“Aku hamil anakmu, tapi kamu malah sibuk berpacaran dan akan menikah dengan wanita lain!? Tega kamu!”
Seruan nyaring Alisha di restoran elit ibu kota itu menarik perhatian semua orang. Alisha berdiri di tengah ruang restoran, tepat di hadapan seorang pria yang tengah makan bersama wanita lain. Air mata mengalir deras menuruni wajahnya, tampak begitu menyedihkan hingga banyak orang merasa kasihan padanya dan memandang tajam pria di depannya. “Sudah menghamili anak orang, tapi masih bermain-main dengan wanita lain. Dasar pria nggak bertanggung jawab!” “Hah … padahal tampan, tapi kenapa sikapnya seperti seorang bajingan …,” sahut tamu yang lain. Mendengar makian-makian ini, pria yang tertuding itu menatap Alisha tajam. “Nona, kita bahkan tidak saling mengenal. Bagaimana mungkin kamu bisa hamil anakku?” tanyanya dingin. Kalimat sang pria membuat Alisha menangis semakin kencang. “Ya Tuhan, demi menutupi aibmu, sekarang kamu berpura-pura tidak mengenalku?! Padahal sebelumnya kamu berjanji akan memperkenalkanku ke keluargamu dan menikahiku. Ternyata semua itu bohong! Keterlaluan kamu!” Tak berhenti di sana, Alisha kemudian beralih kepada wanita di seberang sang pria. “Nona, kamu terlihat begitu cantik dan berpendidikan, aku yakin kamu juga wanita dengan latar belakang luar biasa dan masa depan cerah. Oleh karena itu, sebagai sesama wanita, aku memohon padamu untuk memberikan aku dan calon anakku jalan hidup. Pria ini harus bertanggung jawab untuk kehamilanku atau aku akan–” Sraak! Suara kursi yang bergesek dengan lantai terdengar, diikuti dengan tangan Alisha yang digenggam sang wanita cantik yang sekarang berdiri di hadapannya. Wanita yang sepengetahuan Alisha adalah calon yang dijodohkan keluarga kepada pria tersebut. “Kamu sungguh hamil anak Zayden?” tanya wanita itu dengan mata berbinar, membuat Alisha sedikit kebingungan. “U-uh … ya …?” jawab Alisha selagi mengangguk setengah ragu. “Ini berita bagus! Kalau begitu, kalian harus segera menikah!” Hah? Alisha sedikit terbengong. Kenapa wanita ini malah terlihat senang ketika mengetahui calon suaminya menghamili wanita lain? Bukankah seharusnya dia merasa tersinggung dan malu, lalu pergi meninggalkan restoran begitu saja sebelum berakhir membatalkan perjodohan? Jadi, kenapa sekarang dia malah mendukung dan menyuruh Alisha menikahi calon suaminya!? “Mama! Jangan percaya omong kosong wanita ini! Aku bahkan tidak mengenalinya!” ucap pria itu secara tiba-tiba, membuat Alisha terperangah. Mama?! Alisha menatap wanita cantik yang dia kira masih berumur sekitar dua puluh lima tahun itu. “Kamu mamanya? Bukan calon istrinya?!” Wanita cantik itu menyentuh sisi wajahnya dengan senyum malu-malu. “Ya, aku mamanya. Apa wajahku semuda itu sampai kamu salah mengenaliku sebagai calon istri Zayden?” Kemudian, dia menggenggam tangan Alisha erat dan mata berbinar. “Tenang saja, Nak. Zayden tidak pernah punya pacar, bahkan Tante sampai khawatir dia suka pria. Kalau ternyata kamu memang mengandung anaknya, itu berkah dan kalian harus segera menikah!” Dihadapi dengan semangat membara ibu sang pria, Alisha menjadi panik. Bukan, bukan perkembangan cerita seperti ini yang Alisha harapkan! Seharusnya, wanita di depannya ini adalah calon istri yang dijodohkan oleh keluarga sang pria. Lalu, ketika Alisha datang dan mengaku dihamili oleh pria tersebut, wanita ini seharusnya marah dan pergi! Hanya dengan begitu, barulah misi Alisha untuk membantu sang sahabat yang ingin membatalkan perjodohan pria yang dia sukai bisa berhasil! Lalu, apa ini!? Alisha menatap lagi pakaian sang pria, juga nama di atas meja. Kemeja merah gelap, warna yang sesuai informasi dari temannya seharusnya dikenakan oleh pria yang dia suka. Kemudian, nama tamu yang tertera di kertas yang berada di atas meja adalah … Zayden Wicaksana!? Kenapa ‘Zayden Wicaksana’ dan bukan ‘Alvin Wicaksana’?! Alisha salah orang???!!! Menyadari kesalahan fatalnya, kepanikan seketika langsung menyelimuti Alisha. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu menatap seorang pria lain yang duduk tidak jauh dari sana, yang tengah sibuk berbincang dengan seorang wanita. Kemeja pria itu … berwarna sama persis dengan pria di hadapan Alisha sekarang, dan nama di atas meja … Alvin Wicaksana?!! Alisha sungguh salah orang!!! Melihat kegelisahan Alisha, ibu sang pria menyadari ada yang salah. Dia menyentuh pundak Alisha dan berkata dengan wajah khawatir, “Nak, kamu baik-baik saja? Wajahmu pucat .…” Kemudian, wanita itu terlihat panik. “Oh, tidak! Apa salah mengira aku kekasih Zayden membuatmu stres?! Tidak, kamu tidak boleh stres! Kita harus ke rumah sakit! Jangan sampai ada hal yang terjadi dengan anak dalam kandungan–” “T-tunggu!” Alisha langsung menarik lepas tangannya dari tangan sang wanita. Senyum canggung menghiasi wajahnya. “T-Tante, maaf, sepertinya ada salah paham. L-lupakan apa pun yang aku katakan, permisi!” Kemudian, dia langsung lari sekencang mungkin meninggalkan restoran. “Eh!! Kenapa malah lari!?” seru ibu sang pria dengan bingung, berniat mengejar, tapi Alisha menghilang secepat angin! Wanita itu pun menatap putranya. “Zayden! Kejar dong! Kamu sebagai pria kenapa malah diam saja!?” tegurnya, membuat Zayden menatap ibunya datar. Apa sang ibu masih tidak sadar kalau putranya baru saja dipermainkan!? “Ma … wanita tadi berbohong ….” Ucapan sang anak membuat Martha, ibu Zayden, mendengkus kesal. “Bohong atau tidak, itu urusan Mama untuk memastikan nanti! Pokoknya sekarang, Mama mau kamu untuk bawa seorang calon istri ke hadapan Mama atau 80% saham perusahaan akan Mama suruh Papa berikan ke sepupumu! Titik!” Setelah mengucapkan itu, ibu Zayden pun meraih tas dan melangkah pergi dengan kesal. Bertahun-tahun khawatir sang putra tidak pernah berpacaran dan memiliki preferensi menyimpang, ternyata hari ini ada kemungkinan pria itu sudah memiliki kekasih, yang sudah hamil pula! Tentu saja kesempatan ini tidak akan Martha lewatkan! Pokoknya, Martha akan pastikan putranya itu tidak menyimpang dan bisa melanjutkan keturunan keluarga! Melihat kepergian ibunya, Zayden yang masih jadi perbincangan hangat satu restoran pun memasang ekspresi gelap. Dia mengingat-ingat wajah wanita yang mengaku hamil anaknya tadi. Alis ramping dan mata bulat, hidung mancung, dan bibir mungil dengan rona merah alami yang menggoda. Rambut panjang bergelombang yang membingkai wajahnya juga menambah kecantikan wanita tersebut. Sayangnya, secantik apa pun wanita itu, karena dia sudah mencari masalah dengan seorang Zayden, maka dia harus membayarnya atas rasa malu yang pria itu rasakan hari ini!Alisha berlari sekuat tenaga, napasnya memburu. Dia bahkan tidak berani menoleh ke belakang. Yang ada dalam pikirannya sekarang hanya satu: jangan sampai pria itu mengejarnya! Begitu melihat taksi melintas, Alisha langsung melambaikan tangan. "Berhenti!" serunya. Usai masuk ke dalam mobil dan mengatakan tujuannya kepada sang sopir, Alisha menyandarkan kepalanya di sandaran kursi dan menghela napas panjang. "Ya Tuhan, kekonyolan macam apa ini? " gerutunya, masih setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Niat hati ingin membantu teman, tapi Alisha malah mempermalukan dirinya sendiri dengan salah orang!? Yang benar saja! Alisha ingat, di awal sebelum memasuki restoran, dia sudah menanyakan jelas di mana meja Alvin Wicaksana. Akan tetapi, kenapa pelayan mengarahkannya ke meja yang salah!? Di saat itu, Alisha terdiam, mencoba mengingat adegan awal dirinya tiba di restoran. “Permisi, meja Tuan Wicaksana di sebelah mana, ya?” Karena ramainya restoran, sang pela
*Beberapa saat sebelumnya* Di dalam ruangan kantor eksekutif yang luas, Zayden Wicaksana tampak duduk dengan ekspresi dingin, menelusuri sejumlah dokumen di tangan. “Tuan, ini laporan lengkap perihal nama-nama karyawan yang diduga memiliki keterlibatan dengan manajemen lama yang bermasalah. Ada juga sejumlah karyawan berprestasi yang kami harap bisa dipertahankan dan digunakan untuk menggantikan manajemen lama,” ucap manager HR seraya memberikan sebuah tablet kepada Zayden. “Hmm, aku akan mengeceknya. Kamu bisa pergi,” ucap pria tersebut. Saat Manager HR meninggalkan ruangannya, Zayden pun beralih mengalihkan pandangan pada tablet yang baru saja diletakkan di mejanya. Dia mulai memeriksa satu persatu data karyawan, sampai akhirnya … pandangannya terpaku pada satu wajah yang terlihat sangat familier. Mata Zayden menggelap, dan dia melihat nama karyawan tersebut. Alisha Gayatri. Seketika, rahang Zayden mengeras dan senyuman sinis yang mengerikan terlukis di bibirnya. “Ali
Alisha terkejut, matanya membesar mendengar pernyataan Zayden. “Apa Bapak tidak salah ngomong?” tanyanya ragu, suaranya sedikit meninggi karena keterkejutan. Namun, alih-alih mendapat jawaban masuk akal, wajah Zayden malah terlihat semakin menggelap. “Aku tidak punya waktu untuk bermain-main seperti kamu,” balasnya dingin. “Kalau kamu tidak mau dipecat, jadi istri saya.” Alisha mengerjapkan mata, memastikan telinganya tidak salah dengar dan otak Zayden bekerja dengan baik. Namun, wajah serius pria di depan mata menunjukkan bahwa ini bukan lelucon. “Lagipula,” lanjut Zayden, nada suaranya penuh sindiran, “seperti yang kamu bilang kemarin, kalau sudah menghamili wanita, bagaimana mungkin aku tidak bertanggung jawab, bukan?” Alisha menelan ludah, merasa kepalanya mendadak pusing. Namun, di tengah keterkejutannya, sebuah pemikiran aneh muncul dalam benaknya. Apa mungkin pria ini… hanya ingin menutupi kelainan orientasi seksualnya? Alisha langsung teringat dengan ibunya Za
Saat tiba di kediaman orang tuanya, Zayden bahkan belum sempat duduk sebelum suara tegas ibunya langsung menyambut. “Zayden! Sini, Mama mau bicara.” Zayden menghela napas. Dia mengikuti ibunya ke ruang keluarga, duduk, lalu berkata, “Kalau ini tentang ‘wanita itu’, bisa kita tunda dulu? Aku lelah.” “Zayden, tidak sopan memanggilnya ‘wanita itu’ terus! Beri tahu Mama namanya!” Seperti yang sudah Zayden duga. Sang ibu benar-benar menanyakan soal Alisha. Tidak ingin memperpanjang masalah, akhirnya Zayden menjawab dengan nada datar, “Alisha Gayatri.” Mata Martha berbinar. “Jadi namanya Alisha, ya?” Nada bicaranya melembut saat menyebut nama wanita yang ia bayangkan akan menjadi calon menantunya. Wanita itu cantik, dengan wajah manis yang sulit dilupakan. “Namanya cukup bagus,” puji Martha, membuat Zayden diam-diam memutar bola mata. “Lalu, bagaimana latar belakang keluarganya? Dia anak ke berapa? Orang tuanya bekerja di mana?” “Dia tidak punya orang tua. Keluarga juga tid
Tepat saat jarum jam menunjuk ke angka lima, Alisha sudah keluar dari rumah dan menunggu di lobi apartemennya. Di sana, sebuah mobil hitam mewah sudah terparkir, kentara sedang menunggu seseorang.Perlahan, kaca pintu belakang mobil terbuka, dan sosok tampan Zayden yang hadir dengan jas hitam, muncul sembari menatap tajam dirinya. “Masuk,” titah pria itu, membuat Alisha menelan ludah.Masuk setelah dibukakan pintu oleh sang sopir, Alisha pun masuk dan duduk di sebelah Zayden. Di bibir, wanita itu tidak lupa memaksakan sebuah senyum ke arah Zayden.“Maaf, Pak, karena saya ketiduran, jadi merepotkan Bapak,” ucapnya berbasa-basi.Hanya mendengus dan tidak membalas, Zayden mengalihkan pandangan ke depan, pada sopir yang sudah kembali siap di depan kemudi. “Jalan,” perintahnya dengan nada rendah penuh tekanan.Tahu jelas bahwa Zayden sedang marah, Alisha pun memutuskan untuk bungkam. Dia tidak mau mencari-cari masalah dengan singa tidur itu.Namun, memang hidup tidak selalu berjalan sesu
Semua orang menoleh, lalu melihat seorang wanita muda bertubuh ramping dengan gaun ketat menghampiri. Rambut panjang bergelombangnya mencapai pinggang, dan wajahnya yang cantik tampak diselimuti keangkuhan.Ekspresi Zayden mengeras, dan dia langsung menarik Alisha mendekat ke sisinya, seakan melindungi wanita itu. “Jaga bicaramu, Tania,” balas Zayden dengan ekspresi gelap dan suara rendah yang mengancam. “Apa kamu sedang menghina calon istriku?”Diam-diam, Alisha cukup terkejut. Kalau bukan karena dirinya tahu mereka sedang bersandiwara, dia bisa mengira Zayden benar-benar perhatian padanya!Wanita bernama Tania, yang Alisha duga adalah sepupu Zayden, mengedikkan kedua bahunya. “Bukan menghina, Zay, hanya mempertanyakan aja,” ucapnya. “Tante Vivian tuh nggak salah loh. Dari dulu kami nggak pernah dengar kamu dekat sama wanita, tapi sekarang kamu tiba-tiba bisa bawa calon istri ke rumah, siapa sih yang nggak merasa aneh?”Semua orang mulai berbisik, merasa omongan Tania ada benarnya.
Bukan cuma Alisha yang berakhir terbengong, tapi seisi ruangan seolah membeku, terlebih lagi Vivian dan Tania. “Pa, Papa bilang apa? Hamil? Siapa yang hamil? Anaknya siapa?!” seru Vivian, sedikit terlalu panik untuk memproses pernyataan sang ayah. Henry menghela napas, seolah putrinya baru saja menanyakan sesuatu yang sangat jelas. Ia lalu melirik Alisha, ekspresinya berubah lembut, sebelum mengumumkan dengan lantang, “Alisha sedang mengandung anak Zayden, dan karena itu, mereka akan menikah secepatnya!” DUAR! Seolah granat meledak di tengah ruangan, semua orang langsung berseru dan berbisik-bisik. “Apa? Jadi, Zayden benar-benar punya pacar secara diam-diam dan tidak menyimpang?” “Pacarnya bahkan sudah hamil! Bagaimana dia bisa dirumorkan menyimpang?!” Melihat pernyataannya mengenai Zayden mulai tergeser, Tania yang masih tidak percaya dengan ucapan itu langsung berkata, “Kakek jangan mengada-ada. Mana mungkin Zayden menghamili wanita? Selama ini kita tahu dia ini kan menyimpang
‘Astaga, Alisha! Kamu benar-benar gila!!!’ Alisha berteriak panik dalam hati. ‘Harusnya Pak Bos gak marah, kan?!’ tambahnya lagi. ‘Ini demi akting agar sukses, kan?!!’ Alisha kemudian melihat ke dalam mata Zayden yang saat ini tubuhnya sedikit menegang. Namun, Zayden masih tidak bereaksi lebih. Hanya tatapan matanya yang semakin dalam, menyapu wajah Alisha yang kini bersemu merah.Alisha yang sadar kalau dia sudah kelewatan, berniat menarik dirinya mundur. Namun, tangan kanan Zayden tiba-tiba menahan tengkuknya, membuat Alisha tidak bisa bergerak. Lalu, pria itu memiringkan kepalanya sedikit, dan mulai membalas, bahkan memperdalam ciuman mereka!‘Apa yang–!’Protesnya hanya tersangkut di tenggorokan ketika kehangatan yang menguar dari bibir pria itu mulai melumpuhkan kewarasannya. Sensasi itu mengalir deras, merampas akal sehatnya. Ia ingin berontak. Harusnya berontak. Tapi sial! Tubuhnya justru berkhianat. Ia larut dalam ciuman yang menuntut, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Alisha duduk diam, isi kepalanya terasa penuh dan sangat berisik, apalagi dia terngiang-ngiang kalimat sang nenek yang bertanya tentang masa lalu Zayden, ternyata itulah kenapa wanita itu terlihat skeptis saat Alisha mengatakan kalau semua orang memiliki masa lalu. Bukankah dia terlalu naif dan sombong dengan pernyataannya sendiri?Alisha kembali mengatur napasnya, agar bisa menjaga moodnya tetap baik, walau sebenarnya itu cukup sulit.“Al, apa kamu mendengarkanku?” tanya Yumi dengan suara pelannya.Yumi sudah yakin sejak awal, kalau Alisha pasti akan menyukai Zayden! Dia adalah Zayden, yang mana walaupun semua orang menghujatnya sebagai pria penyuka sesama jenis, tetap akan ada wanita yang berlomba berdiri paling depan untuk meraihnya, dan mengatakan kalau cinta bisa mengubah segalanya!“Alisha,” panggil Yumi lagi.“Ah, iya, Yum! Aku tidak apa-apa kok!” Lalu Alisha terkekeh ringan. “Kamu … yakin tidak apa-apa?” tanyanya Yumi dengan nada khawatir.“Tidak apa-apa kok!” Alisha masih te
Alisha masih berdiri terpaku, mencoba mencerna kata-kata pria itu.Membunuh?Siapa yang dibunuh? Maksudnya seseorang itu siapa?Atau jangan-jangan…Entahlah, dia tidak berani menebak-nebak, hanya saja, entah kenapa dia merasa kalau ada perasaan aneh mulai menyusup dalam hatinya. Ini sedikit berlebihan dan terasa seperti hal yang siap meledak.Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk keluar dari tempat itu dan menyusul Zayden. Dia menghubungi Zayden, hanya saja tidak ada jawaban. Saat mendatangi kamar Zayden, juga sama, tidak ada sahutan.“Apa … dia gak balik ke kamar ya?” gumam Alisha.“Ya kalo gak ke kamar dia pergi kemana?” tanya Alisha sambil berpikir keras. Kakinya berjalan tak kenal lelah melewati koridor hotel ini, lalu berakhir di lobi hotel. Melihat jam di pergelangan tangannya sudah pukul 4 sore.“Duh! Apaan sih, kayak anak kecil aja! Padahal tinggal angkat aja teleponnya kok susah sekali sih!” gerutu Alisha.Akhirnya dia mempunyai ide.Dia menghubungi seseorang dengan harapan
Zayden masih diam. “Masih tidak mau cerita ya?” Alisha terkesan sedikit memaksa. Zayden menarik napas dalam dan berkata, “Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak mencampuri urusan–” “Kalau kasusnya begini, jelas aku harus tahu, setidaknya ini melibatkanku sebagai istrimu. Kecuali kalau aku tidak ada di tengah-tengah kalian!” potong Alisha cepat dengan nada frustrasi. Entah kenapa susah sekali membuka mulut Zayden ini! SREET! Suara kursi tertarik mundur, Alisha berdiri dari tempat duduknya, berjalan mondar-mandir di sekitar kursinya dan kursi Zayden sambil menghela napas panjang. Sementara, Zayden masih di tempat yang sama, duduk membisu seperti patung, menatap lurus tanpa ekspresi. Alisha menghentikan langkahnya tepat di depan pria itu. Matanya menatap sebal, bibirnya manyun, dan kedua tangan dilipat di depan dada. “Ya sudah kalau kamu nggak mau cerita!” serunya dengan nada tinggi, bola matanya berputar malas. “Menyebalkan sekali! Nggak nenek, nggak cucu, sama-sama biki
Suasana sedikit menjadi dingin, dan … baru saja Helena akan bicara, bunyi ponsel Alisha terdengar nyaring. Dia diam sejenak menatap layar ponselnya.Zayden.Namun, Alisha membuatnya menjadi senyap dan meletakkan kembali ponsel itu di atas meja. Helena melihatnya dengan tatapan menyelidik.“Zayden pasti menghubungimu, kan?” tanyanya dengan nada datar.Alisha mengangguk. “Benar, Nek.” “Kenapa kamu tidak menjawabnya? Dia pasti akan sangat khawatir padamu.” Helena berkata pelan namun penuh penekanan.Hal ini membuat minat Alisha makin tinggi terhadap apa yang terjadi pada keduanya. Dia menyipitkan matanya dan memandang ke arah Helena dan berkata, “Khawatir? Kenapa Zayden harus khawatir, Nek? Aku bersama neneknya, kan? Tidak mungkin juga neneknya melakukan sesuatu padaku.” Memancing!Akan tetapi Alisha lupa kalau yang berada di hadapannya ini bukan orang sembarangan yang bisa diberdayakan begitu saja.Helena tersenyum sekilas lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.“Itu pikiranmu, kan? Berbe
Helena menatap Alisha tanpa berkedip. Sorot matanya tajam, menusuk hingga membuat Alisha tak kuasa mengalihkan pandangan."Aku ingin mendengarnya darimu, Alisha," Helena mengulang, suaranya kali ini lebih dalam, lebih menekan. "Apa kamu... benar-benar mencintai Zayden?"Ruangan terasa semakin hening. Seolah udara mendadak lenyap dari sekitar mereka.Alisha meremas ujung rok yang menutupi pahanya, berusaha mencari kekuatan untuk membuka mulut, tapi suaranya justru menghilang.Helena mengangkat satu alisnya, seakan tidak sabar menunggu. "Kalau kau ragu..." bisiknya, nyaris seperti sebuah ancaman tersembunyi, "sebaiknya kau berhenti sekarang sebelum kau membuat cucuku lebih terluka dari sebelumnya."Alisha tertegun.Seketika wajah Zayden melintas di benaknya—tatapan dinginnya, sikap acuhnya, perhatian kecilnya ... dan semua luka yang mungkin disembunyikan pria itu dari dunia, entah kenapa itu semua nampak nyata. Apalagi, sikap Zayden padanya beberapa hari terakhir ini, seolah-olah dia ad
Siang itu suasana terasa berbeda. Bahkan sikap Zayden ini membuat penilaian 180 derajat berbalik kepada Zayden. Sikap angkuh, sombong dan juga sok berkuasa langsung sirna begitu saja. Mereka melihat sisi lain yang dimiliki oleh Zayden.“Kebetulan calon klien kita yang akan kita temui ini ada halangan dan dia baru bisa bertemu di jam setengah delapan malam. Mereka juga sudah mengatur tempatnya, di hotel yang nanti kita tempati.” Zayden berkata dengan suara tegas dan penuh dengan wibawa.“Lalu, untuk masalah perusahaan dan penyelidikannya, juga bisa kita tunda untuk hari ini, karena saya mendapat informasi kalau tempat mereka tutup dan baru ada di hari Senin, jadi kemungkin untuk tim marketing, kita akan ada di sini sampai Senin malam.” Zayden berkata sambil melihat ke arah tim marketing yang duduk dekat Alisha.Mereka menganggukkan kepala pelan.“Selebihnya, siang ini, sebagai bentuk permintaan maaf saya, mari kita makan di restoran western yang katanya paling enak di kota ini.” Zayden
Sesampainya di bandara, proses check-in berlangsung cepat. Alisha menatap takjub ke sekeliling saat mereka melangkah masuk ke area VIP lounge. Ruangan itu mewah, sunyi, dan berbeda jauh dari yang biasa ia alami. Saat duduk di sofa empuk, ia masih mencuri-curi pandang, berusaha menyembunyikan rasa kagumnya.Mencoba mencairkan suasana, Alisha bersuara ringan, setengah bergurau, "Kupikir kita bakal naik jet pribadi ...." Ada senyum kecil yang menggantung di bibirnya.Zayden hanya menoleh sekilas, ekspresinya tetap datar seperti biasa. "Kamu baca itu dari novel lagi?" tanyanya santai, "Atau hasil dari nonton drama seri?"Alisha terkekeh pelan, menikmati percakapan ringan ini, karena sejak tadi pria itu terkesan seperti menghindarinya.Sejenak hening. Lalu, dengan nada lebih pelan, setengah berbisik, Alisha bertanya lagi, "Eh, orang kaya tuh, kenapa sih suka naik private jet? Emang biar apa?"Zayden meliriknya sebelum menjawab tenang, "Privasi. Lebih tenang. Tidak tercampur dengan orang
Zayden membuka matanya perlahan, merasakan sesuatu yang berat di dadanya.Ia menunduk dan menemukan kepala Alisha masih bertumpu di sana, dengan tangan istrinya yang berada di atas perutnya, seolah enggan melepaskan dirinya.Senyum kecil melintas di sudut bibirnya — refleks yang bahkan tidak sempat ia tahan.Ia menatap jam di nakas. Dia cukup terkejut karena sudah nyaris pukul setengah delapan. Mengingat penerbangan mereka di jam 8.30, tentu hal ini tidak memungkinkan lagi mengejar penerbangan itu. Sekali lagi, Zayden bahkan tidur dengan sangat nyenyak!Kalau biasanya ia langsung bangkit dan bersiap, kali ini Zayden memilih tetap diam.Membiarkan waktu berhenti sejenak di antara mereka.Ia mengangkat satu tangannya perlahan, mengusap punggung Alisha dengan gerakan kecil yang penuh kehati-hatian, seolah takut membangunkan istrinya itu."Tidur saja sedikit lagi," bisiknya nyaris tanpa suara, walau ia tahu Alisha mungkin tak mendengarnya.Untuk sesaat, dunia di luar sana — pekerjaan, tang
Malam itu, suasana kantor sudah lengang. Hanya suara detik jam dinding yang menemani Zayden yang masih duduk di belakang mejanya, menatap kosong ke arah layar laptop yang sebenarnya sudah lama ia abaikan.Pintu ruangannya diketuk perlahan, sebelum kemudian Arsel masuk dengan membawa beberapa berkas."Tuan," sapa Arsel, menundukkan kepala sedikit sambil menyerahkan map berisi laporan-laporan tambahan yang sudah ia lengkapi tadi.Zayden mengangguk singkat, menerima map itu tanpa banyak bicara.Namun, Arsel tak langsung pergi. Ada kerutan samar di dahinya. Ia melirik sekilas ke arah jendela gelap yang memperlihatkan bayangan lampu kota, sebelum memberanikan diri bertanya, "Kenapa Tuan belum pulang ke rumah?"Pertanyaan itu dibiarkan menggantung di udara.Zayden hanya menghela napas panjang sebagai jawaban, pandangannya tak beralih dari map di tangannya. Tak ada niat sedikit pun untuk membuka percakapan lebih jauh.Arsel tentu saja tahu batasannya. Jika tuannya sudah bersikap seperti itu,