Saat tiba di kediaman orang tuanya, Zayden bahkan belum sempat duduk sebelum suara tegas ibunya langsung menyambut.
“Zayden! Sini, Mama mau bicara.” Zayden menghela napas. Dia mengikuti ibunya ke ruang keluarga, duduk, lalu berkata, “Kalau ini tentang ‘wanita itu’, bisa kita tunda dulu? Aku lelah.” “Zayden, tidak sopan memanggilnya ‘wanita itu’ terus! Beri tahu Mama namanya!” Seperti yang sudah Zayden duga. Sang ibu benar-benar menanyakan soal Alisha. Tidak ingin memperpanjang masalah, akhirnya Zayden menjawab dengan nada datar, “Alisha Gayatri.” Mata Martha berbinar. “Jadi namanya Alisha, ya?” Nada bicaranya melembut saat menyebut nama wanita yang ia bayangkan akan menjadi calon menantunya. Wanita itu cantik, dengan wajah manis yang sulit dilupakan. “Namanya cukup bagus,” puji Martha, membuat Zayden diam-diam memutar bola mata. “Lalu, bagaimana latar belakang keluarganya? Dia anak ke berapa? Orang tuanya bekerja di mana?” “Dia tidak punya orang tua. Keluarga juga tidak ada.” Seketika Martha mengerutkan kening, lalu menatap putranya tajam. “Maksudmu dia yatim piatu?” “Bisa dibilang begitu.” “Lalu dia tinggal di mana saat ini?” Zayden menyandarkan tubuhnya ke sofa, mengulur waktu sebelum akhirnya menjawab, “Dia tinggal sendiri. Di apartemen biasa.” Detik itu juga, Dewi tertegun. Wajahnya yang tadi cerah langsung diselimuti awan mendung. Melihat ekspresi sang ibu yang berubah, Zayden mengangkat alis kanannya. Sepertinya, ini adalah sebuah kesempatan. Kalau memang ibunya tidak menyukai Alisha, maka kekonyolan ini tidak akan berlanjut. Dengan kata lain, Zayden bisa bebas sementara dari permintaan orang tuanya untuk menikah! “Dari awal, banyak yang berkata aku dan Alisha tidak sepadan, terutama saat melihat latar belakang keluarga kita,” ucap Zayden, memulai sebuah drama dengan berpura-pura ragu dan kesulitan. “Namun, aku tetap jatuh hati padanya.” Kalimat Zayden membuat mata Martha menyipit, kentara ada konflik dalam dirinya. Menangkap hal tersebut, Zayden tersenyum dalam hati. Bagus. Sang ibu mulai bimbang. Kalau begitu, ini saat yang tepat baginya untuk mengakhiri semuanya! “Tapi kalau memang Mama tidak setuju… sebagai anak, aku hanya bisa mengikuti permintaan Mama dan memutus hubungan dengannya. Mengenai anak itu, aku akan mencari solusi dengannya nanti dan bicara lagi dengan Mama.” Hening. Sejenak, wajah Martha tak terbaca, dan hal itu membuat Zayden menduga-duga. Akan seperti apa balasan akhir sang ibu. Detik berikutnya, Martha menghela napas panjang. “Kamu benar. Akan ada banyak orang yang menganggap rendah Alisha.” Zayden tersenyum, sudah dia duga kalau sang ibu tidak akan— “Tapi tidak dengan keluarga kita.” Zayden menegang. Apa?! “Selama kamu benar-benar cinta, maka kalian harus bersama dan menikah! Mama akan pastikan itu!” Sial. Tidak. Ini bukan yang Zayden rencanakan! “Ma, aku—" “Tenang, Zayden!” potong Martha dengan semangat. Matanya agar berkaca-kaca. “Kalau selama ini kamu menyembunyikan hubunganmu dengan Alisha karena khawatir dengan pendapat Papa, kamu tenang saja. Mama akan membujuknya!” Zayden membesar. Siapa yang bilang dia menyembunyikan hubungan karena khawatir pendapat sang ayah? Dianggap menyimpang saja dia tidak peduli, apalagi soal orang lain! Martha menghapus air mata harunya yang sempat luruh. Kemudian, dia menggenggam tangan Zayden. “Kebetulan besok ada acara keluarga di rumah Bibimu, ajak Alisha ke sana dan perkenalkan dia kepada keluarga besar sebagai calon istrimu, oke?!” “Ma, tapi—” “Sudah, kamu jangan takut, Mama akan dukung kamu!” potong Martha cepat seraya langsung berdiri. “Sekarang juga, Mama akan telepon Papa! Sedangkan kamu… segera hubungi Alisha. Besok, kamu harus hadir bersamanya!” Dia berhenti sesaat sebelum akhirnya menambahkan, “Kalau tidak, kamu akan berada di kantor cabang selamanya.” Usai mengatakan semua itu, Martha pun meninggalkan ruang tamu menuju kamar tidurnya. Melihat kepergian sang ibu, Zayden mengepalkan tangannya kuat. ‘Kenapa ini malah semakin buruk?!’ gerutunya dengan wajah frustrasi. Memang, Zayden sudah memutuskan untuk bekerja sama dengan Alisha, tapi kalau bisa mencari jalan keluar lebih mudah dengan tidak menikah, itu akan lebih baik. Oleh karena itu, dia mencoba menggunakan situasi latar belakang Alisha agar sang ibu yang sangat memikirkan reputasi berpikir dua kali tentang pernikahan ini. Akan tetapi, siapa yang menduga wanita itu sama sekali tidak peduli?! Menyandarkan kepalanya ke sofa, Zayden menutup wajahnya dengan satu tangan dan menghela napas. “Hah … Alisha, Alisha … kamu memang bencanaku!” ** Di sisi lain, Alisha baru saja tiba di rumahnya setelah hari yang melelahkan. Dia merebahkan diri di tempat tidur, mencoba memahami kembali apa yang baru saja terjadi dalam hidupnya. Kenapa tiba-tiba hidupnya seperti plot drama absurd? Alisha menutup mata sejenak, tapi suara notifikasi ponselnya menyadarkannya. Pesan dari nomor tak dikenal. [Besok malam ikut aku ke pertemuan keluarga. Aku baru mentransfer uang ke akun bankmu, pergunakan dengan baik.] Alisha langsung tahu siapa pengirimnya. Detik berikutnya, notifikasi dari bank muncul. [Kredit masuk: Rp50.000.000] “Lima puluh juta?!” Mata Alisha membelalak, lalu tanpa sadar senyuman lebar muncul di wajahnya. . “Punya big boss baik hati memang beda!” celetuknya bahagia. “Tenang saja, Pak Bos! Akan kugunakan dengan baik!” Baru saja ingin mengirimkan pesan balasan, tiba-tiba satu pesan lagi masuk dari Zayden. [Besok tidak perlu masuk kerja. Pakai uang yang saya berikan untuk cari pakaian yang layak dan berdandan dengan rapi. Sebelum pukul 5 sore, datang ke tempat ini.] Pesan itu diikuti dengan pin lokasi. Alisha mengernyit. Tempat itu adalah kompleks perumahan elite, tempat di mana dulu dia pernah diusir karena suatu hal. Pengamanannya sangat ketat. Masuk ke sana tidak semudah hanya meninggalkan kartu identitas, harus ada undangan dari pemilik rumah yang terdaftar dalam sistem keamanan. Alisha menghela napas panjang sebelum mengetik balasannya. [Pak, cara saya masuk ke sana gimana? Komplek itu perlu izin khusus, ‘kan?] Namun… Sepuluh menit. Satu jam. Bahkan sampai keesokan paginya Alisha mengecek ponselnya, tetap tidak ada balasan dari Zayden. “Ck! Dia apa-apaan, sih?!” gerutu Alisha seraya melempar ponselnya ke tempat tidur. Semalaman, Alisha bergadang untuk menyelesaikan pekerjaan sampingan yang dia miliki sebagai pembuat konten video promosi. Oleh karena itu, sekarang dia sangat lelah dan emosinya menjadi sedikit tidak stabil. Kalau memang Zayden tidak memberikan balasan padanya, maka Alisha juga tidak akan melakukan apa pun! Di sela kekesalannya, Alisha melirik jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Kemudian, dia tersenyum penuh arti. “Dia sendiri yang bilang aku boleh tidak masuk kantor, ‘kan? Kalau begitu, aku mau tidur!” ucapnya ke arah ponsel yang masih belum menerima balasan. “Kalau mau menyalahkanku karena telat ke lokasi pertemuan, salahkan diri sendiri karena tidak balas pesan!” imbuh Alisha sembari menarik selimut dan langsung membenamkan diri di kasur. Namun, di tengah tidurnya, Alisha mendengar suara ponselnya berdering nyaring! Dengan malas, dia meraba tempat tidur, meraih ponsel, dan menjawab tanpa melihat siapa yang menelepon. “Halo .…” suaranya masih serak karena baru bangun tidur. Tapi suara di seberang terdengar sangat dingin dan tajam. “Kamu sudah sampai mana?” Alisha mengerutkan kening. “Ini … siapa?” Tidak sopan sekali cara bertanyanya. “Alisha! Apa selain janji pertemuan kita, suara saya juga tidak bisa kamu ingat?!” Bentakan itu langsung membangunkan otak Alisha. Dia melihat layar, lalu wajahnya memucat. Oh, sial. Itu Zayden. Alisha yang tadinya masih malas-malasan langsung terduduk! “P-Pak Zayden!” “Sudah sadar kamu?” balas Zayden ketus. “I-iya, Pak. Maaf, saya baru saja bangun…” “Baru bangun?! Apa kamu sedang bermain-main dengan saya!?” Alisha menautkan alis. Kenapa sih pria ini terus marah-marah? Punya darah tinggi? “Kita ‘kan janjian sebelum jam 5, Pak …” balas Alisha selagi mengusap matanya. “Oh? Sebelum jam 5, ya?” ulang Zayden dengan amarah tertahan. Kemudian, pria itu meledak. “Lihat sekarang jam berapa!” Alisha kaget, lalu menoleh ke jam di dinding. Seketika, matanya membesar. Jarum jam menunjukkan nyaris pukul 5 sore! “AHH!!” Alisha menjerit panik seraya langsung turun dari tempat tidur. Sementara itu di seberang, Zayden menjauhkan ponselnya dari telinga. “Jangan teriak! Berisik!” geram Zayden, membuat Alisha yang kembali tenang langsung gemetaran. “M-maaf, Pak. S-saya kaget.” Sadar bahwa Alisha juga tidak sengaja, Zayden menggeram rendah dan bertanya, “Di mana kamu sekarang?!” pria itu membentak lagi. “Saya … di rumah, Pak…” jawab Alisha lirih. Dalam hati menambahkan, ‘Tadi ‘kan sudah bilang baru bangun. Masa iya aku tidur di jalan ….’ Namun, cepat-cepat dia menepis rasa kesal di hati dan berkata, “Jadi, gimana ini, Pak? Bapak jemput saya saja, ya ….” Zayden terdiam. “…Kamu memerintahku?” suara pria itu terdengar sangat berbahaya, membuat Alisha langsung waspada dan memutar otak sebelum Zayden kembali meledak. “Pak! Saya mau mandi dulu! Nanti saya kirimkan alamat apartemen saya! Makasih, Pak! Sampai ketemu nanti!” TUT! Dan sambungan pun terputus. Zayden menatap ponselnya, tangan mengepal keras. “Alisha Gayatri!!!!!!”Tepat saat jarum jam menunjuk ke angka lima, Alisha sudah keluar dari rumah dan menunggu di lobi apartemennya. Di sana, sebuah mobil hitam mewah sudah terparkir, kentara sedang menunggu seseorang.Perlahan, kaca pintu belakang mobil terbuka, dan sosok tampan Zayden yang hadir dengan jas hitam, muncul sembari menatap tajam dirinya. “Masuk,” titah pria itu, membuat Alisha menelan ludah.Masuk setelah dibukakan pintu oleh sang sopir, Alisha pun masuk dan duduk di sebelah Zayden. Di bibir, wanita itu tidak lupa memaksakan sebuah senyum ke arah Zayden.“Maaf, Pak, karena saya ketiduran, jadi merepotkan Bapak,” ucapnya berbasa-basi.Hanya mendengus dan tidak membalas, Zayden mengalihkan pandangan ke depan, pada sopir yang sudah kembali siap di depan kemudi. “Jalan,” perintahnya dengan nada rendah penuh tekanan.Tahu jelas bahwa Zayden sedang marah, Alisha pun memutuskan untuk bungkam. Dia tidak mau mencari-cari masalah dengan singa tidur itu.Namun, memang hidup tidak selalu berjalan sesu
Semua orang menoleh, lalu melihat seorang wanita muda bertubuh ramping dengan gaun ketat menghampiri. Rambut panjang bergelombangnya mencapai pinggang, dan wajahnya yang cantik tampak diselimuti keangkuhan.Ekspresi Zayden mengeras, dan dia langsung menarik Alisha mendekat ke sisinya, seakan melindungi wanita itu. “Jaga bicaramu, Tania,” balas Zayden dengan ekspresi gelap dan suara rendah yang mengancam. “Apa kamu sedang menghina calon istriku?”Diam-diam, Alisha cukup terkejut. Kalau bukan karena dirinya tahu mereka sedang bersandiwara, dia bisa mengira Zayden benar-benar perhatian padanya!Wanita bernama Tania, yang Alisha duga adalah sepupu Zayden, mengedikkan kedua bahunya. “Bukan menghina, Zay, hanya mempertanyakan aja,” ucapnya. “Tante Vivian tuh nggak salah loh. Dari dulu kami nggak pernah dengar kamu dekat sama wanita, tapi sekarang kamu tiba-tiba bisa bawa calon istri ke rumah, siapa sih yang nggak merasa aneh?”Semua orang mulai berbisik, merasa omongan Tania ada benarnya.
Bukan cuma Alisha yang berakhir terbengong, tapi seisi ruangan seolah membeku, terlebih lagi Vivian dan Tania. “Pa, Papa bilang apa? Hamil? Siapa yang hamil? Anaknya siapa?!” seru Vivian, sedikit terlalu panik untuk memproses pernyataan sang ayah. Henry menghela napas, seolah putrinya baru saja menanyakan sesuatu yang sangat jelas. Ia lalu melirik Alisha, ekspresinya berubah lembut, sebelum mengumumkan dengan lantang, “Alisha sedang mengandung anak Zayden, dan karena itu, mereka akan menikah secepatnya!” DUAR! Seolah granat meledak di tengah ruangan, semua orang langsung berseru dan berbisik-bisik. “Apa? Jadi, Zayden benar-benar punya pacar secara diam-diam dan tidak menyimpang?” “Pacarnya bahkan sudah hamil! Bagaimana dia bisa dirumorkan menyimpang?!” Melihat pernyataannya mengenai Zayden mulai tergeser, Tania yang masih tidak percaya dengan ucapan itu langsung berkata, “Kakek jangan mengada-ada. Mana mungkin Zayden menghamili wanita? Selama ini kita tahu dia ini kan menyimpang
‘Astaga, Alisha! Kamu benar-benar gila!!!’ Alisha berteriak panik dalam hati. ‘Harusnya Pak Bos gak marah, kan?!’ tambahnya lagi. ‘Ini demi akting agar sukses, kan?!!’ Alisha kemudian melihat ke dalam mata Zayden yang saat ini tubuhnya sedikit menegang. Namun, Zayden masih tidak bereaksi lebih. Hanya tatapan matanya yang semakin dalam, menyapu wajah Alisha yang kini bersemu merah.Alisha yang sadar kalau dia sudah kelewatan, berniat menarik dirinya mundur. Namun, tangan kanan Zayden tiba-tiba menahan tengkuknya, membuat Alisha tidak bisa bergerak. Lalu, pria itu memiringkan kepalanya sedikit, dan mulai membalas, bahkan memperdalam ciuman mereka!‘Apa yang–!’Protesnya hanya tersangkut di tenggorokan ketika kehangatan yang menguar dari bibir pria itu mulai melumpuhkan kewarasannya. Sensasi itu mengalir deras, merampas akal sehatnya. Ia ingin berontak. Harusnya berontak. Tapi sial! Tubuhnya justru berkhianat. Ia larut dalam ciuman yang menuntut, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Pertanyaan Zayden yang tiba-tiba terlontar membuat Alisha membeku. Wanita itu menoleh cepat dengan bingung.“Hah?” Alisha tak bisa menyembunyikan sedikit rasa tersinggungnya.Zayden meliriknya sekilas, lalu berkata, “Apa aku salah?” Pria itu mendengus dingin dan menambahkan, “Berani menciumku di depan banyak orang seperti itu, kentara sekali kamu sangat profesional dan berpengalaman dalam hal ini, bukan begitu?” tanyanya. “Berapa banyak pria yang sudah kamu cium?”Mendengar kalimat Zayden dan juga nada bicara pria itu yang seakan merendahkan, membuat Alisha merasa emosinya membumbung tinggi.Kalau bukan karena dirinya terikat perjanjian untuk membantu Zayden, dan juga merasa kasihan dengan betapa pria itu disalahpahami, apa pria itu pikir Alisha akan nekat menciumnya!?Namun, Alisha tahu marah tidak ada gunanya, terutama karena bosnya ini adalah kulkas berjalan. Alhasil, dia hanya menjawab singkat, “Itu ciuman pertama saya.”CIIIT!“Aduh!”Rem yang diinjak kencang secara mendadak memb
“Ugh … aku kayaknya bisa mati muda deh …” gumam Alisha setengah menggeram selagi membaringkan kepalanya di atas meja kantor.Walau pagi ini dia mendapatkan tugas kantor yang lebih banyak dari biasanya, tapi Alisha tidak bisa fokus mengerjakan apa pun. Semua itu karena benaknya terus kembali ke percakapannya dengan Zayden di malam yang lalu.“Apa maksud Bapak pernikahan sesungguhnya? Bapak nggak berniat bercerai dengan saya setelah menikah?!” tanya Alisha malam itu.“Pernikahan bukan permainan. Orang waras mana yang akan menikah dan cerai semudah itu?” balas Zayden dengan wajah datarnya. Padahal, dia sendiri menawarkan pernikahan kepada orang tak dikenal hanya karena terpojok situasi!“Tapi–”“Pokoknya, saya nggak berniat menceraikan kamu setelah menikah. Kalau kamu keberatan, bisa saja kita batalkan semuanya, tapi kamu tetap saya pecat dan …” sebuah seringai terlukis di wajah Zayden, “...nanti kamu akan bermasalah dengan keluarga Wicaksana.”Mengingat pernyataan Zayden membuat Alisha m
“Pengidap HIV?” Zayden tampak menautkan alis usai mendapatkan laporan lengkap dari asisten pribadinya. Setelah rapat panjang dengan beberapa petinggi perusahaan, Zayden ingin bicara langsung dengan Alisha mengenai rencana mereka selanjutnya. Akan tetapi, wanita itu malah meninggalkan perusahaan begitu saja dan pergi ke rumah sakit. Awalnya, Zayden ingin marah. Akan tetapi, begitu mendengar informasi yang Arsel dapatkan dari beberapa rekan kerja Alisha, pria itu mendapatkan kenyataan bahwa Alisha memiliki adik yang dirawat di rumah sakit. Kebetulan, rumah sakit tersebut milik keluarga Zayden dan dikelola oleh kakak tertuanya, Raka Wicaksana, jadi Arsel bisa melakukan investigasi dengan mudah mengenai adik Alisha ini. Dan yang mengejutkan adalah … adik Alisha, Nariza, yang baru menginjak umur 22 tahun, ternyata adalah salah satu pasien HIV. Zayden merasakan sesuatu yang aneh merayap di dadanya. Tidak nyaman. Namun, alih-alih memikirkan rasa itu lebih jauh, dia malah mengajukan per
Di depan ICU, dari balik dinding kaca, mata Alisha sedang tertuju pada sosok yang terbaring di atas tempat tidur. Nariza. Dengan rambut panjang hitamnya yang terurai dan tubuh kurus yang tampak lunglai, Nariza tertidur di bawah efek sedasi. Wajahnya tenang, tapi terlalu pucat, membuat sesuatu dalam dada Alisha tersayat perih. Sejak kecil, Alisha tidak pernah tahu siapa orang tuanya. Dia dibuang di panti asuhan, tumbuh besar di sana tanpa kasih sayang ayah maupun ibu. Hanya ada ibu panti yang menjadi satu-satunya penyokongnya. Di tempat itu, banyak anak terbuang seperti dirinya—dititipkan karena ketidakmampuan ekonomi orang tua, lahir dari keluarga yang tidak utuh, atau korban kekerasan rumah tangga. Dan Nariza… Dialah satu-satunya yang benar-benar serupa dengan Alisha. Tidak ada yang tahu siapa orang tua kandungnya. Tidak ada nama. Tidak ada asal-usul. Nariza ditemukan begitu saja di teras panti, hanya dibungkus kain lusuh, dengan tali pusar yang masih belum lepas dar
Di dalam kendaraan yang membawanya pulang kembali ke kantor Zayden mengirimkan pesan singkat itu pada Alisha, dan tidak berselang lama, wanita itu membalasnya.[“Baiklah! Sore nanti pulang kantor aku akan pergi ke rumah sakit dulu untuk menjenguk Nariza.”]Hanya saja Zayden membacanya dengan wajah datar dan tanpa ekspresi berarti.“Tuan, untuk pengerjaan interior apartemen Anda bisa diselesaikan seluruhnya dalam waktu dua hari lagi dan paling lama bisa tiga hari lagi.” Ucapan Arsel barusan membuat Zayden mengalihkan perhatiannya dari ponsel itu dan segera memasukkan benda pipih itu ke dalam sakunya.“Tidak masalah, yang jelas kamar untuk Nariza selesaikan lebih cepat, karena dokter yang merawatnya mengatakan padaku kalau anak itu sudah bisa pulang besok.” Zayden berkata dengan tenang.“Untuk kamar, sudah saya katakan pada pemborong untuk mempercepatnya, kemungkinan hari ini semuanya sudah rampung.” Arsel langsung memberikan keterangannya.Zayden mengangguk singkat. “Alisha … apa dia a
“Apa kamu bilang?!”Zayden mengembuskan napas dalam sambil menggeleng pelan, seolah menertawakan sesuatu yang hanya bisa ia mengerti. Senyumnya mengembang tipis, nyaris mengejek, namun tak sepenuhnya dingin. Ia menatap Alisha dengan ekspresi geli. Lagipula, apa yang dalam pikiran Zayden tentu saja berbeda dengan Alisha.“Alisha, sudah kukatakan ini tidak sesederhana itu,” ujarnya tenang, matanya menelusuri wajah polos Alisha yang masih penuh rasa penasaran.‘Tentu saja tidak sederhana… karena kamu tidak suka wanita!’ seru Alisha dalam hati. Tapi dia menahan diri untuk tidak mengatakannya. Ia tidak ingin menyakiti Zayden atau membuatnya merasa tersudut dengan ‘kelainannya’.“Aku hanya mengatakan hal yang paling mungkin saja, lagi pula alasan nenekmu tidak suka denganku sangat logis, karena aku ini bukan siapa-siapa. Seharusnya yang menjadi pendampingmu setidaknya orang yang satu level dan satu lingkungan dengan keluargamu.” Alisha mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya kepada Zayde
Sudah hampir pukul setengah satu malam, tetapi Alisha masih betah berlama-lama di lantai bawah. Tangannya sibuk merapikan barang bawaan dan menata belanjaannya, meski sebenarnya pekerjaan itu bisa selesai jauh lebih cepat. Namun, dia sengaja memperlambat gerakannya—berpura-pura sibuk demi menghindari satu hal: menatap mata Zayden. Sejak insiden tadi, tubuhnya terasa panas dingin, dan jantungnya tak berhenti berdebar.“A-apa yang kamu lakukan barusan?” Suara Zayden terdengar datar saat itu, namun cukup untuk memecah keheningan yang sempat tercipta karena ulahnya itu. Nada terkejutnya begitu jelas, sama bingungnya dengan apa yang dirasakan Alisha.Alisha jelas panik. “Itu tadi … cuma ungkapan terima kasih! Iya, terima kasih aja!” jawabnya tergagap, tak berani menatap wajah pria itu. Wajahnya sudah memerah karena malu. Tanpa berpikir panjang, dia segera berbalik dan menjauhi Zayden, sibuk dengan barang-barang miliknya yang diletakkan oleh Zayden di ruang tengah.‘Alisha kamu benar-benar g
Alisha berkedip pelan, matanya masih berat oleh kantuk. Tapi ada sorot aneh di matanya—bukan sepenuhnya sadar, tapi cukup membuat Zayden menahan napas. Tatapan itu ... seperti menggambarkan sesuatu yang seharusnya tak tertangkap. Seperti mendengar bisikan yang tak ditujukan untuknya. “Kamu …,” gumam Alisha, suaranya serak dan pelan, seolah hendak mengulang potongan kalimat yang baru saja melayang di telinganya. Zayden membeku. Mata Alisha menatap lurus ke arah Zayden. “Kamu bilang aku pasti melin—” Tok! Panik singkat membuat Zayden tanpa pikir panjang menyentil kening Alisha dengan sedikit keras. “Aw!” Alisha meringis pelan, tangannya spontan menutup keningnya yang memerah. “Apa-apaan sih?!” protesnya dengan wajah kesal, matanya kini terbuka lebar karena rasa nyeri di keningnya akibat sentilan yang dibuat oleh zayden barusan. Zayden pura-pura bersikap santai, padahal jelas gugup. Ia mengangkat bahu, acuh. “Kamu mengigau, jadi aku bantu bangunin. Daripada kamu mimpi bica
Begitu duduk di dalam mobil, Alisha memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan lewat mulut. “Hmm... lumayan lega,” gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri akibat dari tekanan yang dia terima dari nenek Zayden tadi. Tapi ketenangannya hanya bertahan sekejap. Saat membuka mata dan melihat ke arah Zayden—pria itu melihatnya dengan sorot mata gelap penuh tekanan—tubuhnya spontan berlonjak karena terkejut. “Ya ampun! Kaget tahu! Muka kamu serem banget kayak ib ….” sadar kalau mulutnya nyaris melakukan kesalahan Alisha langsung merapatkan bibirnya dan tidak meneruskan kalimatnya. “Apa?” Zayden berkata dengan nada dingin. “Mau mengatakan aku ini seperti iblis?” lanjut pria itu lagi. “Itu ….” Alisha langsung menunduk dan memainkan ujung-ujung jarinya, karena merasa bersalah sudah keterlaluan bicara dengan bahasa yang tidak pantas pada atasanya dan juga ‘suami’-nya itu. “Atau … mau mengatakan kalau kamu tidak suka wajah dinginku karena terlihat sepe
Suasana mendadak hening sejenak sesaat setelah Helena mengatakan hal itu. Helena mengundang Alisha untuk makan malam di rumahnya? Hal ini jelas membuat Zayden menatap Helena dengan cukup dalam. “Mengenalnya lebih dalam?” pertanyaan yang keluar dari mulut Zayden ini terkesan sangat dingin sekali.Helena mengangguk memastikan. “Tidak perlu mengenalnya lebih dalam, lagipula bukankah Anda punya pekerjaan yang lebih penting daripada sekedar mengurusi masalah pernikahanku ini.” Zayden jelas menolak perintah Helena tersebut.Akan tetapi Helena tersenyum tipis dan melihat ke arah Alisha dengan tatapan yang cukup tajam.“Alisha kan namamu?” Helena berkata pada Alisha.Alisha mengangguk pelan, saat mata tajam Helena tertuju padanya.“Aku mengundangmu ke kediamanku besok. Seharusnya, kamu tidak menolak ajakan dari tetua keluarga besar suamimu, kan?” Pertanyaan itu terdengar sedikit menekan.Zayden kembali ingin menjawab, hanya saja Alisha mengeratkan genggaman tangan mereka untuk membuatnya dia
Helena Wijaya, satu-satunya pewaris tunggal keluarga Wijaya. Pernikahannya dengan Henry Wicaksana-kakek Zayden-putra dari keluarga Wicaksana membuat bisnis kedua keluarga ini kian membesar. Insting bisnisnya cukup kuat, dan keputusan yang dia buat nyaris tidak pernah meleset. Dia tidak kalah hebat dengan suaminya dalam membesarkan bisnis mereka, hanya saja sejak beberapa bulan yang lalu, kondisi kesehatan Henry mengalami penurunan hingga akhirnya membuat Helena harus menetap sementara di luar negeri demi memastikan semuanya tetap berjalan stabil—baik bisnis, maupun kesehatan sang suami. Kini, di ruang yang sama, Alisha saat ini sudah duduk di samping Zayden. Tangan pria itu masih menggenggam tangan Alisha erat, seolah tak ingin melepaskannya. Akan tetapi, perhatian Alisha teralih bukan pada genggaman itu, melainkan pada interaksi diam-diam yang terjadi antara Zayden dan Helena. Ada sesuatu yang terasa janggal. Apalagi ketika Zayden menyapa neneknya dengan sebutan formal—“Nyonya
Zayden mendadak terdiam. Rahangnya mengeras, dan seulas senyum masam terbit di wajahnya, lebih mirip seringai kecut daripada tawa. Sorot matanya meredup sejenak, seolah menahan sesuatu yang tidak ingin ia ungkap. Ada kilatan tidak suka di matanya, meski mencoba menutupinya dengan sikap acuh. “Jangan banyak tanya,” ujarnya akhirnya, nada suaranya datar namun mengandung tekanan. “Makan saja. Nanti kamu akan tahu sendiri.” Mendapatkan respons yang seperti itu dari Zayden mendadak Alisha tersadar akan sesuatu. ‘Mana mungkin juga Zayden punya pacar, kan? Bukannya dia ini menyimpang!’ Alisha lalu melanjutkan makannya dengan cukup santai sambil menertawai canggung kebodohannya yang berkata hal itu pada Zayden. Namun, jauh di dalam lubuk hati Alisha, ada perasaan tidak enak. Kalau bukan persoalan mantan pacar, maka … kiranya siapa yang mampu membuat Zayden mengeluarkan ekspresi seperti itu? *** Sepanjang perjalanan mereka tidak terlibat percakapan yang cukup serius, pun Alisha
Daripada bertanya maksud Zayden, Alisha lebih tertarik untuk tahu tentang pria itu.“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya hati-hati.Zayden kembali duduk tanpa menjawab, pandangannya kosong. Jemarinya menaut di atas meja. Alisha bisa melihat betapa pria itu sedang menahan sesuatu. Sesuatu yang besar.Setelah pelayan mengantarkan pesanan makanan mereka yang terakhir, akhirnya Zayden berkata, “Besok, aku akan pergi lebih pagi, aku akan ke rumah mama lebih dulu.” Rasa penasaran ini makin menjadi-jadi hingga akhirnya Alisha tidak tahan untuk bertanya tanpa basa-basi lagi. “Kuperhatikan sejak mendapatkan telepon tadi, kamu menjadi gelisah, apa aku boleh tahu siapa yang menghubungimu?” Zayden menghentikan gerakan tangannya yang akan menyuapkan makanannya ke dalam mulut. Terlihat seperti sedang berpikir. “Itu bukan apa-apa,” jawabnya singkat, tetapi jelas saja itu tidak membuat Alisha puas.Wanita itu terlihat mendesah berat dan meletakkan sendok dan garpunya. “Bukan apa-apa tapi wajahmu kentara s