Share

5. Berusaha kabur

"Gun, bawalah Dianara ke luar negeri. Bawa dia tinggal bersama kalian. Kakak tidak ingin Dianara terbebani dengan masalah ini, dia bisa tertekan, jiwanya masih labil." Suara Asmarini terdengar memohon.

"Setelah urusan Mas Is selesai, Kak. Pengacara sudah menangani kasus ini, besok aku akan berangkat ke Jakarta."

"Bawa kakak juga, Gun."

"Jangan dulu, Kak. Sebaiknya di sini saja sama Clarissa dan Dianara. Aku akan atur semuanya dulu, seminggu lagi kalian boleh menyusul."

Masalah ini bisa saja rumit, atau akan lama bisa selesai. Dimulai dari pengumpulan bukti, pencari pelaku sebenarnya. Ditambah lagi dengan keadaan internal perusahaan. Cabang perusahan di Jakarta bisa terancam ditutup, sebab kasus pajak ini terjadi di sana. Lalu kerugian yang akan ditanggung perusahaan inti. Jika tidak ditangani secara rinci, akan terancam bangkrut.

"Kita belum tau gimana kondisi di sana. Perusahaan di Jakarta juga sedang kacau. Tapi, orang kepercayaan Mas Is juga mengurus awak media, agar tidak terlalu mengekspor kalian. Untuk sementara situasi masih belum memungkinkan untuk Kak Asma dan Dianara keluar dari kota ini." Gunawan meyakinkan istri kakak angkatnya itu.

"Baiklah, aku percayakan semua sama kamu. Kakak hanya khawatir Dianara akan sulit untuk menerima ini semua."

"Aku paham, Kak. Aku akan atur, Clarissa yang akan bawa Dianara ke Italia lebih dulu."

Obrolan antara tiga orang dewasa di dalam kamar itu terdengar sangat serius. Dianara menjadi panik dan takut akan rencana keluarganya.

‘Tidak, ini tidak boleh terjadi. Jika aku ikuti kemauan Mama dan Paman, maka aku akan terpisah dari Kak Natan. Aku mencintainya, kenapa mereka tega ingin memisahkan aku dengan Kak Natan?’

Dianara mulai dirasuki dengan pikiran negatif tentang keluarganya. Dia berpikir hubungannya dengan Natan akan berakhir karena masalah keluarganya.

‘Kenapa harus memisahkan kami? Ini tidak boleh terjadi, bagaimana jika mereka tau kalau aku sedang hamil anak Kak Natan. Kemungkinan besar Mama akan marah dan … aku tidak mau. Aku harus menemui Kak Ethan sekarang.’

Saat Dianara membalikkan badan. Tanpa sengaja dia menyenggol vas bunga di atas meja. Bunyi pecahan pun terdengar sangat lantang. Dia sontak kaget dan berteriak, sehingga Dianara pun reflek menutup mulutnya. Kakinya berjinjit, mencoba untuk diam-diam kabur dari sana.

Pintu kamar itu tiba-tiba terbuka.

"Dianara?"

Gadis itu menoleh dengan wajah memerah. "Ehhh … Paman?" Sebisa mungkin dia menyembunyikan ekspresinya tadi. Lalu bertingkah biasa-biasa saja.

"Sejak kapan kamu di situ?" tanya Gunawan kemudian. Terlihat sedikit kecurigaan di wajah itu.

"Ermm, baru aja kok. Mau ke dapur ambil minum, haus banget, Paman … hehe." Gadis itu menyengir sendiri.

"Ya sudah. Sana ke dapur, setelah itu masuk kamar lagi."

"Iya, Paman."

Dianara bergegas pergi menuju dapur. Seolah-olah dia memang akan mengambil minum. Padahal dia tak merasa dahaga sama sekali. Gadis itu mengintip dari balik sudut dinding dapur itu. Setelah melihat pamannya masuk lagi ke dalam kamar mama, Dianara berpikir merencanakan sesuatu.

Dia pun kembali ke kamar. Mencari keberadaan ponselnya. Menghubungi sang kekasih adalah hal pertama yang dia pikirkan. Sejak dia pingsan di jalan, hingga berita kasus penangkapan papanya muncul di televisi. Natan belum menghubunginya lagi.

Panggilan pertama, tak ada jawaban. Panggilan kedua dan ketiga tetap saja tidak dijawab. Akhirnya Dianara memutuskan untuk mengirim pesan singkat.

Sayang, kamu ada di

mana? Kenapa telpon aku gak diangkat?

Setelah dia menekan tombol kirim, Dianara melempar ponselnya ke ranjang. Dia pun ikut menghempaskan tubuhnya. Pikirannya sudah sangat kacau. Satu sisi ingin tau keseluruhan masalah yang keluarganya hadapi sekarang. Disisi lain dia takut bahwa keluarganya benar-benar akan memisahkannya dengan Natan. Satu lagi masalahnya, mengenai kehamilan yang belum berani untuk dia ungkapan.

Tiga puluh menit dia tak mendapat balasan dari Natan, Dianara memutuskan untuk diam-diam pergi dari rumah itu. Dia mengambil tas yang tergeletak di kasur bersama dirinya. Keluar dari sana adalah satu-satunya cara yang dapat Dianara pikirkan saat ini.

Sementara itu, di dalam kamar tamu. Dua wanita dan satu pria di sana masih berdiskusi.

Pembicaraan antara Asmarini, Gunawan dan Clarissa istrinya, telah menemukan kesepakatan. Mereka memiliki rencana untuk memisahkan Dianara dengan Natan. Karena yakin bahwa pria itu adalah seorang yang licik, mengambil keuntungan dengan cara menjatuhkan siapa saja. Niatnya masuk ke perusahaan untuk berkuasa. Masih muda, dan ambisinya sangat tinggi. Terbukti dengan keberhasilannya membuat kekacauan di keluarga ini. Walaupun itu masih berupa asumsi, tapi semua motif mengarah kepadanya.

Lalu ….

TIINN … TIINN!

terdengar suara klakson yang sangat keras dari arah luar. Mereka tersentak dan saling pandang.

"Gun, itu suara klakson mobil Dianara!" Seru Asmarini.

Tanpa banyak kata-kata lagi, mereka pun bergegas keluar dari dalam kamar dan berlari ke arah pintu masuk. Tiga pasang mata itu terbelalak begitu melihat kekacauan di depan rumah. Empat orang bodyguard serta Pak Somad terlihat sedang menghadang mobil Dianara. Gadis itu berusaha untuk kabur. Untung saja dia menempatkan orang berjaga di luar rumah, jadi Dianara tak punya kesempatan sama sekali.

"Nara!" teriak Gunawan. Begitupun juga dengan Asmarini dan Clarissa.

"Dianara!"

Dianar memundurkan mobil itu sedikit ke belakang, Gunawan serta kedua wanita di belakangnya masih berlari menghampiri. Dan akhirnya …..

BRAKK!!!

“Nara!”

Asmarini, Clarissa dan Gunawan berteriak secara bersamaan. Seketika kepanikan terjadi. Wajah mereka memucat dan Asmarini tiba-tiba terkulai lemah di tempat. Clarissa yang jalan beriringan dengannya, berhenti untuk menahan tubuh kakak iparnya itu agar tidak jatuh. Hanya Gunawan yang masih berlari ke arah gerbang.

Mobil sport merah milik Dianara menghantam pagar besi gerbang rumah. Entah apa yang dia pikirkan, sehingga nekat untuk menerobos. Beberapa orang pria yang tadi menghadangnya pun terpaksa menghindar. Dua diantara mereka jatuh tersungkur satu sama lain. Beruntung gadis itu sempat mengerem, dan hanya mengenai sedikit body mobilnya yang bagian depan.

Gunawan mengetuk kaca pintu mobil itu. Dianara pun membuka dan wajahnya terlihat sangat pucat.

“DIanara! Apa apaan kamu! Kamu kerasukan jin apa? Sampai nekat kaya gini!”

Gadis itu hanya tertunduk, dia masih syok dengan perbuatannya sendiri. Matanya memandang lurus pada bagian depan mobilnya. Sedikit rusak di bagian kanan.

“Nara!” Sang paman menyentuh bahu dan menyadarkannya.

Gadis itu tersentak dan menoleh. “Pa-paman?”

“Kamu gak papa?” Melihat gadis itu masih diam terpaku, Gunawan menuntunnya keluar dari dalam mobil.

Semua orang yang melihat kejadian itu pun terlihat sangat terkejut. Asmarini yang tadi sempat akan pingsan melihat mobil itu menabrak pagar, kini berlari mendekat. Melihat sang putri tak terluka sedikitpun, dia sangat bersyukur. Dengan cepat tubuh tua itu memeluk Dianara yang mematung di samping pamannya.

Pelukan itu dilerainya. "Sayang! Nara … kamu gak papa, Sayang!" Wajah Dianara disentuh, meneliti setiap sudut, tidak ada luka satu pun.

"Ma–mama ...!" Dianara tiba-tiba menangis di hadapan Asmarini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status