Share

2. Rumah sakit

Tak ada seorang pun yang dapat dimintai bantuan. Dianara mencoba bangkit dan jalan perlahan masuk lagi ke mobil. Bagian bawah perutnya ditahan agar tak kembali merasa nyeri.

Dianara mengambil ponsel dan mengetuk layarnya dua kali. "Kenapa pake mati, sih!"

Kemudian dia mengecek GPS pada mobilnya. Dianara ternyata mengambil jalur yang salah. Lokasinya saat ini sangat jauh dari rumah.

"Aaahhh, sial banget sih! Mana gak ada orang!"

Tubuh lemahnya dia sandarkan ke jok. Tenggorokan terasa sakit, tenaganya terkuras habis akibat berjuang memuntahkan isi perut tadi. Dianara mengedarkan pandangan, mencari sesuatu di dalam sana. Tak ada apa pun yang bisa dijadikan penghilang rasa mualnya.

Dianara pun memejamkan mata, berharap akan ada seseorang yang datang membantunya. Dalam pikirannya, andai saja Natan ada di sana, hal seperti ini tidak akan terjadi.

Beberapa menit kemudian, kaca mobilnya di ketuk seseorang dari luar. Gadis itu terlihat antara sadar dan tidak. Dia ingin membuka mata, tapi sungguh terasa sangat berat. Bahkan menoleh ke samping saja dia tidak sanggup.

Tok … tok … tok!

Kaca itu kembali di ketuk, kali ini sedikit lebih keras. Akhirnya gadis itu memaksakan matanya untuk segera terbuka. Gerakannya lemah, dia paksakan kepala menoleh ke samping. Samar-samar dia melihat seorang pria berdiri di luar. Mengintip melalui kaca jendela yang agak gelap. Pria itu sedikit menunduk melihat padanya.

"Haahhh, syukurlah. Ada orang datang." rintihnya lemah, Gadis itu pun membuka kunci pintu mobil itu, yang tanpa disadarinya tadi dia tekan.

Sesaat kemudian, Dianara tak dapat mendengar apa pun lagi. Suara apa pun seperti terhalang masuk ke gendang telinganya. Tatapannya nanar melihat gerakan bibir si pria, yang sepertinya sedang berteriak padanya. Sedetik setelah itu, matanya pun kembali terpejam. Yang dia tahu saat ini hanya perasaan ketika tubuhnya seperti terangkat. Bersamaan dengan itu, perlahan kesadaran Dianara pun hilang sepenuhnya.

***

Bau obat-obatan yang sangat menyengat membangunkan Dianara. Saat ini dia terbaring di bangkar sebuah kamar di rumah sakit. Perlahan dia membuka mata, mengedarkan pandangan melihat sekeliling yang dominan berwarna putih.

"Eegghh … gue di mana?" Pandangannya masih kabur, dia memaksakan tubuhnya untuk bangkit. "Aahh, ssstttt." Setelah merasakan punggung tangan kirinya sakit saat digerakkan, barulah Dianara yakin dia ada di rumah sakit. Sebuah jarum infus tertancap di kulitnya. Dilihatnya isi botol infus itu tersisa seperempat.

Kemudian pintu tiba-tiba terbuka, seseorang masuk dan melihat ke arahnya. "Sudah bangun?"

Dianara melirik pria itu, menyipitkan mata memastikan siapa orang yang berdiri di ambang pintu. "Bayu, lo di sini?" tanyanya setelah yakin pria itu adalah temannya. "Sejak kapan gue ada di sini?" lanjutnya seraya memijit pelipis perlahan.

Bayu mendekat. "Gue dari kemarin sore di sini. Lo pingsan di jalan. Gimana keadaan, Lo, udah baikan?"

Gadis itu mengangguk lemah. "Emm, gue udah mendingan kok, cuma pusing sedikit. Lo yang bawa gue ke sini?"

Tatapan mata Bayu tak lepas dari wajah pucat gadis itu. Kemarin, ketika dia sedang berada di kelas menunggu dosen datang. Dia teringat untuk menghubungi Dianara yang tak kunjung memberi kabar. Dia selalu dikabari jika gadis itu minta titip absen padanya. Sekarang dia merasa sangat kasihan melihat kondisi Dianara yang lemah seperti ini.

Bayu duduk di kursi samping ranjang Dianara. "Bukan … kebetulan kemarin gue nelpon lo, dan langsung dapat kabar lo ada di sini. Kenapa lo gak bilang ke gue kalo butuh bantuan?" tanyanya kemudian, dia terlihat sangat khawatir.

"Hape gue kan mati, Bay …," jawab Dianara mendelik pada temannya itu.

Bayu terdiam. "Oo … gue gak tau." Lalu Dianara pun diam, Bayu berpikir sejenak dan mulai menyampaikan sesuatu. "Oya, kata dokter lo kecapean dan dehidrasi. Dan … lo juga lagi …."

"Hamil. Ya gue tau," jawab Dianara tiba-tiba, lalu meraih tangan Bayu dan menggenggamnya. "Papa, Mama, tau gue di sini? Tolong jangan kasih tau mereka, please …." Tatapan matanya memohon.

Bayu menghela napas sejenak. "Itu yang mau gue omongin ke Lo sekarang."

Dia sepertinya berat untuk melanjutkan. Berita itu tentu akan sangat mengejutkan, mungkin Dianara juga akan syok saat mendengarnya. Terlebih lagi sekarang dengan kondisi gadis itu yang tengah berbadan dua.

"Maksud Lo apa? Mama, Papa udah tau soal gue?" Dianara mulai cemas.

Pria itu menggeleng, lalu mengambil ponselnya dan membuka sebuah video kemudian diserahkan pada Dianara. Mulutnya terasa tak sanggup untuk berkata-kata. Maka, hanya cara ini saja yang bisa dia lakukan.

"Apa ini?" tanya Dianara mengerutkan kening.

"Gue gak bisa bilang, sebaiknya Lo liat sendiri aja. Tapi Lo harus tenang." Bayu menekan tombol play pada layar.

Setelah tombol itu ditekan. Dianara pun mulai fokus melihat pada layar. Sebuah video sedang diputar, lebih tepatnya sebuah berita tentang perbuatan jahat seseorang.

'Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Direktur utama Wiratama Building property, pada Rabu (10/04/2023). KPK menangkap atas dugaan tindakan penggelapan pajak perusahaan. Ismawan Wiratama, Direktur perusahaan besar no 3 di Indonesia itu tidak membayar pajak perusahaannya berdasarkan pemeriksaan perpajakan tahun 2020-2022.'

'Penangkapan Ismawan Wiratama dilakukan karena diduga melakukan penyuapan dan terkait pembuatan dokumen perpajakan palsu.'

'Ismawan ditangkap pada pukul 13.00 WIB di kantornya, yang terletak di Jakarta pusat saat Ismawan sedang bertugas. Diakui oleh pihak KPK penangkapan ini dilakukan karena saudara Ismawan dinilai tidak kooperatif.'

'Setelah ditangkap, tersangka Ismawan kemudian dibawa ke Polrestabes Jakarta untuk dilakukan pemeriksaan awal dan hari ini, Kamis (11/04/2023) Ismawan dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk pemeriksaan lanjutan.'

Dianara benar-benar syok saat itu juga, ponsel di tangan terlepas dan jatuh ke pangkuannya. Seketika Dianara terpaku mendengar dan melihat berita itu, tubuhnya membeku. Ketika nama papanya disebut, ‘Ismawan Wiratama’ terdengar jelas di pendengarannya. Bahkan perusahaan dan rumahnya juga tersorot beberapa detik di sana.

Rasa panas dia rasakan di bagian mata, dadanya juga bergemuruh dengan kencang. Darah pun berdesir dengan hebat. Tidak terasa lagi nyeri di kepala dan perut bagian bawah yang tadi dialami

"Tidak mungkin," lirihnya pelan. Dia masih tidak percaya dengan berita tersebut. Jelas jika di sana disebutkan nama papanya, nama lengkap. Bahkan nama perusahaan papanya juga jelas disebutkan. Serta mamanya yang sedang menangis histeris ketika sang papa dibawa pergi.

Bayu menatap Dianara dengan khawatir. Dia melihat wanita itu dan ponsel yang terjatuh di pangkuan secara bergantian. Suara dari video berita yang diputar itu pun masih terdengar.

"Nara … ka-kamu gak apa-apa, kan?" tanyanya ketika melihat Dianara sangat memprihatinkan.

"Itu berita bohong, kan?" Dianara menatap Bayu dengan tak percaya. Akan tetapi temannya itu tidak lantas menjawab. "Papaku gak mungkin ditangkap." Dianara berkata lagi dengan lirih, dia menggelengkan kepalanya dengan pelan. Air mata kini meluncur bebas melewati pipinya.

"Nara ...." Bayu tak sanggup melihatnya.

"Papaku gak mungkin ditangkap!" seru Dianara. Gadis itu tiba-tiba histeris.

Matanya kini melirik dengan cepat tangan kirinya yang di tusuk jarum infus. Dengan sekali tarikan dia mencabut jarum itu. Darah segar menetes ke lantai.

Bayu tersentak melihat tindakan itu. "Nara …!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status