Seruan pria itu tak diindahkan. Kemudian Dianara secara tangkas mengambil barang-barangnya di atas meja yang ada di dekatnya. Kini dia melangkahkan kakinya meninggalkan pria itu menjauh.
Bayu yang berada berseberangan dengan gadis itu pun mencoba menghalangi, tapi tubuhnya di dorong hingga tersungkur di atas ranjang. Tidak disangka, tenaganya sangat besar, Bayu pun hanya dapat menatap kepergian temannya berlari dengan cepat.
"Nara, tunggu!"
Teriakan Bayu tidak digubris. Dia terus melangkahkan kakinya semakin cepat. Sesekali dia menyusutkan air mata yang mengalir dengan telapak tangannya.
Tidak peduli dengan kondisi kesehatannya yang masih belum pulih. Tidak peduli dengan kandungannya yang akan terganggu karena berlari kencang. Hentakkan tubuh yang kuat tentu saja akan kembali memengaruhi janinnya.
Beberapa orang yang ada di sana menatapnya dengan heran, tidak digubris sama sekali. Dianara hanya ingin cepat sampai di rumah dan bertanya pada seseorang. ‘Tidak mungkin’, dia terus saja mengatakan itu di dalam hatinya. Papa yang sangat dia cintai, yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarganya tidak mungkin melakukan hal buruk seperti itu.
‘Ini tidak mungkin, Papa tidak mungkin melakukan kejahatan seperti itu. Papa adalah orang yang jujur, bertanggung jawab, dan sayang pada keluarga. Mana mungkin papa tega melakukan hal bodoh seperti itu, jika akhirnya akan menyakitkan bagi kami. Ya Tuhan, apa semua ini. Kenapa hal ini menimpa keluarga kami. Siapa yang tega melakukan semua ini?’ Dinara terus bergumam dalam hati.
Di belakangnya Bayu berlari berusaha menyusulnya. "Nara … Dianara!"
Dengan kesakitan yang masih dia rasakan. Dianara mengabaikan semua orang yang memandang heran. Dia berlari tanpa memedulikan orang di belakang. Bahkan darah masih menetes dari tangannya akibat tarikan jarum infus yang terlalu kuat.
Gadis itu melewati meja informasi. 'Persetan dengan biaya rumah sakit ini. Biarkanlah Bayu yang mengurus semuanya.' Sekilas dia melirik ke belakang, Bayu berhenti di sana. 'Aku tidak peduli, yang aku pikirkan saat ini adalah Papa dan Mama yang entah bagaimana keadaan mereka.'
Dianara terus berlari sekuat tenaga, yang entah dari mana datangnya. Dengan mata yang tak henti-hentinya mengeluarkan cairan hangat itu, dia mengibaskan tangan mengusir orang-orang yang menghalangi jalannya.
Di depan pintu keluar, tiba-tiba seorang satpam ingin menghalangi jalan gadis itu. Tanpa pikir panjang dia mendorong dengan kuat. Tetapi, tenaganya tidak cukup untuk membuat orang itu terjatuh, malah dia yang terdorong ke belakang. Beruntung seorang dari mereka menangkap dari belakang. Jika tidak dia akan jatuh tersungkur.
"Nona, Anda mau ke mana?"
"Minggir, Pak. Aku mau pergi dari sini!" Dianara meronta-ronta, lengannya dipegang dengan kuat.
Kedua orang yang menghalanginya memiliki tubuh lumayan besar. Sehingga Dianara tak mampu untuk melawan. Dia melihat dari kejauhan, Bayu datang menyusul. Saat itu juga dia terpikir. 'Ini kesempatan untuk minta bantuan.'
"Bayu! Tolong … aku harus pergi!" Bayu menatapnya kasihan.
"Pak, lepaskan saja. Biar saya yang tangani," ucap Bayu pada dua satpam tersebut.
Akhirnya Dianara terbebas dan lantas mendekati Bayu. Pria yang hanya beberapa bulan lebih tua darinya itu, tampak sangat tegas dan bisa diandalkan. Ya, dialah satu-satunya teman tempat Dianara meminta bantuan. Entah itu urusan kuliah atau urusan pribadi, Bayu selalu membantunya. Bisa dikatakan, Bayu bukan hanya sekedar teman kuliah, tapi dia sahabat baik Dianara.
"Bayu, biarkan aku pergi dari sini. Aku mau melihat keadaan Mama." Gadis itu mulai merengek menghiba.
"Tenang dulu Nara, tolong ingat kondisi Lo sekarang ini." Pria ini kembali mencoba membujuk
Tapi yang ada di pikiran gadis itu harus pergi melihat keadaan Mama dan Papa. "Tidak, tidak. Gue harus pergi sekarang. Gue sudah lebih baik, gue gak apa-apa, gue sehat!"
Bayu menghela nafas panjang, menghadapi seorang Dianara yang keras kepala begini, memang harus punya stok kesabaran yang banyak. Dianara sendiri mengakui dirinya yang memang belum dewasa.
"Nara, tolong jangan keras kepala. Lo gak tau gimana Lo hampir mati kemaren? Paling gak jangan pergi sendirian. Gue akan antar Lo pulang," bujuk Bayu lagi.
"Kalau gitu ayo pergi sekarang!" Paksanya lagi pada Bayu.
"Sabar, tunggu dulu, obat Lo belum diambil. Lagian nyokap Lo juga aman kok di rumah paman Lo," tuturnya sedikit menunduk karena tinggi gadis itu hanya sebatas bahunya.
Mendengar itu akhirnya Dianara terlihat sedikit tenang. Dia lalu dituntun untuk duduk di kursi. Sambil menunggu Bayu menyelesaikan pembayaran di kasir dan mengambil obatnya.
"Tunggu di sini. Lo jangan kemana-mana."
"Iya …." Gadis menyurutkan air mata, menyeka bekasnya dari pipi dan bawah kelopak mata. Kemudian seorang suster datang dengan peralatan medis, lalu membersihkan luka di tangannya dan menutup dengan plester.
Sepuluh, lima belas, hingga dua puluh menit, Bayu belum juga datang. "Ke mana dia? Apa mungkin mengurus administrasi saja bisa lama seperti ini?" Dianara kemudian berpikir, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi sendiri.
Ketika semua orang lengah, Dianara diam-diam meninggalkan tempat itu. Dengan segera dia meraih barang bawaannya dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Sebisa mungkin dia menghindari agar orang-orang tidak menyadari pergerakannya. Sekali-kali dia menoleh ke belakang dan menghindari tatapan orang di sekitar.
Ketika dia sudah sampai di tempat parkir. Kunci mobil di arahkan ke depan, lalu menyalakan sensor untuk mencari keberadaan mobilnya. Setelah terdengar bunyi alarm mobilnya, Dianara bergegas menghampiri dan masuk ke dalam mobil sport merahnya itu
Namun, tiba-tiba. "Aaahhh, sssttt." Dianara merintih karena merasakan nyeri di perutnya. Dia meringis kesakitan, tapi dia berusaha menahannya. Untuk sesaat rasa sakit itu berkurang, dia tak boleh berlama-lama di sana. Bayu pasti akan kembali mencari keberadaannya.
Kunci mobil diarahkan pada lubang dan langsung menyalakannya. Kemudian mengendarai mobil kesayangannya meninggalkan rumah sakit tempatnya dirawat dari semalam. Tujuan utamanya kali ini adalah rumah adik papanya.
***
Tepat jam 11.05 siang. Dianara telah berada di depan kediaman pamannya, Gunawan Wiratama. Paman Igun, biasa Dianara memanggilnya. Beliau adalah saudara satu-satunya Ismawan Wiratama. Igun bukanlah saudara kandung papa Dianara. Dia hanya diangkat oleh keluarga Wiratama dari kecil dan diberi nama belakang keluarga itu.
Selama beberapa tahun ini, Gunawan beserta istrinya tinggal di luar negeri. Tepatnya di negara Eropa, Italia. Dia mempunyai bisnis sendiri di sana. Karena setelah menikah dengan wanita asli Italia, Igun dipercayakan untuk meneruskan bisnis keluarga sang istri. Dia adalah orang yang sukses di Eropa sana.
Dianara sangat senang, Igun ada di saat seperti ini. Ketika kejadian buruk ini menimpa keluarganya. Setidaknya dia dan sang mama masih mempunyai keluarga tempat bersandar. Membantu memecahkan masalah yang rumit ini.
Satu yang ada dipikirannya saat ini. “Apa yang sebenarnya terjadi?"
Seperti biasa, rumah kediaman Gunawan selalu sepi. Lokasinya yang berada di pinggiran kota dan jauh dari jangkauan khalayak ramai. Dianara membunyikan klakson mobil memanggil satpam yang bertugas. Tak lama, satpam itu datang setelah mengenali mobilnya."Nona, Dianara?" Sapa satpam itu.Jendela kaca mobil itu diturunkan separuh. "Iya, Pak Somad. Saya Dianara, tolong bukain pintunya, Pak!" Pinta Dianara kemudian."Iya, iya, bentar, Non."Pintu gerbang yang memiliki tinggi lebih dari dua meter itu pun dibuka. Dianara menjalankan mobilnya dan berhenti di depan pos satpam. Kemudian dia keluar dan menyerahkan kunci mobil pada Pak Somad yang datang menghampirinya. Sepertinya, Dia sengaja ingin meminta pria itu memarkirkan mobilnya di garasi. Pria paruh baya yang sudah bekerja selama sepuluh tahun di rumah itu pun melakukan permintaan gadis itu, seperti biasa."Paman dan Bibi ada di rumah, Pak? Dan Mamaku juga ada kan?" tanya Dianara sebelum berniat masuk ke dalam rumah.Pak Somad mengangguk
"Gun, bawalah Dianara ke luar negeri. Bawa dia tinggal bersama kalian. Kakak tidak ingin Dianara terbebani dengan masalah ini, dia bisa tertekan, jiwanya masih labil." Suara Asmarini terdengar memohon."Setelah urusan Mas Is selesai, Kak. Pengacara sudah menangani kasus ini, besok aku akan berangkat ke Jakarta.""Bawa kakak juga, Gun.""Jangan dulu, Kak. Sebaiknya di sini saja sama Clarissa dan Dianara. Aku akan atur semuanya dulu, seminggu lagi kalian boleh menyusul."Masalah ini bisa saja rumit, atau akan lama bisa selesai. Dimulai dari pengumpulan bukti, pencari pelaku sebenarnya. Ditambah lagi dengan keadaan internal perusahaan. Cabang perusahan di Jakarta bisa terancam ditutup, sebab kasus pajak ini terjadi di sana. Lalu kerugian yang akan ditanggung perusahaan inti. Jika tidak ditangani secara rinci, akan terancam bangkrut."Kita belum tau gimana kondisi di sana. Perusahaan di Jakarta juga sedang kacau. Tapi, orang kepercayaan Mas Is juga mengurus awak media, agar tidak terlalu
Gadis itu sudah hilang akal. Kenapa pula Dianara sampai berpikiran pendek karena kenekatannya. Kini setelah melihat dan merasakan sendiri akibat perbuatannya, barulah dia sadar. Semua orang yang mengelilinginya tampak sangat cemas dan takut dia akan celaka.Rasa bersalah pun datang. Melihat wajah sang mama, membuatnya takut. Dia belum siap, menyaksikan raut kesedihan di wajah teduh itu. Tanggisan penyesalah Dianara lepaskan. Terisak dalam pelukan Asmarini yang nyaman."Gak apa-apa, Sayang … gak papa." Asmarinimengelus punggung sang putri dengan lembut."Sudah, sudah. Kitamasukke dalam rumah saja, Kak,"ucap Gunawan. Melihat keduanya, dia pun tak lagi bisa menyalahkan. Dianara belum dewasa, dan impulsif akan sikapnya."Iya, iya … ayo masuk, Sayang,"ajak Asmarini.Di ruang keluarga rumah itu. Dianara pun duduk diapit oleh mama dan bibinya. Merangk
Dalam keadaan seperti ini. Pikiran dan hatinya masih dibutakan oleh cinta. Tentu saja dia tidak akan peduli dengan hal lain selain Natan. Gadis itu lebih memilih memilih mengutak-atik ponselnya. Kembali mencoba menghubungi sang kekasih."Apa?" tanyanya seperti malas untuk mendengarkan."Jutek amat sih? Gak penasaran dia bilang apa? Dia lumayan ganteng Lo, mirip Oppa yang lo suka." Bayu mendengus memeluk tubuhnya sendiri."Gak … gue lagi mikirin kak Natan, susah banget dihubungi."Bayu pun menepuk jidatnya sendiri, tak habis pikir dengan temannya itu. "Hadehhh, bukannya mikirin bokap, lo malah mikirin pacar?""Ya gue mikirin bokap lah. Tapi gue lebih kepikiran pacar gue, nasib hubungan gue sama dia itu gimana? Apalagi Mama dan Paman berencana mau bawa gue ke luar negeri. Trus anak ini gimana?"Pada usianya yang masih muda. Dianarasudah didatangkan
Dianara punterpaksa membuka matanya. Sebuah benda yang tidak asing tampakdi depan wajahnya. Seketika itu dia terbelalak. Tangan mamanya tampak bergetar memegang benda itu."I–ini?""Iya, ini punya kamu!Jelaskan, kenapa kamu melakukan hal kotor seperti itu? Dan lihat hasil perbuatan kamu!"Gadis itu tak dapat berkata-kata. Dia diam terpaku melihat kemurkaan sang mama. Melihat wajah wanita kesayangannya itu pun, Dianarasudah tak berani. Rahasia yang disimpan akhirnya terkuak sebelum dia ungkapkan. Dalam benaknya, kenapa mamanya bisa tau hal ini? Dia pun akhirnyasadar, buang air kecil yang dia lakukan tadi adalah untuk hal ini."Kak Asma?"Tubuh Asma kembali goyah. Clarissa yang bersiaga di samping, dengan cepat menopang tubuh itu. Dianaramelihat hal itu dan ikut menahan mamanya agar tidak jatuh."Mama!"D
Malam harinya.Dianarabenar-benar berencana untuk kembali kabur dari rumah. Mumpung pengawasan sedang longgar, dan paman juga tidak ada di rumah. Di akan nekat untuk datang langsung ke apartemen Natan, kekasihnya. Sudah beberapa hari dia tak dapat kabar. Terlebih lagi sekarang mereka dipaksa untuk berpisah. Dianaratak dapat menahan lagi keinginannya untuk segera pergi.Dia harus meminta Natan untuk mengasi masalah ini.Diam-diam Dianaramenyelinap dari pintu belakang. Bibinya sendang lengah, dan para penjaga hanya berjaga di pintu depan. Diapunpunya kesempatan untuk kabur.Dianarapun baru tau, ternyata Gunawan telah pulang dari Jakarta. Melihat mobil pria yang dia panggil paman Igun itu ada di garasi. Dianaratak peduli, dia langsung meraih kunci, membuka pintu mobilnya dan masuk. Beruntung, pintu garasi masih terbuka, jadi dia tak perlu membuat orang dalam rumah menyadari kep
Di kediaman Gunawan.Kepergian Dianara menjadi masalah besar dan penyebab kekhawatiran semua orang. Gadis keras kepala itu lagi-lagi membuat ulah. Seperti tidak pernah sadar sikap egoisnya itu telah menyusahkan semua orang. Dia selalu bertindak sesuka hati tanpa berpikir panjang. Terkadang dia tau salah, tapi tidak belajar dari kesalahan. Keyakinannya sendiri telah menutupi kepintaran yang dia miliki selama ini. Dia terlalu dibutakan oleh cinta yang ternyata telah merusak segalanya.Bayu kini sudah duduk berhadapan dengan keluarga Dianara. Dia diminta datang untuk menceritakan semua yang dia tau tentang gadis itu. Mendengar Dianara kembali nekat untuk kabur, Bayu merasa harus berterus terang kali ini. Toh, keluarga Dianara sudah tahu akan rahasia itu."Maaf, Om, Tante. Saya tidak begitu mengenal Natan, Dianara hanya sesekali bercerita tentang kedekatan mereka. Dianara tidak pernah memberitahu lebih dari itu," akunya setelah ditanyai mengenai Natan."Lalu, apa kamu tau siapa yang sela
“Apa yang telah terjadi, siapa yang melakukan ini?”Dianara benar-benar ketakutan. Beberapa waktu lalu dia masih bersama Natan, lalu sekarang sudah seperti ini.Meski berteriak sekuat apa pun, tidak akan ada yang bisa mendengarnya. Tubuh gadis malang itu hanya bisa meronta. Dia bergerak sekuat tenaga agar terlepas dari tali-tali yang membelenggunya. Namun, semua usahanya itu sia-sia karena sekeras apa pun dia mencoba tali itu terlalu erat melingkar di badannya.Kap depan mobil tertutup, memperlihatkan sebuah sosok yang sangat dia kenal. Mata Dianara pun terbuka lebar, membelalak tidak percaya. Seketika tubuhnya bergetar melihat sosok yang ada di depan sana.Pria itu menatap lurus pada Dianara yang ketakutan melihat dirinya. Lalu menyeringai tersenyum pada gadis itu. Dengan langkah yang pelan pria itu mendekat. Membuka pintu mobil dan memasukkan setengah badannya.Dianara ingin berteriak, tapi tidak bisa mengeluarkan suaranya sama sekali. Dengan menggerakkan kakinya dia berusaha untuk m