Hari itu dinding kaca toko dipenuhi embun. Jalan aspal basah. Lubang-lubang digenangi dengan air keruh. Pengendara sepeda motor mengenakan jas hujan. Payung-payung mekar, bagai kelopak mawar yang mengembang. Ketika itu langit barat yang biasa menampilkan wajah artistik mengambil cuti, tubuhnya dilukis dengan cat abu-abu, menjadi redup serupa remaja murung karena kehilangan kepercayaan dari orang terkasih. Agam sedang mengelap lantai menggunakan kain pel. Pengunjung yang datang, menyisakan jejak kotor di lantai. "Sudahi saja, nanti akan kotor lagi, Agam. Mending kamu istirahat, lagi pula kamu belum utuh sehat, kan?" saran Zea. "Hmm ... aku tidak lemah. Ketahuilah Zea, ini bukan perihal kotor atau bersih, tetapi tentang kenyamanan pembeli. Kalau kamu masuk ke toserba kotor, memangnya kamu tetap berselera membeli dagangannya?" Hujan menjadi akrab dengan cup-cup kopi hangat. Penjejak langkah emper trotoar sedang menikmati sensasi kepulan asap dari aroma nikotin. Zea menginginkan hal ter
Pulang dari toserba, Bawon merasa ada hal ganjil. Ia kurang suka dengan penampilan Bela hari itu. Sosok gadis yang tidak pantas lagi disebut gadis itu mengenakan pakaian sopan. Lutut ditutup, bibir memang masih merona, tetapi rambut dicatnya dibungkus rapat. Tiada leher jenjang yang disuguhkan menghadap malam, tidak ada pula aroma parfume menyengat sebagaimana hari lalu. Bawon menendang tungkai Bela tanpa belas kasihan. Membiarkan keramaian menjadi potret dan saksi keberingasan Bawon."Apa-apaan ini? Siapa yang menyuruh lo ganti penampilan, ha? Lo mau kondangan di tempat ini, ha?" sentak Bawon yang disengat muntab paling ganas. Jelas penampilan Bela akan mengurangi pemasukan detik itu. Siapa yang mau melirik perempuan berjilbab dan berpakaian sopan di tempat seperti itu? Lagi pula, mengapa Bela juga berganti gaya? Bawon merasa pening. "Siapa yang mengajari lo berpakaian seperti itu, ha?" "Nggak ada, ini kesadaran dari kewarasan aku yang masih tersisa!" "Bedebah!" Bawon menendang
Sepulang kerja, menjelang pagi dan fajar akan terbit malu-malu. Zea dan Agam berjalan menjauhi toserba. Sebenarnya Agam pulang lebih awal, ia merasa suntuk menunggu jam kepulangan. Shift kerjanya tidak kunjung usai. Zea ikut-ikutan, ia mengubungi rekan dekat untuk segera mengganti shiftnya karena ada acara mendadak. Entah apa itu, tetapi Zea menuntut penjelasan pasti dari Agam. Ia mengekor setiap langkah perjalanan. Agam sendiri meninggalkan sepeda motor di parkiran toserba. Sesungguhnya ia juga belum memiliki niat untuk kembali pulang ke rumah. Bertemu dengan Bunda pada jam tidak seharusnya akan menimbulkan berbagai pertanyaan. "Gam! Kau mau kemana?" tanya Zea, ia merasa bosan terus berjalan di belakang tubuh Agam tanpa tujuan. Lebih dari itu, seragam toserba terlihat kontras. Jalan raya sepi, para pemilik hening sedang menunaikan ibadah istirahat. Akal-akal dilelapkan supaya esok kembali beraktivitas seperti sedia kala. Hanya Agam, Zea dan lampu jalanan yang melengkapi malam berka
Mata Shofi diikat menggunakan kain hitam. Ia dibawa pergi menggunakan mobil van Bawon. Pandangan Shofu sengaja dibenamkan supaya tidak dapat menyaksikan permukaan jalan. Bos Bagong tidak ingin Shofi merekam tikungan, gedung familiar maupun jumlah lampu apill menuju kediaman rumah barunya. Maka dua tangan tidak bersalah Shofi dikerangkeng tali. Mulut juga disumpal menggunakan kain yang diperoleh Bawon dari gundang—penuh debu, bau apek dan membuat rongga paru menderita. Anehnya, Bos Bagong berpesan untuk membuka mata Shofi setelah tiba di depan gerbang. Bos Bagong telah menunggu setengah jam sebelum kedatangan mereka. Ketika embun masih membening di permukaan daun trembesi dan kelopak-kelopak bugenvil, ketika itu Shofi menginjakkan kaki di bawah langit yang berembun. Musim hujan menyapa penduduk bumi Indonesia. Kabut tipis terlihat berpencar di langit, disusul segerombol awan hitam yang terlihat kokoh dan berkuasa. Rumah berlantai dua dengan pilar menjulang tinggi seolah hendak menemb
Bos Bagong telah memberinya kalimat-kalimat untuk disuarakan di depan Putra. 6Akan tetapi, setelah melihat keadaan Putra yang sesungguhnya, entah apa alasannya, seluruh kalimat itu raib dari pikiran. Tinggal satu kalimat pembuka saja. Apalagi bantingan pintu itu teramat keras dan membuat jantung Shofi berdetak tanpa aturan. Ia memastikan lagi keberadaan langkahnya, mengamati lantai marmer yang disiram cahaya pagi, gemericik air mancur, tanaman-tanaman hias dan pohon bugenvil yang kelopaknya berguguran. Indah, apalagi ada susulan kicau burung dari sebelah garasi rumah. Rumah Bunda tidak semegah itu, tidak pula sebesar itu. Rumah Shofi kecil, akan tetapi luas karena kesabaran dan kasih sayang Bunda. Rumah Shofi kerab bocor, ada genting berlubang. Agam akan naik untuk membetulkan. Kemudian mereka duduk bertiga di ruang TV untuk bertukar cerita. Ada kehangatan alamiah yang lahir dari dada Bunda, beda dengan suasana di rumah Bos Bagong. Terlihat suram dan penuh pertanyaan menyedihkan. S
Semenjak kepergian Gus Farhan dari pondok pesantren, Umi terus uring-uringan. Ia bersikap lebih sensitif dari biasanya, bahkan tidak jarang melampiaskan emosinya kepada santriwati. Umi akan menangis di kamar Gus Farhan, memeluk figura usabg yang warna fotonya telah luntur. Dan hal terparahnya, Umi mulai hilang nafsu makan. Abah Aziz mengetuk permukaan pintu, ia menggiring langkah dengan nampan berisi satu gelas beras kencur anget dengan seporsi nasi goreng. Ia lantas duduk di sisi Umi. "Makanlah, fisikmu punya hak untuk hidup, Umi. Jangan menyiksanya seperti ini,""Bagaimana Umi bisa makan jika Farhan belum juga pulang?" "Umi, dia pasti baik-baik saja di luar sana," ucap Abah Aziz meyakinkan. "Umi ini wanita, Bah. Umi punya firasat tidak enak perihal Farhan, Umi khawatir terjadi hal buruk. Apalagi dia pergi tanpa uang, dengan perasaan sakit karena amarahmu. Tidur di mana sekarang dia, Bah?" Umi berbicara panjang lebar sambil menahan riak tangis yang hendak menghujani pipi. Abah Az
Aroma masakan merasuk lubang hidung Agam. Ketika ia mendorong pintu tralis rumah, ia mencium kenangan bersama Shofi. Sepeda motor ia parkir di teras rumah, membiarkan terik matahari membasuh dengan keringat dan debu pasca kepergian esok. Agam meletakkan tas selempang juga topi pada gantungan kamar kemudian melangkah pelan menuju dapur. Ia berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan Bunda mengaduk sayuran di atas wajan. "Aku tidak suka kare, Bunda." Agam membuyarkan keseriusan Bunda menatap permukaan kuah kuning yang telah mendidih. "Kalian berdua menyukai kare buatan Bunda," cetus Bunda. Ia mengingat-ingat bahwa ucapannya tidak salah. Dahulu Shofi dan Agam kecil gemar memakan nasi dengan sayur kare, piring mereka akan bersih tanpa dipaksa. Shofi juga kerap meminta dimasakkan kare jika ada teman-teman sekolah yang datang. Demikan juga Agam, kenangan itu masih tergambar jelas di kepala Bunda, ia belum pikun dan masih pandai meracik bumbu masakan. "Jangan masak sayur itu lagi mulai
"Kenapa Anda menangkap saya?" tanya Gus Farhan kepada Bawon yang sedang berdiri kokoh di depan tubuh tanpa daya itu. Tubuh yang digantung menggunakan tali, sementara kakinya ditumpukan di atas kursi reyot yang catnya telah mengelupas. Jari-jemari Gus Farhan kesemutan, seolah mati rasa, akan tetapi ia tidak bisa berkutik dalam ikatan. "Karena lo kenal Shofi, dan mungkin bocah tengik itu bagian dari kehidupan lo! Haha!" "Saya tidak mengenalnya kecuali nama dan hanya pernah bertemu beberapa kali," jawab Gus Farhan dengan suara lirih. Sekujur fisiknya terasa ngilu dan perih. Melenyapkan kebersihan nada bicara, hal itu membuat tenggorokannya terasa kering sementara dua buah bibirnya meretak. "Orang-orang yang kenal dengan bocah tengik itu akan terkena masalah, jika dia membuat masalah baru!" ujar Bawon lagi dengan seringai lebih panjang. Bawon merasa berkuasa sebelum kedatangan Bos Bagong. Meski tubuhnya ramping serupa pohon bambu muda, mentiur-tiur ketika diembus angin, tetapi kekua