“Sayang, aku gak mau setelah ini kamu ninggalin aku!” ujar si gadis cantik ketika merapikan penampilannya.
Dialah Dianara Wiratama, putri dari pasangan Ismawan Wiratama dan Asmarini Hermawan. Papanya seorang pengusaha sukses di Surabaya. Saat ini dia bersama sang kekasih hatinya, di dalam sebuah kamar hotel. Permukaan kasur sudah tak beraturan, terdapat noda di atasnya.
Ya, gadis itu baru saja memberikan mahkota berharganya kepada sang kekasih, Natan. Pria yang telah bersamanya selama tiga tahun. Hari ini adalah anniversary hubungan mereka dan Dianara memberikan hadiah berharga ini kepada sang kekasih. Sangat disayangkan, ternoda hanya demi sebuah kado. Bujukan Natan berhasil membawanya ke dalam jurang dosa.
"Baby, aku berjanji. Setelah bisnisku kali ini berhasil, kita akan menikah," jawab pria itu santai mendekati gadis kesayangannya.
Dianara menengadah, menatap wajah sang kekasih di hadapan, matanya terlihat berbinar. "Bener ya, Sayang. Papa dan Mama sangat berharap banyak sama kamu."
Natan menangkupkan telapak tangannya di pipi gadis itu. "Iya, cantik." Lalu mengecup kening kekasihnya sangat lembut.
Janji dari seorang pria mulai terucap. Mulai membuka asa, memberikan suatu rasa yang semakin bertambah dalam hati Dianara. Dia sangat mencintai Natan, hubungan mereka selama tiga tahun inilah yang membuatnya berani memberikan keperawanan kepada sang kekasih. Dia menanam harapan pada pria ini.
Dianara adalah seorang gadis yang periang. Usianya baru dua puluh tahun. Dia menempuh pendidikan di Universitas ternama di kota itu. Gadis sedang mempelajari hukum, sesuai dengan cita-citanya selama ini.
Meski Natan hanya berasal dari keluarga biasa, namun dia telah membuktikan bahwa dia mampu bersaing dengan para pria yang berasal dari kasta setara dengan Dianara. Untuk memperebutkan hati pemilik bola mata indah nan meneduhkan itu. Kini dia berhasil mengambil hati kedua orang tua si gadis. Bahkan mereka sudah memperkenalkan keluarga masing-masing.
Natan berhasil membuktikan, jika dia layak menjadi pasangan si anak konglomerat. Layak untuk masuk ke dalam jajaran manajemen perusahaan milik keluarga Wiratama.
Beberapa bulan setelah itu. Pada pagi hari, Dianara kini sedang berjuang di kamar mandi menguras isi perutnya. Entah kenapa dia ingin memuntahkan semua makanan semalam. Dianara tampak terengah-engah menunduk di depan toilet dalam posisi berlutut. Perut terasa sangat mual, semua keluar, lambung telah kosong, matanya memerah dan berair. Perasaan aneh begitu menyatu dalam dirinya pagi ini.
“Apa yang terjadi denganku?”
Ketika selesai Dianara terduduk memeluk lututnya di lantai marmer. Dia terlihat berpikir, apa yang barusan terjadi padanya. Seketika wanita itu terkejut dengan apa yang diingatnya, dia berlari ke dalam mengambil kalender yang ada di meja rias. Dianara mengecek tiap deretan angka dan menghitung hari-hari yang terlewat. Raut wajahnya memucat, matanya membias melihat hitungannya telah lewat tiga minggu, dan teman bulanannya belum juga datang.
Dengan jantung yang berdegup kencang, Dianara bergegas mengambil ponsel di nakas. Segera menghubungi sang pacar yang mungkin sudah bekerja sekarang. Gadis itu melirik jam pada layar sesaat, lalu langsung menekan tombol panggil pada nomor Natan. Panggilan pertama gagal, hingga dia mencoba untuk yang ketiga kali, barulah Natan mengangkat teleponnya.
"Ha--"
"Halo … aku sedang ada rapat, nanti aku hubungi lagi."
Dianara bahkan tidak ada kesempatan untuk berbicara. Dia luruh seketika terduduk di pinggiran ranjang, kakinya terasa lemas bahkan hanya untuk menopang tubuhnya. Di saat itulah air matanya jatuh membasahi layar ponsel di tangannya. Dia termenung, khawatir dengan apa yang akan terjadi dengannya nanti.
Dianara bangkit dan menghempaskan tubuhnya ke kasur. Entah yang di pikirannya benar atau salah. Jika ketakutannya terbukti maka ia harus segera meminta pertanggung jawaban Natan secepatnya. Dia tau pria itu pasti mau, karena mereka saling mencintai. Dianara pun mencoba tersenyum meyakinkan dirinya bahwa Natan pasti akan bertanggung jawab. Sekarang dia harus memastikan dulu apakah perkiraannya benar.
Dianara mengurungkan niatnya untuk ke kampus hari itu. Mobil sport merah kini telah terparkir di depan sebuah apotek. Jarak apotek itu cukup jauh dari rumahnya. Dianara mengenakan Hoodie merah muda dan menutupi kepalanya.
"Mba, berikan aku ini." Dianara menyodorkan secarik kertas pada apoteker yang sedang bertugas.
Kertas itu diambil, alis si apoteker menyatu. "Maaf, Mbak. Mau yang jenis apa?"
"Terserahlah, yang bagus pokoknya."
Setelah urusannya selesai, Dianara berbalik dan berjalan beberapa langkah. Dia tampak tergesa-gesa tanpa melihat sekitarnya. Sampai akhirnya tubuhnya menabrak seseorang. Barang bawaannya berhamburan di lantai. Dia pun berada dalam dekapan orang itu, tanpa sengaja. Jika dia tidak ditangkap tepat waktu, Dianara bisa saja jatuh dan terluka.
"Kamu nggak apa-apa?"
Namun, Dianara diam terpaku menatap wajah orang itu. Matanya berbinar, mulutnya sedikit menganga. Tangannya melingkar di leher si pria tampan. “Woowww … ganteng banget. Mirip Oppa Korea. Oh my God, It's real?” ucapnya dalam hati.
Pria itu menjentikkan jarinya. "Halo … Nona. Kamu baik-baik saja?"
"Hah? Iya … baik-baik, Oppa."
Si pria menautkan alisnya. "Eermm … Nona?" Dia menjentikkan jarinya lagi. "Maaf, kamu udah bisa bagun?”
"Haah. Ma–maaf." Dianara segera menegakkan badannya kembali, terlihat salah tingkah.
Pria tampan itu berjongkok mengambilkan barang yang berserakan. Saat memungut sebuah benda, dia terdiam sejenak. Dianara menyadarinya, dengan cepat dia meraih benda itu dan menutupnya. Pria itu tersenyum tipis di bawah sana. Setelah selesai dia pun bangkit dan menyerahkan kantong plastik Dianara.
"Terima kasih. Maaf tadi tidak sengaja."
"Tidak masalah. Saya permisi dulu," balas si pria santai.
Pria itu pergi meninggalkan Dianara yang masih terpaku. Sepertinya dia masih terpesona melihat ketampanan si pria. Sangat sempurna, tubuh yang tinggi, tegap, berotot, kulitnya bersih. Saat berjalan pun tampak seperti model di atas catwalk. Sungguh sosok pria idaman wanita. Saat tersadar, pria itu telah jauh dari hadapannya.
***
Dianara sudah berusaha memberitahu tentang kehamilannya pada sang kekasih. Namun, pria itu sudah menghilang lebih dari seminggu. Orangtua Dianara masih belum mengetahui tentang kehamilannya ini. Dia masih berharap Natan akan muncul dan bersedia bertanggung jawab. Tapi hari-demi hari wanita itu merasa harapannya menjadi semakin tipis.
Setelah Dianara memberanikan diri untuk ke dokter, dia baru mengetahui ternyata janinnya sudah berusia delapan minggu. Dalam perjalanan pulang, Dianara merasa sangat pusing. Ini pertama kalinya dia merasa seperti ini. Merasa tidak sanggup untuk menyetir lagi, Dianara pun menepi. Pandangannya mulai kabur, perutnya terasa sangat mual. Namun, ketika makanan di perutnya telah mencapai tenggorokan. Dianara bergegas membuka pintu mobil dan bergegas keluar mobil.
"Weeekk … weeekk …."
Akhirnya keluar sudah semua yang sempat tertahan. Isi perutnya telah berpindah ke tanah.
Calon ibu muda itu terduduk di trotoar jalan, setelah puas memuntahkan isi perutnya. Dia pun mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu, dan dia baru sadar ternyata mobilnya berhenti di dekat lahan kosong. Tidak banyak kendaraan yang lewat di sana. Dianara tidak tau sekarang dia ada di mana. Tempat ini sangat asing, berbeda dengan jalan yang biasa dilewati ketika pulang ke rumah.
Semua karena terlalu banyak kekacauan dalam pikirannya.
"Ini di mana?"
Tak ada seorang pun yang dapat dimintai bantuan. Dianara mencoba bangkit dan jalan perlahan masuk lagi ke mobil. Bagian bawah perutnya ditahan agar tak kembali merasa nyeri.Dianara mengambil ponsel dan mengetuk layarnya dua kali. "Kenapa pake mati, sih!"Kemudian dia mengecek GPS pada mobilnya. Dianara ternyata mengambil jalur yang salah. Lokasinya saat ini sangat jauh dari rumah."Aaahhh, sial banget sih! Mana gak ada orang!"Tubuh lemahnya dia sandarkan ke jok. Tenggorokan terasa sakit, tenaganya terkuras habis akibat berjuang memuntahkan isi perut tadi. Dianara mengedarkan pandangan, mencari sesuatu di dalam sana. Tak ada apa pun yang bisa dijadikan penghilang rasa mualnya.Dianara pun memejamkan mata, berharap akan ada seseorang yang datang membantunya. Dalam pikirannya, andai saja Natan ada di sana, hal seperti ini tidak akan terjadi.Beberapa menit kemudian, kaca mobilnya di ketuk seseorang dari luar. Gadis itu terlihat antara sadar dan tidak. Dia ingin membuka mata, tapi sungg
Seruan pria itu tak diindahkan. Kemudian Dianara secara tangkas mengambil barang-barangnya di atas meja yang ada di dekatnya. Kini dia melangkahkan kakinya meninggalkan pria itu menjauh.Bayu yang berada berseberangan dengan gadis itu pun mencoba menghalangi, tapi tubuhnya di dorong hingga tersungkur di atas ranjang. Tidak disangka, tenaganya sangat besar, Bayu pun hanya dapat menatap kepergian temannya berlari dengan cepat."Nara, tunggu!"Teriakan Bayu tidak digubris. Dia terus melangkahkan kakinya semakin cepat. Sesekali dia menyusutkan air mata yang mengalir dengan telapak tangannya.Tidak peduli dengan kondisi kesehatannya yang masih belum pulih. Tidak peduli dengan kandungannya yang akan terganggu karena berlari kencang. Hentakkan tubuh yang kuat tentu saja akan kembali memengaruhi janinnya.Beberapa orang yang ada di sana menatapnya dengan heran, tidak digubris sama sekali. Dianara hanya ingin cepat sampai di rumah dan bertanya pada seseorang. ‘Tidak mungkin’, dia terus saja me
Seperti biasa, rumah kediaman Gunawan selalu sepi. Lokasinya yang berada di pinggiran kota dan jauh dari jangkauan khalayak ramai. Dianara membunyikan klakson mobil memanggil satpam yang bertugas. Tak lama, satpam itu datang setelah mengenali mobilnya."Nona, Dianara?" Sapa satpam itu.Jendela kaca mobil itu diturunkan separuh. "Iya, Pak Somad. Saya Dianara, tolong bukain pintunya, Pak!" Pinta Dianara kemudian."Iya, iya, bentar, Non."Pintu gerbang yang memiliki tinggi lebih dari dua meter itu pun dibuka. Dianara menjalankan mobilnya dan berhenti di depan pos satpam. Kemudian dia keluar dan menyerahkan kunci mobil pada Pak Somad yang datang menghampirinya. Sepertinya, Dia sengaja ingin meminta pria itu memarkirkan mobilnya di garasi. Pria paruh baya yang sudah bekerja selama sepuluh tahun di rumah itu pun melakukan permintaan gadis itu, seperti biasa."Paman dan Bibi ada di rumah, Pak? Dan Mamaku juga ada kan?" tanya Dianara sebelum berniat masuk ke dalam rumah.Pak Somad mengangguk
"Gun, bawalah Dianara ke luar negeri. Bawa dia tinggal bersama kalian. Kakak tidak ingin Dianara terbebani dengan masalah ini, dia bisa tertekan, jiwanya masih labil." Suara Asmarini terdengar memohon."Setelah urusan Mas Is selesai, Kak. Pengacara sudah menangani kasus ini, besok aku akan berangkat ke Jakarta.""Bawa kakak juga, Gun.""Jangan dulu, Kak. Sebaiknya di sini saja sama Clarissa dan Dianara. Aku akan atur semuanya dulu, seminggu lagi kalian boleh menyusul."Masalah ini bisa saja rumit, atau akan lama bisa selesai. Dimulai dari pengumpulan bukti, pencari pelaku sebenarnya. Ditambah lagi dengan keadaan internal perusahaan. Cabang perusahan di Jakarta bisa terancam ditutup, sebab kasus pajak ini terjadi di sana. Lalu kerugian yang akan ditanggung perusahaan inti. Jika tidak ditangani secara rinci, akan terancam bangkrut."Kita belum tau gimana kondisi di sana. Perusahaan di Jakarta juga sedang kacau. Tapi, orang kepercayaan Mas Is juga mengurus awak media, agar tidak terlalu
Gadis itu sudah hilang akal. Kenapa pula Dianara sampai berpikiran pendek karena kenekatannya. Kini setelah melihat dan merasakan sendiri akibat perbuatannya, barulah dia sadar. Semua orang yang mengelilinginya tampak sangat cemas dan takut dia akan celaka.Rasa bersalah pun datang. Melihat wajah sang mama, membuatnya takut. Dia belum siap, menyaksikan raut kesedihan di wajah teduh itu. Tanggisan penyesalah Dianara lepaskan. Terisak dalam pelukan Asmarini yang nyaman."Gak apa-apa, Sayang … gak papa." Asmarinimengelus punggung sang putri dengan lembut."Sudah, sudah. Kitamasukke dalam rumah saja, Kak,"ucap Gunawan. Melihat keduanya, dia pun tak lagi bisa menyalahkan. Dianara belum dewasa, dan impulsif akan sikapnya."Iya, iya … ayo masuk, Sayang,"ajak Asmarini.Di ruang keluarga rumah itu. Dianara pun duduk diapit oleh mama dan bibinya. Merangk
Dalam keadaan seperti ini. Pikiran dan hatinya masih dibutakan oleh cinta. Tentu saja dia tidak akan peduli dengan hal lain selain Natan. Gadis itu lebih memilih memilih mengutak-atik ponselnya. Kembali mencoba menghubungi sang kekasih."Apa?" tanyanya seperti malas untuk mendengarkan."Jutek amat sih? Gak penasaran dia bilang apa? Dia lumayan ganteng Lo, mirip Oppa yang lo suka." Bayu mendengus memeluk tubuhnya sendiri."Gak … gue lagi mikirin kak Natan, susah banget dihubungi."Bayu pun menepuk jidatnya sendiri, tak habis pikir dengan temannya itu. "Hadehhh, bukannya mikirin bokap, lo malah mikirin pacar?""Ya gue mikirin bokap lah. Tapi gue lebih kepikiran pacar gue, nasib hubungan gue sama dia itu gimana? Apalagi Mama dan Paman berencana mau bawa gue ke luar negeri. Trus anak ini gimana?"Pada usianya yang masih muda. Dianarasudah didatangkan
Dianara punterpaksa membuka matanya. Sebuah benda yang tidak asing tampakdi depan wajahnya. Seketika itu dia terbelalak. Tangan mamanya tampak bergetar memegang benda itu."I–ini?""Iya, ini punya kamu!Jelaskan, kenapa kamu melakukan hal kotor seperti itu? Dan lihat hasil perbuatan kamu!"Gadis itu tak dapat berkata-kata. Dia diam terpaku melihat kemurkaan sang mama. Melihat wajah wanita kesayangannya itu pun, Dianarasudah tak berani. Rahasia yang disimpan akhirnya terkuak sebelum dia ungkapkan. Dalam benaknya, kenapa mamanya bisa tau hal ini? Dia pun akhirnyasadar, buang air kecil yang dia lakukan tadi adalah untuk hal ini."Kak Asma?"Tubuh Asma kembali goyah. Clarissa yang bersiaga di samping, dengan cepat menopang tubuh itu. Dianaramelihat hal itu dan ikut menahan mamanya agar tidak jatuh."Mama!"D
Malam harinya.Dianarabenar-benar berencana untuk kembali kabur dari rumah. Mumpung pengawasan sedang longgar, dan paman juga tidak ada di rumah. Di akan nekat untuk datang langsung ke apartemen Natan, kekasihnya. Sudah beberapa hari dia tak dapat kabar. Terlebih lagi sekarang mereka dipaksa untuk berpisah. Dianaratak dapat menahan lagi keinginannya untuk segera pergi.Dia harus meminta Natan untuk mengasi masalah ini.Diam-diam Dianaramenyelinap dari pintu belakang. Bibinya sendang lengah, dan para penjaga hanya berjaga di pintu depan. Diapunpunya kesempatan untuk kabur.Dianarapun baru tau, ternyata Gunawan telah pulang dari Jakarta. Melihat mobil pria yang dia panggil paman Igun itu ada di garasi. Dianaratak peduli, dia langsung meraih kunci, membuka pintu mobilnya dan masuk. Beruntung, pintu garasi masih terbuka, jadi dia tak perlu membuat orang dalam rumah menyadari kep