Semenjak kepergian Gus Farhan dari pondok pesantren, Umi terus uring-uringan. Ia bersikap lebih sensitif dari biasanya, bahkan tidak jarang melampiaskan emosinya kepada santriwati. Umi akan menangis di kamar Gus Farhan, memeluk figura usabg yang warna fotonya telah luntur. Dan hal terparahnya, Umi mulai hilang nafsu makan. Abah Aziz mengetuk permukaan pintu, ia menggiring langkah dengan nampan berisi satu gelas beras kencur anget dengan seporsi nasi goreng. Ia lantas duduk di sisi Umi. "Makanlah, fisikmu punya hak untuk hidup, Umi. Jangan menyiksanya seperti ini,""Bagaimana Umi bisa makan jika Farhan belum juga pulang?" "Umi, dia pasti baik-baik saja di luar sana," ucap Abah Aziz meyakinkan. "Umi ini wanita, Bah. Umi punya firasat tidak enak perihal Farhan, Umi khawatir terjadi hal buruk. Apalagi dia pergi tanpa uang, dengan perasaan sakit karena amarahmu. Tidur di mana sekarang dia, Bah?" Umi berbicara panjang lebar sambil menahan riak tangis yang hendak menghujani pipi. Abah Az
Aroma masakan merasuk lubang hidung Agam. Ketika ia mendorong pintu tralis rumah, ia mencium kenangan bersama Shofi. Sepeda motor ia parkir di teras rumah, membiarkan terik matahari membasuh dengan keringat dan debu pasca kepergian esok. Agam meletakkan tas selempang juga topi pada gantungan kamar kemudian melangkah pelan menuju dapur. Ia berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan Bunda mengaduk sayuran di atas wajan. "Aku tidak suka kare, Bunda." Agam membuyarkan keseriusan Bunda menatap permukaan kuah kuning yang telah mendidih. "Kalian berdua menyukai kare buatan Bunda," cetus Bunda. Ia mengingat-ingat bahwa ucapannya tidak salah. Dahulu Shofi dan Agam kecil gemar memakan nasi dengan sayur kare, piring mereka akan bersih tanpa dipaksa. Shofi juga kerap meminta dimasakkan kare jika ada teman-teman sekolah yang datang. Demikan juga Agam, kenangan itu masih tergambar jelas di kepala Bunda, ia belum pikun dan masih pandai meracik bumbu masakan. "Jangan masak sayur itu lagi mulai
"Kenapa Anda menangkap saya?" tanya Gus Farhan kepada Bawon yang sedang berdiri kokoh di depan tubuh tanpa daya itu. Tubuh yang digantung menggunakan tali, sementara kakinya ditumpukan di atas kursi reyot yang catnya telah mengelupas. Jari-jemari Gus Farhan kesemutan, seolah mati rasa, akan tetapi ia tidak bisa berkutik dalam ikatan. "Karena lo kenal Shofi, dan mungkin bocah tengik itu bagian dari kehidupan lo! Haha!" "Saya tidak mengenalnya kecuali nama dan hanya pernah bertemu beberapa kali," jawab Gus Farhan dengan suara lirih. Sekujur fisiknya terasa ngilu dan perih. Melenyapkan kebersihan nada bicara, hal itu membuat tenggorokannya terasa kering sementara dua buah bibirnya meretak. "Orang-orang yang kenal dengan bocah tengik itu akan terkena masalah, jika dia membuat masalah baru!" ujar Bawon lagi dengan seringai lebih panjang. Bawon merasa berkuasa sebelum kedatangan Bos Bagong. Meski tubuhnya ramping serupa pohon bambu muda, mentiur-tiur ketika diembus angin, tetapi kekua
Bos Bagong mengetuk pintu menggunakan punggung tangan, hal yang membuat Putra termenung beberapa detik. Tidak pernah Bapaknya bersikap sesopan itu, pulang langsung ngeloyor ke kamar, pergi bahkan jarang berpamitan. Terkadang Bu Ika sendiri tidak tahu kepergian suaminya. Alis Putra terangkat secara reflek. "Wajahmu sangat lesu, Tuan. Apakah ada masalah?" sapa Shofi dalam hati sambil menyeringai. Sungguh, ada masa ia ingin menaruh perasaan kurang nyaman sebagai pelajaran kepada lelaki paruh baya tersebut. "Hmm ... siapkan sarapan! Saya mau makan.""Tuan, kalau baru dari luar, sebaiknya Anda membersihkan tubuh terlebih dahulu, makannya sudah disiapkan oleh Nyonya di ruang makan, kata istri Anda, saya tidak perlu memasak, sebab itu akan mengurangi kesenangan hobi Nyonya," kata Shofi lagi. Ia menjadi gadis banyak omong yang tetap menjaga sopan santun, sebab kalimat yang diurai diluncurkan dengan bahasa lemah lembut, suara halus, sehalus embusan angin pagi itu. Hati Bos Bagong sedikit do
Agam mengisap nikotin demi menghilangkan setres. Ia duduk di bangku, tepat di bawah kerindangan pohon trembesi. Hari itu langit kelabu, beberapa titik kabut mendominasi, sebentar lagi hujan akan membasahi dinding-dinding kaca toserba. Sementara bangunan tua, gedung di seberang jalan yang kerap diperciki cahaya gemerlap itu tampil sepi, lebih sepi dari biasanya. Penduduknya meringkuk kedinginan di balik malam. Agam sedang tidak duduk di tempat biasanya, ia menyingkir dari hingar-bingar toserba di waktu pagi, orang-orang pencari sarapan, roti instan atau makanan sepat saji, juga menjauhi halaman diskotik, padahal hari itu gedung di seberang toserba terlihat kontras dalam basuhan gigil. Zea mengasiri, mempersibuk diri dengan tanggung jawab sebagai buruh bayaran. Esok berkabut membuat toserba ramai, pembeli memburu jas hujan sebagai persiapan menyambut milyaran titik air, ada pun pelajar yang justru duduk santai di kursi tunggu di depan parkiran. Mereka bolos---enggan melanjutkan jejak s
"Di mana Shofi? Apa yang Anda lakukan terhadapnya?" tanya Gus Farhan setelah sadar dari lelap. Lelap yang etah, ia tetiba jatuh terkulai tanpa kesadaran, kemudian bangkit dengan membuka kelopak mata, menyongsong satu cahaya di atas ubun kepala. Ruangan tempatnya bernapas masih sama, dinding berbeton yang kedap suara, tidak ada apa pun, kecuali kursi yang ia duduki. Untuk detik itu, ia telah didudukkan, tidak lagi digantung, barangkali ada nurani yang diam-diam memandangnya penuh kasihan. Satu meter darinya, Bawon berdiri sembari membawa botol mineral. Baru saja wajah Gus Farhan disiram menggunakan air di dalam botol kemasan tersebut. Alam bawah sadar Gus Farhan rupanya terpusat kepada Shofi seorang. Ketika ia bangun, nama gadis itu yang ia sebutkan. Hal itu membuat bibir Bawon melebar dalam balutan tawa penghinaan. "Apa otak lo sudah sinting? Kenapa masih memikirkan gadis tengik itu?" sentak Bawon merasa kesal. Ia kurang suka dengan mulut Gus Farhan maupun Bos Bagong yang kerap me
Hari ketika Anggi libur dari pekerjaan menjadi buruh pabrik Koh Akong. Ia mendatangi Bos Bagong di rumah sekapan, berniat mencari keberadaan Shofi. Akan tetapi, di depan pintu ia mendapatkan sapaan kurang enak dari Marti dan Bela. Entah mengapa, tiba-tiba tubuh Anggi didorong dengan kuat sampai punggungnya terbentur pot bunga. "Berani sekali kau injakkan kaki di rumah maksiat ini," seru Bela yang sudah mengenakan jilbab. Penampilan Bela tersebut membuat Anggi tertawa renyah sambil mengelap punggungnya yang kotor terkena tanah. "Aku mau ketemu dengan Bos kalian, di mana?" "Mau apa? Menawarkan dagangan lagi, ha? Apa tidak lelah mengorbankan orang lain dengan kesenanganmu sendiri, Nggi? Seberapa banyak uang yang kau telan sampai menggelapkan akal sehatmu? Kita ini sama-sama kaum perempuan!" Bela bertambah kasar. Marti sendiri memilih diam dengan menyilangkan tangan di depan dada. Perbuatannya untuk menyambut kedatangan Anggi cukup dengan melempar batang putung rokok ke ujung sepatu A
Bos Bagong tidak bersama keluarga. Ia tengah duduk di ruang VVIP diskotiknya sembari menikmati sapuan asap yang keluar dari cerutu tua. Aroma nikotin bercampur dentuman musik menjelegar, sama kerasnya dengan petir yang menyambar kegelapan malam. Hujan turun mendayu-dayu, membuat dinding-dinding basah, membuat kaca-kaca ruko di emper jalan penuh embun. Sementara itu, Putra tengah memandang jendela di kamarnya, mengamati daun-daun tanaman hias yang basah kuyup oleh sapuan hujan. Tiada cahaya bulan yang singgah, pancaran sinar lampu di taman pun diselubungi dengan kabut. Ia menatap nanar tanpa peduli dengan angin kencang yang mengembuskan beberapa kubik percik air. Lihatlah, bahkan tirai rumahnya basah karena jendela tidak ditutup. Ia melawan gigil karena kalut pada hidup, membiarkan dingin memeluknya kuat-kuat. Kulitnya membiru, demikian dengan bibir dan perasaannya. Terjebak melulu di kursi roda, dianggap orang cacat membuat mobilisasinya sangat terganggu. Apalagi ia merasa tersisih d
Ruang itu temaram, lampu jamur di atas meja kecil sebelah ranjang dinyalakan. Aroma wewangian mawar mendominasi lubang hidung. Shofi tengah duduk di hadapan cermin, dia mematut wajahnya yang tegang, ada ketakutan akut yang tidak bisa dia hindari. Bayangan pria bertubuh kekar menarik tubuhya dengan paksa. Jeritan permintaan tolong yang tidak dipedulikan oleh telinga-telinga orang awam membuatnya terjebak pada dimensi kelam. Dia sudah resmi menjadi istri Gus Farhan melalu pertentangan restu berkali-kali, pada akhirnya Abah Aziz dan Umi mengalah. Baiklah masa depan miliknya Gus Farhan secara utuh. Hal yang diharapkan manis di malam romantis bersaksikan milyaran titik gerimis di luar sana justru disambut oleh tangis. Shofi tersedu-sedu meminta maaf kepada Gus Farhan. Sudah satu bulan penuh dirinya tinggal serumah bersama Gus Farhan, satu atap dalam satu ruang tetapi pisah ranjang ... ya tubuh mereka belum bersentuhan sama sekali. Ada hal yang menjanggal. Shofi terlarut dalam trauma psiki
Ketika meja sarapan menghidangkan sepiring tempe mendoan dengan kepulan hangat, dilengkapi tiga buah bubur bersahabat sayur tahu kuning berkuah santan, ketika pagi dirimbuni embun semalam dan daun-daun masih basah. Malam tadi ada gerimis Mei yang membasuh bumi. Bunga alamanda milik tetangga menguning indah bersama butiran air. Jendela melukis air terjun, sementara udara menyergap dalam dingin tidak berkesudahan. Mereka bertiga sarapan bubur buatan tangan Bunda. Hari itu minggu, Bunda mengambil libur jualan. Ada setoples kerupuk udang yang menjadi saksi kebersamaan mereka. Agam menyantap bubur serupa orang tidak makan satu hari penuh. Shofi sesekali mencuri pandang kelakuan sang adik, sepertinya dia tidak sedang lapar, tetapi ada aura kebahagiaan yang membuat nafsu makannya bertambah. Zea, gadis toserba itu, sosok yang menjadikan alasannya lari tergesa, sudah pasti menjadi alasan Agam makan begitu nikmat. "Zea sepertinya sholihah, dia menutup aurat dan kelebihannya adalah cantik," cel
Selajur sinar neon menyiram wajah Gus Farhan, dia setengah rebah di atas dipan, melembari surat Shofi yang kemarin belum terbaca tuntas tetapi jantungnya telah ditabuh penuh kemenangan. Bibir merah tipisnya menyungging, bibir yang tak akan pernah dia kotori menggunakan nikotin apalagi kata-kata dusta, serupa janji manis. Bising serangga malam di luar kamar bagaikan koor lagu romantis detik itu. ...'Satu hal yang pasti darimu semenjak kita bertemu, Farhan. Kau tampan, lalu kau baik karena mau memberi pertolongan kepadaku yang belum dikenal. Hatimu begitu ikhlas. Ini bukan bentuk pujian, tetapi begitulah kenyataan tersurat untukmu. Kalau untuk orang yang tidak dikenal saja kau berani mempertaruhkan harga diri dan keselamatanmu, maka aku pastikan kamu orang bertanggungjawab. Untuk itu, tanggunglah kesedihan dan hidupku di masa depan. Ayo kita menikah, kita lawan kegelisahan dan cobaan-cobaan kehidupan. Aku tidak akan mengajakmu hidup bahagia, sesungguhnya kebahagiaan hanyalah kamuflase
Pemuda itu menekan tombol untuk menjalankan roda secara otomatis, kemudian dia menyetirnya ke kanan dan ke kiri menuju garasi. Putra yang malang, dia meringis kesakitan, menahan bulir-bulir peluh, menyeret dua kakinya yang mati rasa, berat seumpama ditindih batu ratusan kilo. Kalau pantas, sudah diungsikan kaki-kakinya yang tiada guna itu. Mereka hanya menjadi beban, tidak bisa digunakan sekali pun dalam posisi Putra ingin berlari. Ya, sungguh pada petang itu dia ingin mendatangi toserba yang dibicarakan warga netizen, seorang konten kreator mengunggah vidio pertengkaran dua kaum hawa di media sosial, dan entah bagaimana ceritanya mendadak kontennya viral—karena menggunakan tagline 'Gadis Bar Berjilbab, Shofi dan Gus Farhan.' Padahal anak satu-satunya Abah Aziz itu sedang tidak di lokasi. "Kumohon ...," rintihnya sambil bersusah payah menaiki mobil. Setelah berhasil kursi rodanya ditarik kemudian dilipat di sisinya. Ia mengusap keringat dengan punggung tangan. Lantas menghubungi Mahe
Pop up pesan di layar ponsel Agam membuat pemuda itu langsung lompat ke halaman rumah, ia seret sepeda motornya di bawah kain langit yang membentang jingga. Shofi yang baru saja duduk menikmati teh hangat seduhan Bunda dibuat terkejut olehnya. "Ada apa, Gam?" teriak Shofi, dia pun lari menghampiri Agam. "Temanku berantem," celetuk Agam. "Sejak kapan dirimu punya teman?" seru Shofi dengan kening berkerut. Agam menghela napas panjang, dia kemudian menumpangi sepeda motor, menyalakan mesin. "Aku ikut!" "Enggak! Ini bukan urusanmu!" sergah Agam dengan suara lantang, lebih keras dari amukan petir sewaktu badai. Ada hal yang tidak ingin dipertemukan oleh Agam, kakaknya berada di mode tenang. Jika dia melihat sosok Anggi, maka peperangan batinnya akan kembali mengamuk. Beberapa hari ini, Shofi terlihat murung, Agam belum mengetahui penyebabnya, jika Anggi hadir dalam kehidupan sekarang, maka batin saudaranya akan terkungkung dalam amarah dan kebencian. Agam tidak mau saudaranya menderit
"Hei kau tahu kabar gadis bar yang dulu pakai jilbab?" tanya seorang remaja yang duduk di kursi tunggu toserba, mereka tengah asyik menikmati cemilan ringan dan soft drink aneka rasa. "Pernah dengar sih, cuma agak blur, nggak nyimak medsos, ada apa?" "Ternyata dia diselamatkan oleh Gus Farhan, tahu kan pemuda tampan putranya Kyai Aziz? Gara-gara dia nama Gus Farhan sempat menjadi perbincangan," "Lah kok bisa Gus Farhan dekat dengan gadis bar, okelah dia berjilbab, tapi kan lingkungannya buruk!" celetuk temannya kemudian menenggak minuman. "Menurut berita sih gadis itu ternyata dijebak oleh Bos Bagong, dipekerjakan tanpa gaji, tapi ya entahlah, namanya juga kabar kabur," "Bos Bagong itu siapa?" "Itu nama gelapnya Pak Hendra, si pengusaha yang mempunyai berbagai toko bangunan, kau tahu?" "Hmmm, nggak kenal sih, cuma kejam juga itu si Bos Bagong, masak iya mau mempekerjakan orang tapi nggak mau bayar, lah duitnya diapakan?" "Itu dia, aneh kan? Bukan hanya gadis itu saja yang dipe
Pemuda itu tengah menunggu kepulangan Shofi, dia seperti biasa diantar oleh Mahes. Keduanya seperti jarum dan benang, saling berkaitan jika mau digunakan. Putra memandang langit sementara Mahes sibuk duduk di atas kursi bambu dengan memoles layar gawai. Dia merasa rumah Shofi begitu miris, kecil dan tampak memperihatinkan. Bunda menyambut kedua tamunya dengan baik, menyuguhi teh hangat dan pacitan sisa lebaran. Akan tetapi dua bibir milik pemuda itu tidak berselera menyentuh kue yang dihidangkan. Apalagi Putra, pokok pikirannya sedang tertuju kepada Shofi, dia ingin segera bertemu dengan Shofi. "Jadi kamu anaknya Bos Bagong—maaf maksudnya Pak Hendra yang menyekap anak saya itu?" Bunda meluruskan. "Ya, dan Ibu yang ditolong Anda adalah istrinya," Bunda terkejut, begitu lihai takdir menyatukan kehidupan seseorang, hal yang mustahil dijadikan kenyataan, hal yang seolah enggan dilembutkan, menjadi lunak. "Bu Ika?" Putra memberi anggukan, Mahes masih asyik dengan permainan online di p
Bangunan itu berdiri kokoh dengan pondasi berumur senja. Pintu-pintu kamar yang catnya luntur, dipadukan dengan lantai teras yang retak-retak. Engsel jendela kebanyakan rusak. Satu-satunya gedung yang terbilang masih kokoh dan memiliki daya tarik karismatik yakni masjid di dalamnya, apalagi cat dindingnya baru dipoles kemarin sebelum lebaran. Santri piket mengumandangkan takbir di bawah gemerlap lampu yang dinyalakan. Halaman bangunan itu mendadak dirundung sepi selama dua minggu. Santri cuti mengaji, kebanyakan pulang untuk bersilaturahmi dengan keluarga di kampung halaman. Kang Zaki juga tidak kelihatan duduk di kantor pondok putra. Mobil-mobil pondok mangkrak di garasi, itu artinya Abah Aziz, Umi dan Farhan ada di ndalem. Lantas bisakah Shofi menyapa mata teduh pemuda yang pernah menyelamatkannya? April menyapa akhir bulan di kalender masehi, daun-daun trembesi meranggas di halaman asrama, dikombinasi rontokan daun kering rambutan dan kersen. Daun-daun kering itu berserak di atas
Orang-orang bersliweran mengenakan sandang luwes, rapi dan bau pewangi yang baru saja dibeli dari supermarket. Kendaraan-kendaraan berplat putih turun berkeliaran di jalanan kampung, disusul mobil rentalan dari luar kota membludak membuat macet. Petasan berdenging mengusik kedamaian siput kecil di dalam gendang telinga, para sesepuh berkali menggerundel karena terkejut hingga jantungnya mau semaput. Ketika itu, Shofi mengembangkan senyum di hadapan Bunda dan Agam, mereka hanya bertiga, belum memulai perjalanan keliling kampung untuk ulurkan salam permintaan ampun kepada para orang tua. Kebiasaan orang desa, memohon maaf atas khilaf selama setahun penuh baik disengaja maupun tidak disengaja. Hal itu tentu dilakukan pula oleh Agam dan Shofi, sekalipun pemuda berambut cepak yang baru saja cukur kemarin itu sempat bersikap dingin karena menahan malu. “Sudah, jangan jaim, aku telah mengampunimu walaupun kau tidak mau meminta maaf,” ungkap Shofi membunuh kebungkaman waktu. Selepas shalad