Seperti biasa, rumah kediaman Gunawan selalu sepi. Lokasinya yang berada di pinggiran kota dan jauh dari jangkauan khalayak ramai. Dianara membunyikan klakson mobil memanggil satpam yang bertugas. Tak lama, satpam itu datang setelah mengenali mobilnya.
"Nona, Dianara?" Sapa satpam itu.
Jendela kaca mobil itu diturunkan separuh. "Iya, Pak Somad. Saya Dianara, tolong bukain pintunya, Pak!" Pinta Dianara kemudian.
"Iya, iya, bentar, Non."
Pintu gerbang yang memiliki tinggi lebih dari dua meter itu pun dibuka. Dianara menjalankan mobilnya dan berhenti di depan pos satpam. Kemudian dia keluar dan menyerahkan kunci mobil pada Pak Somad yang datang menghampirinya. Sepertinya, Dia sengaja ingin meminta pria itu memarkirkan mobilnya di garasi. Pria paruh baya yang sudah bekerja selama sepuluh tahun di rumah itu pun melakukan permintaan gadis itu, seperti biasa.
"Paman dan Bibi ada di rumah, Pak? Dan Mamaku juga ada kan?" tanya Dianara sebelum berniat masuk ke dalam rumah.
Pak Somad mengangguk. "Ada, Non. Mereka semua di dalam."
Dianara lantas bergerak ke arah pintu masuk. Sedikit berlari dia melangkahkan kakinya. Menepis semua rasa cemas, rasa sakit yang tadi sempat bergelayut di pikiran dan tubuhnya. Setelah sampai di pintu masuk, Dianara mendorong dengan kuat pintu itu. Namun, pintu itu terkunci dari dalam.
'Aneh, tidak seperti biasanya, Paman tidak pernah mengunci pintu depan jika berada di rumah,' batin Dianara. Lalu dia pun mengetuk dengan kuat.
Bukan hanya ketukan biasa, Dianara sedikit memukul pintu itu dengan tinjunya. Selang beberapa detik pintu terbuka. Tanpa bertanya siapa yang ada di luar. Tentu saja mereka sudah tahu siapa yang datang, rumah ini dilengkapi dengan CCTV dari segala arah. Dianara pun merasa lega.
Pintu tinggi yang memiliki dua bagian itu terbuka sebelah. Seorang pria muncul dari baliknya.
"Dianara? Ya Tuhan! Kenapa kamu di sini? Ayo cepat, masuk!"
Pergelangan tangan Dianara ditarik dan dibawa masuk. Dia tersentak dengan cara pamannya yang tiba-tiba, dan sedikit kasar.
"Pa–Paman?"
"Mama kamu di dalam kamar, sedang istirahat. Kita sebaiknya ke ruang kerja dan bicara di sana." Seperti tau apa yang akan gadis itu tanyakan, Igun langsung membawa Dianara ke ruang kerjanya.
***
Gunawan menceritakan semua kejadian yang menimpa sang kakak dan perusahan milik keluarga mereka. Memang benar, beberapa bulan ini ada masalah di perusahaan properti itu. Dianara tidak pernah ingin ikut campur urusan perusahaan. Dia terlalu sibuk dengan urusan pribadinya. Sehingga sekarang dia merasa menyesal tentang kabar duka ini. Papanya juga sering pulang larut malam, dia tak pernah mau tau. Jadi sekarang Dianara seperti anak yang tidak peduli dengan orang tuanya.
Kasus yang menimpa Ismawan sekarang adalah sebuah konspirasi. Begitulah yang Gunawan ceritakan pada gadis itu. Papanya dijebak oleh seseorang, dan permainan mereka sangat bersih, sehingga papa-nyalah yang menjadi kambing hitam. Sayangnya, direktur keuangan di kantor telah menghilang beberapa hari.
'Ya, Kak Natan, dia pasti tau sesuatu. Kenapa Kak Natan tidak pernah bercerita apa pun mengenai perusahaan. Bukankah dia salah satu orang penting di perusahaan Papa?' Dianara berpikir dan termenung.
"Nara … Dianara?" Igun menepuk bahu gadis itu dan menyadarkannya dari lamunan.
Dianara tersentak. "Hahh, I–iya Paman."
Gunawan memandangi wajah cantik itu. "Apa yang kamu pikirkan? Paman hanya menceritakan apa yang sedang terjadi. Kamu tidak perlu memikirkan apa pun. Biar urusan ini orang dewasa saja yang selesaikan. Sebaiknya kamu istirahat." Igun berkata dengan wibawanya.
"Tapi Paman. Siapa yang melakukan semua ini? Apa tujuan mereka, Papa jelas-jelas dijebak. Kenapa polisi menangkap Papa, Paman?" Dianara sangat ingin tahu kelanjutannya.
"Karena kasus ini masih dalam penyelidikan. Papa kamu masih dalam pemeriksaan," jawab Gunawan menenangkan gadis itu.
"Jadi, Papa bisa bebas?"
"Bisa, jika tidak ada barang bukti yang memberatkan Papa kamu."
"Kalau begitu …."
"Sudah, sudah. Kamu istirahat saja, biar ini jadi urusan Paman dan pengacara. Oya, sebelum istirahat jangan lupa makan siang dulu." Gunawan seakan tau kerisauan keponakan kesayangannya itu. Dan dia tak ingin melibatkan Dianara dalam hal ini.
"Baiklah, Paman." Dianara tiba-tiba teringat, belum ada makanan apa pun yang masuk ke perutnya sejak kemarin.
Gadis itu pun pergi meninggalkan pamannya. Dia langsung keluar dari ruangan itu tanpa bantahan apa-apa lagi.
Dianara meraba perutnya yang masih rata. 'Kenapa aku tidak merasakan mual dari tadi? Biasanya tenggorokanku terasa digelitik sebelum jam makan.' batinnya penasaran.
Tiba-tiba dia meringis. "Aaahhh, aauuu, sstttt. Sakit lagi, kenapa? Apa terjadi sesuatu pada bayiku?"
Dianara pun langsung menuju dapur, lalu meminta ART mengantarkan makanan ke kamar. Kemudian dia melangkahkan kaki menuju tangga dan naik ke kamar. Lebih tepatnya bekas kamar sepupunya yang telah meninggal lima tahun lalu. Putri Gunawan satu-satunya yang pergi dari dunia ini karena suatu sebab.
Di rumah ini, Dianara diperlakukan layak seperti putri Paman dan Bibinya. Ketika mereka pulang ke tanah air, Dianara pasti akan menginap di rumah ini. Dia diajarkan banyak hal, mulai dari hal kecil hingga sesuatu yang berhubungan dengan bisnis.
Sudah dua jam Dianara berdiam diri di kamar. Tapi matanya tak bisa terpejam, pikiran selalu dipenuhi hal-hal buruk yang akan mereka alami jika sang papa benar-benar di penjara. Seharusnya sekarang dia beristirahat agar kondisi kandungannya semakin membaik. Entah bagaimana kabar Bayu sekarang ini, dia hanya mengirim pesan bahwa sekarang sedang ada di rumah pamannya. Setelah itu dia mematikan ponsel, karena terlalu banyak pesan masuk dari orang-orang yang penasaran dengan masalah keluarganya.
Dianara memutuskan untuk keluar kamar dan melihat keadaan Mamanya. Sejak datang dia belum bertemu dengan wanita yang melahirkannya itu.
'Apakah Mama sudah bangun?' tanyanya dalam hati.
Dia mendatangi kamar tamu tempat mamanya berada. Langkahnya terhenti ketika berada tepat di depan pintu kamar. Terdengar suara percakapan antara dua orang dari dalam sana. kemudian gadis itu mendekatkan daun telinganya pada pintu kamar itu. tanpa sadar dia menguping pembicaraan orang di dalam sana.
"Lalu apa yang akan kita katakan pada Dianara?" Dia mendengar suara sang mama–Asmarini.
"Katakan apa? Dianara belum boleh tau tentang masalah ini. Kakak mengerti sendiri bagaimana keras kepalanya anak itu.” Lalu terdengar suara pamannya yang menjawab.
‘Apa semua ini? Apa yang mereka rahasiakan dariku?’
"Tapi, pria itu penyebab semua kekacauan ini. Kakak tidak rela Dianara menikah dengan orang seperti itu." Suara Asma lagi, kali ini terdengar sangat lirih dan mungkin sedang menangis.
‘Menikah? Maksud Mama, aku dan Kak Natan? Aku semakin tidak mengerti dengan maksud perkataan Mama.’
"Kak Asma, kita bisa lakukan secara perlahan. Mungkin kita bisa menjauhkan Dianara dari pria itu sementara waktu." Kali ini Bibinya–Clarissa Angela yang berbicara.
‘Menjauhkan aku dari Kak Natan? Tapi kenapa, apa masalahnya?’
"Gun, bawalah Dianara ke luar negeri. Bawa dia tinggal bersama kalian. Kakak tidak ingin Dianara terbebani dengan masalah ini, dia bisa tertekan, jiwanya masih labil." Suara Asmarini terdengar memohon."Setelah urusan Mas Is selesai, Kak. Pengacara sudah menangani kasus ini, besok aku akan berangkat ke Jakarta.""Bawa kakak juga, Gun.""Jangan dulu, Kak. Sebaiknya di sini saja sama Clarissa dan Dianara. Aku akan atur semuanya dulu, seminggu lagi kalian boleh menyusul."Masalah ini bisa saja rumit, atau akan lama bisa selesai. Dimulai dari pengumpulan bukti, pencari pelaku sebenarnya. Ditambah lagi dengan keadaan internal perusahaan. Cabang perusahan di Jakarta bisa terancam ditutup, sebab kasus pajak ini terjadi di sana. Lalu kerugian yang akan ditanggung perusahaan inti. Jika tidak ditangani secara rinci, akan terancam bangkrut."Kita belum tau gimana kondisi di sana. Perusahaan di Jakarta juga sedang kacau. Tapi, orang kepercayaan Mas Is juga mengurus awak media, agar tidak terlalu
Gadis itu sudah hilang akal. Kenapa pula Dianara sampai berpikiran pendek karena kenekatannya. Kini setelah melihat dan merasakan sendiri akibat perbuatannya, barulah dia sadar. Semua orang yang mengelilinginya tampak sangat cemas dan takut dia akan celaka.Rasa bersalah pun datang. Melihat wajah sang mama, membuatnya takut. Dia belum siap, menyaksikan raut kesedihan di wajah teduh itu. Tanggisan penyesalah Dianara lepaskan. Terisak dalam pelukan Asmarini yang nyaman."Gak apa-apa, Sayang … gak papa." Asmarinimengelus punggung sang putri dengan lembut."Sudah, sudah. Kitamasukke dalam rumah saja, Kak,"ucap Gunawan. Melihat keduanya, dia pun tak lagi bisa menyalahkan. Dianara belum dewasa, dan impulsif akan sikapnya."Iya, iya … ayo masuk, Sayang,"ajak Asmarini.Di ruang keluarga rumah itu. Dianara pun duduk diapit oleh mama dan bibinya. Merangk
Dalam keadaan seperti ini. Pikiran dan hatinya masih dibutakan oleh cinta. Tentu saja dia tidak akan peduli dengan hal lain selain Natan. Gadis itu lebih memilih memilih mengutak-atik ponselnya. Kembali mencoba menghubungi sang kekasih."Apa?" tanyanya seperti malas untuk mendengarkan."Jutek amat sih? Gak penasaran dia bilang apa? Dia lumayan ganteng Lo, mirip Oppa yang lo suka." Bayu mendengus memeluk tubuhnya sendiri."Gak … gue lagi mikirin kak Natan, susah banget dihubungi."Bayu pun menepuk jidatnya sendiri, tak habis pikir dengan temannya itu. "Hadehhh, bukannya mikirin bokap, lo malah mikirin pacar?""Ya gue mikirin bokap lah. Tapi gue lebih kepikiran pacar gue, nasib hubungan gue sama dia itu gimana? Apalagi Mama dan Paman berencana mau bawa gue ke luar negeri. Trus anak ini gimana?"Pada usianya yang masih muda. Dianarasudah didatangkan
Dianara punterpaksa membuka matanya. Sebuah benda yang tidak asing tampakdi depan wajahnya. Seketika itu dia terbelalak. Tangan mamanya tampak bergetar memegang benda itu."I–ini?""Iya, ini punya kamu!Jelaskan, kenapa kamu melakukan hal kotor seperti itu? Dan lihat hasil perbuatan kamu!"Gadis itu tak dapat berkata-kata. Dia diam terpaku melihat kemurkaan sang mama. Melihat wajah wanita kesayangannya itu pun, Dianarasudah tak berani. Rahasia yang disimpan akhirnya terkuak sebelum dia ungkapkan. Dalam benaknya, kenapa mamanya bisa tau hal ini? Dia pun akhirnyasadar, buang air kecil yang dia lakukan tadi adalah untuk hal ini."Kak Asma?"Tubuh Asma kembali goyah. Clarissa yang bersiaga di samping, dengan cepat menopang tubuh itu. Dianaramelihat hal itu dan ikut menahan mamanya agar tidak jatuh."Mama!"D
Malam harinya.Dianarabenar-benar berencana untuk kembali kabur dari rumah. Mumpung pengawasan sedang longgar, dan paman juga tidak ada di rumah. Di akan nekat untuk datang langsung ke apartemen Natan, kekasihnya. Sudah beberapa hari dia tak dapat kabar. Terlebih lagi sekarang mereka dipaksa untuk berpisah. Dianaratak dapat menahan lagi keinginannya untuk segera pergi.Dia harus meminta Natan untuk mengasi masalah ini.Diam-diam Dianaramenyelinap dari pintu belakang. Bibinya sendang lengah, dan para penjaga hanya berjaga di pintu depan. Diapunpunya kesempatan untuk kabur.Dianarapun baru tau, ternyata Gunawan telah pulang dari Jakarta. Melihat mobil pria yang dia panggil paman Igun itu ada di garasi. Dianaratak peduli, dia langsung meraih kunci, membuka pintu mobilnya dan masuk. Beruntung, pintu garasi masih terbuka, jadi dia tak perlu membuat orang dalam rumah menyadari kep
Di kediaman Gunawan.Kepergian Dianara menjadi masalah besar dan penyebab kekhawatiran semua orang. Gadis keras kepala itu lagi-lagi membuat ulah. Seperti tidak pernah sadar sikap egoisnya itu telah menyusahkan semua orang. Dia selalu bertindak sesuka hati tanpa berpikir panjang. Terkadang dia tau salah, tapi tidak belajar dari kesalahan. Keyakinannya sendiri telah menutupi kepintaran yang dia miliki selama ini. Dia terlalu dibutakan oleh cinta yang ternyata telah merusak segalanya.Bayu kini sudah duduk berhadapan dengan keluarga Dianara. Dia diminta datang untuk menceritakan semua yang dia tau tentang gadis itu. Mendengar Dianara kembali nekat untuk kabur, Bayu merasa harus berterus terang kali ini. Toh, keluarga Dianara sudah tahu akan rahasia itu."Maaf, Om, Tante. Saya tidak begitu mengenal Natan, Dianara hanya sesekali bercerita tentang kedekatan mereka. Dianara tidak pernah memberitahu lebih dari itu," akunya setelah ditanyai mengenai Natan."Lalu, apa kamu tau siapa yang sela
“Apa yang telah terjadi, siapa yang melakukan ini?”Dianara benar-benar ketakutan. Beberapa waktu lalu dia masih bersama Natan, lalu sekarang sudah seperti ini.Meski berteriak sekuat apa pun, tidak akan ada yang bisa mendengarnya. Tubuh gadis malang itu hanya bisa meronta. Dia bergerak sekuat tenaga agar terlepas dari tali-tali yang membelenggunya. Namun, semua usahanya itu sia-sia karena sekeras apa pun dia mencoba tali itu terlalu erat melingkar di badannya.Kap depan mobil tertutup, memperlihatkan sebuah sosok yang sangat dia kenal. Mata Dianara pun terbuka lebar, membelalak tidak percaya. Seketika tubuhnya bergetar melihat sosok yang ada di depan sana.Pria itu menatap lurus pada Dianara yang ketakutan melihat dirinya. Lalu menyeringai tersenyum pada gadis itu. Dengan langkah yang pelan pria itu mendekat. Membuka pintu mobil dan memasukkan setengah badannya.Dianara ingin berteriak, tapi tidak bisa mengeluarkan suaranya sama sekali. Dengan menggerakkan kakinya dia berusaha untuk m
Di bibir jurang maut itu.Natan berdiri dengan santai memasukkan sebelah tangannya ke kantong celana. Sementara tangan satu lagi menggenggam tali yang tadi digunakan untuk mengikat Dianara. Kobaran api besar yang dia lihat di dasar jurang, membuatnya tersenyum puas. Natan punberbalik dan meninggalkan tempat itu.Tak jauh dari tepatnya berada, sebuah mobil terparkir. Ada seseorang di dalam sana, entah sudah berapa lama. Mungkin orang itu telah menjadi saksi atas apa yang Natan lakukan. Pria itu kembali menyeringai, jelas orang itu pasti ada di pihaknya.Natanmelangkah menghampiri mobilmiliknya. Mengetukbagasi belakang, memerintahkan orang pihaknya untuk membuka. Tali di tangan dia simpan di bagasi, lalu berjalan ke pintu sisi penumpang, membuka pintu dan membungkuk. Pria itu tampak santai, seolah kejahatan yang baru saja dia lakukan bukanlah apa-apa. Justru dia tersenyum pada wanita yang menj