Bukan cuma Alisha yang berakhir terbengong, tapi seisi ruangan seolah membeku, terlebih lagi Vivian dan Tania.
“Pa, Papa bilang apa? Hamil? Siapa yang hamil? Anaknya siapa?!” seru Vivian, sedikit terlalu panik untuk memproses pernyataan sang ayah. Henry menghela napas, seolah putrinya baru saja menanyakan sesuatu yang sangat jelas. Ia lalu melirik Alisha, ekspresinya berubah lembut, sebelum mengumumkan dengan lantang, “Alisha sedang mengandung anak Zayden, dan karena itu, mereka akan menikah secepatnya!” DUAR! Seolah granat meledak di tengah ruangan, semua orang langsung berseru dan berbisik-bisik. “Apa? Jadi, Zayden benar-benar punya pacar secara diam-diam dan tidak menyimpang?” “Pacarnya bahkan sudah hamil! Bagaimana dia bisa dirumorkan menyimpang?!” Melihat pernyataannya mengenai Zayden mulai tergeser, Tania yang masih tidak percaya dengan ucapan itu langsung berkata, “Kakek jangan mengada-ada. Mana mungkin Zayden menghamili wanita? Selama ini kita tahu dia ini kan menyimpang! Masa tiba-tiba bisa punya pacar? Hamil pula!” Mendengar pernyataan barusan membuat Alisha mengumpat kasar dalam hati. Pun kalau memang benar Zayden tidak menyukai wanita, apa tindakan Tania membeberkan aib keluarga sendiri di depan banyak orang, termasuk tamu keluarga, bisa dibenarkan?! Sungguh gadis kaya manja yang keterlaluan! Namun, Alisha yang masih memusingkan soal ketidakadilan yang diterima Zayden, langsung membeku begitu mendengar Vivian angkat bicara. “Apa kebenarannya sudah diperiksa?” kata tante Zayden itu. Suaranya terdengar manis, tetapi menusuk seperti belati. “Terlepas tuduhan Tania mengenai … preferensi Zayden, bukannya lebih bijak jika kita melakukan tes DNA? Kita harus memastikan anak dalam kandungan Alisha benar-benar milik Zayden, ‘kan?” Bisikan di ruangan langsung semakin riuh. “Benar juga, siapa tahu dia hamil dengan pria lain?” “Bisa hamil di luar nikah, pergaulannya pasti tidak terjaga.” Semua orang langsung memandang Alisha secara menusuk. Sebagian besar ada yang mempertanyakan kehamilannya, tapi lebih banyak yang merendahkannya karena hamil di luar nikah. Ingin rasanya Alisha menangis karena semua orang secara tidak langsung menyudutkannya. Akan tetapi, dia berusaha tenang. Alisha tidak akan membiarkan dirinya diinjak-injak begitu saja. Mengangkat dagunya, Alisha melirik ke sekeliling ruangan. “Tolong tenang sebentar.” Nada suaranya tetap lembut, tetapi penuh tekanan. Zayden yang dari tadi memerhatikan Alisha dengan waspada mulai bertanya-tanya, ‘Apa lagi yang ingin wanita ini lakukan?’ Namun, mengingat sejauh ini Alisha begitu cerdik, Zayden memutuskan untuk diam. “Sebenarnya, aku tidak hamil.” APA?! Semua orang langsung memasang wajah kaget, terutama Zayden yang ekspresinya berubah drastis. Rahangnya mengeras, dan ia langsung menarik tangan Alisha. “Alisha…” desisan pria itu terdengar seperti ular yang siap menerkam mangsa. “Apa sebenarnya yang ingin kamu katakan? Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau kamu hamil anak kita?” imbuhnya lagi dengan wajah yang sangat gelap, memperingatkan Alisha untuk kembali ke alur sandiwara yang disepakati. Namun, Alisha melirik Zayden, lalu wanita itu pun menunduk, ekspresinya memancarkan rasa bersalah bercampur malu seiring dirinya berkata, “A-aku … aku berbohong.” Wanita itu bersikeras, lalu menambahkan seraya memukul dada Zayden pelan. “Tapi aku berbohong karena dirimu juga, Zayden!” Semua orang terkejut. Kakek Zayden yang awalnya memancarkan ekspresi penuh harap, sekarang langsung memasang wajah kecewa berat. Dia mencengkeram tongkat jalannya kuat. “Jadi … d-dia … tidak hamil? J-jadi … Zayden benar-benar–” Pria tua itu tidak bisa berkata-kata. Di sisi lain, Tania tertawa keras. “Lihat ‘kan, Kek? Sudah kubilang wanita itu penipu yang disewa Zayden untuk berpura-pura!” ucapnya, membuat Vivian di sisinya ikut tertawa. Namun, saat semua orang hampir mempercayai tuduhan Tania, Alisha kembali berbicara. “Tidak! Bukan begitu!” Teriakan Alisha kembali terdengar, membuat semua orang kembali diam. “Satu-satunya alasan aku berbohong adalah … karena aku kira Zayden berselingkuh!” S-selingkuh?! Semua kepala langsung menoleh ke Zayden, yang kini tampak lebih tercengang daripada siapa pun di ruangan itu. “Dari dulu, aku meminta Zayden merahasiakan hubungan kami.” Alisha menunduk, suaranya terdengar lebih lirih dan menyentuh. “Aku takut latar belakangku yang sederhana tidak diterima oleh keluarga Wicaksana. Jadi, kami sepakat untuk menunggu sampai aku berhasil dalam karierku sebelum mengumumkan hubungan kami.” Dia kemudian melirik ke arah Zayden dengan tatapan menusuk. “Tapi … beberapa hari lalu, aku mendengar dari temanku bahwa Zayden pergi berkencan dengan wanita lain!” Suasana langsung berubah drastis. Tatapan tajam langsung mengarah pada Zayden. Zayden tampak kaku. Ini bukan pertama kalinya dia berada dalam situasi penuh tekanan, tetapi kali ini dia benar-benar tidak menyangka akan dituduh seperti ini. Alisha menggigit bibirnya, suaranya terdengar getir. “Aku kira dia dijodohkan dengan wanita lain … jadi aku nekat berpura-pura hamil untuk membatalkan perjodohan.” Wajahnya mulai memerah karena malu. “Tapi ternyata, wanita cantik yang sahabatku lihat sedang berkencan dengan Zayden … adalah Tante Martha, mama Zayden sendiri!” Satu detik. Dua detik. Tiga detik, dan…. “Ha ha ha ha ha!” Seisi ruangan meledak dalam tawa. Bukan hanya para tamu, tapi kakek Zayden, yang awalnya terlihat murka, kini ikut terbahak-bahak menertawakan akhir cerita yang konyol itu. “Astaga! Bagaimana bisa selucu itu!?” “Dia berbohong karena mengira Zayden berselingkuh?! Ha ha ha! Hebat, hebat!” “Jadi, Zayden sering menolak perjodohan dan sampai dikira menyimpang … juga karena permintaan pacarnya sendiri? A ha ha, konyol sekali!” Reaksi orang-orang yang langsung percaya dengan omongan Alisha membuat Zayden terperangah. Dia menatap wanita bertubuh mungil di sisinya itu, terpukau. ‘Wanita ini ….’ Merasa diperhatikan, Alisha menoleh dan pandangannya pun bertemu dengan Zayden. Wanita itu diam-diam tersenyum, lalu berbisik, “Lihat, aku hebat ‘kan, Pak Bos?” Zayden pun tak elak tersenyum, lalu membalas, “Hmm, hebat.” Balasan singkat Zayden dan juga senyuman pria itu membuat jantung Alisha berdetak kencang satu kali. Sial, bosnya ini memang tampan. Namun, di tengah suasana yang mulai ringan itu, sebuah suara kembali berucap, “Tidak! Tidak mungkin!” Alisha dan Zayden sontak menoleh, dan keduanya pun langsung memasang wajah suram. Lagi-lagi, yang memprotes adalah Tania. Dengan wajah yang kesal diselimuti amarah, Tania menuding Alisha. “Ceritamu itu pasti karangan saja! Kalau memang benar, mana buktinya!? Beda dari orang lain, aku tidak akan semudah itu percaya sebelum ada bukti!” Kegigihan Tania mulai membuat Zayden emosi, tapi sebelum pria itu berbicara, Alisha terlebih dahulu bersuara, “Bukti?” ulang Alisha. Dia menatap Tania lurus. “Kamu ingin bukti?” Tania sedikit tercekat. Dia sadar pandangan Alisha yang tadi terkesan lembut dan polos, mulai berubah menjadi agak mengintimidasi. Namun, Tania tidak bersedia kalah. “Ya, aku mau bukti! Coba berikan bukti padaku agar–” Belum sempat Tania menyelesaikan kalimatnya, tangan kanan Alisha langsung menarik dasi Zayden yang berdiri di sebelahnya, memaksa pria itu sedikit membungkuk ke arahnya, dan– CUP! Tubuh Zayden menegang seketika. Alisha sendiri membeku dalam posisinya, menyadari sepenuhnya bahwa bibirnya benar-benar menempel pada bibir pria yang seharusnya adalah atasannya itu! Ya, Alisha mencium Zayden di depan semua orang, membuat seisi ruangan membeku dalam keterkejutan!‘Astaga, Alisha! Kamu benar-benar gila!!!’ Alisha berteriak panik dalam hati. ‘Harusnya Pak Bos gak marah, kan?!’ tambahnya lagi. ‘Ini demi akting agar sukses, kan?!!’ Alisha kemudian melihat ke dalam mata Zayden yang saat ini tubuhnya sedikit menegang. Namun, Zayden masih tidak bereaksi lebih. Hanya tatapan matanya yang semakin dalam, menyapu wajah Alisha yang kini bersemu merah.Alisha yang sadar kalau dia sudah kelewatan, berniat menarik dirinya mundur. Namun, tangan kanan Zayden tiba-tiba menahan tengkuknya, membuat Alisha tidak bisa bergerak. Lalu, pria itu memiringkan kepalanya sedikit, dan mulai membalas, bahkan memperdalam ciuman mereka!‘Apa yang–!’Protesnya hanya tersangkut di tenggorokan ketika kehangatan yang menguar dari bibir pria itu mulai melumpuhkan kewarasannya. Sensasi itu mengalir deras, merampas akal sehatnya. Ia ingin berontak. Harusnya berontak. Tapi sial! Tubuhnya justru berkhianat. Ia larut dalam ciuman yang menuntut, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Pertanyaan Zayden yang tiba-tiba terlontar membuat Alisha membeku. Wanita itu menoleh cepat dengan bingung.“Hah?” Alisha tak bisa menyembunyikan sedikit rasa tersinggungnya.Zayden meliriknya sekilas, lalu berkata, “Apa aku salah?” Pria itu mendengus dingin dan menambahkan, “Berani menciumku di depan banyak orang seperti itu, kentara sekali kamu sangat profesional dan berpengalaman dalam hal ini, bukan begitu?” tanyanya. “Berapa banyak pria yang sudah kamu cium?”Mendengar kalimat Zayden dan juga nada bicara pria itu yang seakan merendahkan, membuat Alisha merasa emosinya membumbung tinggi.Kalau bukan karena dirinya terikat perjanjian untuk membantu Zayden, dan juga merasa kasihan dengan betapa pria itu disalahpahami, apa pria itu pikir Alisha akan nekat menciumnya!?Namun, Alisha tahu marah tidak ada gunanya, terutama karena bosnya ini adalah kulkas berjalan. Alhasil, dia hanya menjawab singkat, “Itu ciuman pertama saya.”CIIIT!“Aduh!”Rem yang diinjak kencang secara mendadak memb
“Ugh … aku kayaknya bisa mati muda deh …” gumam Alisha setengah menggeram selagi membaringkan kepalanya di atas meja kantor.Walau pagi ini dia mendapatkan tugas kantor yang lebih banyak dari biasanya, tapi Alisha tidak bisa fokus mengerjakan apa pun. Semua itu karena benaknya terus kembali ke percakapannya dengan Zayden di malam yang lalu.“Apa maksud Bapak pernikahan sesungguhnya? Bapak nggak berniat bercerai dengan saya setelah menikah?!” tanya Alisha malam itu.“Pernikahan bukan permainan. Orang waras mana yang akan menikah dan cerai semudah itu?” balas Zayden dengan wajah datarnya. Padahal, dia sendiri menawarkan pernikahan kepada orang tak dikenal hanya karena terpojok situasi!“Tapi–”“Pokoknya, saya nggak berniat menceraikan kamu setelah menikah. Kalau kamu keberatan, bisa saja kita batalkan semuanya, tapi kamu tetap saya pecat dan …” sebuah seringai terlukis di wajah Zayden, “...nanti kamu akan bermasalah dengan keluarga Wicaksana.”Mengingat pernyataan Zayden membuat Alisha m
“Pengidap HIV?” Zayden tampak menautkan alis usai mendapatkan laporan lengkap dari asisten pribadinya. Setelah rapat panjang dengan beberapa petinggi perusahaan, Zayden ingin bicara langsung dengan Alisha mengenai rencana mereka selanjutnya. Akan tetapi, wanita itu malah meninggalkan perusahaan begitu saja dan pergi ke rumah sakit. Awalnya, Zayden ingin marah. Akan tetapi, begitu mendengar informasi yang Arsel dapatkan dari beberapa rekan kerja Alisha, pria itu mendapatkan kenyataan bahwa Alisha memiliki adik yang dirawat di rumah sakit. Kebetulan, rumah sakit tersebut milik keluarga Zayden dan dikelola oleh kakak tertuanya, Raka Wicaksana, jadi Arsel bisa melakukan investigasi dengan mudah mengenai adik Alisha ini. Dan yang mengejutkan adalah … adik Alisha, Nariza, yang baru menginjak umur 22 tahun, ternyata adalah salah satu pasien HIV. Zayden merasakan sesuatu yang aneh merayap di dadanya. Tidak nyaman. Namun, alih-alih memikirkan rasa itu lebih jauh, dia malah mengajukan per
Di depan ICU, dari balik dinding kaca, mata Alisha sedang tertuju pada sosok yang terbaring di atas tempat tidur. Nariza. Dengan rambut panjang hitamnya yang terurai dan tubuh kurus yang tampak lunglai, Nariza tertidur di bawah efek sedasi. Wajahnya tenang, tapi terlalu pucat, membuat sesuatu dalam dada Alisha tersayat perih. Sejak kecil, Alisha tidak pernah tahu siapa orang tuanya. Dia dibuang di panti asuhan, tumbuh besar di sana tanpa kasih sayang ayah maupun ibu. Hanya ada ibu panti yang menjadi satu-satunya penyokongnya. Di tempat itu, banyak anak terbuang seperti dirinya—dititipkan karena ketidakmampuan ekonomi orang tua, lahir dari keluarga yang tidak utuh, atau korban kekerasan rumah tangga. Dan Nariza… Dialah satu-satunya yang benar-benar serupa dengan Alisha. Tidak ada yang tahu siapa orang tua kandungnya. Tidak ada nama. Tidak ada asal-usul. Nariza ditemukan begitu saja di teras panti, hanya dibungkus kain lusuh, dengan tali pusar yang masih belum lepas dar
Mendengar omongan Zayden, Alisha langsung panik. Selama ini, Nariza memang lebih sering menghabiskan waktu di rumah sakit karena penyakitnya, tapi … bukan berarti dirinya tidak pernah tahu sama sekali mengenai kehidupan sang kakak. Lagi pula, hampir setiap hari mereka meluangkan waktu berbagi cerita tentang hari-hari mereka. Oleh karena itu, kalau Zayden mendadak datang dan memperkenalkan diri sebagai calon suami Alisha, Nariza pasti sadar ada yang salah, terlebih ketika tahu betapa anti dirinya terhadap pernikahan! Di sisi lain, kalau Zayden tahu mengenai Nariza, juga penyakit yang diderita gadis itu, bukankah ada kemungkinan bahwa masa lalu mereka yang kelam akan terbongkar. Dan kalau masa lalu itu terbongkar … apakah Zayden tetap akan menerima Alisha di kantor? Bukankah pria itu akan merasa telah melibatkan diri dengan seseorang yang merepotkan dan ada potensi membatalkan perjanjian mereka? Itu berarti Alisha akan kehilangan penghasilan dan tidak lagi bisa menyokong pengobatan
Berjalan berdampingan dengan Zayden menuju ruang ICU, Alisha hanya terdiam dengan kepala menunduk. Sesekali, dia mencuri lihat terhadap Zayden, memerhatikan apakah pria itu marah karena sudah dibohongi olehnya.Akan tetapi, Zayden hanya bersikap tenang dan tidak berbicara, seakan Alisha tidak pernah sedikit pun berdosa padanya.Menepis situasi Zayden yang jelas tahu dirinya sudah berbohong, dalam hati sejujurnya Alisha sedikit bingung karena satu hal lain. Kenapa suster tadi semudah itu memberikan informasi Nariza kepada Zayden? Berdasarkan aturan, bukannya seharusnya sang suster memastikan dulu identitas Zayden sebelum memberikan informasi apa pun? Kalau sembarangan memberikan seperti tadi, bukankah itu pelanggaran privasi?! Apa keamanan rumah sakit besar ini benar-benar tidak bisa dipercaya?!Namun, belum sempat mendapatkan jawaban atas pertanyaan dirinya sendiri itu, Alisha dikejutkan oleh suara rendah yang tiba-tiba berkata, “Wicare Medika adalah salah satu usaha keluarga Wicaksa
“Aku gak nyangka ternyata perjuangan Kak Zayden untuk mendapatkan Kak Al benar-benar luar biasa,” ucap Nariza dengan mata yang berkaca-kaca, dan suara yang masih terdengar lemah.Saat itu, Zayden baru saja selesai menceritakan tentang perjalanan ‘kisah cintanya’ dengan Alisha kepada Nariza, di mana memang Alisha mengatakan untuk tidak mengungkapkan hubungan mereka dulu dengan banyak orang, termasuk orang-orang terdekat.Hal ini tentu membuat Nariza terharu, apalagi Zayden menceritakan bagaimana dirinya tak peduli dianggap menyimpang oleh banyak orang, termasuk keluarganya sendiri.Duduk di kursi yang disediakan pihak rumah sakit, Zayden memasang wajah memelas dan berdongeng dengan suara lembut untuk Nariza, sesuatu yang membuat Alisha nyaris pingsan karena mengira bosnya kemasukan arwah orang lain.“Perjuanganku sama sekali bukan apa-apa. Tidak sebanding sedikit pun dengan perjuangan kakakmu mencapai titik karirnya yang cemerlang seperti sekarang,” balas Zayden dengan senyuman yang men
Alisha duduk diam, isi kepalanya terasa penuh dan sangat berisik, apalagi dia terngiang-ngiang kalimat sang nenek yang bertanya tentang masa lalu Zayden, ternyata itulah kenapa wanita itu terlihat skeptis saat Alisha mengatakan kalau semua orang memiliki masa lalu. Bukankah dia terlalu naif dan sombong dengan pernyataannya sendiri?Alisha kembali mengatur napasnya, agar bisa menjaga moodnya tetap baik, walau sebenarnya itu cukup sulit.“Al, apa kamu mendengarkanku?” tanya Yumi dengan suara pelannya.Yumi sudah yakin sejak awal, kalau Alisha pasti akan menyukai Zayden! Dia adalah Zayden, yang mana walaupun semua orang menghujatnya sebagai pria penyuka sesama jenis, tetap akan ada wanita yang berlomba berdiri paling depan untuk meraihnya, dan mengatakan kalau cinta bisa mengubah segalanya!“Alisha,” panggil Yumi lagi.“Ah, iya, Yum! Aku tidak apa-apa kok!” Lalu Alisha terkekeh ringan. “Kamu … yakin tidak apa-apa?” tanyanya Yumi dengan nada khawatir.“Tidak apa-apa kok!” Alisha masih te
Alisha masih berdiri terpaku, mencoba mencerna kata-kata pria itu.Membunuh?Siapa yang dibunuh? Maksudnya seseorang itu siapa?Atau jangan-jangan…Entahlah, dia tidak berani menebak-nebak, hanya saja, entah kenapa dia merasa kalau ada perasaan aneh mulai menyusup dalam hatinya. Ini sedikit berlebihan dan terasa seperti hal yang siap meledak.Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk keluar dari tempat itu dan menyusul Zayden. Dia menghubungi Zayden, hanya saja tidak ada jawaban. Saat mendatangi kamar Zayden, juga sama, tidak ada sahutan.“Apa … dia gak balik ke kamar ya?” gumam Alisha.“Ya kalo gak ke kamar dia pergi kemana?” tanya Alisha sambil berpikir keras. Kakinya berjalan tak kenal lelah melewati koridor hotel ini, lalu berakhir di lobi hotel. Melihat jam di pergelangan tangannya sudah pukul 4 sore.“Duh! Apaan sih, kayak anak kecil aja! Padahal tinggal angkat aja teleponnya kok susah sekali sih!” gerutu Alisha.Akhirnya dia mempunyai ide.Dia menghubungi seseorang dengan harapan
Zayden masih diam. “Masih tidak mau cerita ya?” Alisha terkesan sedikit memaksa. Zayden menarik napas dalam dan berkata, “Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak mencampuri urusan–” “Kalau kasusnya begini, jelas aku harus tahu, setidaknya ini melibatkanku sebagai istrimu. Kecuali kalau aku tidak ada di tengah-tengah kalian!” potong Alisha cepat dengan nada frustrasi. Entah kenapa susah sekali membuka mulut Zayden ini! SREET! Suara kursi tertarik mundur, Alisha berdiri dari tempat duduknya, berjalan mondar-mandir di sekitar kursinya dan kursi Zayden sambil menghela napas panjang. Sementara, Zayden masih di tempat yang sama, duduk membisu seperti patung, menatap lurus tanpa ekspresi. Alisha menghentikan langkahnya tepat di depan pria itu. Matanya menatap sebal, bibirnya manyun, dan kedua tangan dilipat di depan dada. “Ya sudah kalau kamu nggak mau cerita!” serunya dengan nada tinggi, bola matanya berputar malas. “Menyebalkan sekali! Nggak nenek, nggak cucu, sama-sama biki
Suasana sedikit menjadi dingin, dan … baru saja Helena akan bicara, bunyi ponsel Alisha terdengar nyaring. Dia diam sejenak menatap layar ponselnya.Zayden.Namun, Alisha membuatnya menjadi senyap dan meletakkan kembali ponsel itu di atas meja. Helena melihatnya dengan tatapan menyelidik.“Zayden pasti menghubungimu, kan?” tanyanya dengan nada datar.Alisha mengangguk. “Benar, Nek.” “Kenapa kamu tidak menjawabnya? Dia pasti akan sangat khawatir padamu.” Helena berkata pelan namun penuh penekanan.Hal ini membuat minat Alisha makin tinggi terhadap apa yang terjadi pada keduanya. Dia menyipitkan matanya dan memandang ke arah Helena dan berkata, “Khawatir? Kenapa Zayden harus khawatir, Nek? Aku bersama neneknya, kan? Tidak mungkin juga neneknya melakukan sesuatu padaku.” Memancing!Akan tetapi Alisha lupa kalau yang berada di hadapannya ini bukan orang sembarangan yang bisa diberdayakan begitu saja.Helena tersenyum sekilas lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.“Itu pikiranmu, kan? Berbe
Helena menatap Alisha tanpa berkedip. Sorot matanya tajam, menusuk hingga membuat Alisha tak kuasa mengalihkan pandangan."Aku ingin mendengarnya darimu, Alisha," Helena mengulang, suaranya kali ini lebih dalam, lebih menekan. "Apa kamu... benar-benar mencintai Zayden?"Ruangan terasa semakin hening. Seolah udara mendadak lenyap dari sekitar mereka.Alisha meremas ujung rok yang menutupi pahanya, berusaha mencari kekuatan untuk membuka mulut, tapi suaranya justru menghilang.Helena mengangkat satu alisnya, seakan tidak sabar menunggu. "Kalau kau ragu..." bisiknya, nyaris seperti sebuah ancaman tersembunyi, "sebaiknya kau berhenti sekarang sebelum kau membuat cucuku lebih terluka dari sebelumnya."Alisha tertegun.Seketika wajah Zayden melintas di benaknya—tatapan dinginnya, sikap acuhnya, perhatian kecilnya ... dan semua luka yang mungkin disembunyikan pria itu dari dunia, entah kenapa itu semua nampak nyata. Apalagi, sikap Zayden padanya beberapa hari terakhir ini, seolah-olah dia ad
Siang itu suasana terasa berbeda. Bahkan sikap Zayden ini membuat penilaian 180 derajat berbalik kepada Zayden. Sikap angkuh, sombong dan juga sok berkuasa langsung sirna begitu saja. Mereka melihat sisi lain yang dimiliki oleh Zayden.“Kebetulan calon klien kita yang akan kita temui ini ada halangan dan dia baru bisa bertemu di jam setengah delapan malam. Mereka juga sudah mengatur tempatnya, di hotel yang nanti kita tempati.” Zayden berkata dengan suara tegas dan penuh dengan wibawa.“Lalu, untuk masalah perusahaan dan penyelidikannya, juga bisa kita tunda untuk hari ini, karena saya mendapat informasi kalau tempat mereka tutup dan baru ada di hari Senin, jadi kemungkin untuk tim marketing, kita akan ada di sini sampai Senin malam.” Zayden berkata sambil melihat ke arah tim marketing yang duduk dekat Alisha.Mereka menganggukkan kepala pelan.“Selebihnya, siang ini, sebagai bentuk permintaan maaf saya, mari kita makan di restoran western yang katanya paling enak di kota ini.” Zayden
Sesampainya di bandara, proses check-in berlangsung cepat. Alisha menatap takjub ke sekeliling saat mereka melangkah masuk ke area VIP lounge. Ruangan itu mewah, sunyi, dan berbeda jauh dari yang biasa ia alami. Saat duduk di sofa empuk, ia masih mencuri-curi pandang, berusaha menyembunyikan rasa kagumnya.Mencoba mencairkan suasana, Alisha bersuara ringan, setengah bergurau, "Kupikir kita bakal naik jet pribadi ...." Ada senyum kecil yang menggantung di bibirnya.Zayden hanya menoleh sekilas, ekspresinya tetap datar seperti biasa. "Kamu baca itu dari novel lagi?" tanyanya santai, "Atau hasil dari nonton drama seri?"Alisha terkekeh pelan, menikmati percakapan ringan ini, karena sejak tadi pria itu terkesan seperti menghindarinya.Sejenak hening. Lalu, dengan nada lebih pelan, setengah berbisik, Alisha bertanya lagi, "Eh, orang kaya tuh, kenapa sih suka naik private jet? Emang biar apa?"Zayden meliriknya sebelum menjawab tenang, "Privasi. Lebih tenang. Tidak tercampur dengan orang
Zayden membuka matanya perlahan, merasakan sesuatu yang berat di dadanya.Ia menunduk dan menemukan kepala Alisha masih bertumpu di sana, dengan tangan istrinya yang berada di atas perutnya, seolah enggan melepaskan dirinya.Senyum kecil melintas di sudut bibirnya — refleks yang bahkan tidak sempat ia tahan.Ia menatap jam di nakas. Dia cukup terkejut karena sudah nyaris pukul setengah delapan. Mengingat penerbangan mereka di jam 8.30, tentu hal ini tidak memungkinkan lagi mengejar penerbangan itu. Sekali lagi, Zayden bahkan tidur dengan sangat nyenyak!Kalau biasanya ia langsung bangkit dan bersiap, kali ini Zayden memilih tetap diam.Membiarkan waktu berhenti sejenak di antara mereka.Ia mengangkat satu tangannya perlahan, mengusap punggung Alisha dengan gerakan kecil yang penuh kehati-hatian, seolah takut membangunkan istrinya itu."Tidur saja sedikit lagi," bisiknya nyaris tanpa suara, walau ia tahu Alisha mungkin tak mendengarnya.Untuk sesaat, dunia di luar sana — pekerjaan, tang
Malam itu, suasana kantor sudah lengang. Hanya suara detik jam dinding yang menemani Zayden yang masih duduk di belakang mejanya, menatap kosong ke arah layar laptop yang sebenarnya sudah lama ia abaikan.Pintu ruangannya diketuk perlahan, sebelum kemudian Arsel masuk dengan membawa beberapa berkas."Tuan," sapa Arsel, menundukkan kepala sedikit sambil menyerahkan map berisi laporan-laporan tambahan yang sudah ia lengkapi tadi.Zayden mengangguk singkat, menerima map itu tanpa banyak bicara.Namun, Arsel tak langsung pergi. Ada kerutan samar di dahinya. Ia melirik sekilas ke arah jendela gelap yang memperlihatkan bayangan lampu kota, sebelum memberanikan diri bertanya, "Kenapa Tuan belum pulang ke rumah?"Pertanyaan itu dibiarkan menggantung di udara.Zayden hanya menghela napas panjang sebagai jawaban, pandangannya tak beralih dari map di tangannya. Tak ada niat sedikit pun untuk membuka percakapan lebih jauh.Arsel tentu saja tahu batasannya. Jika tuannya sudah bersikap seperti itu,