"Ini bukan tempat umum, ada pemiliknya!" celetuk Agam membenarkan perbuatan sendiri. Wanita itu tertawa renyah. Daun-daun trembesi menaungi mereka berdua. Agam yang duduk di atas bangku panjang dan kaum hawa dengan jaket jins bergincu merah pekat. "Bocah, berlarilah ke tempat nyaman, jangan bersembunyi sebagai pengecut! Urus masalahmu sampai tuntas!" Wanita itu nyerocos tanpa memfilter kalimatnya. Ia mengambil satu batang rokok dari bungkusnya yang terselip di saku celana, lengkap dengan korek api. Memantiknya dengan lihai. Menyesap kemudian melambungkan kepulan asap ke udara. "Aku Marti, orang brengsek biasa memanggilku Melati," Marti memperkenalkan diri. "Kau pikir aku di sini untuk lari dari masalah?" sentak Agam dengan suara serak. Ia batuk. Langit mendung sementara kesehatannya berkabung. Ia merasakan sesak tidak tanggung-tanggung, tetapi bersi keras menahan. "Tergambar jelas di wajahmu, Bocah! Aku pernah muda, pernah lari juga serupanmu!" Marti bersikap akrab. Mendadak ia
Menolak permintaan orang butuh pekerjaan terlalu berat untuk Koh Akong, apalagi orang tersebut memohon langsung di depannya. Koh Akong menyesap cerutunya kuat-kuat, mengembuskan asap ke atmosfer ruang. Nikotin-nikotin membantu dirinya berpikir tenang sebelum memberikan keputusan. Akan tetapi dia masih mempertimbangkan latar belakang konflik Shofi yang belum juga dituntaskan. Di kemudian hari itu akan menimbulkan masalah. Karyawan tentu akan berkasak-kusuk, hal itu jelas mengganggu konsentrasi mereka bekerja. "Saya, mohon, Koh ...," rintih Bunda membuat Koh Akong memusatkan pandangannya kepada Bunda. "Dan saya tidak kenal Farhan." Bayangan Agam yang sedang terpuruk dengan sakit di rumah membuat Bunda harus mengentaskan masalah ekonominya. Ia tidak mau menjadi beban bagi putra satu-satunya. Bunda juga terpaksa berbohong karena tidak ingin menyeret Gus Farhan terlampau jauh. Ucapan Abah Aziz kemarin membuatnya sangat terluka ditumbun perasaan bersalah tidak tanggung-tanggung. Bunda har
Ini bukan perihal hidup Bos Bagong. Lebih dari itu, nasib Putra bukannya membaik, justru bertambah buruk. Ia tidak mau bersosialisasi dengan warga sekitar. Terus mengurung diri di kamar, enggan keluar apalagi jalan-jalan menikmati panorama alam. Bu Ika sampai setres penuh buliran-buliran pedih. Ia tersiksa dengan sikap anaknya yang setia duduk di atas kursi roda. Putra kerapkali menerawang udara dengan pandangan kosong, mengenang kenakalan yang tidak bisa lagi diulang, perihal balapan liar dan kumpul dengan anak-anak di jalanan malam. Putra sangat kesepian, lebih lagi Mahes jarang datang ke rumah. Teman yang dulu sangat ia akrabi mendadak menjadi sibuk dengan tugas-tugas kampus. Putra menjadi sulit berkomunikasi, lebih-lebih ia malas memulail obrolan dengan dunia luar. Putra amat terpuruk. Tubuhnya menjadi kering dan kurus. Pandangannya layu, bahkan terkadang ada sisa cairan yang menumpuk di bawah kantung matanya. “Si Putra, cacat itu sungguh malang, putus kuliah dan murung berhari-h
"Di dunia ini, tidak ada orang yang utuh bahagia—" Marti memulai obrolan. Malam itu ia sedang tidak memiliki pelanggan. Lalu lalang pengunjung diskotik memang ramai, gemuruh melodi membuat konjakan kaki anak muda semakin dihentakkan di atas lantai. Tetapi ia tidak bersemangat untuk bergabung—justru duduk di depan meja Shofi. Mengamati bening yang kandung harapan, memotret setiap jemari bergetar Shofi tuang minuman. Beberapa kali Marti akan menyalak galak jika ada kaum pria yang berani memberi godaan. Sejujurnya Marti sedang melindungi harga diri yang belum koyak. "Maksudmu, Mbak?" Shofi menanggapi. "Kemarin aku bertemu dengam pemuda, pegawai toserba di seberang jalan, ia terlihat pucat menyedihkan, dari sorot matanya aku paham dia sedang gelisah dan kesal." "Aku nggak ngerti muara ucapanmu, Mbak." "Pemuda itu membuatku senang karena seutuhnya kita tidak menderita-menderita amat! Di luar sana yang notobene mempunyai pekerjaan khalal, pun dihadapkan dengan persoalan hidup. "Kalau d
Keesokan harinya—ketika matahari masih malu-malu membuka mata. Sekelompok santri putra, dipimpin oleh Aim dan rekan sekamarnya Rozak. Aim merupakan pemuda berperawakan bongsor dengan beberapa titik jerawat di permukaan pipi. Lain dengan Rozak yang lebih mirip dengan tiang listrik di pinggiran jalan. Detik itu ketika embun membutir di permukaan daun kaladium di depan rumah ndalem, para santri bersorak-sorai memuntahkan kekecewaan yang dari kemarin tertahan diam. Tangan saling terkepal menuju angkasa. Rupa-rupa disiram hangat matahari, sementara hati disulut kobaran api emosi. "Usir Gus Farhan!" teriak Aim sang provokator. "Usir! Atau kami semua akan pergi meninggalkan pondok!" sahut Rozak menguatkan. "Setuju!" santri masa yang lain mengimbangi. Umi yang sedang menyapu ruang makan langsung melongok keluar jendela. Sapu yang digenggam tangan tetiba jatuh terkapar, sampah debu kembali terbang bebas. Umi berlari menghampiri Abah Aziz. Suaminya tengah meraih handel pintu, menyambut para
"Kenapa kita pindah, Pak?" protes Putra. Keluarga kecil Bos Bagong baru saja tiba di sebuah rumah dengan halaman luas. Rumah itu memiliki dua pilar sangat tinggi, menghubungkan lantai pertama dengan lantai kedua. Cat putihnya masih terlihat baru. Bos Bagong meminta penjual untuk mengecat ulang terlebih dahulu sebelum dia tempati. Bu Ika turun, mendorong kursi roda yang sedang dimatikan mesin otomatisnya. "Kamu butuh lingkungan baik untuk proses kesembuhanmu, Putra." "Itu alasan tidak masuk akal, Bapak dan Ibu sedang mengisolasi diriku yang cacat. Aku membuat kalian berdua malu, kan?" Putra berpikir rendahan. "Apa pun kondisimu, dirimu anak Bapak. Tidak ada yang bermaksud mengucilkanmu," "Lantas, kenapa kita pindah?" "Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibumu. Percayailah saja dia!" Bos Bagong melangkah maju, menapak di atas paving dengan langkah pasti. Mobil dibiarkan terparkir tepat di depan pintu gerbang yang tinggi. Tanamam kaladium dan bunga asoka menyambut kehadiran mereka.
Bos Bagong menarik paksa lengan Shofi. Ia menyeret ke ruang utama, membiarkan penghuni kamar menatap—menjadikan tontonan dari lantai dua. Para buruh malam itu kompak memegangi tralis, memandang ke bawah, ada yang merasa miris, ada yang tertawa penuh ledekan. Di antara mereka tentu ada Marti, ia amat kesal karena tidur siangnya diganggu kehadiran Bos Bagong. Datang dengan amarah, mengamuk obyek di sekitar kamar, menendang apa pun yang ditemui oleh kakinya. Marti keluar usai menghidupkan satu batang rokok. Ia menyesap nikotin kemudian ikut menonton adegan selanjutnya yang akan Bos Bagong ciptakan. Tubuh Shofi dihempaskan tanpa ampun. Gadis dengan jilbab cokelat itu tersungkur di lantai. "Apa lagi salahku, ha? Aku sudah menurut dijadikan pembantu di diskotikmu! Masih kurang?" "Mulutmu ... ya mulutmu sangat beracun dan busuk, Shofi! Apa lagi yang kamu kirim ke langit sehingga bencana terus merusak hidupku?" Shofi berkerut kening, sementara Marti terkekeh ringan. Penghuni lain saling ta
Gus Farhan terpaksa berhenti di sebuah wilayah sepi, tidak begitu ramai dengan pusat perkotaan. Ia menepi dari kerumunan banyak manusia. Bermaksud mengasingkan diri supaya tidak dipotret oleh santri Asmaul Khusna, atau tetangga pondok pesantren. Wajahnya tentu telah amat familiar. Ia menjauh dari wilayah tempat kelahiran, mengungsikan dari desa-desa kecil dekat rumah masa kecil. Mustahil juga jika Gus Farhan terus tidur di dalam mobil. Punggung dan kepala akan terasa pegal. Maka, dengan modal uang tabungannya sendiri, hasil sisa-sisa saku dari Abah Aziz ketika ia melaksanakan study di Mesir, Gus Farhan mencari tempat tinggal baru. Sebuah rumah sederhana dengan dua pintu dan empat jendela, hasil saran dari Kang Zaki melalui ponsel. Ia amat bersyukur memiliki Kang Zaki, meski tak lagi berada di pondok, tetapi Kang Zaki tetap menjaga komunikasi baik dengannya. Menanyakan kabar, keberadaan juga telah makan atau belum. Hingga pada hari kemarin, sewaktu malam menghadirkan gelap di pinggira
Ruang itu temaram, lampu jamur di atas meja kecil sebelah ranjang dinyalakan. Aroma wewangian mawar mendominasi lubang hidung. Shofi tengah duduk di hadapan cermin, dia mematut wajahnya yang tegang, ada ketakutan akut yang tidak bisa dia hindari. Bayangan pria bertubuh kekar menarik tubuhya dengan paksa. Jeritan permintaan tolong yang tidak dipedulikan oleh telinga-telinga orang awam membuatnya terjebak pada dimensi kelam. Dia sudah resmi menjadi istri Gus Farhan melalu pertentangan restu berkali-kali, pada akhirnya Abah Aziz dan Umi mengalah. Baiklah masa depan miliknya Gus Farhan secara utuh. Hal yang diharapkan manis di malam romantis bersaksikan milyaran titik gerimis di luar sana justru disambut oleh tangis. Shofi tersedu-sedu meminta maaf kepada Gus Farhan. Sudah satu bulan penuh dirinya tinggal serumah bersama Gus Farhan, satu atap dalam satu ruang tetapi pisah ranjang ... ya tubuh mereka belum bersentuhan sama sekali. Ada hal yang menjanggal. Shofi terlarut dalam trauma psiki
Ketika meja sarapan menghidangkan sepiring tempe mendoan dengan kepulan hangat, dilengkapi tiga buah bubur bersahabat sayur tahu kuning berkuah santan, ketika pagi dirimbuni embun semalam dan daun-daun masih basah. Malam tadi ada gerimis Mei yang membasuh bumi. Bunga alamanda milik tetangga menguning indah bersama butiran air. Jendela melukis air terjun, sementara udara menyergap dalam dingin tidak berkesudahan. Mereka bertiga sarapan bubur buatan tangan Bunda. Hari itu minggu, Bunda mengambil libur jualan. Ada setoples kerupuk udang yang menjadi saksi kebersamaan mereka. Agam menyantap bubur serupa orang tidak makan satu hari penuh. Shofi sesekali mencuri pandang kelakuan sang adik, sepertinya dia tidak sedang lapar, tetapi ada aura kebahagiaan yang membuat nafsu makannya bertambah. Zea, gadis toserba itu, sosok yang menjadikan alasannya lari tergesa, sudah pasti menjadi alasan Agam makan begitu nikmat. "Zea sepertinya sholihah, dia menutup aurat dan kelebihannya adalah cantik," cel
Selajur sinar neon menyiram wajah Gus Farhan, dia setengah rebah di atas dipan, melembari surat Shofi yang kemarin belum terbaca tuntas tetapi jantungnya telah ditabuh penuh kemenangan. Bibir merah tipisnya menyungging, bibir yang tak akan pernah dia kotori menggunakan nikotin apalagi kata-kata dusta, serupa janji manis. Bising serangga malam di luar kamar bagaikan koor lagu romantis detik itu. ...'Satu hal yang pasti darimu semenjak kita bertemu, Farhan. Kau tampan, lalu kau baik karena mau memberi pertolongan kepadaku yang belum dikenal. Hatimu begitu ikhlas. Ini bukan bentuk pujian, tetapi begitulah kenyataan tersurat untukmu. Kalau untuk orang yang tidak dikenal saja kau berani mempertaruhkan harga diri dan keselamatanmu, maka aku pastikan kamu orang bertanggungjawab. Untuk itu, tanggunglah kesedihan dan hidupku di masa depan. Ayo kita menikah, kita lawan kegelisahan dan cobaan-cobaan kehidupan. Aku tidak akan mengajakmu hidup bahagia, sesungguhnya kebahagiaan hanyalah kamuflase
Pemuda itu menekan tombol untuk menjalankan roda secara otomatis, kemudian dia menyetirnya ke kanan dan ke kiri menuju garasi. Putra yang malang, dia meringis kesakitan, menahan bulir-bulir peluh, menyeret dua kakinya yang mati rasa, berat seumpama ditindih batu ratusan kilo. Kalau pantas, sudah diungsikan kaki-kakinya yang tiada guna itu. Mereka hanya menjadi beban, tidak bisa digunakan sekali pun dalam posisi Putra ingin berlari. Ya, sungguh pada petang itu dia ingin mendatangi toserba yang dibicarakan warga netizen, seorang konten kreator mengunggah vidio pertengkaran dua kaum hawa di media sosial, dan entah bagaimana ceritanya mendadak kontennya viral—karena menggunakan tagline 'Gadis Bar Berjilbab, Shofi dan Gus Farhan.' Padahal anak satu-satunya Abah Aziz itu sedang tidak di lokasi. "Kumohon ...," rintihnya sambil bersusah payah menaiki mobil. Setelah berhasil kursi rodanya ditarik kemudian dilipat di sisinya. Ia mengusap keringat dengan punggung tangan. Lantas menghubungi Mahe
Pop up pesan di layar ponsel Agam membuat pemuda itu langsung lompat ke halaman rumah, ia seret sepeda motornya di bawah kain langit yang membentang jingga. Shofi yang baru saja duduk menikmati teh hangat seduhan Bunda dibuat terkejut olehnya. "Ada apa, Gam?" teriak Shofi, dia pun lari menghampiri Agam. "Temanku berantem," celetuk Agam. "Sejak kapan dirimu punya teman?" seru Shofi dengan kening berkerut. Agam menghela napas panjang, dia kemudian menumpangi sepeda motor, menyalakan mesin. "Aku ikut!" "Enggak! Ini bukan urusanmu!" sergah Agam dengan suara lantang, lebih keras dari amukan petir sewaktu badai. Ada hal yang tidak ingin dipertemukan oleh Agam, kakaknya berada di mode tenang. Jika dia melihat sosok Anggi, maka peperangan batinnya akan kembali mengamuk. Beberapa hari ini, Shofi terlihat murung, Agam belum mengetahui penyebabnya, jika Anggi hadir dalam kehidupan sekarang, maka batin saudaranya akan terkungkung dalam amarah dan kebencian. Agam tidak mau saudaranya menderit
"Hei kau tahu kabar gadis bar yang dulu pakai jilbab?" tanya seorang remaja yang duduk di kursi tunggu toserba, mereka tengah asyik menikmati cemilan ringan dan soft drink aneka rasa. "Pernah dengar sih, cuma agak blur, nggak nyimak medsos, ada apa?" "Ternyata dia diselamatkan oleh Gus Farhan, tahu kan pemuda tampan putranya Kyai Aziz? Gara-gara dia nama Gus Farhan sempat menjadi perbincangan," "Lah kok bisa Gus Farhan dekat dengan gadis bar, okelah dia berjilbab, tapi kan lingkungannya buruk!" celetuk temannya kemudian menenggak minuman. "Menurut berita sih gadis itu ternyata dijebak oleh Bos Bagong, dipekerjakan tanpa gaji, tapi ya entahlah, namanya juga kabar kabur," "Bos Bagong itu siapa?" "Itu nama gelapnya Pak Hendra, si pengusaha yang mempunyai berbagai toko bangunan, kau tahu?" "Hmmm, nggak kenal sih, cuma kejam juga itu si Bos Bagong, masak iya mau mempekerjakan orang tapi nggak mau bayar, lah duitnya diapakan?" "Itu dia, aneh kan? Bukan hanya gadis itu saja yang dipe
Pemuda itu tengah menunggu kepulangan Shofi, dia seperti biasa diantar oleh Mahes. Keduanya seperti jarum dan benang, saling berkaitan jika mau digunakan. Putra memandang langit sementara Mahes sibuk duduk di atas kursi bambu dengan memoles layar gawai. Dia merasa rumah Shofi begitu miris, kecil dan tampak memperihatinkan. Bunda menyambut kedua tamunya dengan baik, menyuguhi teh hangat dan pacitan sisa lebaran. Akan tetapi dua bibir milik pemuda itu tidak berselera menyentuh kue yang dihidangkan. Apalagi Putra, pokok pikirannya sedang tertuju kepada Shofi, dia ingin segera bertemu dengan Shofi. "Jadi kamu anaknya Bos Bagong—maaf maksudnya Pak Hendra yang menyekap anak saya itu?" Bunda meluruskan. "Ya, dan Ibu yang ditolong Anda adalah istrinya," Bunda terkejut, begitu lihai takdir menyatukan kehidupan seseorang, hal yang mustahil dijadikan kenyataan, hal yang seolah enggan dilembutkan, menjadi lunak. "Bu Ika?" Putra memberi anggukan, Mahes masih asyik dengan permainan online di p
Bangunan itu berdiri kokoh dengan pondasi berumur senja. Pintu-pintu kamar yang catnya luntur, dipadukan dengan lantai teras yang retak-retak. Engsel jendela kebanyakan rusak. Satu-satunya gedung yang terbilang masih kokoh dan memiliki daya tarik karismatik yakni masjid di dalamnya, apalagi cat dindingnya baru dipoles kemarin sebelum lebaran. Santri piket mengumandangkan takbir di bawah gemerlap lampu yang dinyalakan. Halaman bangunan itu mendadak dirundung sepi selama dua minggu. Santri cuti mengaji, kebanyakan pulang untuk bersilaturahmi dengan keluarga di kampung halaman. Kang Zaki juga tidak kelihatan duduk di kantor pondok putra. Mobil-mobil pondok mangkrak di garasi, itu artinya Abah Aziz, Umi dan Farhan ada di ndalem. Lantas bisakah Shofi menyapa mata teduh pemuda yang pernah menyelamatkannya? April menyapa akhir bulan di kalender masehi, daun-daun trembesi meranggas di halaman asrama, dikombinasi rontokan daun kering rambutan dan kersen. Daun-daun kering itu berserak di atas
Orang-orang bersliweran mengenakan sandang luwes, rapi dan bau pewangi yang baru saja dibeli dari supermarket. Kendaraan-kendaraan berplat putih turun berkeliaran di jalanan kampung, disusul mobil rentalan dari luar kota membludak membuat macet. Petasan berdenging mengusik kedamaian siput kecil di dalam gendang telinga, para sesepuh berkali menggerundel karena terkejut hingga jantungnya mau semaput. Ketika itu, Shofi mengembangkan senyum di hadapan Bunda dan Agam, mereka hanya bertiga, belum memulai perjalanan keliling kampung untuk ulurkan salam permintaan ampun kepada para orang tua. Kebiasaan orang desa, memohon maaf atas khilaf selama setahun penuh baik disengaja maupun tidak disengaja. Hal itu tentu dilakukan pula oleh Agam dan Shofi, sekalipun pemuda berambut cepak yang baru saja cukur kemarin itu sempat bersikap dingin karena menahan malu. “Sudah, jangan jaim, aku telah mengampunimu walaupun kau tidak mau meminta maaf,” ungkap Shofi membunuh kebungkaman waktu. Selepas shalad