Gus Farhan dan malam tetiba menjadi kawan saling dekap dalam keheningan. Ia menyelaraskan gelap dalam diam, lampu kamar sengaja dipadamkan. Berhari-hari keluar dari ruang lima meter kali enam meter itu hanya untuk makan, membuang sampah, dan menghirup udara segar di belakang rumah. Ia belum berani menampakkan wajah di hadapan Abah Aziz juga Umi. Kedua orang tua itu sedang dilanda kecewa. Akan lebih baik jika mereka tidak saling sapa terlebih dahulu, demi meredam emosi yang semula mengambang ke permukaan wajah. Ia banyak bersujud, merenungi perbuatan lampau—berpikir keras, mendalami ketepatan Langkah dalam mengabil alur kehidupan. Atau jangan-jangan selama ini ia sungguh salah melangkah? Malam dihabiskan untuk berdzikir dan meluruhkan rasa letih terhadap kefanaan duniawi. Gus Farhan istighfar, memohon ampun atas dosa-dosa yang tertimbun. Jika merasa cukup menundukkan kepala, maka ia akan mengambil kitab suci Al-Quran, nderes. Umi mendengar rintih batin Gus Farhan melalui bacaan terse
Hari itu, di rumah sakit yang sama, Agam melihat Anggi menangis tersedu-sedan. Ia berdiri di depan ruang ICU. Rambut pirangnya disapu angin pagi, bedaknya luntur terbasuh gigil dari dalam hati. Perlahan tubuhnya merosot pada dinding rumah sakit, menenggelamkan wajah di antara lutut, meratap dengan bahu berguncang hebat. Agam berdiri tiga meter darinya, ada pertanyaan yang berkelindan di kepala. Bunda ditemukan pingsan di kamar. Empat hari lalu ia membawa Bunda ke UGD dengan perasaan kalang kabut. Ingin menangis tetapi waktu menahan, ingin meminta bantuan, sayang ia tidak mau menyusahkan para tetangga yang terlanjur melepas lelah. Pada akhirnya Agam menghubungi taxi online. Kondisi Bunda melemah, beban pikiran yang merundung di kepala membuat tekanan darahnya drop, disusul ia jarang makan teratur dan kurang beraktivitas. Beban hidup Agam bertambah, bukan perihal biaya, sebab administrasi rumah sakit telah ditanggung layanan kesehatan oleh pemerintah, akan tetapi lebih pada batin Bunda
Pembeli silih bergantian masuk, membeli barang sesuai kebutuhan. Wajah-wajah pendatang selalu datar, serupa papan titian, sewaktu-waktu akan berubah di atas, bisa juga terjun ke bawah menabrak permukaan tanah, adakalanya mereka seramah nenek moyang, tetapi tidak mustahil pula bersikap dingin. Di waktu pagi atmosfer toserba seringkali dipasok suasana sepi, hanya satu dua pembeli yang mencari-cari sarapan instan. Di jam-jam sibuk ketika matahari bertengger di atas kepala, kaum wanita mulai sibuk mencari diapers dan susu formula, hal itu membuat tempat kerja Agam menjadi sesak. Di jam-jam kepulangan kerja, rak-rak makanan, rak-rak sembako, rak-rak camilan, kulkas-kulkas ice cream diburu tanpa terkecuali pembalut perempuan. Selepas senja, menjelang malam bertandang, toko kembali menggeluti sepi, Zea akan duduk di kursi sebelah kasir, istirahat menenggak soft drink, sementara Agam sibuk memelototi jalanan. Ia menghapal plat-plat mobil, mencatat dalam ingatan siapa saya yang kerap singgah
"Kekasih?" tanya Bawon, tetiba sudah mendekat. "Maksud gue mantan kekasih?" Ia memastikan. Shofi menghela napas. Sisa bulir perih yang masih membekas di pipi, ia seka pelan-pelan. "Jangan diam saja, cantik! Jawab!" sentak Bawon. Shofi masih kesal dengan Bawon, lebih-lebih setelah Agam datang. Ia mendoakan hal buruk menimpa Bawon supaya bisa membuatnya sadar. Beberapa jam yang lalu, ketika Shofi beristirahat di rumah sekapan. Lelaki itu datang membawa kabar mengenaskan dengan rupa penuh kebahagiaan. Ada sunggingan senyum di sudut bibir. "Lihat ini!" ponsel Bawon dilempar ke pangkuan Shofi. Sebuah vidio menampilkan seorang gadis yang tengah meronta-ronta Karena kehilangan ibunya—Anggi. .Jantung Shofi bergemuruh hebat. Anggi menangis sekuat tenaga, mengguncangkan tubuh kaku yang tak lagi memiliki nyawa, kemudian ia kembali duduk. Satu hal yang membuat Shofi dipenuhi perasaan takut, wanita tua di dalam vidio itu sudah berbalut kain kafan. Bawon mengambil kesempatan dalam kesempitan o
"Abah ..." Gus Farhan menghampiri Abah Aziz yang sedang berdiri di serambi masjid, menyaksikan rutinitas pagi para santri. Ada yang bergegas mandi kemudian menuju dapur, sarapan lantas berangkat sekolah. Ada juga yang masih sibuk mengeluarkan keringat, menyongsong matahari terbit dengan lari-lari kecil, pun ada yang duduk khusyuk di dalam masjid, senantiasa menggemakan ayat-ayat suci Al-Quran sembari menunggu waktu sujud dhuha tiba. Sinar matahari menyepuh wajah Abah Aziz, membuatnya berseri-seri dan kewibaannya bertambah tajam. "Ada apa, Farhan?" Abah Aziz merespons dengan lembut. Dalam kondisi tenang ia tidak membawa-bawa rasa kecewa juga sakit hatinya akibat ulah Gus Farhan. Abah Aziz sudah berpengalaman dalam mengolah emosi. "Farhan merasa seperti kucing yang dikurung sang majikan," ungkap Gus Farhan beranalogi. "Setelah dibiarkan mencari pengalaman hidup berlimpah di luar sana dengan liar," lanjut Gus Farhan sambil mengenang kisahnya selama berada di Negara Mesir. Saat itu ia
Rasa sakit yang merongrong perasaan mulai dikikis, sebab jika semakin diingat, Agam tidak berhenti menangis. Sudah dari kemarin ia menyembunyikan sesak dada, menahan gejolak amarah yang ingin diledakkan. Akan tetapi, demi wajah Bunda yang mulai berseri, ia tetap bertahan mengembangkan senyum, demi Bunda yang menemukan semangat untuk pulang ke rumah. Kabarnya, dokter telah mengijinkan Bunda menjalani rawat jalan—tak perlu diopname lagi. Setiba di rumah, Agam merapikan tempat tidur, membersihkan sudut-sudut rumah. Membiarkan tetangga menengok Bunda, juga menyiapkan makan siang di meja makan. Ia tumpahkan asin di kerongkongan ketika tidak ada Bunda. Bagaimana pun Shofi dia anggap sangat keterlaluan. Agam tidak habis pikir dengan kakaknya. "... kamu sangat keji, Shof!" bisik Agam sembari mengepalkan tinju di atas permukaan meja. Ia menatap tajam, lurus ke depan penuh dendam. Satu hal yang paling membuat Agam tersiksa, ia telah menanamkan janji untuk membawa pulang Shofi. Menyeret orang
Lihatlah, Bunda tubuhnya serapuh kayu tua—kering sementara kulitnya mengkerut dan kisut. Ada lubang hitam di bawah kantung mata. Jilbab yang dikenakan menjadi kebesaran bahkan miring. Bunda tidak sesegar dahulu. Beningnya pun dipenuhi dengan kaca-kaca. Gus Farhan telah tiba di kantor pondok, tidak lama kemudian disusul Abah Aziz. "Ibu, apa kabar?" Gus Farhan langsung membungkukkan badan, menyamakan tingginya dengan posisi Bunda yang duduk di atas kursi. Ia meraih tangan Bunda, mengecupnya sebagai bentuk penghormatan. Entah mengapa ia merasa perlu melakukan tersebut. Perasaannya teraduk-aduk ketika menyaksikan kepedihan masih terangkum kental di pelupuk mata Bunda. "Alhamdulillah baik, Han. Katanya kamu tidak bisa keluar dan tidak bisa diganggu, Farhan." "Siapa yang menyampaikan hal itu, Bu? Apakah Kang Zaki?" Bunda mengangguk. "Saya hanya sedang berpikir banyak." "Perihal?" Abah Aziz menarik napas panjang. Mengumpulkan segenap kesabaran supaya tidak salah mengucap kata-kata.
Musim kering berangsur menjadi lembab. Jendela-jendela rumah dipenuhi jutaan titik embun. Toserba emperan jalan, mulai men-stock dagangan jas hujan dan payung aneka warna. Kedai-kedai kopi semakin lihai mengepulkan asap. Jalanan yang pernah retak, kini dipenuhi lumpur dan air dari selokan. Agam masih bekerja menjadi pelayan toko, Bunda juga tetap sama dengan rutinitas merapalkan doa supaya Shofi segera pulang. Jika dahulu Bunda enggan menyiapkan sarapan, lain dengan hari di musim basah itu, Bunda mulai mengepak bekal untuk Agam—memasukkan ke tas ransel kecilnya, juga menuangkan teh hangat ke botol minuman yang dibawa Agam. Bunda mulai memperhatikan kebutuhan Agam. Jika Agam sudah berangkat kerja, ia akan bersih-bersih, shalat dhuha, membaca Al-Qur'an, mengirimkan doa-doa, terus berharap semoga Shofi tetap selamat. Bunda sudah lelah mengharapkan polisi. "Bunda ..." lirih Agam memanggil sambil mengalungkan ransel. Ia baru saja mengecup punggung tangan Bunda. Bersiap berangkat kerja sh