Beranda / CEO / Pembalasan untuk Mantan / 3. Kediaman paman

Share

3. Kediaman paman

Seruan pria itu tak diindahkan. Kemudian Dianara secara tangkas mengambil barang-barangnya di atas meja yang ada di dekatnya. Kini dia melangkahkan kakinya meninggalkan pria itu menjauh.

Bayu yang berada berseberangan dengan gadis itu pun mencoba menghalangi, tapi tubuhnya di dorong hingga tersungkur di atas ranjang. Tidak disangka, tenaganya sangat besar, Bayu pun hanya dapat menatap kepergian temannya berlari dengan cepat.

"Nara, tunggu!"

Teriakan Bayu tidak digubris. Dia terus melangkahkan kakinya semakin cepat. Sesekali dia menyusutkan air mata yang mengalir dengan telapak tangannya.

Tidak peduli dengan kondisi kesehatannya yang masih belum pulih. Tidak peduli dengan kandungannya yang akan terganggu karena berlari kencang. Hentakkan tubuh yang kuat tentu saja akan kembali memengaruhi janinnya.

Beberapa orang yang ada di sana menatapnya dengan heran, tidak digubris sama sekali. Dianara hanya ingin cepat sampai di rumah dan bertanya pada seseorang. ‘Tidak mungkin’, dia terus saja mengatakan itu di dalam hatinya. Papa yang sangat dia cintai, yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarganya tidak mungkin melakukan hal buruk seperti itu.

‘Ini tidak mungkin, Papa tidak mungkin melakukan kejahatan seperti itu. Papa adalah orang yang jujur, bertanggung jawab, dan sayang pada keluarga. Mana mungkin papa tega melakukan hal bodoh seperti itu, jika akhirnya akan menyakitkan bagi kami. Ya Tuhan, apa semua ini. Kenapa hal ini menimpa keluarga kami. Siapa yang tega melakukan semua ini?’ Dinara terus bergumam dalam hati.

Di belakangnya Bayu berlari berusaha menyusulnya. "Nara … Dianara!"

Dengan kesakitan yang masih dia rasakan. Dianara mengabaikan semua orang yang memandang heran. Dia berlari tanpa memedulikan orang di belakang. Bahkan darah masih menetes dari tangannya akibat tarikan jarum infus yang terlalu kuat.

Gadis itu melewati meja informasi. 'Persetan dengan biaya rumah sakit ini. Biarkanlah Bayu yang mengurus semuanya.' Sekilas dia melirik ke belakang, Bayu berhenti di sana. 'Aku tidak peduli, yang aku pikirkan saat ini adalah Papa dan Mama yang entah bagaimana keadaan mereka.'

Dianara terus berlari sekuat tenaga, yang entah dari mana datangnya. Dengan mata yang tak henti-hentinya mengeluarkan cairan hangat itu, dia mengibaskan tangan mengusir orang-orang yang menghalangi jalannya.

Di depan pintu keluar, tiba-tiba seorang satpam ingin menghalangi jalan gadis itu. Tanpa pikir panjang dia mendorong dengan kuat. Tetapi, tenaganya tidak cukup untuk membuat orang itu terjatuh, malah dia yang terdorong ke belakang. Beruntung seorang dari mereka menangkap dari belakang. Jika tidak dia akan jatuh tersungkur.

"Nona, Anda mau ke mana?"

"Minggir, Pak. Aku mau pergi dari sini!" Dianara meronta-ronta, lengannya dipegang dengan kuat.

Kedua orang yang menghalanginya memiliki tubuh lumayan besar. Sehingga Dianara tak mampu untuk melawan. Dia melihat dari kejauhan, Bayu datang menyusul. Saat itu juga dia terpikir. 'Ini kesempatan untuk minta bantuan.'

"Bayu! Tolong … aku harus pergi!" Bayu menatapnya kasihan.

"Pak, lepaskan saja. Biar saya yang tangani," ucap Bayu pada dua satpam tersebut.

Akhirnya Dianara terbebas dan lantas mendekati Bayu. Pria yang hanya beberapa bulan lebih tua darinya itu, tampak sangat tegas dan bisa diandalkan. Ya, dialah satu-satunya teman tempat Dianara meminta bantuan. Entah itu urusan kuliah atau urusan pribadi, Bayu selalu membantunya. Bisa dikatakan, Bayu bukan hanya sekedar teman kuliah, tapi dia sahabat baik Dianara.

"Bayu, biarkan aku pergi dari sini. Aku mau melihat keadaan Mama." Gadis itu mulai merengek menghiba.

"Tenang dulu Nara, tolong ingat kondisi Lo sekarang ini." Pria ini kembali mencoba membujuk

Tapi yang ada di pikiran gadis itu harus pergi melihat keadaan Mama dan Papa. "Tidak, tidak. Gue harus pergi sekarang. Gue sudah lebih baik, gue gak apa-apa, gue sehat!"

Bayu menghela nafas panjang, menghadapi seorang Dianara yang keras kepala begini, memang harus punya stok kesabaran yang banyak. Dianara sendiri mengakui dirinya yang memang belum dewasa.

"Nara, tolong jangan keras kepala. Lo gak tau gimana Lo hampir mati kemaren? Paling gak jangan pergi sendirian. Gue akan antar Lo pulang," bujuk Bayu lagi.

"Kalau gitu ayo pergi sekarang!" Paksanya lagi pada Bayu.

"Sabar, tunggu dulu, obat Lo belum diambil. Lagian nyokap Lo juga aman kok di rumah paman Lo," tuturnya sedikit menunduk karena tinggi gadis itu hanya sebatas bahunya.

Mendengar itu akhirnya Dianara terlihat sedikit tenang. Dia lalu dituntun untuk duduk di kursi. Sambil menunggu Bayu menyelesaikan pembayaran di kasir dan mengambil obatnya.

"Tunggu di sini. Lo jangan kemana-mana."

"Iya …." Gadis menyurutkan air mata, menyeka bekasnya dari pipi dan bawah kelopak mata. Kemudian seorang suster datang dengan peralatan medis, lalu membersihkan luka di tangannya dan menutup dengan plester.

Sepuluh, lima belas, hingga dua puluh menit, Bayu belum juga datang. "Ke mana dia? Apa mungkin mengurus administrasi saja bisa lama seperti ini?" Dianara kemudian berpikir, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi sendiri.

Ketika semua orang lengah, Dianara diam-diam meninggalkan tempat itu. Dengan segera dia meraih barang bawaannya dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Sebisa mungkin dia menghindari agar orang-orang tidak menyadari pergerakannya. Sekali-kali dia menoleh ke belakang dan menghindari tatapan orang di sekitar.

Ketika dia sudah sampai di tempat parkir. Kunci mobil di arahkan ke depan, lalu menyalakan sensor untuk mencari keberadaan mobilnya. Setelah terdengar bunyi alarm mobilnya, Dianara bergegas menghampiri dan masuk ke dalam mobil sport merahnya itu

Namun, tiba-tiba. "Aaahhh, sssttt." Dianara merintih karena merasakan nyeri di perutnya. Dia meringis kesakitan, tapi dia berusaha menahannya. Untuk sesaat rasa sakit itu berkurang, dia tak boleh berlama-lama di sana. Bayu pasti akan kembali mencari keberadaannya.

Kunci mobil diarahkan pada lubang dan langsung menyalakannya. Kemudian mengendarai mobil kesayangannya meninggalkan rumah sakit tempatnya dirawat dari semalam. Tujuan utamanya kali ini adalah rumah adik papanya.

***

Tepat jam 11.05 siang. Dianara telah berada di depan kediaman pamannya, Gunawan Wiratama. Paman Igun, biasa Dianara memanggilnya. Beliau adalah saudara satu-satunya Ismawan Wiratama. Igun bukanlah saudara kandung papa Dianara. Dia hanya diangkat oleh keluarga Wiratama dari kecil dan diberi nama belakang keluarga itu.

Selama beberapa tahun ini, Gunawan beserta istrinya tinggal di luar negeri. Tepatnya di negara Eropa, Italia. Dia mempunyai bisnis sendiri di sana. Karena setelah menikah dengan wanita asli Italia, Igun dipercayakan untuk meneruskan bisnis keluarga sang istri. Dia adalah orang yang sukses di Eropa sana.

Dianara sangat senang, Igun ada di saat seperti ini. Ketika kejadian buruk ini menimpa keluarganya. Setidaknya dia dan sang mama masih mempunyai keluarga tempat bersandar. Membantu memecahkan masalah yang rumit ini.

Satu yang ada dipikirannya saat ini. “Apa yang sebenarnya terjadi?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status