuk lagi ke mobil. Bagian bawah perutnya ditahan agar tak kembali merasa nyeri.Dianara mengambil ponsel dan mengetuk layarnya dua kali. "Kenapa pake mati, sih!"Kemudian dia mengecek GPS pada mobilnya. Dianara ternyata mengambil jalur yang salah. Lokasinya saat ini sangat jauh dari rumah."Aaahhh, sial banget sih! Mana gak ada orang!"Tubuh lemahnya dia sandarkan ke jok. Tenggorokan terasa sakit, tenaganya terkuras habis akibat berjuang memuntahkan isi perut tadi. Dianara mengedarkan pandangan, mencari sesuatu di dalam sana. Tak ada apa pun yang bisa dijadikan penghilang rasa mualnya.Dianara pun memejamkan mata, berharap akan ada seseorang yang datang membantunya. Dalam pikirannya, andai saja Natan ada di sana, hal seperti ini tidak akan terjadi.Beberapa menit kemudian, kaca mobilnya di ketuk seseorang dari luar. Gadis itu terlihat antara sadar dan tidak. Dia ingin membuka mata, tapi sungg
Seruan pria itu tak diindahkan. Kemudian Dianara secara tangkas mengambil barang-barangnya di atas meja yang ada di dekatnya. Kini dia melangkahkan kakinya meninggalkan pria itu menjauh.Bayu yang berada berseberangan dengan gadis itu pun mencoba menghalangi, tapi tubuhnya di dorong hingga tersungkur di atas ranjang. Tidak disangka, tenaganya sangat besar, Bayu pun hanya dapat menatap kepergian temannya berlari dengan cepat."Nara, tunggu!"Teriakan Bayu tidak digubris. Dia terus melangkahkan kakinya semakin cepat. Sesekali dia menyusutkan air mata yang mengalir dengan telapak tangannya.Tidak peduli dengan kondisi kesehatannya yang masih belum pulih. Tidak peduli dengan kandungannya yang akan terganggu karena berlari kencang. Hentakkan tubuh yang kuat tentu saja akan kembali memengaruhi janinnya.Beberapa orang yang ada di sana menatapnya dengan heran, tidak digubris sama sekali. Dianara hanya ingin cepat sampai di rumah dan bertanya pada seseorang. ‘Tidak mungkin’, dia terus saja me
Seperti biasa, rumah kediaman Gunawan selalu sepi. Lokasinya yang berada di pinggiran kota dan jauh dari jangkauan khalayak ramai. Dianara membunyikan klakson mobil memanggil satpam yang bertugas. Tak lama, satpam itu datang setelah mengenali mobilnya."Nona, Dianara?" Sapa satpam itu.Jendela kaca mobil itu diturunkan separuh. "Iya, Pak Somad. Saya Dianara, tolong bukain pintunya, Pak!" Pinta Dianara kemudian."Iya, iya, bentar, Non."Pintu gerbang yang memiliki tinggi lebih dari dua meter itu pun dibuka. Dianara menjalankan mobilnya dan berhenti di depan pos satpam. Kemudian dia keluar dan menyerahkan kunci mobil pada Pak Somad yang datang menghampirinya. Sepertinya, Dia sengaja ingin meminta pria itu memarkirkan mobilnya di garasi. Pria paruh baya yang sudah bekerja selama sepuluh tahun di rumah itu pun melakukan permintaan gadis itu, seperti biasa."Paman dan Bibi ada di rumah, Pak? Dan Mamaku juga ada kan?" tanya Dianara sebelum berniat masuk ke dalam rumah.Pak Somad mengangguk
"Gun, bawalah Dianara ke luar negeri. Bawa dia tinggal bersama kalian. Kakak tidak ingin Dianara terbebani dengan masalah ini, dia bisa tertekan, jiwanya masih labil." Suara Asmarini terdengar memohon."Setelah urusan Mas Is selesai, Kak. Pengacara sudah menangani kasus ini, besok aku akan berangkat ke Jakarta.""Bawa kakak juga, Gun.""Jangan dulu, Kak. Sebaiknya di sini saja sama Clarissa dan Dianara. Aku akan atur semuanya dulu, seminggu lagi kalian boleh menyusul."Masalah ini bisa saja rumit, atau akan lama bisa selesai. Dimulai dari pengumpulan bukti, pencari pelaku sebenarnya. Ditambah lagi dengan keadaan internal perusahaan. Cabang perusahan di Jakarta bisa terancam ditutup, sebab kasus pajak ini terjadi di sana. Lalu kerugian yang akan ditanggung perusahaan inti. Jika tidak ditangani secara rinci, akan terancam bangkrut."Kita belum tau gimana kondisi di sana. Perusahaan di Jakarta juga sedang kacau. Tapi, orang kepercayaan Mas Is juga mengurus awak media, agar tidak terlalu
Gadis itu sudah hilang akal. Kenapa pula Dianara sampai berpikiran pendek karena kenekatannya. Kini setelah melihat dan merasakan sendiri akibat perbuatannya, barulah dia sadar. Semua orang yang mengelilinginya tampak sangat cemas dan takut dia akan celaka.Rasa bersalah pun datang. Melihat wajah sang mama, membuatnya takut. Dia belum siap, menyaksikan raut kesedihan di wajah teduh itu. Tanggisan penyesalah Dianara lepaskan. Terisak dalam pelukan Asmarini yang nyaman."Gak apa-apa, Sayang … gak papa." Asmarinimengelus punggung sang putri dengan lembut."Sudah, sudah. Kitamasukke dalam rumah saja, Kak,"ucap Gunawan. Melihat keduanya, dia pun tak lagi bisa menyalahkan. Dianara belum dewasa, dan impulsif akan sikapnya."Iya, iya … ayo masuk, Sayang,"ajak Asmarini.Di ruang keluarga rumah itu. Dianara pun duduk diapit oleh mama dan bibinya. Merangk
Dalam keadaan seperti ini. Pikiran dan hatinya masih dibutakan oleh cinta. Tentu saja dia tidak akan peduli dengan hal lain selain Natan. Gadis itu lebih memilih memilih mengutak-atik ponselnya. Kembali mencoba menghubungi sang kekasih."Apa?" tanyanya seperti malas untuk mendengarkan."Jutek amat sih? Gak penasaran dia bilang apa? Dia lumayan ganteng Lo, mirip Oppa yang lo suka." Bayu mendengus memeluk tubuhnya sendiri."Gak … gue lagi mikirin kak Natan, susah banget dihubungi."Bayu pun menepuk jidatnya sendiri, tak habis pikir dengan temannya itu. "Hadehhh, bukannya mikirin bokap, lo malah mikirin pacar?""Ya gue mikirin bokap lah. Tapi gue lebih kepikiran pacar gue, nasib hubungan gue sama dia itu gimana? Apalagi Mama dan Paman berencana mau bawa gue ke luar negeri. Trus anak ini gimana?"Pada usianya yang masih muda. Dianarasudah didatangkan
Dianara punterpaksa membuka matanya. Sebuah benda yang tidak asing tampakdi depan wajahnya. Seketika itu dia terbelalak. Tangan mamanya tampak bergetar memegang benda itu."I–ini?""Iya, ini punya kamu!Jelaskan, kenapa kamu melakukan hal kotor seperti itu? Dan lihat hasil perbuatan kamu!"Gadis itu tak dapat berkata-kata. Dia diam terpaku melihat kemurkaan sang mama. Melihat wajah wanita kesayangannya itu pun, Dianarasudah tak berani. Rahasia yang disimpan akhirnya terkuak sebelum dia ungkapkan. Dalam benaknya, kenapa mamanya bisa tau hal ini? Dia pun akhirnyasadar, buang air kecil yang dia lakukan tadi adalah untuk hal ini."Kak Asma?"Tubuh Asma kembali goyah. Clarissa yang bersiaga di samping, dengan cepat menopang tubuh itu. Dianaramelihat hal itu dan ikut menahan mamanya agar tidak jatuh."Mama!"D