Beranda / CEO / Pembalasan untuk Mantan / 6. Pria penyelamat

Share

6. Pria penyelamat

Gadis itu sudah hilang akal. Kenapa pula Dianara sampai berpikiran pendek karena kenekatannya. Kini setelah melihat dan merasakan sendiri akibat perbuatannya, barulah dia sadar. Semua orang yang mengelilinginya tampak sangat cemas dan takut dia akan celaka.

Rasa bersalah pun datang. Melihat wajah sang mama, membuatnya takut. Dia belum siap, menyaksikan raut kesedihan di wajah teduh itu. Tanggisan penyesalah Dianara lepaskan. Terisak dalam pelukan Asmarini yang nyaman.

"Gak apa-apa, Sayang … gak papa." Asmarini mengelus punggung sang putri dengan lembut. 

"Sudah, sudah. Kita masuk ke dalam rumah saja, Kak," ucap Gunawan. Melihat keduanya, dia pun tak lagi bisa menyalahkan. Dianara belum dewasa, dan impulsif akan sikapnya.

"Iya, iya … ayo masuk, Sayang," ajak Asmarini.

Di ruang keluarga rumah itu. Dianara pun duduk diapit oleh mama dan bibinya. Merangkul pundak gadis itu, supaya perasaan syoknya bisa hilang. Sedangkan sang paman, duduk di kursi single bersebelahan dengan para wanita. Setelah melihat Dianara cukup tenang, dia pun memulai pembicaraan.

"Dianara, apa yang membuat kamu melakukan hal nekat seperti tadi?" tanya Gunawan dengan wajah tegasnya. Dia tak dapat lagi menyembunyikan kemarahan. Namun begitu, intonasi ucapan tetap dijaga agar Dianara tidak merasa takut.

Gadis itu hanya menunduk. Tak berani menatap wajah pamannya yang sedang marah. Dia tau jelas, bagaimana ketika pria itu sudah emosi. "Maaf, Paman. Nara …."

"Kamu berniat kabur? Kenapa? Apa karena laki-laki itu?"

"Nara … Nara gak mau pergi ke Italia," jawabnya pelan, suaranya hampir tak terdengar.

Gunawan memeluk tubuhnya sendiri. Dia bersandar pada punggung sofa dan mencoba lebih santai. Dia harus menghadapi ini dengan kepala dingin. "Kamu menguping pembicaraan kami? Apa saja yang kamu dengar?"

Pertanyaan itu tak lantas dijawab oleh gadis yang baru berusia dua puluh tahun itu. Hingga terdengar pamannya berdehem, dia pun tersentak.

Dianara mengangkat wajahnya, memberanikan diri untuk menjawab. "Kenapa? Mama dan Paman mau misahin Nara dan kak Natan? Nara cinta sama kak Natan, Nara gak mau pergi!"

Perkataan Dianara tersebut lantas mendapat lirikan tajam dari kedua wanita di sampingnya.

"Dianara! Kamu bahkan gak mikirin papa kamu di Jakarta. Malah mau kabur cari laki-laki itu?" Gunawan naik pitam, emosi yang ditahan sedari tadi, kini pun lepas.

Dianara kembali tertunduk dan terdiam. Benar apa yang pamannya katakan. Dia terlalu egois, hanya memikirkan diri sendiri.

"Sudah sadar akan kesalahanmu? Sekarang masuk kamar, jangan berharap untuk bisa keluar dari rumah ini!"

Gunawan bangkit dari duduknya. Dia berbalik dan hendak pergi dari ruangan itu. Jika dia tetap lebih lama di sana, mungkin pria itu tak sanggup lagi menahan amarahnya.

Dianara mendongak memandangi pamannya yang berlalu pergi. "Ta–tapi, Paman?"

"Masuk sekarang!" Teriakan itu menggelegar. Walau mereka tak saling berhadapan, kemarahannya itu cukup membuat wajah Dianara pucat ketakutan.

Dua wanita di samping Dianara pun tak kalah terkejut dengan kemarahan seorang Gunawan. Pria yang hampir berumur setengah abad, yang telah banyak melalui masa-masa sulit dalam hidupnya.

Asmarini mencoba menasehati sang putri. "Sudahlah sayang. Sebaiknya kamu dengar apa kata pamanmu."

Dianara pun tak dapat berbuat apa-apa lagi. Dia terpaksa ikut apa yang orang tuanya minta. Setidaknya untuk saat ini, dia patuh. Bagaimanapun juga dia juga punya rahasia yang tak sanggup dia ungkap saat ini. Dianara terlalu takut untuk mengakui semua di hadapan keluarganya. Setidaknya itu yang dia pikirkan sekarang.

***

Selama dua hari Dianara hanya berdiam diri di kamar. Tak banyak bicara, dan makan minum pun dia di dalam kamar. Gunawan tak mengizinkan Dianara untuk keluar dari ruangan itu. Gadis itu tak mampu melawan, watak sang paman sangat keras, dia sudah hafal selama ini. Semakin dilawan maka semakin berat hukuman yang akan dia dapatkan.

Siang itu Dianara mencoba menghubungi teman terdekatnya. Dia sudah terlalu bosan di dalam kamar sendirian. Pertama dia menghubungi Widya, tapi ponsel sahabatnya itu tak aktif sejak tiga hari yang lalu. Lalu dia menghubungi Bayu, yang terakhir kali dia jumpai.

Sedangkan Natan sama halnya dengan kemarin, sibuk dan susah di hubungi. Dia hanya menerima pesan singkat dari kekasihnya itu. Dia maklum, perusahaan papanya sedang mengalami masa kritis sekarang. Sang paman juga tak ada di rumah, sudah berangkat ke Jakarta untuk mengurus masalah papanya di sana.

Tampaknya Dianara masih belum sadar apa yang telah terjadi. Dia tak tau seberapa besar masalah ini. Walaupun sebelumnya dia sempat sedih, tapi kegelisahan hatinya telah menutupi apa yang seharusnya dia khawatirkan saat ini. Dianara malah lebih cenderung memikirkan hubungannya dengan Natan–sang pacar. Di kala cinta menutupi hati seseorang, dia saat itulah dia akan sangat egois.

Saat ini Bayu dan Dianara sudah berhadapan. Saling pandang dan diam sejenak. Apa yang telah terjadi? Pikiran Bayu yang terpaku di depan ranjang gadis itu.

Dianara melempar bantal pada teman sekelasnya itu. "Bay, bengong aja sih, Lo?"

Bayu lantas menepis dengan cepat. Dia mendekat, dan satu jitakan ringan mendarat di kepala gadis itu. "Bandel!"

"Auuu, Bay! Apa apaan sih, sakit tau." Dianara meringis seraya mengusap puncak kepalanya.

"Lo itu yang apa-apaan! Gue suruh tunggu sebentar, malah main kabur aja?" Bayu bersungut sambil berkacak pinggang pada gadis itu.

"Habisnya sih Lo. Gue nungguin lama, gak datang juga."

Bayu menggeleng kepala, melihat gadis itu merenggut saat ini, membuat pria itu tak paham dengan jalan pikiran Dianara.

"Kenapa Lo lama?" tanya Dianara kemudian.

Bayu mengambil bantal yang tadi tak sempat mengenai dirinya. Lalu melempar kembali pada gadis itu. "Gue Nebus obat Lo, bego!"

"Hiihhh, Bayu!"

"Gimana keadaan Lo sekarang? Orang tua lo udah tau soal kondisi lo saat ini?"

"Belum."

Bayu menghela napasnya berat. "Sampai kapan Lo mau rahasiakan semua?"

"Tunggu waktu yang pas, Bay. Gue juga mau terus terang, tapi Mama dan Paman malah mau bawa gue ke Italia."

"Italia? Tempat tinggal Paman dan Bibi Lo?" Bayu yang telah duduk di hadapan Dianara pun menjadi penasaran.

"Iya"

"Kenapa?"

"Mereka mau misahin gue dari kak Natan."

"Trus?"

"Ahhh, malas gue mikirin. Gue hampir celaka pas mau kabur kemarin," balasnya bersandar dan memeluk bantal.

Bayu pun menyentil kening gadis itu.

"Auuu, Bayu! Apaan lagi sih?"

"Itu hukuman buat anak bandel kaya Lo."

"Hissss."

Bayu diam sesaat. Lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Ini obat Lo. Minum sesuai anjuran. Gue juga udah ketemu sama orang yang nyelamatin Lo, dia ternyata dokter di sana," ucapnya seraya menyerahkan sekantong obat gadis itu.

"Oya? Cowok yang nolongin gue itu dokter?"

"Iya, dan lo tau apa yang gue dengar dari dia?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status