Pembeli silih bergantian masuk, membeli barang sesuai kebutuhan. Wajah-wajah pendatang selalu datar, serupa papan titian, sewaktu-waktu akan berubah di atas, bisa juga terjun ke bawah menabrak permukaan tanah, adakalanya mereka seramah nenek moyang, tetapi tidak mustahil pula bersikap dingin. Di waktu pagi atmosfer toserba seringkali dipasok suasana sepi, hanya satu dua pembeli yang mencari-cari sarapan instan. Di jam-jam sibuk ketika matahari bertengger di atas kepala, kaum wanita mulai sibuk mencari diapers dan susu formula, hal itu membuat tempat kerja Agam menjadi sesak. Di jam-jam kepulangan kerja, rak-rak makanan, rak-rak sembako, rak-rak camilan, kulkas-kulkas ice cream diburu tanpa terkecuali pembalut perempuan. Selepas senja, menjelang malam bertandang, toko kembali menggeluti sepi, Zea akan duduk di kursi sebelah kasir, istirahat menenggak soft drink, sementara Agam sibuk memelototi jalanan. Ia menghapal plat-plat mobil, mencatat dalam ingatan siapa saya yang kerap singgah
"Kekasih?" tanya Bawon, tetiba sudah mendekat. "Maksud gue mantan kekasih?" Ia memastikan. Shofi menghela napas. Sisa bulir perih yang masih membekas di pipi, ia seka pelan-pelan. "Jangan diam saja, cantik! Jawab!" sentak Bawon. Shofi masih kesal dengan Bawon, lebih-lebih setelah Agam datang. Ia mendoakan hal buruk menimpa Bawon supaya bisa membuatnya sadar. Beberapa jam yang lalu, ketika Shofi beristirahat di rumah sekapan. Lelaki itu datang membawa kabar mengenaskan dengan rupa penuh kebahagiaan. Ada sunggingan senyum di sudut bibir. "Lihat ini!" ponsel Bawon dilempar ke pangkuan Shofi. Sebuah vidio menampilkan seorang gadis yang tengah meronta-ronta Karena kehilangan ibunya—Anggi. .Jantung Shofi bergemuruh hebat. Anggi menangis sekuat tenaga, mengguncangkan tubuh kaku yang tak lagi memiliki nyawa, kemudian ia kembali duduk. Satu hal yang membuat Shofi dipenuhi perasaan takut, wanita tua di dalam vidio itu sudah berbalut kain kafan. Bawon mengambil kesempatan dalam kesempitan o
"Abah ..." Gus Farhan menghampiri Abah Aziz yang sedang berdiri di serambi masjid, menyaksikan rutinitas pagi para santri. Ada yang bergegas mandi kemudian menuju dapur, sarapan lantas berangkat sekolah. Ada juga yang masih sibuk mengeluarkan keringat, menyongsong matahari terbit dengan lari-lari kecil, pun ada yang duduk khusyuk di dalam masjid, senantiasa menggemakan ayat-ayat suci Al-Quran sembari menunggu waktu sujud dhuha tiba. Sinar matahari menyepuh wajah Abah Aziz, membuatnya berseri-seri dan kewibaannya bertambah tajam. "Ada apa, Farhan?" Abah Aziz merespons dengan lembut. Dalam kondisi tenang ia tidak membawa-bawa rasa kecewa juga sakit hatinya akibat ulah Gus Farhan. Abah Aziz sudah berpengalaman dalam mengolah emosi. "Farhan merasa seperti kucing yang dikurung sang majikan," ungkap Gus Farhan beranalogi. "Setelah dibiarkan mencari pengalaman hidup berlimpah di luar sana dengan liar," lanjut Gus Farhan sambil mengenang kisahnya selama berada di Negara Mesir. Saat itu ia
Rasa sakit yang merongrong perasaan mulai dikikis, sebab jika semakin diingat, Agam tidak berhenti menangis. Sudah dari kemarin ia menyembunyikan sesak dada, menahan gejolak amarah yang ingin diledakkan. Akan tetapi, demi wajah Bunda yang mulai berseri, ia tetap bertahan mengembangkan senyum, demi Bunda yang menemukan semangat untuk pulang ke rumah. Kabarnya, dokter telah mengijinkan Bunda menjalani rawat jalan—tak perlu diopname lagi. Setiba di rumah, Agam merapikan tempat tidur, membersihkan sudut-sudut rumah. Membiarkan tetangga menengok Bunda, juga menyiapkan makan siang di meja makan. Ia tumpahkan asin di kerongkongan ketika tidak ada Bunda. Bagaimana pun Shofi dia anggap sangat keterlaluan. Agam tidak habis pikir dengan kakaknya. "... kamu sangat keji, Shof!" bisik Agam sembari mengepalkan tinju di atas permukaan meja. Ia menatap tajam, lurus ke depan penuh dendam. Satu hal yang paling membuat Agam tersiksa, ia telah menanamkan janji untuk membawa pulang Shofi. Menyeret orang
Lihatlah, Bunda tubuhnya serapuh kayu tua—kering sementara kulitnya mengkerut dan kisut. Ada lubang hitam di bawah kantung mata. Jilbab yang dikenakan menjadi kebesaran bahkan miring. Bunda tidak sesegar dahulu. Beningnya pun dipenuhi dengan kaca-kaca. Gus Farhan telah tiba di kantor pondok, tidak lama kemudian disusul Abah Aziz. "Ibu, apa kabar?" Gus Farhan langsung membungkukkan badan, menyamakan tingginya dengan posisi Bunda yang duduk di atas kursi. Ia meraih tangan Bunda, mengecupnya sebagai bentuk penghormatan. Entah mengapa ia merasa perlu melakukan tersebut. Perasaannya teraduk-aduk ketika menyaksikan kepedihan masih terangkum kental di pelupuk mata Bunda. "Alhamdulillah baik, Han. Katanya kamu tidak bisa keluar dan tidak bisa diganggu, Farhan." "Siapa yang menyampaikan hal itu, Bu? Apakah Kang Zaki?" Bunda mengangguk. "Saya hanya sedang berpikir banyak." "Perihal?" Abah Aziz menarik napas panjang. Mengumpulkan segenap kesabaran supaya tidak salah mengucap kata-kata.
Musim kering berangsur menjadi lembab. Jendela-jendela rumah dipenuhi jutaan titik embun. Toserba emperan jalan, mulai men-stock dagangan jas hujan dan payung aneka warna. Kedai-kedai kopi semakin lihai mengepulkan asap. Jalanan yang pernah retak, kini dipenuhi lumpur dan air dari selokan. Agam masih bekerja menjadi pelayan toko, Bunda juga tetap sama dengan rutinitas merapalkan doa supaya Shofi segera pulang. Jika dahulu Bunda enggan menyiapkan sarapan, lain dengan hari di musim basah itu, Bunda mulai mengepak bekal untuk Agam—memasukkan ke tas ransel kecilnya, juga menuangkan teh hangat ke botol minuman yang dibawa Agam. Bunda mulai memperhatikan kebutuhan Agam. Jika Agam sudah berangkat kerja, ia akan bersih-bersih, shalat dhuha, membaca Al-Qur'an, mengirimkan doa-doa, terus berharap semoga Shofi tetap selamat. Bunda sudah lelah mengharapkan polisi. "Bunda ..." lirih Agam memanggil sambil mengalungkan ransel. Ia baru saja mengecup punggung tangan Bunda. Bersiap berangkat kerja sh
"Ini bukan tempat umum, ada pemiliknya!" celetuk Agam membenarkan perbuatan sendiri. Wanita itu tertawa renyah. Daun-daun trembesi menaungi mereka berdua. Agam yang duduk di atas bangku panjang dan kaum hawa dengan jaket jins bergincu merah pekat. "Bocah, berlarilah ke tempat nyaman, jangan bersembunyi sebagai pengecut! Urus masalahmu sampai tuntas!" Wanita itu nyerocos tanpa memfilter kalimatnya. Ia mengambil satu batang rokok dari bungkusnya yang terselip di saku celana, lengkap dengan korek api. Memantiknya dengan lihai. Menyesap kemudian melambungkan kepulan asap ke udara. "Aku Marti, orang brengsek biasa memanggilku Melati," Marti memperkenalkan diri. "Kau pikir aku di sini untuk lari dari masalah?" sentak Agam dengan suara serak. Ia batuk. Langit mendung sementara kesehatannya berkabung. Ia merasakan sesak tidak tanggung-tanggung, tetapi bersi keras menahan. "Tergambar jelas di wajahmu, Bocah! Aku pernah muda, pernah lari juga serupanmu!" Marti bersikap akrab. Mendadak ia
Menolak permintaan orang butuh pekerjaan terlalu berat untuk Koh Akong, apalagi orang tersebut memohon langsung di depannya. Koh Akong menyesap cerutunya kuat-kuat, mengembuskan asap ke atmosfer ruang. Nikotin-nikotin membantu dirinya berpikir tenang sebelum memberikan keputusan. Akan tetapi dia masih mempertimbangkan latar belakang konflik Shofi yang belum juga dituntaskan. Di kemudian hari itu akan menimbulkan masalah. Karyawan tentu akan berkasak-kusuk, hal itu jelas mengganggu konsentrasi mereka bekerja. "Saya, mohon, Koh ...," rintih Bunda membuat Koh Akong memusatkan pandangannya kepada Bunda. "Dan saya tidak kenal Farhan." Bayangan Agam yang sedang terpuruk dengan sakit di rumah membuat Bunda harus mengentaskan masalah ekonominya. Ia tidak mau menjadi beban bagi putra satu-satunya. Bunda juga terpaksa berbohong karena tidak ingin menyeret Gus Farhan terlampau jauh. Ucapan Abah Aziz kemarin membuatnya sangat terluka ditumbun perasaan bersalah tidak tanggung-tanggung. Bunda har