*Beberapa saat sebelumnya*
Di dalam ruangan kantor eksekutif yang luas, Zayden Wicaksana tampak duduk dengan ekspresi dingin, menelusuri sejumlah dokumen di tangan. “Tuan, ini laporan lengkap perihal nama-nama karyawan yang diduga memiliki keterlibatan dengan manajemen lama yang bermasalah. Ada juga sejumlah karyawan berprestasi yang kami harap bisa dipertahankan dan digunakan untuk menggantikan manajemen lama,” ucap manager HR seraya memberikan sebuah tablet kepada Zayden. “Hmm, aku akan mengeceknya. Kamu bisa pergi,” ucap pria tersebut. Saat Manager HR meninggalkan ruangannya, Zayden pun beralih mengalihkan pandangan pada tablet yang baru saja diletakkan di mejanya. Dia mulai memeriksa satu persatu data karyawan, sampai akhirnya … pandangannya terpaku pada satu wajah yang terlihat sangat familier. Mata Zayden menggelap, dan dia melihat nama karyawan tersebut. Alisha Gayatri. Seketika, rahang Zayden mengeras dan senyuman sinis yang mengerikan terlukis di bibirnya. “Alisha Gayatri,” gumamnya dengan suara rendah, namun penuh ancaman. “Ternyata tidak susah untuk menemukanmu,” ucapnya dengan amarah menggebu dalam hati. Bagaimana tidak? Wanita itulah yang menjadi awal dari semua kekacauan dalam hidupnya! Kalau saja Alisha tidak muncul malam itu di depan ibunya, Zayden tidak akan dipindahkan dari kantor pusat ke kantor cabang yang bobrok ini! Kalau bukan karena Alisha, tidak mungkin sekarang posisinya sebagai calon pewaris menjadi terancam! Sejak insiden di restoran, Martha Wicaksana—ibunya—bersikeras agar Zayden bertanggung jawab terhadap Alisha. Kalau memang Alisha tidak hamil, paling tidak Martha ingin menemuinya terlebih dahulu sebelum menentukan langkah selanjutnya. Tak ada alasan dari Zayden yang bisa membuat wanita itu mengubah pikirannya. Semua bantahan ditolak mentah-mentah! Seakan tidak cukup buruk, begitu tiba di rumah, Martha langsung melaporkan kejadian itu kepada suaminya, Jimmy Wicaksana, ayah Zayden. Alih-alih marah atau merasa kecewa, ayah Zayden malah terlihat gembira. Sama seperti Martha, kejadian ini dianggap sebagai konfirmasi bahwa putra sulungnya tidak memiliki ‘selera menyimpang’, seperti yang selama ini ia khawatirkan! Tanpa memberi kesempatan Zayden untuk berargumen, keputusan tidak masuk akal pun dijatuhkan. Jimmy mengirimnya ke anak perusahaan yang sedang mengalami krisis besar. Dia hanya bisa keluar dari tempat ini dengan dua cara: Membawa seorang istri ke rumah. Menyelamatkan perusahaan cabang dalam waktu tiga bulan. Tiga bulan!? Itu jelas tantangan yang gila! Terutama karena kantor cabang memiliki masalah korupsi yang berat dan hanya bisa diselamatkan dengan memulai dari nol, sesuatu yang perlu dilaksanakan dalam waktu berbulan-bulan! Namun, tak peduli seberapa keras Zayden membantah, keputusan orang tuanya sudah final. Satu-satunya jalan keluar dari neraka ini adalah wanita itu, Alisha Gayatri. Dan sekarang… Tanpa perlu mencarinya, wanita itu sudah ada di hadapannya sendiri. Senyuman miring terukir di bibir Zayden. “Sepertinya, dunia sedang berpihak padaku.” Dia menggeser tabletnya ke arah asistennya, Arsel. “Panggil wanita ini ke sini. Sekarang.” Selanjutnya, yang terjadi adalah Arsel meminta manager sales memanggil Alisha, dan Alisha pun berada di hadapan Zayden dengan wajah pucat. Alisha merasakan lututnya melemas. Situasinya saat ini buruk. Benar-benar buruk. Siapa yang menyangka pria yang menjadi korban kesalahan sandiwaranya kemarin adalah bosnya hari ini!? Melihat Alisha terdiam mematung, Zayden menaikkan alis kanannya. Sudah pria itu duga wanita itu akan sangat kaget melihatnya. “Alish—" "Saya mengaku salah, Pak! Tolong jangan pecat saya!" Zayden terkejut, matanya agak membesar dan pandangannya yang tajam sedikit melunak. Sama sekali tidak pria itu sangka wanita ini akan bersujud di hadapannya seperti seorang menteri di hadapan kaisar. “Saya benar-benar salah! Saya minta maaf atas kejadian kemarin, Pak!” suara Alisha begitu lantang dan wajahnya dibenamkan di lantai, membuat Zayden tidak bisa melihat ekspresinya yang terpojok. Namun, permintaan maaf Alisha membuat Zayden mendengus. Pria yang tadi terkejut itu sekarang berubah menyipit. “Cepat juga mengaku salah,” ucapnya dingin. “Akan tetapi, setelah mempermalukan saya di depan umum dan berbohong kepada orang tua saya… sekarang kamu masih berani memohon untuk tetap bekerja di sini?” Nada suara Zayden berubah tajam. “Tidak tahu malu sekali kamu.” Tubuh Alisha menegang. Dia menggigit bibirnya, sudah dia duga Zayden tidak akan melepaskannya dengan mudah. Rasa malu di hari kemarin pasti juga sangat membekas kepada pria itu, terutama karena Alisha mengaku sebagai kekasih hamil yang ditinggal menikah. Tapi tidak, Alisha tidak boleh menyerah! Dengan cepat, Alisha mendongak dengan mata berkaca-kaca. "Sa-saya juga terpaksa, Pak! Kalau bukan karena terpaksa, mana mungkin saya bersandiwara seperti itu?!" Zayden menautkan alisnya. “Terpaksa?” gumamnya, mulai curiga. Pria itu punya banyak musuh. Kemungkinan ada seseorang yang ingin menjatuhkannya bukan hal yang mustahil. Jadi, apa wanita ini kiriman salah satu musuhnya? “Siapa yang menyuruhmu melakukan hal ini?” tanyanya tajam. Alisha menelan ludah. Dia bisa merasakan nada suara pria itu semakin menekan. Dia berpikir cepat. Kalau jujur, dia pasti akan dimaki habis-habisan. Bahkan, dia pasti akan dipecat! Akan tetapi, kalau ingin berbohong, bagaimana caranya agar bisa dipercaya? Akhirnya, Alisha menghela napas berat. Dia hanya ada satu cara. "S-sebenarnya… saya salah orang, Pak." Mata Zayden semakin menyipit. “Salah orang?” Alisha mengangguk cepat. “Saat itu harusnya…” Dia lalu menceritakan semuanya. Tentang bagaimana sahabatnya meminta bantuan untuk menggagalkan pertemuan pria yang disukainya dengan wanita yang dijodohkan padanya. Tentang bagaimana sahabatnya mengancam akan bunuh diri jika pria itu menikah. Tentang bagaimana dia melakukan ini demi persahabatan. Tentu saja, Alisha tidak mengatakan soal uang 50 juta. Dia hanya menekankan betapa dramatisnya situasi sahabatnya yang akan berakhir tragis jika dia tidak melakukan sesuatu. Setelah mengakhiri ceritanya, Alisha menelan ludah dan tersenyum canggung. "U-untungnya perjodohan itu batal, Pak. Jadi teman saya nggak jadi bunuh diri juga…." BRAK!! Suara meja yang digebrak membuat Alisha melonjak kaget. Jari-jarinya langsung saling meremas, wajahnya sedikit pucat. Zayden menatapnya penuh amarah. “Temanmu tidak jadi patah hati, tapi muka saya mau ditaruh di mana sekarang!?” Suara baritonnya memenuhi ruangan, membuat Alisha menundukkan kepala dalam. “Asal kamu tahu!” lanjut pria itu dengan suara penuh kemarahan. “Kejadian kemarin dilihat langsung oleh tamu restoran, yang mana sebagian besar jelas mengenal saya dan orang tua saya! Sekarang saya terkena hukuman, dikirim ke perusahaan bermasalah ini, semua karena kamu!” Alisha mengepalkan tangannya, lalu mengangkat wajahnya dengan suara lirih. “Pak, saya akan melakukan apa pun, tapi tolong jangan pecat saya….” Matanya yang biasanya ceria kini penuh dengan ketakutan. Jika dia dipecat, bagaimana bisa dia bertahan? Lima puluh juta dari Yumi memang besar, tapi itu diperuntukkan untuk hal lain yang tidak bisa diganggu gugat! Zayden menatap Alisha lama. Ekspresinya masih keras, tapi pikiran jelinya mulai berjalan. Wanita ini masih menyembunyikan sesuatu. Tapi lebih dari itu… Ada cara yang jauh lebih baik untuk membuat Alisha membayar semua kesalahannya. Dengan suara pelan, dia berkata, “Saya bisa tidak pecat kamu.” Mata Alisha berbinar. “Serius, Pak?! Astaga, Bapak baik sekali! Memang orang tampan itu hatinya baik dan–” “Tapi ada syaratnya.” Kalimat itu langsung memotong harapan Alisha. Dia langsung diam, tahu bahwa tidak mungkin syarat yang dilontarkan Zayden Wicaksana akan semudah itu dipenuhi. “… Apa syaratnya, Pak?” tanyanya hati-hati. Zayden menatapnya tajam. Kemudian, dengan suara rendah namun penuh kepastian, dia berkata, “Jadi istri saya.” Alisha membeku. “Hah!?”Alisha terkejut, matanya membesar mendengar pernyataan Zayden. “Apa Bapak tidak salah ngomong?” tanyanya ragu, suaranya sedikit meninggi karena keterkejutan. Namun, alih-alih mendapat jawaban masuk akal, wajah Zayden malah terlihat semakin menggelap. “Aku tidak punya waktu untuk bermain-main seperti kamu,” balasnya dingin. “Kalau kamu tidak mau dipecat, jadi istri saya.” Alisha mengerjapkan mata, memastikan telinganya tidak salah dengar dan otak Zayden bekerja dengan baik. Namun, wajah serius pria di depan mata menunjukkan bahwa ini bukan lelucon. “Lagipula,” lanjut Zayden, nada suaranya penuh sindiran, “seperti yang kamu bilang kemarin, kalau sudah menghamili wanita, bagaimana mungkin aku tidak bertanggung jawab, bukan?” Alisha menelan ludah, merasa kepalanya mendadak pusing. Namun, di tengah keterkejutannya, sebuah pemikiran aneh muncul dalam benaknya. Apa mungkin pria ini… hanya ingin menutupi kelainan orientasi seksualnya? Alisha langsung teringat dengan ibunya Za
Saat tiba di kediaman orang tuanya, Zayden bahkan belum sempat duduk sebelum suara tegas ibunya langsung menyambut. “Zayden! Sini, Mama mau bicara.” Zayden menghela napas. Dia mengikuti ibunya ke ruang keluarga, duduk, lalu berkata, “Kalau ini tentang ‘wanita itu’, bisa kita tunda dulu? Aku lelah.” “Zayden, tidak sopan memanggilnya ‘wanita itu’ terus! Beri tahu Mama namanya!” Seperti yang sudah Zayden duga. Sang ibu benar-benar menanyakan soal Alisha. Tidak ingin memperpanjang masalah, akhirnya Zayden menjawab dengan nada datar, “Alisha Gayatri.” Mata Martha berbinar. “Jadi namanya Alisha, ya?” Nada bicaranya melembut saat menyebut nama wanita yang ia bayangkan akan menjadi calon menantunya. Wanita itu cantik, dengan wajah manis yang sulit dilupakan. “Namanya cukup bagus,” puji Martha, membuat Zayden diam-diam memutar bola mata. “Lalu, bagaimana latar belakang keluarganya? Dia anak ke berapa? Orang tuanya bekerja di mana?” “Dia tidak punya orang tua. Keluarga juga tid
Tepat saat jarum jam menunjuk ke angka lima, Alisha sudah keluar dari rumah dan menunggu di lobi apartemennya. Di sana, sebuah mobil hitam mewah sudah terparkir, kentara sedang menunggu seseorang.Perlahan, kaca pintu belakang mobil terbuka, dan sosok tampan Zayden yang hadir dengan jas hitam, muncul sembari menatap tajam dirinya. “Masuk,” titah pria itu, membuat Alisha menelan ludah.Masuk setelah dibukakan pintu oleh sang sopir, Alisha pun masuk dan duduk di sebelah Zayden. Di bibir, wanita itu tidak lupa memaksakan sebuah senyum ke arah Zayden.“Maaf, Pak, karena saya ketiduran, jadi merepotkan Bapak,” ucapnya berbasa-basi.Hanya mendengus dan tidak membalas, Zayden mengalihkan pandangan ke depan, pada sopir yang sudah kembali siap di depan kemudi. “Jalan,” perintahnya dengan nada rendah penuh tekanan.Tahu jelas bahwa Zayden sedang marah, Alisha pun memutuskan untuk bungkam. Dia tidak mau mencari-cari masalah dengan singa tidur itu.Namun, memang hidup tidak selalu berjalan sesu
Semua orang menoleh, lalu melihat seorang wanita muda bertubuh ramping dengan gaun ketat menghampiri. Rambut panjang bergelombangnya mencapai pinggang, dan wajahnya yang cantik tampak diselimuti keangkuhan.Ekspresi Zayden mengeras, dan dia langsung menarik Alisha mendekat ke sisinya, seakan melindungi wanita itu. “Jaga bicaramu, Tania,” balas Zayden dengan ekspresi gelap dan suara rendah yang mengancam. “Apa kamu sedang menghina calon istriku?”Diam-diam, Alisha cukup terkejut. Kalau bukan karena dirinya tahu mereka sedang bersandiwara, dia bisa mengira Zayden benar-benar perhatian padanya!Wanita bernama Tania, yang Alisha duga adalah sepupu Zayden, mengedikkan kedua bahunya. “Bukan menghina, Zay, hanya mempertanyakan aja,” ucapnya. “Tante Vivian tuh nggak salah loh. Dari dulu kami nggak pernah dengar kamu dekat sama wanita, tapi sekarang kamu tiba-tiba bisa bawa calon istri ke rumah, siapa sih yang nggak merasa aneh?”Semua orang mulai berbisik, merasa omongan Tania ada benarnya.
Bukan cuma Alisha yang berakhir terbengong, tapi seisi ruangan seolah membeku, terlebih lagi Vivian dan Tania. “Pa, Papa bilang apa? Hamil? Siapa yang hamil? Anaknya siapa?!” seru Vivian, sedikit terlalu panik untuk memproses pernyataan sang ayah. Henry menghela napas, seolah putrinya baru saja menanyakan sesuatu yang sangat jelas. Ia lalu melirik Alisha, ekspresinya berubah lembut, sebelum mengumumkan dengan lantang, “Alisha sedang mengandung anak Zayden, dan karena itu, mereka akan menikah secepatnya!” DUAR! Seolah granat meledak di tengah ruangan, semua orang langsung berseru dan berbisik-bisik. “Apa? Jadi, Zayden benar-benar punya pacar secara diam-diam dan tidak menyimpang?” “Pacarnya bahkan sudah hamil! Bagaimana dia bisa dirumorkan menyimpang?!” Melihat pernyataannya mengenai Zayden mulai tergeser, Tania yang masih tidak percaya dengan ucapan itu langsung berkata, “Kakek jangan mengada-ada. Mana mungkin Zayden menghamili wanita? Selama ini kita tahu dia ini kan menyimpang
“Aku hamil anakmu, tapi kamu malah sibuk berpacaran dan akan menikah dengan wanita lain!? Tega kamu!” Seruan nyaring Alisha di restoran elit ibu kota itu menarik perhatian semua orang. Alisha berdiri di tengah ruang restoran, tepat di hadapan seorang pria yang tengah makan bersama wanita lain. Air mata mengalir deras menuruni wajahnya, tampak begitu menyedihkan hingga banyak orang merasa kasihan padanya dan memandang tajam pria di depannya. “Sudah menghamili anak orang, tapi masih bermain-main dengan wanita lain. Dasar pria nggak bertanggung jawab!” “Hah … padahal tampan, tapi kenapa sikapnya seperti seorang bajingan …,” sahut tamu yang lain. Mendengar makian-makian ini, pria yang tertuding itu menatap Alisha tajam. “Nona, kita bahkan tidak saling mengenal. Bagaimana mungkin kamu bisa hamil anakku?” tanyanya dingin. Kalimat sang pria membuat Alisha menangis semakin kencang. “Ya Tuhan, demi menutupi aibmu, sekarang kamu berpura-pura tidak mengenalku?! Padahal sebelumnya kamu
Alisha berlari sekuat tenaga, napasnya memburu. Dia bahkan tidak berani menoleh ke belakang. Yang ada dalam pikirannya sekarang hanya satu: jangan sampai pria itu mengejarnya! Begitu melihat taksi melintas, Alisha langsung melambaikan tangan. "Berhenti!" serunya. Usai masuk ke dalam mobil dan mengatakan tujuannya kepada sang sopir, Alisha menyandarkan kepalanya di sandaran kursi dan menghela napas panjang. "Ya Tuhan, kekonyolan macam apa ini? " gerutunya, masih setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Niat hati ingin membantu teman, tapi Alisha malah mempermalukan dirinya sendiri dengan salah orang!? Yang benar saja! Alisha ingat, di awal sebelum memasuki restoran, dia sudah menanyakan jelas di mana meja Alvin Wicaksana. Akan tetapi, kenapa pelayan mengarahkannya ke meja yang salah!? Di saat itu, Alisha terdiam, mencoba mengingat adegan awal dirinya tiba di restoran. “Permisi, meja Tuan Wicaksana di sebelah mana, ya?” Karena ramainya restoran, sang pela
Bukan cuma Alisha yang berakhir terbengong, tapi seisi ruangan seolah membeku, terlebih lagi Vivian dan Tania. “Pa, Papa bilang apa? Hamil? Siapa yang hamil? Anaknya siapa?!” seru Vivian, sedikit terlalu panik untuk memproses pernyataan sang ayah. Henry menghela napas, seolah putrinya baru saja menanyakan sesuatu yang sangat jelas. Ia lalu melirik Alisha, ekspresinya berubah lembut, sebelum mengumumkan dengan lantang, “Alisha sedang mengandung anak Zayden, dan karena itu, mereka akan menikah secepatnya!” DUAR! Seolah granat meledak di tengah ruangan, semua orang langsung berseru dan berbisik-bisik. “Apa? Jadi, Zayden benar-benar punya pacar secara diam-diam dan tidak menyimpang?” “Pacarnya bahkan sudah hamil! Bagaimana dia bisa dirumorkan menyimpang?!” Melihat pernyataannya mengenai Zayden mulai tergeser, Tania yang masih tidak percaya dengan ucapan itu langsung berkata, “Kakek jangan mengada-ada. Mana mungkin Zayden menghamili wanita? Selama ini kita tahu dia ini kan menyimpang
Semua orang menoleh, lalu melihat seorang wanita muda bertubuh ramping dengan gaun ketat menghampiri. Rambut panjang bergelombangnya mencapai pinggang, dan wajahnya yang cantik tampak diselimuti keangkuhan.Ekspresi Zayden mengeras, dan dia langsung menarik Alisha mendekat ke sisinya, seakan melindungi wanita itu. “Jaga bicaramu, Tania,” balas Zayden dengan ekspresi gelap dan suara rendah yang mengancam. “Apa kamu sedang menghina calon istriku?”Diam-diam, Alisha cukup terkejut. Kalau bukan karena dirinya tahu mereka sedang bersandiwara, dia bisa mengira Zayden benar-benar perhatian padanya!Wanita bernama Tania, yang Alisha duga adalah sepupu Zayden, mengedikkan kedua bahunya. “Bukan menghina, Zay, hanya mempertanyakan aja,” ucapnya. “Tante Vivian tuh nggak salah loh. Dari dulu kami nggak pernah dengar kamu dekat sama wanita, tapi sekarang kamu tiba-tiba bisa bawa calon istri ke rumah, siapa sih yang nggak merasa aneh?”Semua orang mulai berbisik, merasa omongan Tania ada benarnya.
Tepat saat jarum jam menunjuk ke angka lima, Alisha sudah keluar dari rumah dan menunggu di lobi apartemennya. Di sana, sebuah mobil hitam mewah sudah terparkir, kentara sedang menunggu seseorang.Perlahan, kaca pintu belakang mobil terbuka, dan sosok tampan Zayden yang hadir dengan jas hitam, muncul sembari menatap tajam dirinya. “Masuk,” titah pria itu, membuat Alisha menelan ludah.Masuk setelah dibukakan pintu oleh sang sopir, Alisha pun masuk dan duduk di sebelah Zayden. Di bibir, wanita itu tidak lupa memaksakan sebuah senyum ke arah Zayden.“Maaf, Pak, karena saya ketiduran, jadi merepotkan Bapak,” ucapnya berbasa-basi.Hanya mendengus dan tidak membalas, Zayden mengalihkan pandangan ke depan, pada sopir yang sudah kembali siap di depan kemudi. “Jalan,” perintahnya dengan nada rendah penuh tekanan.Tahu jelas bahwa Zayden sedang marah, Alisha pun memutuskan untuk bungkam. Dia tidak mau mencari-cari masalah dengan singa tidur itu.Namun, memang hidup tidak selalu berjalan sesu
Saat tiba di kediaman orang tuanya, Zayden bahkan belum sempat duduk sebelum suara tegas ibunya langsung menyambut. “Zayden! Sini, Mama mau bicara.” Zayden menghela napas. Dia mengikuti ibunya ke ruang keluarga, duduk, lalu berkata, “Kalau ini tentang ‘wanita itu’, bisa kita tunda dulu? Aku lelah.” “Zayden, tidak sopan memanggilnya ‘wanita itu’ terus! Beri tahu Mama namanya!” Seperti yang sudah Zayden duga. Sang ibu benar-benar menanyakan soal Alisha. Tidak ingin memperpanjang masalah, akhirnya Zayden menjawab dengan nada datar, “Alisha Gayatri.” Mata Martha berbinar. “Jadi namanya Alisha, ya?” Nada bicaranya melembut saat menyebut nama wanita yang ia bayangkan akan menjadi calon menantunya. Wanita itu cantik, dengan wajah manis yang sulit dilupakan. “Namanya cukup bagus,” puji Martha, membuat Zayden diam-diam memutar bola mata. “Lalu, bagaimana latar belakang keluarganya? Dia anak ke berapa? Orang tuanya bekerja di mana?” “Dia tidak punya orang tua. Keluarga juga tid
Alisha terkejut, matanya membesar mendengar pernyataan Zayden. “Apa Bapak tidak salah ngomong?” tanyanya ragu, suaranya sedikit meninggi karena keterkejutan. Namun, alih-alih mendapat jawaban masuk akal, wajah Zayden malah terlihat semakin menggelap. “Aku tidak punya waktu untuk bermain-main seperti kamu,” balasnya dingin. “Kalau kamu tidak mau dipecat, jadi istri saya.” Alisha mengerjapkan mata, memastikan telinganya tidak salah dengar dan otak Zayden bekerja dengan baik. Namun, wajah serius pria di depan mata menunjukkan bahwa ini bukan lelucon. “Lagipula,” lanjut Zayden, nada suaranya penuh sindiran, “seperti yang kamu bilang kemarin, kalau sudah menghamili wanita, bagaimana mungkin aku tidak bertanggung jawab, bukan?” Alisha menelan ludah, merasa kepalanya mendadak pusing. Namun, di tengah keterkejutannya, sebuah pemikiran aneh muncul dalam benaknya. Apa mungkin pria ini… hanya ingin menutupi kelainan orientasi seksualnya? Alisha langsung teringat dengan ibunya Za
*Beberapa saat sebelumnya* Di dalam ruangan kantor eksekutif yang luas, Zayden Wicaksana tampak duduk dengan ekspresi dingin, menelusuri sejumlah dokumen di tangan. “Tuan, ini laporan lengkap perihal nama-nama karyawan yang diduga memiliki keterlibatan dengan manajemen lama yang bermasalah. Ada juga sejumlah karyawan berprestasi yang kami harap bisa dipertahankan dan digunakan untuk menggantikan manajemen lama,” ucap manager HR seraya memberikan sebuah tablet kepada Zayden. “Hmm, aku akan mengeceknya. Kamu bisa pergi,” ucap pria tersebut. Saat Manager HR meninggalkan ruangannya, Zayden pun beralih mengalihkan pandangan pada tablet yang baru saja diletakkan di mejanya. Dia mulai memeriksa satu persatu data karyawan, sampai akhirnya … pandangannya terpaku pada satu wajah yang terlihat sangat familier. Mata Zayden menggelap, dan dia melihat nama karyawan tersebut. Alisha Gayatri. Seketika, rahang Zayden mengeras dan senyuman sinis yang mengerikan terlukis di bibirnya. “Ali
Alisha berlari sekuat tenaga, napasnya memburu. Dia bahkan tidak berani menoleh ke belakang. Yang ada dalam pikirannya sekarang hanya satu: jangan sampai pria itu mengejarnya! Begitu melihat taksi melintas, Alisha langsung melambaikan tangan. "Berhenti!" serunya. Usai masuk ke dalam mobil dan mengatakan tujuannya kepada sang sopir, Alisha menyandarkan kepalanya di sandaran kursi dan menghela napas panjang. "Ya Tuhan, kekonyolan macam apa ini? " gerutunya, masih setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Niat hati ingin membantu teman, tapi Alisha malah mempermalukan dirinya sendiri dengan salah orang!? Yang benar saja! Alisha ingat, di awal sebelum memasuki restoran, dia sudah menanyakan jelas di mana meja Alvin Wicaksana. Akan tetapi, kenapa pelayan mengarahkannya ke meja yang salah!? Di saat itu, Alisha terdiam, mencoba mengingat adegan awal dirinya tiba di restoran. “Permisi, meja Tuan Wicaksana di sebelah mana, ya?” Karena ramainya restoran, sang pela
“Aku hamil anakmu, tapi kamu malah sibuk berpacaran dan akan menikah dengan wanita lain!? Tega kamu!” Seruan nyaring Alisha di restoran elit ibu kota itu menarik perhatian semua orang. Alisha berdiri di tengah ruang restoran, tepat di hadapan seorang pria yang tengah makan bersama wanita lain. Air mata mengalir deras menuruni wajahnya, tampak begitu menyedihkan hingga banyak orang merasa kasihan padanya dan memandang tajam pria di depannya. “Sudah menghamili anak orang, tapi masih bermain-main dengan wanita lain. Dasar pria nggak bertanggung jawab!” “Hah … padahal tampan, tapi kenapa sikapnya seperti seorang bajingan …,” sahut tamu yang lain. Mendengar makian-makian ini, pria yang tertuding itu menatap Alisha tajam. “Nona, kita bahkan tidak saling mengenal. Bagaimana mungkin kamu bisa hamil anakku?” tanyanya dingin. Kalimat sang pria membuat Alisha menangis semakin kencang. “Ya Tuhan, demi menutupi aibmu, sekarang kamu berpura-pura tidak mengenalku?! Padahal sebelumnya kamu