Sebuah takdir tentang pertemuan, luka dan penantian. Tak ada yang lebih mengetahui rahasia takdir melainkan Sang penulis takdir itu sendiri. Ini kisah mengenai persimpangan takdir antara 3 anak manusia. Lintang Kiani Ardiyanti, seorang copy writing yang memiliki trauma masa lalu tentang cinta. Sesuatu yang membuat dia percaya bahwa cinta tidak pernah tercipta untuk dirinya. Dari dikhianati oleh pasangan di saat sebuah janji ikatan hampir tersemat, hingga takdir yang sempat mempertemukannya dengan orang yang dirasa tepat, tetapi justru takdir itu sendiri yang merenggut dari sisinya. Ghazi Al-Aqsa, seorang santri yang sedang dalam masa akhir pengabdian, diutus oleh pihak pesantren untuk syi'ar selama setahun penuh di daerah lereng gunung pulau jawa bagian timur. Pria berdarah bugis-jawa dengan tubuh proporsional dan wajah yang sulit untuk tak mengundang perhatian. Perjalanan dakwah ternyata tak semudah yang dibayangkan, banyak hambatan yang harus dia lalui. Mulai dari sikap para warga yang masih saklek dengan adat yang ada, hingga hatinya sendiri yang sulit mengendalikan rasa. Zubair Akhtar Al-Barraq, sebenarnya masih memiliki silsilah dari keluarga yang sama dari garis kakek dari Ayah Lintang. Perpisahan adalah sisi lain dari pertemuan, jarak dan waktu membuat hubungan keduanya semakin berbeda. Akhtar terlihat semakin dingin dan kaku sejak berada di pesantren. Seolah Lintang adalah orang yang begitu asing baginya, tetapi Adib sang kakak beserta ibunya, tidak beranggapan begitu. Akhtar adalah sosok yang hangat dan penuh perhatian. Ada apa dengan kakaknya? Mengapa dia beranggapan begitu? Akhtar diam-diam selalu mengawasi Kiani dari tempat yang tak pernah dilihat oleh siapa pun, janjinya dengan Sang paman, ayah Kiani saat dia hendak berangkat ke Turki dulu. Dapatkan Lintang menemukan cinta dalam hidupnya, berdamai dengan luka-luka yang becokol dalam hati? Berhasilkah Ghazi dengan misi dakwahnya atau hanya menggenggam sesuatu yang sia-sia? Apa yang tersimpan dalam hati Akhtar, akankah Kiani mengetahui? Ikuti terus kisahnya dalam Milky way on The Midnight Starlight
View More“Zi, Ghazi, ila aina?” Sebuah seruan terdengar di antara riuh rendah euforia kelulusan para santri Ma'had yang meluapkan kegembiraan atas kelulusannya. Suara yang berseru memanggil tadi milik seseorang yang selama sepuluh tahun terakhir sangat dekat denganku, bahkan seperti saudara. Dia Zainul, sahabatku sejak dari pesantren jenjang wustho dahulu di salah satu ponpes di Sulawesi tepatnya di sebuah desa bernama Enrekang.Ma'had Aly atau pesantren tinggi adalah sebuah lembaga pendidikan keagamaan yang jenjang pembelajarannya setara dengan kuliah strata satu di sebuah universitas. Jadi pada dasarnya, Ma'had Aly itu mirip seperti universitas atau sekolah tinggi, akademi dan semacamnya. Hanya saja, Ma'had Aly berkonsentrasi di bidang keagamaan dan fokus mencetak da'i-da'i muda yang berkompeten dan mampu menjawab tantangan zaman.“Sebentar, Nul. Ada sesuatu yang harus ana bicarakan sama Ustadz Faisal.” Aku menghentikan langkah lalu membalikkan badan,
Terkadang, rasa cinta itu memang harus disampaikan dengan cara yang paling menyakitkan. ~Milkyway on The Midnight Star~Bukankah rasa cinta itu anugerah paling besar yang diberikan Tuhan kepada makhluk-Nya. Maka sebuah anugerah tak akan pernah menjadi terlalu menyakitkan. ~Lintang Kiani~ ~○0○~“Wess, embuhlah, Tang. Sak karepmu! Angel pancen ngomong mbi awakmu iku.” Aku hanya terkekeh sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah temanku yang mulai hilang akal karena serangan virus merah jambu. Dasar cewek bucin.Sebuah rumah berpagar pohon teh-tehan yang mengitari halaman luas dengan sekumpulan tanaman bunga di sisi kiri yang tertata dibatasi kricak dan bebatuan yang melingkar memanjang, pohon buah yang kokoh dan menjulang, jambu air, mangga dan rambutan berdaun lebat di sisi kanan juga dibatasi oleh batu yang berjajar sedemikian rupa
“Mbak Lintang kenapa?” Seseorang bertanya pada salah seorang dari dapur yang hanya dijawab dengan mengangkat bahu, mata mereka kembali memperhatikanku.“Duh, kok merah gitu mukanya?” yang lain mulai menimpali.“Hish, kalian ngapain, sih? Aku gakpapa, buruan selesein beberesnya. Emangnya kalian mau semalaman di masjid, ha? Akusih ogah!” Setengah membentak kuperintahkan kepada kerumunan orang itu kembali pada pekerjaan masing-masing yang terbengkalai.Mereka bubar dengan gumaman menggerutu yang tak jelas arahnya. Aku tak peduli bahkan jika mereka merasa empati dengan sakitku, toh nyatanya mereka tak membantu banyak. Hanya memperhatikan sambil bergumam mengucap kata kasihan dan memasang wajah innocent yang memuakkan. Tak sedikit pun mengurangi rasa gatal, justru membuatku ingin memggaruki mereka satu demi satu menggunakan sapu lidi.“Ih, gakpapa akumah, Mbak, semalaman di dalam masjid. Nemenin Ustadz Aqsha.” Sa
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ Katakanlah, "Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Qs: Az-Zumar: 53) Seorang mubaligh muda membacakan penggalan ayat dalam Al-Qur'an dengan suara yang jernih dan fasih, alunan nadanya pun juga merdu. Baru kali itu aku melihat pemuda itu di sini, pantas saja pengajian malam ahad kali ini ramai sekali. Aku melongok ke depan mimbar dengan sedikit mendongakkan kepala, wajahnya tidak terlihat seperti penduduk desa sini atau desa-desa sebelah, sepertinya dia memang bukan penduduk sekitar sini. “Di, itu siapa, sih?” Tanganku masih sibuk membagikan snack kepada para jama'ah pengajian yang lumaya
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ Katakanlah, "Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Qs: Az-Zumar: 53) Seorang mubaligh muda membacakan penggalan ayat dalam Al-Qur'an dengan suara yang jernih dan fasih, alunan nadanya pun juga merdu. Baru kali itu aku melihat pemuda itu di sini, pantas saja pengajian malam ahad kali ini ramai sekali. Aku melongok ke depan mimbar dengan sedikit mendongakkan kepala, wajahnya tidak terlihat seperti penduduk desa sini atau desa-desa sebelah, sepertinya dia memang bukan penduduk sekitar sini. “Di, itu siapa, sih?” Tanganku masih sibuk membagikan snack kepada para jama'ah pengajian yang lumaya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments