Alisha berlari sekuat tenaga, napasnya memburu. Dia bahkan tidak berani menoleh ke belakang. Yang ada dalam pikirannya sekarang hanya satu: jangan sampai pria itu mengejarnya!
Begitu melihat taksi melintas, Alisha langsung melambaikan tangan. "Berhenti!" serunya. Usai masuk ke dalam mobil dan mengatakan tujuannya kepada sang sopir, Alisha menyandarkan kepalanya di sandaran kursi dan menghela napas panjang. "Ya Tuhan, kekonyolan macam apa ini? " gerutunya, masih setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Niat hati ingin membantu teman, tapi Alisha malah mempermalukan dirinya sendiri dengan salah orang!? Yang benar saja! Alisha ingat, di awal sebelum memasuki restoran, dia sudah menanyakan jelas di mana meja Alvin Wicaksana. Akan tetapi, kenapa pelayan mengarahkannya ke meja yang salah!? Di saat itu, Alisha terdiam, mencoba mengingat adegan awal dirinya tiba di restoran. “Permisi, meja Tuan Wicaksana di sebelah mana, ya?” Karena ramainya restoran, sang pelayan hanya melihat Alisha sekilas, lalu langsung merentangkan tangan ke satu arah. “Di sebelah sana, Nona. Kiranya, Nona ingin bertemu Tuan Wicaksana yang—eh! Nona, Tunggu!” Selanjutnya, tanpa menunggu kalimat sang pelayan selesai, Alisha langsung menghampiri meja pria bernama Zayden itu dan melaksanakan dramanya. Sekarang, dipikirkan kembali, ini semua benar-benar salah Alisha. Belum sempat sang pelayan menyelesaikan kalimatnya, dia malah langsung menghampiri meja pria tadi begitu melihat kemejanya dan memulai aksinya. Andai saja Alisha lebih hati-hati dan paling tidak melihat nama di atas meja, seharusnya kekonyolan tadi tidak akan terjadi! Frustrasi, Alisha langsung menutup wajahnya dengan dua tangan. ‘Kemeja merah sialan…’ gerutu Alisha, masih belum sepenuhnya terima kenyataan dirinya sudah membuat kesalahan. Sekitar setengah jam meratapi nasibnya dalam taksi, Alisha akhirnya sampai di apartemennya. Dia langsung masuk dan berniat membersihkan diri sebelum menelepon Yumi. Akan tetapi, baru saja meletakkan tas di sofa, ponselnya tiba-tiba berdering. Saat Alisha melihat layar, dia membeku. [Yumi.] ‘Hah … Yumi pasti kecewa aku gagal,’ batin Alisha seraya menghela napas sebelum akhirnya mengangkat panggilan. “Halo—” "Alisha, Sayang! Hebat banget sih, kamu?!” Hah? “Makasih banget, ya! Karena kamu, akhirnya Kak Alvin nggak jadi nikah! Perjodohan itu batal!" Alisha mengernyit. Perjodohan Alvin batal? Bagaimana bisa? "Sorry, Yum. Gimana maksudnya? Perjodohannya batal? Kok bisa?" tanya Alisha, merasa sangat bingung. Sandiwaranya saja tidak terlaksana, bagaimana bisa perjodohannya batal. Di sisi lain, Yumi juga ikut merasa bingung. “Loh, kok malah tanya balik. Ya jelas karena kamu berhasil nggak sih sandiwaranya?” Alisha memijit pelipisnya, lalu membalas, “Yum, aku saja salah orang. Gimana bisa bersandiwara baik?” “Hah? Salah orang?!” Tidak perlu berpikir dua kali, Alisha pun langsung menceritakan kepada Yumi mengenai apa yang terjadi. Dimulai dari dia yang tidak mendengar kalimat pelayan hingga selesai, menuduh pria yang salah, hingga akhirnya menyadari kebodohannya ketika wanita yang dia kira tunangan pria itu malah mengaku sebagai ibunya. “Nggak cuma itu, ibunya bahkan berniat menikahkan kami! Arghh, memalukan!” gerutu Alisha mengakhiri ceritanya. “Ha ha ha ha!” Yumi tidak bisa berhenti tertawa, jelas dia tidak menyangka kalau hal seperti itu bisa terjadi kepada sahabatnya. “Ketawa terus! Kamu nggak tahu aku malu setengah mati. Fix, setelah ini aku nggak akan ke restoran itu lagi! Mukaku mau ditaruh di mana?!” Paham dengan rasa malu yang diderita Alisha, tawa Yumi pun mereda. “Sudah, sudah. He he. Karena sudah kejadian, anggap saja lagi sial,” ucapnya yang diikuti dengan dengusan Alisha. Merasa bersalah karena semua ini terjadi karenanya, Yumi pun berkata, “Gini deh. Karena toh kamu juga berusaha demi aku, uang 50 jutanya tetap kutransfer.” Belum lama Yumi mengatakan itu, notifikasi ponsel Alisha berbunyi. [Transfer masuk: Rp50.000.000.] Mata Alisha membesar. “Eh, Yum! Aku ngedumel untuk curhat saja, bukan untuk ini. Aku bahkan nggak ngelakuin apa-apa untuk bantu kamu!” "Sudah, hitung-hitung kamu hibur aku juga deh! Toh pernikahannya Kak Alvin juga batal, jadi aku tetap merasa puas!” “Tapi ….” “Aduh, Alishaku, Sayang. Kalau bukan karena aku yang minta bantuan kamu, tragedi salah orang tadi ‘kan nggak bakalan kejadian. Jadi, anggap ini bonus dari aku dan terima aja, oke?! Masa kamu tega buat aku merasa nggak enak dan bersalah terus karena udah ngerepotin kamu?” rengek Yumi di akhir, mencoba meyakinkan Alisha. Karena Yumi sudah berbicara, dan Alisha sendiri perlu uang ini, akhirnya dia pun berkata, “Oke kalau begitu. Terima kasih ya, Yum.” Yumi tersenyum dan tertawa kecil. “Sama-sama, Sayang!” balasnya. “Kalau begitu, sudahan dulu, ya. Aku ada janji mau makan malam sama adik Kak Alvin malam ini. Aku mau tahu, kalau bukan karena kamu, sebenarnya kenapa perjodohan Kak Alvin batal! Adios!” Usai mengatakan itu, panggilan pun diakhiri. Alisha menghela napas, lalu membaringkan tubuh di tempat tidur. Otaknya masih tidak bisa lupa dengan kejadian memalukan tadi. Termenung lama, Alisha menampar kedua sisi wajahnya. “Haduh, Alisha! Berhenti memikirkan masalah tadi. Sudah lewat! Toh dunia begitu luas. Kemungkinan kamu bertemu lagi dengan orang-orang itu sangat kecil!” Dia mencoba menghibur dirinya sendiri. Andai saja Alisha tahu … pemikirannya itu salah besar. ** Keesokan harinya, Alisha tiba di kantor dengan semangat. Menepis ingatan tentang kejadian memalukan di hari yang lalu, ada lima puluh juta yang bersemayam di akun banknya. Siapa yang tidak senang kalau punya uang, ‘kan? Oleh karena itu, suasana hatinya hari ini sangat baik dan dia berniat untuk fokus bekerja. Baru saja Alisha memasuki ruang kantor departemennya, dia merasa ada sesuatu yang berbeda. Rekan-rekannya berbisik heboh, wajah mereka penuh antusias. "Ada apa nih? Kok pada semangat banget?" tanya Alisha pada Tika, teman sekantornya. Tika menoleh dengan mata berbinar. "Kamu belum dengar? Kita punya bos baru, Al!" Mulut Alisha membentuk huruf ‘o’. "Oh …." Kemudian, dia mengedikkan bahu dan langsung menyalakan laptop kantornya. "Ih, kok reaksinya datar banget sih!" Tika mendecak. Alisha menatap Tika bingung. “Habis harus gimana? Bos baru tuh berarti tata cara baru, tahu. Pasti nanti akan merepotkan!” Tika mendecak-decakkan lidah seraya menggoyangkan jari telunjuknya di depan wajah Alisha. “Ck ck ck, bukan itu poin pentingnya, Alisha sayang.” Kemudian, dia mendekatkan wajah dan tersenyum lebar. “Poin pentingnya adalah dia ganteng, muda, kaya raya… Pokoknya paket lengkap!" Alisha hanya mendesah. Tika memang orang yang seperti ini, tidak bisa mengendalikan diri kalau berurusan dengan pria tampan. "Percuma juga kalau paket lengkap tapi udah jadi jodoh orang," sahut Alisha sambil sibuk menyusun dokumen. Tika mencibir. "Dia masih single! Nggak pernah pacaran katanya!” “Halah, single juga buat apa kalau memang levelnya beda?” balas Alisha santai sembari duduk di kursinya. Kesal, Tika memutar bola mata. “Awas aja, nanti kalau sampai aku tahu kamu suka sama dia, aku bakalan nagih sepuluh juta!” Alisha tertawa kecil. "Iya, iya. Apa katamu deh, Kanjeng Ratu.” Tepat di saat Alisha baru saja ingin mulai fokus ke pekerjaannya, tiba-tiba manajernya datang dengan ekspresi serius. "Alisha, Pak CEO panggil kamu ke ruangannya.” Alisha menegang. "Hah? Saya?" Dia terdiam sesaat. “Sekarang?” "Iya. Sekarang. Cepat sana, jangan banyak tanya. Nanti saya yang kena omel." Ruangan mendadak sunyi. Semua mata tertuju pada Alisha. "Wow, Al! Hari pertama dia masuk, kamu langsung dipanggil!" seru Tika, setengah berbisik. “Memang karyawan terbaik kantor nggak main-main popularitasnya sama manajemen!” Alisha menautkan alis. Memang dirinya sudah beberapa kali dinobatkan sebagai karyawan terbaik kantor yang memberikan penjualan terbanyak. Akan tetapi, dia merasa ada yang sedikit janggal. ‘Jangan berpikiran negatif, Sha. Mungkin aja ini soal promosi yang sempat tertunda sama CEO sebelumnya!’ Dengan penuh semangat, Alisha berdiri dan gegas menuju ruang CEO yang berada di ujung lorong panjang lantai tersebut. Saat tiba di depan pintu besar berukiran elegan, dia menarik napas panjang. Semangat, Alisha. Ini kesempatan besarmu! Mendorong pintu tersebut dan melangkah masuk, Alisha memasang senyum terbaiknya yang sudah dia latih bertahun-tahun. “Selamat siang, Pak—” Langkah Alisha mendadak berhenti, begitu pula dengan kalimatnya. Mata cantiknya terpaku pada satu sosok pria yang duduk di kursi CEO… "Ka-kamu?" suara Alisha hampir tidak terdengar. Senyum dingin mengembang di bibir pria di hadapan. Mata elangnya mengunci pergerakan Alisha, seolah menguliti semua pertahanannya. "Halo, Sayang," ucapnya santai, namun penuh sindiran. "Bagaimana kondisi kandunganmu hari ini?" Zayden Wicaksana, pria yang Alisha permainkan di hari yang lalu, sekarang terduduk di kursi kebesaran CEO kantornya. ‘Ah … matilah aku ….’*Beberapa saat sebelumnya* Di dalam ruangan kantor eksekutif yang luas, Zayden Wicaksana tampak duduk dengan ekspresi dingin, menelusuri sejumlah dokumen di tangan. “Tuan, ini laporan lengkap perihal nama-nama karyawan yang diduga memiliki keterlibatan dengan manajemen lama yang bermasalah. Ada juga sejumlah karyawan berprestasi yang kami harap bisa dipertahankan dan digunakan untuk menggantikan manajemen lama,” ucap manager HR seraya memberikan sebuah tablet kepada Zayden. “Hmm, aku akan mengeceknya. Kamu bisa pergi,” ucap pria tersebut. Saat Manager HR meninggalkan ruangannya, Zayden pun beralih mengalihkan pandangan pada tablet yang baru saja diletakkan di mejanya. Dia mulai memeriksa satu persatu data karyawan, sampai akhirnya … pandangannya terpaku pada satu wajah yang terlihat sangat familier. Mata Zayden menggelap, dan dia melihat nama karyawan tersebut. Alisha Gayatri. Seketika, rahang Zayden mengeras dan senyuman sinis yang mengerikan terlukis di bibirnya. “Ali
Alisha terkejut, matanya membesar mendengar pernyataan Zayden. “Apa Bapak tidak salah ngomong?” tanyanya ragu, suaranya sedikit meninggi karena keterkejutan. Namun, alih-alih mendapat jawaban masuk akal, wajah Zayden malah terlihat semakin menggelap. “Aku tidak punya waktu untuk bermain-main seperti kamu,” balasnya dingin. “Kalau kamu tidak mau dipecat, jadi istri saya.” Alisha mengerjapkan mata, memastikan telinganya tidak salah dengar dan otak Zayden bekerja dengan baik. Namun, wajah serius pria di depan mata menunjukkan bahwa ini bukan lelucon. “Lagipula,” lanjut Zayden, nada suaranya penuh sindiran, “seperti yang kamu bilang kemarin, kalau sudah menghamili wanita, bagaimana mungkin aku tidak bertanggung jawab, bukan?” Alisha menelan ludah, merasa kepalanya mendadak pusing. Namun, di tengah keterkejutannya, sebuah pemikiran aneh muncul dalam benaknya. Apa mungkin pria ini… hanya ingin menutupi kelainan orientasi seksualnya? Alisha langsung teringat dengan ibunya Za
Saat tiba di kediaman orang tuanya, Zayden bahkan belum sempat duduk sebelum suara tegas ibunya langsung menyambut. “Zayden! Sini, Mama mau bicara.” Zayden menghela napas. Dia mengikuti ibunya ke ruang keluarga, duduk, lalu berkata, “Kalau ini tentang ‘wanita itu’, bisa kita tunda dulu? Aku lelah.” “Zayden, tidak sopan memanggilnya ‘wanita itu’ terus! Beri tahu Mama namanya!” Seperti yang sudah Zayden duga. Sang ibu benar-benar menanyakan soal Alisha. Tidak ingin memperpanjang masalah, akhirnya Zayden menjawab dengan nada datar, “Alisha Gayatri.” Mata Martha berbinar. “Jadi namanya Alisha, ya?” Nada bicaranya melembut saat menyebut nama wanita yang ia bayangkan akan menjadi calon menantunya. Wanita itu cantik, dengan wajah manis yang sulit dilupakan. “Namanya cukup bagus,” puji Martha, membuat Zayden diam-diam memutar bola mata. “Lalu, bagaimana latar belakang keluarganya? Dia anak ke berapa? Orang tuanya bekerja di mana?” “Dia tidak punya orang tua. Keluarga juga tid
Tepat saat jarum jam menunjuk ke angka lima, Alisha sudah keluar dari rumah dan menunggu di lobi apartemennya. Di sana, sebuah mobil hitam mewah sudah terparkir, kentara sedang menunggu seseorang.Perlahan, kaca pintu belakang mobil terbuka, dan sosok tampan Zayden yang hadir dengan jas hitam, muncul sembari menatap tajam dirinya. “Masuk,” titah pria itu, membuat Alisha menelan ludah.Masuk setelah dibukakan pintu oleh sang sopir, Alisha pun masuk dan duduk di sebelah Zayden. Di bibir, wanita itu tidak lupa memaksakan sebuah senyum ke arah Zayden.“Maaf, Pak, karena saya ketiduran, jadi merepotkan Bapak,” ucapnya berbasa-basi.Hanya mendengus dan tidak membalas, Zayden mengalihkan pandangan ke depan, pada sopir yang sudah kembali siap di depan kemudi. “Jalan,” perintahnya dengan nada rendah penuh tekanan.Tahu jelas bahwa Zayden sedang marah, Alisha pun memutuskan untuk bungkam. Dia tidak mau mencari-cari masalah dengan singa tidur itu.Namun, memang hidup tidak selalu berjalan sesu
Semua orang menoleh, lalu melihat seorang wanita muda bertubuh ramping dengan gaun ketat menghampiri. Rambut panjang bergelombangnya mencapai pinggang, dan wajahnya yang cantik tampak diselimuti keangkuhan.Ekspresi Zayden mengeras, dan dia langsung menarik Alisha mendekat ke sisinya, seakan melindungi wanita itu. “Jaga bicaramu, Tania,” balas Zayden dengan ekspresi gelap dan suara rendah yang mengancam. “Apa kamu sedang menghina calon istriku?”Diam-diam, Alisha cukup terkejut. Kalau bukan karena dirinya tahu mereka sedang bersandiwara, dia bisa mengira Zayden benar-benar perhatian padanya!Wanita bernama Tania, yang Alisha duga adalah sepupu Zayden, mengedikkan kedua bahunya. “Bukan menghina, Zay, hanya mempertanyakan aja,” ucapnya. “Tante Vivian tuh nggak salah loh. Dari dulu kami nggak pernah dengar kamu dekat sama wanita, tapi sekarang kamu tiba-tiba bisa bawa calon istri ke rumah, siapa sih yang nggak merasa aneh?”Semua orang mulai berbisik, merasa omongan Tania ada benarnya.
Bukan cuma Alisha yang berakhir terbengong, tapi seisi ruangan seolah membeku, terlebih lagi Vivian dan Tania. “Pa, Papa bilang apa? Hamil? Siapa yang hamil? Anaknya siapa?!” seru Vivian, sedikit terlalu panik untuk memproses pernyataan sang ayah. Henry menghela napas, seolah putrinya baru saja menanyakan sesuatu yang sangat jelas. Ia lalu melirik Alisha, ekspresinya berubah lembut, sebelum mengumumkan dengan lantang, “Alisha sedang mengandung anak Zayden, dan karena itu, mereka akan menikah secepatnya!” DUAR! Seolah granat meledak di tengah ruangan, semua orang langsung berseru dan berbisik-bisik. “Apa? Jadi, Zayden benar-benar punya pacar secara diam-diam dan tidak menyimpang?” “Pacarnya bahkan sudah hamil! Bagaimana dia bisa dirumorkan menyimpang?!” Melihat pernyataannya mengenai Zayden mulai tergeser, Tania yang masih tidak percaya dengan ucapan itu langsung berkata, “Kakek jangan mengada-ada. Mana mungkin Zayden menghamili wanita? Selama ini kita tahu dia ini kan menyimpang
‘Astaga, Alisha! Kamu benar-benar gila!!!’ Alisha berteriak panik dalam hati. ‘Harusnya Pak Bos gak marah, kan?!’ tambahnya lagi. ‘Ini demi akting agar sukses, kan?!!’ Alisha kemudian melihat ke dalam mata Zayden yang saat ini tubuhnya sedikit menegang. Namun, Zayden masih tidak bereaksi lebih. Hanya tatapan matanya yang semakin dalam, menyapu wajah Alisha yang kini bersemu merah.Alisha yang sadar kalau dia sudah kelewatan, berniat menarik dirinya mundur. Namun, tangan kanan Zayden tiba-tiba menahan tengkuknya, membuat Alisha tidak bisa bergerak. Lalu, pria itu memiringkan kepalanya sedikit, dan mulai membalas, bahkan memperdalam ciuman mereka!‘Apa yang–!’Protesnya hanya tersangkut di tenggorokan ketika kehangatan yang menguar dari bibir pria itu mulai melumpuhkan kewarasannya. Sensasi itu mengalir deras, merampas akal sehatnya. Ia ingin berontak. Harusnya berontak. Tapi sial! Tubuhnya justru berkhianat. Ia larut dalam ciuman yang menuntut, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Pertanyaan Zayden yang tiba-tiba terlontar membuat Alisha membeku. Wanita itu menoleh cepat dengan bingung.“Hah?” Alisha tak bisa menyembunyikan sedikit rasa tersinggungnya.Zayden meliriknya sekilas, lalu berkata, “Apa aku salah?” Pria itu mendengus dingin dan menambahkan, “Berani menciumku di depan banyak orang seperti itu, kentara sekali kamu sangat profesional dan berpengalaman dalam hal ini, bukan begitu?” tanyanya. “Berapa banyak pria yang sudah kamu cium?”Mendengar kalimat Zayden dan juga nada bicara pria itu yang seakan merendahkan, membuat Alisha merasa emosinya membumbung tinggi.Kalau bukan karena dirinya terikat perjanjian untuk membantu Zayden, dan juga merasa kasihan dengan betapa pria itu disalahpahami, apa pria itu pikir Alisha akan nekat menciumnya!?Namun, Alisha tahu marah tidak ada gunanya, terutama karena bosnya ini adalah kulkas berjalan. Alhasil, dia hanya menjawab singkat, “Itu ciuman pertama saya.”CIIIT!“Aduh!”Rem yang diinjak kencang secara mendadak memb
Di dalam kendaraan yang membawanya pulang kembali ke kantor Zayden mengirimkan pesan singkat itu pada Alisha, dan tidak berselang lama, wanita itu membalasnya.[“Baiklah! Sore nanti pulang kantor aku akan pergi ke rumah sakit dulu untuk menjenguk Nariza.”]Hanya saja Zayden membacanya dengan wajah datar dan tanpa ekspresi berarti.“Tuan, untuk pengerjaan interior apartemen Anda bisa diselesaikan seluruhnya dalam waktu dua hari lagi dan paling lama bisa tiga hari lagi.” Ucapan Arsel barusan membuat Zayden mengalihkan perhatiannya dari ponsel itu dan segera memasukkan benda pipih itu ke dalam sakunya.“Tidak masalah, yang jelas kamar untuk Nariza selesaikan lebih cepat, karena dokter yang merawatnya mengatakan padaku kalau anak itu sudah bisa pulang besok.” Zayden berkata dengan tenang.“Untuk kamar, sudah saya katakan pada pemborong untuk mempercepatnya, kemungkinan hari ini semuanya sudah rampung.” Arsel langsung memberikan keterangannya.Zayden mengangguk singkat. “Alisha … apa dia a
“Apa kamu bilang?!”Zayden mengembuskan napas dalam sambil menggeleng pelan, seolah menertawakan sesuatu yang hanya bisa ia mengerti. Senyumnya mengembang tipis, nyaris mengejek, namun tak sepenuhnya dingin. Ia menatap Alisha dengan ekspresi geli. Lagipula, apa yang dalam pikiran Zayden tentu saja berbeda dengan Alisha.“Alisha, sudah kukatakan ini tidak sesederhana itu,” ujarnya tenang, matanya menelusuri wajah polos Alisha yang masih penuh rasa penasaran.‘Tentu saja tidak sederhana… karena kamu tidak suka wanita!’ seru Alisha dalam hati. Tapi dia menahan diri untuk tidak mengatakannya. Ia tidak ingin menyakiti Zayden atau membuatnya merasa tersudut dengan ‘kelainannya’.“Aku hanya mengatakan hal yang paling mungkin saja, lagi pula alasan nenekmu tidak suka denganku sangat logis, karena aku ini bukan siapa-siapa. Seharusnya yang menjadi pendampingmu setidaknya orang yang satu level dan satu lingkungan dengan keluargamu.” Alisha mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya kepada Zayde
Sudah hampir pukul setengah satu malam, tetapi Alisha masih betah berlama-lama di lantai bawah. Tangannya sibuk merapikan barang bawaan dan menata belanjaannya, meski sebenarnya pekerjaan itu bisa selesai jauh lebih cepat. Namun, dia sengaja memperlambat gerakannya—berpura-pura sibuk demi menghindari satu hal: menatap mata Zayden. Sejak insiden tadi, tubuhnya terasa panas dingin, dan jantungnya tak berhenti berdebar.“A-apa yang kamu lakukan barusan?” Suara Zayden terdengar datar saat itu, namun cukup untuk memecah keheningan yang sempat tercipta karena ulahnya itu. Nada terkejutnya begitu jelas, sama bingungnya dengan apa yang dirasakan Alisha.Alisha jelas panik. “Itu tadi … cuma ungkapan terima kasih! Iya, terima kasih aja!” jawabnya tergagap, tak berani menatap wajah pria itu. Wajahnya sudah memerah karena malu. Tanpa berpikir panjang, dia segera berbalik dan menjauhi Zayden, sibuk dengan barang-barang miliknya yang diletakkan oleh Zayden di ruang tengah.‘Alisha kamu benar-benar g
Alisha berkedip pelan, matanya masih berat oleh kantuk. Tapi ada sorot aneh di matanya—bukan sepenuhnya sadar, tapi cukup membuat Zayden menahan napas. Tatapan itu ... seperti menggambarkan sesuatu yang seharusnya tak tertangkap. Seperti mendengar bisikan yang tak ditujukan untuknya. “Kamu …,” gumam Alisha, suaranya serak dan pelan, seolah hendak mengulang potongan kalimat yang baru saja melayang di telinganya. Zayden membeku. Mata Alisha menatap lurus ke arah Zayden. “Kamu bilang aku pasti melin—” Tok! Panik singkat membuat Zayden tanpa pikir panjang menyentil kening Alisha dengan sedikit keras. “Aw!” Alisha meringis pelan, tangannya spontan menutup keningnya yang memerah. “Apa-apaan sih?!” protesnya dengan wajah kesal, matanya kini terbuka lebar karena rasa nyeri di keningnya akibat sentilan yang dibuat oleh zayden barusan. Zayden pura-pura bersikap santai, padahal jelas gugup. Ia mengangkat bahu, acuh. “Kamu mengigau, jadi aku bantu bangunin. Daripada kamu mimpi bica
Begitu duduk di dalam mobil, Alisha memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan lewat mulut. “Hmm... lumayan lega,” gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri akibat dari tekanan yang dia terima dari nenek Zayden tadi. Tapi ketenangannya hanya bertahan sekejap. Saat membuka mata dan melihat ke arah Zayden—pria itu melihatnya dengan sorot mata gelap penuh tekanan—tubuhnya spontan berlonjak karena terkejut. “Ya ampun! Kaget tahu! Muka kamu serem banget kayak ib ….” sadar kalau mulutnya nyaris melakukan kesalahan Alisha langsung merapatkan bibirnya dan tidak meneruskan kalimatnya. “Apa?” Zayden berkata dengan nada dingin. “Mau mengatakan aku ini seperti iblis?” lanjut pria itu lagi. “Itu ….” Alisha langsung menunduk dan memainkan ujung-ujung jarinya, karena merasa bersalah sudah keterlaluan bicara dengan bahasa yang tidak pantas pada atasanya dan juga ‘suami’-nya itu. “Atau … mau mengatakan kalau kamu tidak suka wajah dinginku karena terlihat sepe
Suasana mendadak hening sejenak sesaat setelah Helena mengatakan hal itu. Helena mengundang Alisha untuk makan malam di rumahnya? Hal ini jelas membuat Zayden menatap Helena dengan cukup dalam. “Mengenalnya lebih dalam?” pertanyaan yang keluar dari mulut Zayden ini terkesan sangat dingin sekali.Helena mengangguk memastikan. “Tidak perlu mengenalnya lebih dalam, lagipula bukankah Anda punya pekerjaan yang lebih penting daripada sekedar mengurusi masalah pernikahanku ini.” Zayden jelas menolak perintah Helena tersebut.Akan tetapi Helena tersenyum tipis dan melihat ke arah Alisha dengan tatapan yang cukup tajam.“Alisha kan namamu?” Helena berkata pada Alisha.Alisha mengangguk pelan, saat mata tajam Helena tertuju padanya.“Aku mengundangmu ke kediamanku besok. Seharusnya, kamu tidak menolak ajakan dari tetua keluarga besar suamimu, kan?” Pertanyaan itu terdengar sedikit menekan.Zayden kembali ingin menjawab, hanya saja Alisha mengeratkan genggaman tangan mereka untuk membuatnya dia
Helena Wijaya, satu-satunya pewaris tunggal keluarga Wijaya. Pernikahannya dengan Henry Wicaksana-kakek Zayden-putra dari keluarga Wicaksana membuat bisnis kedua keluarga ini kian membesar. Insting bisnisnya cukup kuat, dan keputusan yang dia buat nyaris tidak pernah meleset. Dia tidak kalah hebat dengan suaminya dalam membesarkan bisnis mereka, hanya saja sejak beberapa bulan yang lalu, kondisi kesehatan Henry mengalami penurunan hingga akhirnya membuat Helena harus menetap sementara di luar negeri demi memastikan semuanya tetap berjalan stabil—baik bisnis, maupun kesehatan sang suami. Kini, di ruang yang sama, Alisha saat ini sudah duduk di samping Zayden. Tangan pria itu masih menggenggam tangan Alisha erat, seolah tak ingin melepaskannya. Akan tetapi, perhatian Alisha teralih bukan pada genggaman itu, melainkan pada interaksi diam-diam yang terjadi antara Zayden dan Helena. Ada sesuatu yang terasa janggal. Apalagi ketika Zayden menyapa neneknya dengan sebutan formal—“Nyonya
Zayden mendadak terdiam. Rahangnya mengeras, dan seulas senyum masam terbit di wajahnya, lebih mirip seringai kecut daripada tawa. Sorot matanya meredup sejenak, seolah menahan sesuatu yang tidak ingin ia ungkap. Ada kilatan tidak suka di matanya, meski mencoba menutupinya dengan sikap acuh. “Jangan banyak tanya,” ujarnya akhirnya, nada suaranya datar namun mengandung tekanan. “Makan saja. Nanti kamu akan tahu sendiri.” Mendapatkan respons yang seperti itu dari Zayden mendadak Alisha tersadar akan sesuatu. ‘Mana mungkin juga Zayden punya pacar, kan? Bukannya dia ini menyimpang!’ Alisha lalu melanjutkan makannya dengan cukup santai sambil menertawai canggung kebodohannya yang berkata hal itu pada Zayden. Namun, jauh di dalam lubuk hati Alisha, ada perasaan tidak enak. Kalau bukan persoalan mantan pacar, maka … kiranya siapa yang mampu membuat Zayden mengeluarkan ekspresi seperti itu? *** Sepanjang perjalanan mereka tidak terlibat percakapan yang cukup serius, pun Alisha
Daripada bertanya maksud Zayden, Alisha lebih tertarik untuk tahu tentang pria itu.“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya hati-hati.Zayden kembali duduk tanpa menjawab, pandangannya kosong. Jemarinya menaut di atas meja. Alisha bisa melihat betapa pria itu sedang menahan sesuatu. Sesuatu yang besar.Setelah pelayan mengantarkan pesanan makanan mereka yang terakhir, akhirnya Zayden berkata, “Besok, aku akan pergi lebih pagi, aku akan ke rumah mama lebih dulu.” Rasa penasaran ini makin menjadi-jadi hingga akhirnya Alisha tidak tahan untuk bertanya tanpa basa-basi lagi. “Kuperhatikan sejak mendapatkan telepon tadi, kamu menjadi gelisah, apa aku boleh tahu siapa yang menghubungimu?” Zayden menghentikan gerakan tangannya yang akan menyuapkan makanannya ke dalam mulut. Terlihat seperti sedang berpikir. “Itu bukan apa-apa,” jawabnya singkat, tetapi jelas saja itu tidak membuat Alisha puas.Wanita itu terlihat mendesah berat dan meletakkan sendok dan garpunya. “Bukan apa-apa tapi wajahmu kentara s