Tak ada seorang pun yang dapat dimintai bantuan. Dianara mencoba bangkit dan jalan perlahan masuk lagi ke mobil. Bagian bawah perutnya ditahan agar tak kembali merasa nyeri.
Dianara mengambil ponsel dan mengetuk layarnya dua kali. "Kenapa pake mati, sih!"
Kemudian dia mengecek GPS pada mobilnya. Dianara ternyata mengambil jalur yang salah. Lokasinya saat ini sangat jauh dari rumah.
"Aaahhh, sial banget sih! Mana gak ada orang!"
Tubuh lemahnya dia sandarkan ke jok. Tenggorokan terasa sakit, tenaganya terkuras habis akibat berjuang memuntahkan isi perut tadi. Dianara mengedarkan pandangan, mencari sesuatu di dalam sana. Tak ada apa pun yang bisa dijadikan penghilang rasa mualnya.
Dianara pun memejamkan mata, berharap akan ada seseorang yang datang membantunya. Dalam pikirannya, andai saja Natan ada di sana, hal seperti ini tidak akan terjadi.
Beberapa menit kemudian, kaca mobilnya di ketuk seseorang dari luar. Gadis itu terlihat antara sadar dan tidak. Dia ingin membuka mata, tapi sungguh terasa sangat berat. Bahkan menoleh ke samping saja dia tidak sanggup.
Tok … tok … tok!
Kaca itu kembali di ketuk, kali ini sedikit lebih keras. Akhirnya gadis itu memaksakan matanya untuk segera terbuka. Gerakannya lemah, dia paksakan kepala menoleh ke samping. Samar-samar dia melihat seorang pria berdiri di luar. Mengintip melalui kaca jendela yang agak gelap. Pria itu sedikit menunduk melihat padanya.
"Haahhh, syukurlah. Ada orang datang." rintihnya lemah, Gadis itu pun membuka kunci pintu mobil itu, yang tanpa disadarinya tadi dia tekan.
Sesaat kemudian, Dianara tak dapat mendengar apa pun lagi. Suara apa pun seperti terhalang masuk ke gendang telinganya. Tatapannya nanar melihat gerakan bibir si pria, yang sepertinya sedang berteriak padanya. Sedetik setelah itu, matanya pun kembali terpejam. Yang dia tahu saat ini hanya perasaan ketika tubuhnya seperti terangkat. Bersamaan dengan itu, perlahan kesadaran Dianara pun hilang sepenuhnya.
***
Bau obat-obatan yang sangat menyengat membangunkan Dianara. Saat ini dia terbaring di bangkar sebuah kamar di rumah sakit. Perlahan dia membuka mata, mengedarkan pandangan melihat sekeliling yang dominan berwarna putih.
"Eegghh … gue di mana?" Pandangannya masih kabur, dia memaksakan tubuhnya untuk bangkit. "Aahh, ssstttt." Setelah merasakan punggung tangan kirinya sakit saat digerakkan, barulah Dianara yakin dia ada di rumah sakit. Sebuah jarum infus tertancap di kulitnya. Dilihatnya isi botol infus itu tersisa seperempat.
Kemudian pintu tiba-tiba terbuka, seseorang masuk dan melihat ke arahnya. "Sudah bangun?"
Dianara melirik pria itu, menyipitkan mata memastikan siapa orang yang berdiri di ambang pintu. "Bayu, lo di sini?" tanyanya setelah yakin pria itu adalah temannya. "Sejak kapan gue ada di sini?" lanjutnya seraya memijit pelipis perlahan.
Bayu mendekat. "Gue dari kemarin sore di sini. Lo pingsan di jalan. Gimana keadaan, Lo, udah baikan?"
Gadis itu mengangguk lemah. "Emm, gue udah mendingan kok, cuma pusing sedikit. Lo yang bawa gue ke sini?"
Tatapan mata Bayu tak lepas dari wajah pucat gadis itu. Kemarin, ketika dia sedang berada di kelas menunggu dosen datang. Dia teringat untuk menghubungi Dianara yang tak kunjung memberi kabar. Dia selalu dikabari jika gadis itu minta titip absen padanya. Sekarang dia merasa sangat kasihan melihat kondisi Dianara yang lemah seperti ini.
Bayu duduk di kursi samping ranjang Dianara. "Bukan … kebetulan kemarin gue nelpon lo, dan langsung dapat kabar lo ada di sini. Kenapa lo gak bilang ke gue kalo butuh bantuan?" tanyanya kemudian, dia terlihat sangat khawatir.
"Hape gue kan mati, Bay …," jawab Dianara mendelik pada temannya itu.
Bayu terdiam. "Oo … gue gak tau." Lalu Dianara pun diam, Bayu berpikir sejenak dan mulai menyampaikan sesuatu. "Oya, kata dokter lo kecapean dan dehidrasi. Dan … lo juga lagi …."
"Hamil. Ya gue tau," jawab Dianara tiba-tiba, lalu meraih tangan Bayu dan menggenggamnya. "Papa, Mama, tau gue di sini? Tolong jangan kasih tau mereka, please …." Tatapan matanya memohon.
Bayu menghela napas sejenak. "Itu yang mau gue omongin ke Lo sekarang."
Dia sepertinya berat untuk melanjutkan. Berita itu tentu akan sangat mengejutkan, mungkin Dianara juga akan syok saat mendengarnya. Terlebih lagi sekarang dengan kondisi gadis itu yang tengah berbadan dua.
"Maksud Lo apa? Mama, Papa udah tau soal gue?" Dianara mulai cemas.
Pria itu menggeleng, lalu mengambil ponselnya dan membuka sebuah video kemudian diserahkan pada Dianara. Mulutnya terasa tak sanggup untuk berkata-kata. Maka, hanya cara ini saja yang bisa dia lakukan.
"Apa ini?" tanya Dianara mengerutkan kening.
"Gue gak bisa bilang, sebaiknya Lo liat sendiri aja. Tapi Lo harus tenang." Bayu menekan tombol play pada layar.
Setelah tombol itu ditekan. Dianara pun mulai fokus melihat pada layar. Sebuah video sedang diputar, lebih tepatnya sebuah berita tentang perbuatan jahat seseorang.
'Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Direktur utama Wiratama Building property, pada Rabu (10/04/2023). KPK menangkap atas dugaan tindakan penggelapan pajak perusahaan. Ismawan Wiratama, Direktur perusahaan besar no 3 di Indonesia itu tidak membayar pajak perusahaannya berdasarkan pemeriksaan perpajakan tahun 2020-2022.'
'Penangkapan Ismawan Wiratama dilakukan karena diduga melakukan penyuapan dan terkait pembuatan dokumen perpajakan palsu.'
'Ismawan ditangkap pada pukul 13.00 WIB di kantornya, yang terletak di Jakarta pusat saat Ismawan sedang bertugas. Diakui oleh pihak KPK penangkapan ini dilakukan karena saudara Ismawan dinilai tidak kooperatif.'
'Setelah ditangkap, tersangka Ismawan kemudian dibawa ke Polrestabes Jakarta untuk dilakukan pemeriksaan awal dan hari ini, Kamis (11/04/2023) Ismawan dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk pemeriksaan lanjutan.'
Dianara benar-benar syok saat itu juga, ponsel di tangan terlepas dan jatuh ke pangkuannya. Seketika Dianara terpaku mendengar dan melihat berita itu, tubuhnya membeku. Ketika nama papanya disebut, ‘Ismawan Wiratama’ terdengar jelas di pendengarannya. Bahkan perusahaan dan rumahnya juga tersorot beberapa detik di sana.
Rasa panas dia rasakan di bagian mata, dadanya juga bergemuruh dengan kencang. Darah pun berdesir dengan hebat. Tidak terasa lagi nyeri di kepala dan perut bagian bawah yang tadi dialami
"Tidak mungkin," lirihnya pelan. Dia masih tidak percaya dengan berita tersebut. Jelas jika di sana disebutkan nama papanya, nama lengkap. Bahkan nama perusahaan papanya juga jelas disebutkan. Serta mamanya yang sedang menangis histeris ketika sang papa dibawa pergi.
Bayu menatap Dianara dengan khawatir. Dia melihat wanita itu dan ponsel yang terjatuh di pangkuan secara bergantian. Suara dari video berita yang diputar itu pun masih terdengar.
"Nara … ka-kamu gak apa-apa, kan?" tanyanya ketika melihat Dianara sangat memprihatinkan.
"Itu berita bohong, kan?" Dianara menatap Bayu dengan tak percaya. Akan tetapi temannya itu tidak lantas menjawab. "Papaku gak mungkin ditangkap." Dianara berkata lagi dengan lirih, dia menggelengkan kepalanya dengan pelan. Air mata kini meluncur bebas melewati pipinya.
"Nara ...." Bayu tak sanggup melihatnya.
"Papaku gak mungkin ditangkap!" seru Dianara. Gadis itu tiba-tiba histeris.
Matanya kini melirik dengan cepat tangan kirinya yang di tusuk jarum infus. Dengan sekali tarikan dia mencabut jarum itu. Darah segar menetes ke lantai.
Bayu tersentak melihat tindakan itu. "Nara …!"
Seruan pria itu tak diindahkan. Kemudian Dianara secara tangkas mengambil barang-barangnya di atas meja yang ada di dekatnya. Kini dia melangkahkan kakinya meninggalkan pria itu menjauh.Bayu yang berada berseberangan dengan gadis itu pun mencoba menghalangi, tapi tubuhnya di dorong hingga tersungkur di atas ranjang. Tidak disangka, tenaganya sangat besar, Bayu pun hanya dapat menatap kepergian temannya berlari dengan cepat."Nara, tunggu!"Teriakan Bayu tidak digubris. Dia terus melangkahkan kakinya semakin cepat. Sesekali dia menyusutkan air mata yang mengalir dengan telapak tangannya.Tidak peduli dengan kondisi kesehatannya yang masih belum pulih. Tidak peduli dengan kandungannya yang akan terganggu karena berlari kencang. Hentakkan tubuh yang kuat tentu saja akan kembali memengaruhi janinnya.Beberapa orang yang ada di sana menatapnya dengan heran, tidak digubris sama sekali. Dianara hanya ingin cepat sampai di rumah dan bertanya pada seseorang. ‘Tidak mungkin’, dia terus saja me
Seperti biasa, rumah kediaman Gunawan selalu sepi. Lokasinya yang berada di pinggiran kota dan jauh dari jangkauan khalayak ramai. Dianara membunyikan klakson mobil memanggil satpam yang bertugas. Tak lama, satpam itu datang setelah mengenali mobilnya."Nona, Dianara?" Sapa satpam itu.Jendela kaca mobil itu diturunkan separuh. "Iya, Pak Somad. Saya Dianara, tolong bukain pintunya, Pak!" Pinta Dianara kemudian."Iya, iya, bentar, Non."Pintu gerbang yang memiliki tinggi lebih dari dua meter itu pun dibuka. Dianara menjalankan mobilnya dan berhenti di depan pos satpam. Kemudian dia keluar dan menyerahkan kunci mobil pada Pak Somad yang datang menghampirinya. Sepertinya, Dia sengaja ingin meminta pria itu memarkirkan mobilnya di garasi. Pria paruh baya yang sudah bekerja selama sepuluh tahun di rumah itu pun melakukan permintaan gadis itu, seperti biasa."Paman dan Bibi ada di rumah, Pak? Dan Mamaku juga ada kan?" tanya Dianara sebelum berniat masuk ke dalam rumah.Pak Somad mengangguk
"Gun, bawalah Dianara ke luar negeri. Bawa dia tinggal bersama kalian. Kakak tidak ingin Dianara terbebani dengan masalah ini, dia bisa tertekan, jiwanya masih labil." Suara Asmarini terdengar memohon."Setelah urusan Mas Is selesai, Kak. Pengacara sudah menangani kasus ini, besok aku akan berangkat ke Jakarta.""Bawa kakak juga, Gun.""Jangan dulu, Kak. Sebaiknya di sini saja sama Clarissa dan Dianara. Aku akan atur semuanya dulu, seminggu lagi kalian boleh menyusul."Masalah ini bisa saja rumit, atau akan lama bisa selesai. Dimulai dari pengumpulan bukti, pencari pelaku sebenarnya. Ditambah lagi dengan keadaan internal perusahaan. Cabang perusahan di Jakarta bisa terancam ditutup, sebab kasus pajak ini terjadi di sana. Lalu kerugian yang akan ditanggung perusahaan inti. Jika tidak ditangani secara rinci, akan terancam bangkrut."Kita belum tau gimana kondisi di sana. Perusahaan di Jakarta juga sedang kacau. Tapi, orang kepercayaan Mas Is juga mengurus awak media, agar tidak terlalu
Gadis itu sudah hilang akal. Kenapa pula Dianara sampai berpikiran pendek karena kenekatannya. Kini setelah melihat dan merasakan sendiri akibat perbuatannya, barulah dia sadar. Semua orang yang mengelilinginya tampak sangat cemas dan takut dia akan celaka.Rasa bersalah pun datang. Melihat wajah sang mama, membuatnya takut. Dia belum siap, menyaksikan raut kesedihan di wajah teduh itu. Tanggisan penyesalah Dianara lepaskan. Terisak dalam pelukan Asmarini yang nyaman."Gak apa-apa, Sayang … gak papa." Asmarinimengelus punggung sang putri dengan lembut."Sudah, sudah. Kitamasukke dalam rumah saja, Kak,"ucap Gunawan. Melihat keduanya, dia pun tak lagi bisa menyalahkan. Dianara belum dewasa, dan impulsif akan sikapnya."Iya, iya … ayo masuk, Sayang,"ajak Asmarini.Di ruang keluarga rumah itu. Dianara pun duduk diapit oleh mama dan bibinya. Merangk
Dalam keadaan seperti ini. Pikiran dan hatinya masih dibutakan oleh cinta. Tentu saja dia tidak akan peduli dengan hal lain selain Natan. Gadis itu lebih memilih memilih mengutak-atik ponselnya. Kembali mencoba menghubungi sang kekasih."Apa?" tanyanya seperti malas untuk mendengarkan."Jutek amat sih? Gak penasaran dia bilang apa? Dia lumayan ganteng Lo, mirip Oppa yang lo suka." Bayu mendengus memeluk tubuhnya sendiri."Gak … gue lagi mikirin kak Natan, susah banget dihubungi."Bayu pun menepuk jidatnya sendiri, tak habis pikir dengan temannya itu. "Hadehhh, bukannya mikirin bokap, lo malah mikirin pacar?""Ya gue mikirin bokap lah. Tapi gue lebih kepikiran pacar gue, nasib hubungan gue sama dia itu gimana? Apalagi Mama dan Paman berencana mau bawa gue ke luar negeri. Trus anak ini gimana?"Pada usianya yang masih muda. Dianarasudah didatangkan
Dianara punterpaksa membuka matanya. Sebuah benda yang tidak asing tampakdi depan wajahnya. Seketika itu dia terbelalak. Tangan mamanya tampak bergetar memegang benda itu."I–ini?""Iya, ini punya kamu!Jelaskan, kenapa kamu melakukan hal kotor seperti itu? Dan lihat hasil perbuatan kamu!"Gadis itu tak dapat berkata-kata. Dia diam terpaku melihat kemurkaan sang mama. Melihat wajah wanita kesayangannya itu pun, Dianarasudah tak berani. Rahasia yang disimpan akhirnya terkuak sebelum dia ungkapkan. Dalam benaknya, kenapa mamanya bisa tau hal ini? Dia pun akhirnyasadar, buang air kecil yang dia lakukan tadi adalah untuk hal ini."Kak Asma?"Tubuh Asma kembali goyah. Clarissa yang bersiaga di samping, dengan cepat menopang tubuh itu. Dianaramelihat hal itu dan ikut menahan mamanya agar tidak jatuh."Mama!"D
Malam harinya.Dianarabenar-benar berencana untuk kembali kabur dari rumah. Mumpung pengawasan sedang longgar, dan paman juga tidak ada di rumah. Di akan nekat untuk datang langsung ke apartemen Natan, kekasihnya. Sudah beberapa hari dia tak dapat kabar. Terlebih lagi sekarang mereka dipaksa untuk berpisah. Dianaratak dapat menahan lagi keinginannya untuk segera pergi.Dia harus meminta Natan untuk mengasi masalah ini.Diam-diam Dianaramenyelinap dari pintu belakang. Bibinya sendang lengah, dan para penjaga hanya berjaga di pintu depan. Diapunpunya kesempatan untuk kabur.Dianarapun baru tau, ternyata Gunawan telah pulang dari Jakarta. Melihat mobil pria yang dia panggil paman Igun itu ada di garasi. Dianaratak peduli, dia langsung meraih kunci, membuka pintu mobilnya dan masuk. Beruntung, pintu garasi masih terbuka, jadi dia tak perlu membuat orang dalam rumah menyadari kep
Di kediaman Gunawan.Kepergian Dianara menjadi masalah besar dan penyebab kekhawatiran semua orang. Gadis keras kepala itu lagi-lagi membuat ulah. Seperti tidak pernah sadar sikap egoisnya itu telah menyusahkan semua orang. Dia selalu bertindak sesuka hati tanpa berpikir panjang. Terkadang dia tau salah, tapi tidak belajar dari kesalahan. Keyakinannya sendiri telah menutupi kepintaran yang dia miliki selama ini. Dia terlalu dibutakan oleh cinta yang ternyata telah merusak segalanya.Bayu kini sudah duduk berhadapan dengan keluarga Dianara. Dia diminta datang untuk menceritakan semua yang dia tau tentang gadis itu. Mendengar Dianara kembali nekat untuk kabur, Bayu merasa harus berterus terang kali ini. Toh, keluarga Dianara sudah tahu akan rahasia itu."Maaf, Om, Tante. Saya tidak begitu mengenal Natan, Dianara hanya sesekali bercerita tentang kedekatan mereka. Dianara tidak pernah memberitahu lebih dari itu," akunya setelah ditanyai mengenai Natan."Lalu, apa kamu tau siapa yang sela