Tepat saat jarum jam menunjuk ke angka lima, Alisha sudah keluar dari rumah dan menunggu di lobi apartemennya. Di sana, sebuah mobil hitam mewah sudah terparkir, kentara sedang menunggu seseorang.
Perlahan, kaca pintu belakang mobil terbuka, dan sosok tampan Zayden yang hadir dengan jas hitam, muncul sembari menatap tajam dirinya.
“Masuk,” titah pria itu, membuat Alisha menelan ludah.
Masuk setelah dibukakan pintu oleh sang sopir, Alisha pun masuk dan duduk di sebelah Zayden. Di bibir, wanita itu tidak lupa memaksakan sebuah senyum ke arah Zayden.
“Maaf, Pak, karena saya ketiduran, jadi merepotkan Bapak,” ucapnya berbasa-basi.
Hanya mendengus dan tidak membalas, Zayden mengalihkan pandangan ke depan, pada sopir yang sudah kembali siap di depan kemudi.
“Jalan,” perintahnya dengan nada rendah penuh tekanan.
Tahu jelas bahwa Zayden sedang marah, Alisha pun memutuskan untuk bungkam. Dia tidak mau mencari-cari masalah dengan singa tidur itu.
Namun, memang hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana, baru saja memutuskan diam, Zayden malah angkat bicara.
“Kenapa tidak pakai baju baru?”
Mendengar pertanyaan itu, Alisha mengerjapkan mata. Dia menatap ke bawah, ke arah bajunya sendiri, dan berpikir. Memangnya bajunya kelihatan usang?
Ekspresi Alisha membuat Zayden mendengus. “Bukannya aku sudah memberikanmu uang? Kenapa tidak digunakan?”
Detik itu, Alisha terbelalak. Dia baru ingat perihal 50 juta tambahan untuk belanja dari Zayden yang bersemayam di akunnya!
Dia pun tersenyum canggung. “Kan … saya ketiduran, Pak,” jawabnya lirih. Lalu, Alisha cepat-cepat fokus ke poin utama. “Tapi Bapak nggak mungkin dong minta lagi uangnya? Pamali ‘kan ya? Siapa tahu juga besok-besok ada acara lagi, jadi saya bisa pakai uang itu untuk beli baju. Ya, ‘kan?”
Celotehan Alisha sukses membuat pelipis Zayden berkedut. Ternyata benar, wanita ini memang mata duitan!
“Kamu–”
Sadar batas kesabaran sang bos sudah di ujung tanduk, Alisha cepat-cepat mengalihkan topik. “Oh iya, Pak! Sampai di sana nanti … apa ada hal-hal penting yang patut saya ketahui? Mungkin ada seseorang yang harus saya hindari? Penting ini untuk dibahas sekarang sebelum kita tiba, Pak!” celotehnya panjang lebar, membuat Zayden menarik napas panjang, menahan godaan untuk tidak mengeluarkan umpatan.
“Cukup jangan bersikap bodoh saja!” balas Zayden ketus.
Alisha mengerucutkan bibir, merasa dirinya sedang dipanggil ‘bodoh’ oleh Zayden. “Jawabnya yang serius, Pak. Ini menyangkut keberhasilan sandiwara kita loh.”
Kalimat ini membuat Zayden melirik Alisha tajam. “Kelihatannya, kamu pengalaman sekali bersandiwara, ya?”
Pertanyaan itu membuat Alisha agak kaget. Namun, cepat-cepat dia menenangkan diri dan memaksakan senyuman terlukis di bibirnya. “Ya, bukan gitu, Pak. Saya takut salah jawab aja. Nanti kalau ada yang tanya saya siapanya Bapak, saya jawabnya pacar atau gimana?”
“Jawab kamu calon istri saya,” sahut Zayden dingin, mengalihkan pandangan ke depan. “Sisanya, biar saya yang atur agar kamu tidak mengacau.”
Alisha mencebikkan bibirnya. Dalam hati, dia menyayangkan ketampanan Zayden. ‘Dih, galak banget sih. Coba sikapnya sama dengan gantengnya, pasti laku di kalangan wanita.’ Namun, kemudian dia sadar akan satu hal. ‘Eh, tapi dia menyimpang ya? Percuma juga laku di kalangan wanita.’
Alisha sempat tertawa, tapi dengan cepat dia menghentikannya begitu Zayden melemparkan pandangan tajam kepadanya.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Alisha dan Zayden pun tiba di sebuah kediaman di pinggir kota.
Kediaman tersebut sangat mewah, sampai-sampai Alisha agak ternganga melihatnya.
“Sampai kapan mau berdiri di situ? Cepat kemari.”
Kalimat Zayden membuat Alisha tersentak. Dia pun melihat pria tersebut memberikan isyarat untuk menggamit lengannya, sesuatu yang langsung dituruti Alisha.
Menggamit tangan Zayden, Alisha sedikit kaget. Tangan pria itu sangatlah kekar, dan tubuh Zayden juga sangat tinggi!
Kalau dibandingkan, tubuh Alisha jadi terlihat sangat mungil, terutama karena tingginya tidak lebih dari 160 cm.
Sekali lagi, Alisha menghela napas dalam hati. ‘Sayang sekali ganteng-ganteng menyimpang!’
Tanpa tahu apa yang ada di pikiran Alisha, Zayden membawa wanita tersebut masuk ke dalam.
Baru saja menginjak karpet dalam ruangan, semua pasang mata langsung beralih pada mereka. Dan begitu melihat sosok Zayden menggandeng seorang wanita, semua orang langsung heboh.
“Apa aku nggak salah lihat? Itu Zayden, ‘kan? Dia datang sama perempuan?!”
“Siapa wanita itu!? Pacarnya Zayden!?”
“Masa sih? Zayden bukannya anti-perempuan?”
“Tapi … kalau bukan pacar, apa hubungannya dengan Zayden?”
Berbagai komentar terlontar, dan Alisha yang tidak tuli … mendengar semuanya dengan sangat jelas. Hal itu membuatnya berpikir, tidak heran sang bos nekat menawarkan pernikahan kepadanya. Ternyata, rumor mengenai penyimpangan pria itu sudah sebesar ini!
“Zayden! Kamu datang, Nak!”
Lamunan Alisha teralihkan saat seorang wanita paruh baya dengan penampilan mewah muncul dan langsung memeluk Zayden.
“Tante Vivian…” Zayden menyapa balik, lalu membalas pelukan wanita itu dengan wajah yang senantiasa datar. “Ini ulang tahun Kakek, bagaimana mungkin aku tidak datang?”
Samar, tapi Alisha bisa merasakan ketidaksukaan pria tersebut terhadap wanita yang dipanggil sebagai ‘Tante Vivian’ itu.
Seusai melepas pelukan, Vivian beralih menatap Alisha. “Kamu bawa siapa ini?” tanyanya dengan senyum manis. Namun, sorot matanya tajam, seakan mengisyaratkan bahwa Alisha tidak seharusnya berada di sana.
Zayden meraih pinggang Alisha, lalu menjawab, “Perkenalkan, Tante. Ini Alisha, pacar– ah, maaf, calon istriku.”
Seketika, satu ruangan diselimuti keterkejutan. Hampir semua orang yang ada di sana langsung berkerumun mengurung Zayden dan Alisha.
“Calon istri?”
“Zayden punya calon istri?!”
“Zayden sudah mau menikah!?”
Mata-mata penuh rasa ingin tahu kini tertuju pada Alisha. Ada yang sekadar terkejut, ada pula yang dengan terang-terangan menatapnya dari ujung kepala hingga kaki, menilai, menakar, mempertanyakan kelayakannya untuk berdiri di samping Zayden.
Hal ini membuat Alisha tersenyum tipis, berusaha terlihat percaya diri saat memperkenalkan diri, “Salam kenal, Tante, semuanya. Nama saya Alisha, calon istri Zayden.”
Mendengar perkenalan itu, senyuman di bibir Vivian agak goyah. Walau nadanya masih sama manisnya dengan tadi, tapi sorot matanya terlihat jelas tidak menyukai eksistensi Alisha.
“Ini calon istrimu, Zay? Sejak kapan kamu bahkan pacaran? Kok Tante nggak pernah tahu?” tanya Vivian.
Di saat ini, Alisha melihat sudut bibir Zayden agak terangkat. “Mama saja belum lama tahu, bagaimana Tante Vivian bisa tahu?” balas pria itu setengah tertawa dingin. “Aku pacaran dengan siapa, maupun akan menikah dengan siapa adalah privasiku. Orang luar hanya perlu menunggu berita saat aku bersedia mengumumkannya, bukan begitu?”
Pelipis Vivian berkedut, tampak kesal dengan balasan Zayden yang menyebutnya sebagai ‘orang luar’.
Namun, belum sempat wanita itu membalas, sebuah suara terdengar berkata, “Yakin karena privasi, bukan karena yang kamu bawa adalah wanita sewaan?”
Semua orang menoleh, lalu melihat seorang wanita muda bertubuh ramping dengan gaun ketat menghampiri. Rambut panjang bergelombangnya mencapai pinggang, dan wajahnya yang cantik tampak diselimuti keangkuhan.Ekspresi Zayden mengeras, dan dia langsung menarik Alisha mendekat ke sisinya, seakan melindungi wanita itu. “Jaga bicaramu, Tania,” balas Zayden dengan ekspresi gelap dan suara rendah yang mengancam. “Apa kamu sedang menghina calon istriku?”Diam-diam, Alisha cukup terkejut. Kalau bukan karena dirinya tahu mereka sedang bersandiwara, dia bisa mengira Zayden benar-benar perhatian padanya!Wanita bernama Tania, yang Alisha duga adalah sepupu Zayden, mengedikkan kedua bahunya. “Bukan menghina, Zay, hanya mempertanyakan aja,” ucapnya. “Tante Vivian tuh nggak salah loh. Dari dulu kami nggak pernah dengar kamu dekat sama wanita, tapi sekarang kamu tiba-tiba bisa bawa calon istri ke rumah, siapa sih yang nggak merasa aneh?”Semua orang mulai berbisik, merasa omongan Tania ada benarnya.
Bukan cuma Alisha yang berakhir terbengong, tapi seisi ruangan seolah membeku, terlebih lagi Vivian dan Tania. “Pa, Papa bilang apa? Hamil? Siapa yang hamil? Anaknya siapa?!” seru Vivian, sedikit terlalu panik untuk memproses pernyataan sang ayah. Henry menghela napas, seolah putrinya baru saja menanyakan sesuatu yang sangat jelas. Ia lalu melirik Alisha, ekspresinya berubah lembut, sebelum mengumumkan dengan lantang, “Alisha sedang mengandung anak Zayden, dan karena itu, mereka akan menikah secepatnya!” DUAR! Seolah granat meledak di tengah ruangan, semua orang langsung berseru dan berbisik-bisik. “Apa? Jadi, Zayden benar-benar punya pacar secara diam-diam dan tidak menyimpang?” “Pacarnya bahkan sudah hamil! Bagaimana dia bisa dirumorkan menyimpang?!” Melihat pernyataannya mengenai Zayden mulai tergeser, Tania yang masih tidak percaya dengan ucapan itu langsung berkata, “Kakek jangan mengada-ada. Mana mungkin Zayden menghamili wanita? Selama ini kita tahu dia ini kan menyimpang
‘Astaga, Alisha! Kamu benar-benar gila!!!’ Alisha berteriak panik dalam hati. ‘Harusnya Pak Bos gak marah, kan?!’ tambahnya lagi. ‘Ini demi akting agar sukses, kan?!!’ Alisha kemudian melihat ke dalam mata Zayden yang saat ini tubuhnya sedikit menegang. Namun, Zayden masih tidak bereaksi lebih. Hanya tatapan matanya yang semakin dalam, menyapu wajah Alisha yang kini bersemu merah.Alisha yang sadar kalau dia sudah kelewatan, berniat menarik dirinya mundur. Namun, tangan kanan Zayden tiba-tiba menahan tengkuknya, membuat Alisha tidak bisa bergerak. Lalu, pria itu memiringkan kepalanya sedikit, dan mulai membalas, bahkan memperdalam ciuman mereka!‘Apa yang–!’Protesnya hanya tersangkut di tenggorokan ketika kehangatan yang menguar dari bibir pria itu mulai melumpuhkan kewarasannya. Sensasi itu mengalir deras, merampas akal sehatnya. Ia ingin berontak. Harusnya berontak. Tapi sial! Tubuhnya justru berkhianat. Ia larut dalam ciuman yang menuntut, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Pertanyaan Zayden yang tiba-tiba terlontar membuat Alisha membeku. Wanita itu menoleh cepat dengan bingung.“Hah?” Alisha tak bisa menyembunyikan sedikit rasa tersinggungnya.Zayden meliriknya sekilas, lalu berkata, “Apa aku salah?” Pria itu mendengus dingin dan menambahkan, “Berani menciumku di depan banyak orang seperti itu, kentara sekali kamu sangat profesional dan berpengalaman dalam hal ini, bukan begitu?” tanyanya. “Berapa banyak pria yang sudah kamu cium?”Mendengar kalimat Zayden dan juga nada bicara pria itu yang seakan merendahkan, membuat Alisha merasa emosinya membumbung tinggi.Kalau bukan karena dirinya terikat perjanjian untuk membantu Zayden, dan juga merasa kasihan dengan betapa pria itu disalahpahami, apa pria itu pikir Alisha akan nekat menciumnya!?Namun, Alisha tahu marah tidak ada gunanya, terutama karena bosnya ini adalah kulkas berjalan. Alhasil, dia hanya menjawab singkat, “Itu ciuman pertama saya.”CIIIT!“Aduh!”Rem yang diinjak kencang secara mendadak memb
“Ugh … aku kayaknya bisa mati muda deh …” gumam Alisha setengah menggeram selagi membaringkan kepalanya di atas meja kantor.Walau pagi ini dia mendapatkan tugas kantor yang lebih banyak dari biasanya, tapi Alisha tidak bisa fokus mengerjakan apa pun. Semua itu karena benaknya terus kembali ke percakapannya dengan Zayden di malam yang lalu.“Apa maksud Bapak pernikahan sesungguhnya? Bapak nggak berniat bercerai dengan saya setelah menikah?!” tanya Alisha malam itu.“Pernikahan bukan permainan. Orang waras mana yang akan menikah dan cerai semudah itu?” balas Zayden dengan wajah datarnya. Padahal, dia sendiri menawarkan pernikahan kepada orang tak dikenal hanya karena terpojok situasi!“Tapi–”“Pokoknya, saya nggak berniat menceraikan kamu setelah menikah. Kalau kamu keberatan, bisa saja kita batalkan semuanya, tapi kamu tetap saya pecat dan …” sebuah seringai terlukis di wajah Zayden, “...nanti kamu akan bermasalah dengan keluarga Wicaksana.”Mengingat pernyataan Zayden membuat Alisha m
“Pengidap HIV?” Zayden tampak menautkan alis usai mendapatkan laporan lengkap dari asisten pribadinya. Setelah rapat panjang dengan beberapa petinggi perusahaan, Zayden ingin bicara langsung dengan Alisha mengenai rencana mereka selanjutnya. Akan tetapi, wanita itu malah meninggalkan perusahaan begitu saja dan pergi ke rumah sakit. Awalnya, Zayden ingin marah. Akan tetapi, begitu mendengar informasi yang Arsel dapatkan dari beberapa rekan kerja Alisha, pria itu mendapatkan kenyataan bahwa Alisha memiliki adik yang dirawat di rumah sakit. Kebetulan, rumah sakit tersebut milik keluarga Zayden dan dikelola oleh kakak tertuanya, Raka Wicaksana, jadi Arsel bisa melakukan investigasi dengan mudah mengenai adik Alisha ini. Dan yang mengejutkan adalah … adik Alisha, Nariza, yang baru menginjak umur 22 tahun, ternyata adalah salah satu pasien HIV. Zayden merasakan sesuatu yang aneh merayap di dadanya. Tidak nyaman. Namun, alih-alih memikirkan rasa itu lebih jauh, dia malah mengajukan per
Di depan ICU, dari balik dinding kaca, mata Alisha sedang tertuju pada sosok yang terbaring di atas tempat tidur. Nariza. Dengan rambut panjang hitamnya yang terurai dan tubuh kurus yang tampak lunglai, Nariza tertidur di bawah efek sedasi. Wajahnya tenang, tapi terlalu pucat, membuat sesuatu dalam dada Alisha tersayat perih. Sejak kecil, Alisha tidak pernah tahu siapa orang tuanya. Dia dibuang di panti asuhan, tumbuh besar di sana tanpa kasih sayang ayah maupun ibu. Hanya ada ibu panti yang menjadi satu-satunya penyokongnya. Di tempat itu, banyak anak terbuang seperti dirinya—dititipkan karena ketidakmampuan ekonomi orang tua, lahir dari keluarga yang tidak utuh, atau korban kekerasan rumah tangga. Dan Nariza… Dialah satu-satunya yang benar-benar serupa dengan Alisha. Tidak ada yang tahu siapa orang tua kandungnya. Tidak ada nama. Tidak ada asal-usul. Nariza ditemukan begitu saja di teras panti, hanya dibungkus kain lusuh, dengan tali pusar yang masih belum lepas dar
Mendengar omongan Zayden, Alisha langsung panik. Selama ini, Nariza memang lebih sering menghabiskan waktu di rumah sakit karena penyakitnya, tapi … bukan berarti dirinya tidak pernah tahu sama sekali mengenai kehidupan sang kakak. Lagi pula, hampir setiap hari mereka meluangkan waktu berbagi cerita tentang hari-hari mereka. Oleh karena itu, kalau Zayden mendadak datang dan memperkenalkan diri sebagai calon suami Alisha, Nariza pasti sadar ada yang salah, terlebih ketika tahu betapa anti dirinya terhadap pernikahan! Di sisi lain, kalau Zayden tahu mengenai Nariza, juga penyakit yang diderita gadis itu, bukankah ada kemungkinan bahwa masa lalu mereka yang kelam akan terbongkar. Dan kalau masa lalu itu terbongkar … apakah Zayden tetap akan menerima Alisha di kantor? Bukankah pria itu akan merasa telah melibatkan diri dengan seseorang yang merepotkan dan ada potensi membatalkan perjanjian mereka? Itu berarti Alisha akan kehilangan penghasilan dan tidak lagi bisa menyokong pengobatan
Di dalam kendaraan yang membawanya pulang kembali ke kantor Zayden mengirimkan pesan singkat itu pada Alisha, dan tidak berselang lama, wanita itu membalasnya.[“Baiklah! Sore nanti pulang kantor aku akan pergi ke rumah sakit dulu untuk menjenguk Nariza.”]Hanya saja Zayden membacanya dengan wajah datar dan tanpa ekspresi berarti.“Tuan, untuk pengerjaan interior apartemen Anda bisa diselesaikan seluruhnya dalam waktu dua hari lagi dan paling lama bisa tiga hari lagi.” Ucapan Arsel barusan membuat Zayden mengalihkan perhatiannya dari ponsel itu dan segera memasukkan benda pipih itu ke dalam sakunya.“Tidak masalah, yang jelas kamar untuk Nariza selesaikan lebih cepat, karena dokter yang merawatnya mengatakan padaku kalau anak itu sudah bisa pulang besok.” Zayden berkata dengan tenang.“Untuk kamar, sudah saya katakan pada pemborong untuk mempercepatnya, kemungkinan hari ini semuanya sudah rampung.” Arsel langsung memberikan keterangannya.Zayden mengangguk singkat. “Alisha … apa dia a
“Apa kamu bilang?!”Zayden mengembuskan napas dalam sambil menggeleng pelan, seolah menertawakan sesuatu yang hanya bisa ia mengerti. Senyumnya mengembang tipis, nyaris mengejek, namun tak sepenuhnya dingin. Ia menatap Alisha dengan ekspresi geli. Lagipula, apa yang dalam pikiran Zayden tentu saja berbeda dengan Alisha.“Alisha, sudah kukatakan ini tidak sesederhana itu,” ujarnya tenang, matanya menelusuri wajah polos Alisha yang masih penuh rasa penasaran.‘Tentu saja tidak sederhana… karena kamu tidak suka wanita!’ seru Alisha dalam hati. Tapi dia menahan diri untuk tidak mengatakannya. Ia tidak ingin menyakiti Zayden atau membuatnya merasa tersudut dengan ‘kelainannya’.“Aku hanya mengatakan hal yang paling mungkin saja, lagi pula alasan nenekmu tidak suka denganku sangat logis, karena aku ini bukan siapa-siapa. Seharusnya yang menjadi pendampingmu setidaknya orang yang satu level dan satu lingkungan dengan keluargamu.” Alisha mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya kepada Zayde
Sudah hampir pukul setengah satu malam, tetapi Alisha masih betah berlama-lama di lantai bawah. Tangannya sibuk merapikan barang bawaan dan menata belanjaannya, meski sebenarnya pekerjaan itu bisa selesai jauh lebih cepat. Namun, dia sengaja memperlambat gerakannya—berpura-pura sibuk demi menghindari satu hal: menatap mata Zayden. Sejak insiden tadi, tubuhnya terasa panas dingin, dan jantungnya tak berhenti berdebar.“A-apa yang kamu lakukan barusan?” Suara Zayden terdengar datar saat itu, namun cukup untuk memecah keheningan yang sempat tercipta karena ulahnya itu. Nada terkejutnya begitu jelas, sama bingungnya dengan apa yang dirasakan Alisha.Alisha jelas panik. “Itu tadi … cuma ungkapan terima kasih! Iya, terima kasih aja!” jawabnya tergagap, tak berani menatap wajah pria itu. Wajahnya sudah memerah karena malu. Tanpa berpikir panjang, dia segera berbalik dan menjauhi Zayden, sibuk dengan barang-barang miliknya yang diletakkan oleh Zayden di ruang tengah.‘Alisha kamu benar-benar g
Alisha berkedip pelan, matanya masih berat oleh kantuk. Tapi ada sorot aneh di matanya—bukan sepenuhnya sadar, tapi cukup membuat Zayden menahan napas. Tatapan itu ... seperti menggambarkan sesuatu yang seharusnya tak tertangkap. Seperti mendengar bisikan yang tak ditujukan untuknya. “Kamu …,” gumam Alisha, suaranya serak dan pelan, seolah hendak mengulang potongan kalimat yang baru saja melayang di telinganya. Zayden membeku. Mata Alisha menatap lurus ke arah Zayden. “Kamu bilang aku pasti melin—” Tok! Panik singkat membuat Zayden tanpa pikir panjang menyentil kening Alisha dengan sedikit keras. “Aw!” Alisha meringis pelan, tangannya spontan menutup keningnya yang memerah. “Apa-apaan sih?!” protesnya dengan wajah kesal, matanya kini terbuka lebar karena rasa nyeri di keningnya akibat sentilan yang dibuat oleh zayden barusan. Zayden pura-pura bersikap santai, padahal jelas gugup. Ia mengangkat bahu, acuh. “Kamu mengigau, jadi aku bantu bangunin. Daripada kamu mimpi bica
Begitu duduk di dalam mobil, Alisha memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan lewat mulut. “Hmm... lumayan lega,” gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri akibat dari tekanan yang dia terima dari nenek Zayden tadi. Tapi ketenangannya hanya bertahan sekejap. Saat membuka mata dan melihat ke arah Zayden—pria itu melihatnya dengan sorot mata gelap penuh tekanan—tubuhnya spontan berlonjak karena terkejut. “Ya ampun! Kaget tahu! Muka kamu serem banget kayak ib ….” sadar kalau mulutnya nyaris melakukan kesalahan Alisha langsung merapatkan bibirnya dan tidak meneruskan kalimatnya. “Apa?” Zayden berkata dengan nada dingin. “Mau mengatakan aku ini seperti iblis?” lanjut pria itu lagi. “Itu ….” Alisha langsung menunduk dan memainkan ujung-ujung jarinya, karena merasa bersalah sudah keterlaluan bicara dengan bahasa yang tidak pantas pada atasanya dan juga ‘suami’-nya itu. “Atau … mau mengatakan kalau kamu tidak suka wajah dinginku karena terlihat sepe
Suasana mendadak hening sejenak sesaat setelah Helena mengatakan hal itu. Helena mengundang Alisha untuk makan malam di rumahnya? Hal ini jelas membuat Zayden menatap Helena dengan cukup dalam. “Mengenalnya lebih dalam?” pertanyaan yang keluar dari mulut Zayden ini terkesan sangat dingin sekali.Helena mengangguk memastikan. “Tidak perlu mengenalnya lebih dalam, lagipula bukankah Anda punya pekerjaan yang lebih penting daripada sekedar mengurusi masalah pernikahanku ini.” Zayden jelas menolak perintah Helena tersebut.Akan tetapi Helena tersenyum tipis dan melihat ke arah Alisha dengan tatapan yang cukup tajam.“Alisha kan namamu?” Helena berkata pada Alisha.Alisha mengangguk pelan, saat mata tajam Helena tertuju padanya.“Aku mengundangmu ke kediamanku besok. Seharusnya, kamu tidak menolak ajakan dari tetua keluarga besar suamimu, kan?” Pertanyaan itu terdengar sedikit menekan.Zayden kembali ingin menjawab, hanya saja Alisha mengeratkan genggaman tangan mereka untuk membuatnya dia
Helena Wijaya, satu-satunya pewaris tunggal keluarga Wijaya. Pernikahannya dengan Henry Wicaksana-kakek Zayden-putra dari keluarga Wicaksana membuat bisnis kedua keluarga ini kian membesar. Insting bisnisnya cukup kuat, dan keputusan yang dia buat nyaris tidak pernah meleset. Dia tidak kalah hebat dengan suaminya dalam membesarkan bisnis mereka, hanya saja sejak beberapa bulan yang lalu, kondisi kesehatan Henry mengalami penurunan hingga akhirnya membuat Helena harus menetap sementara di luar negeri demi memastikan semuanya tetap berjalan stabil—baik bisnis, maupun kesehatan sang suami. Kini, di ruang yang sama, Alisha saat ini sudah duduk di samping Zayden. Tangan pria itu masih menggenggam tangan Alisha erat, seolah tak ingin melepaskannya. Akan tetapi, perhatian Alisha teralih bukan pada genggaman itu, melainkan pada interaksi diam-diam yang terjadi antara Zayden dan Helena. Ada sesuatu yang terasa janggal. Apalagi ketika Zayden menyapa neneknya dengan sebutan formal—“Nyonya
Zayden mendadak terdiam. Rahangnya mengeras, dan seulas senyum masam terbit di wajahnya, lebih mirip seringai kecut daripada tawa. Sorot matanya meredup sejenak, seolah menahan sesuatu yang tidak ingin ia ungkap. Ada kilatan tidak suka di matanya, meski mencoba menutupinya dengan sikap acuh. “Jangan banyak tanya,” ujarnya akhirnya, nada suaranya datar namun mengandung tekanan. “Makan saja. Nanti kamu akan tahu sendiri.” Mendapatkan respons yang seperti itu dari Zayden mendadak Alisha tersadar akan sesuatu. ‘Mana mungkin juga Zayden punya pacar, kan? Bukannya dia ini menyimpang!’ Alisha lalu melanjutkan makannya dengan cukup santai sambil menertawai canggung kebodohannya yang berkata hal itu pada Zayden. Namun, jauh di dalam lubuk hati Alisha, ada perasaan tidak enak. Kalau bukan persoalan mantan pacar, maka … kiranya siapa yang mampu membuat Zayden mengeluarkan ekspresi seperti itu? *** Sepanjang perjalanan mereka tidak terlibat percakapan yang cukup serius, pun Alisha
Daripada bertanya maksud Zayden, Alisha lebih tertarik untuk tahu tentang pria itu.“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya hati-hati.Zayden kembali duduk tanpa menjawab, pandangannya kosong. Jemarinya menaut di atas meja. Alisha bisa melihat betapa pria itu sedang menahan sesuatu. Sesuatu yang besar.Setelah pelayan mengantarkan pesanan makanan mereka yang terakhir, akhirnya Zayden berkata, “Besok, aku akan pergi lebih pagi, aku akan ke rumah mama lebih dulu.” Rasa penasaran ini makin menjadi-jadi hingga akhirnya Alisha tidak tahan untuk bertanya tanpa basa-basi lagi. “Kuperhatikan sejak mendapatkan telepon tadi, kamu menjadi gelisah, apa aku boleh tahu siapa yang menghubungimu?” Zayden menghentikan gerakan tangannya yang akan menyuapkan makanannya ke dalam mulut. Terlihat seperti sedang berpikir. “Itu bukan apa-apa,” jawabnya singkat, tetapi jelas saja itu tidak membuat Alisha puas.Wanita itu terlihat mendesah berat dan meletakkan sendok dan garpunya. “Bukan apa-apa tapi wajahmu kentara s