Aroma masakan merasuk lubang hidung Agam. Ketika ia mendorong pintu tralis rumah, ia mencium kenangan bersama Shofi. Sepeda motor ia parkir di teras rumah, membiarkan terik matahari membasuh dengan keringat dan debu pasca kepergian esok. Agam meletakkan tas selempang juga topi pada gantungan kamar kemudian melangkah pelan menuju dapur. Ia berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan Bunda mengaduk sayuran di atas wajan. "Aku tidak suka kare, Bunda." Agam membuyarkan keseriusan Bunda menatap permukaan kuah kuning yang telah mendidih. "Kalian berdua menyukai kare buatan Bunda," cetus Bunda. Ia mengingat-ingat bahwa ucapannya tidak salah. Dahulu Shofi dan Agam kecil gemar memakan nasi dengan sayur kare, piring mereka akan bersih tanpa dipaksa. Shofi juga kerap meminta dimasakkan kare jika ada teman-teman sekolah yang datang. Demikan juga Agam, kenangan itu masih tergambar jelas di kepala Bunda, ia belum pikun dan masih pandai meracik bumbu masakan. "Jangan masak sayur itu lagi mulai
"Kenapa Anda menangkap saya?" tanya Gus Farhan kepada Bawon yang sedang berdiri kokoh di depan tubuh tanpa daya itu. Tubuh yang digantung menggunakan tali, sementara kakinya ditumpukan di atas kursi reyot yang catnya telah mengelupas. Jari-jemari Gus Farhan kesemutan, seolah mati rasa, akan tetapi ia tidak bisa berkutik dalam ikatan. "Karena lo kenal Shofi, dan mungkin bocah tengik itu bagian dari kehidupan lo! Haha!" "Saya tidak mengenalnya kecuali nama dan hanya pernah bertemu beberapa kali," jawab Gus Farhan dengan suara lirih. Sekujur fisiknya terasa ngilu dan perih. Melenyapkan kebersihan nada bicara, hal itu membuat tenggorokannya terasa kering sementara dua buah bibirnya meretak. "Orang-orang yang kenal dengan bocah tengik itu akan terkena masalah, jika dia membuat masalah baru!" ujar Bawon lagi dengan seringai lebih panjang. Bawon merasa berkuasa sebelum kedatangan Bos Bagong. Meski tubuhnya ramping serupa pohon bambu muda, mentiur-tiur ketika diembus angin, tetapi kekua
Bos Bagong mengetuk pintu menggunakan punggung tangan, hal yang membuat Putra termenung beberapa detik. Tidak pernah Bapaknya bersikap sesopan itu, pulang langsung ngeloyor ke kamar, pergi bahkan jarang berpamitan. Terkadang Bu Ika sendiri tidak tahu kepergian suaminya. Alis Putra terangkat secara reflek. "Wajahmu sangat lesu, Tuan. Apakah ada masalah?" sapa Shofi dalam hati sambil menyeringai. Sungguh, ada masa ia ingin menaruh perasaan kurang nyaman sebagai pelajaran kepada lelaki paruh baya tersebut. "Hmm ... siapkan sarapan! Saya mau makan.""Tuan, kalau baru dari luar, sebaiknya Anda membersihkan tubuh terlebih dahulu, makannya sudah disiapkan oleh Nyonya di ruang makan, kata istri Anda, saya tidak perlu memasak, sebab itu akan mengurangi kesenangan hobi Nyonya," kata Shofi lagi. Ia menjadi gadis banyak omong yang tetap menjaga sopan santun, sebab kalimat yang diurai diluncurkan dengan bahasa lemah lembut, suara halus, sehalus embusan angin pagi itu. Hati Bos Bagong sedikit do
Agam mengisap nikotin demi menghilangkan setres. Ia duduk di bangku, tepat di bawah kerindangan pohon trembesi. Hari itu langit kelabu, beberapa titik kabut mendominasi, sebentar lagi hujan akan membasahi dinding-dinding kaca toserba. Sementara bangunan tua, gedung di seberang jalan yang kerap diperciki cahaya gemerlap itu tampil sepi, lebih sepi dari biasanya. Penduduknya meringkuk kedinginan di balik malam. Agam sedang tidak duduk di tempat biasanya, ia menyingkir dari hingar-bingar toserba di waktu pagi, orang-orang pencari sarapan, roti instan atau makanan sepat saji, juga menjauhi halaman diskotik, padahal hari itu gedung di seberang toserba terlihat kontras dalam basuhan gigil. Zea mengasiri, mempersibuk diri dengan tanggung jawab sebagai buruh bayaran. Esok berkabut membuat toserba ramai, pembeli memburu jas hujan sebagai persiapan menyambut milyaran titik air, ada pun pelajar yang justru duduk santai di kursi tunggu di depan parkiran. Mereka bolos---enggan melanjutkan jejak s
"Di mana Shofi? Apa yang Anda lakukan terhadapnya?" tanya Gus Farhan setelah sadar dari lelap. Lelap yang etah, ia tetiba jatuh terkulai tanpa kesadaran, kemudian bangkit dengan membuka kelopak mata, menyongsong satu cahaya di atas ubun kepala. Ruangan tempatnya bernapas masih sama, dinding berbeton yang kedap suara, tidak ada apa pun, kecuali kursi yang ia duduki. Untuk detik itu, ia telah didudukkan, tidak lagi digantung, barangkali ada nurani yang diam-diam memandangnya penuh kasihan. Satu meter darinya, Bawon berdiri sembari membawa botol mineral. Baru saja wajah Gus Farhan disiram menggunakan air di dalam botol kemasan tersebut. Alam bawah sadar Gus Farhan rupanya terpusat kepada Shofi seorang. Ketika ia bangun, nama gadis itu yang ia sebutkan. Hal itu membuat bibir Bawon melebar dalam balutan tawa penghinaan. "Apa otak lo sudah sinting? Kenapa masih memikirkan gadis tengik itu?" sentak Bawon merasa kesal. Ia kurang suka dengan mulut Gus Farhan maupun Bos Bagong yang kerap me
Hari ketika Anggi libur dari pekerjaan menjadi buruh pabrik Koh Akong. Ia mendatangi Bos Bagong di rumah sekapan, berniat mencari keberadaan Shofi. Akan tetapi, di depan pintu ia mendapatkan sapaan kurang enak dari Marti dan Bela. Entah mengapa, tiba-tiba tubuh Anggi didorong dengan kuat sampai punggungnya terbentur pot bunga. "Berani sekali kau injakkan kaki di rumah maksiat ini," seru Bela yang sudah mengenakan jilbab. Penampilan Bela tersebut membuat Anggi tertawa renyah sambil mengelap punggungnya yang kotor terkena tanah. "Aku mau ketemu dengan Bos kalian, di mana?" "Mau apa? Menawarkan dagangan lagi, ha? Apa tidak lelah mengorbankan orang lain dengan kesenanganmu sendiri, Nggi? Seberapa banyak uang yang kau telan sampai menggelapkan akal sehatmu? Kita ini sama-sama kaum perempuan!" Bela bertambah kasar. Marti sendiri memilih diam dengan menyilangkan tangan di depan dada. Perbuatannya untuk menyambut kedatangan Anggi cukup dengan melempar batang putung rokok ke ujung sepatu A
Bos Bagong tidak bersama keluarga. Ia tengah duduk di ruang VVIP diskotiknya sembari menikmati sapuan asap yang keluar dari cerutu tua. Aroma nikotin bercampur dentuman musik menjelegar, sama kerasnya dengan petir yang menyambar kegelapan malam. Hujan turun mendayu-dayu, membuat dinding-dinding basah, membuat kaca-kaca ruko di emper jalan penuh embun. Sementara itu, Putra tengah memandang jendela di kamarnya, mengamati daun-daun tanaman hias yang basah kuyup oleh sapuan hujan. Tiada cahaya bulan yang singgah, pancaran sinar lampu di taman pun diselubungi dengan kabut. Ia menatap nanar tanpa peduli dengan angin kencang yang mengembuskan beberapa kubik percik air. Lihatlah, bahkan tirai rumahnya basah karena jendela tidak ditutup. Ia melawan gigil karena kalut pada hidup, membiarkan dingin memeluknya kuat-kuat. Kulitnya membiru, demikian dengan bibir dan perasaannya. Terjebak melulu di kursi roda, dianggap orang cacat membuat mobilisasinya sangat terganggu. Apalagi ia merasa tersisih d
Hujan menyepuh seluruh permukaan kota. Malam bertambah remang dengan kisi-kisi cahaya yang memantul pada bening bola-bola air. Selokan-selokan penuh oleh debit air yang hanyutkan sampah plastik. Trotoar basah, menghapus jejak para pelangkah. Sebagian pengendara motor mangkir di kedai kopi, tenggak gigil demi lepas penat dan harap hangat. Meja-meja menjadi ramai dengan lamunan-lamunan seputar pertemuan. Ada yang menaruh bimbang sebab hujan tak kunjung pulang, ada pun yang justru menikmati sensasi kehadirannya dengan kembangkan kenangan di pelupuk pandang. Ketika itu, Agam duduk di sebrang meja, memandang wajah aneh Anggi. Baginya memang perempuan dengan rambut pirang dan tatapan sayu serupa kembang sedap malam kehilangan aromanya itu aneh, bertingkah tidak seperti biasanya. "Pertama kali aku makan dengan teman setelah ibuku meninggal," ujar Anggi sambil menyendok mie dan potongan bakso yang ia iris menggunakan sendok. Agam menghela napas panjang, ia merenggangkan tubuh dengan menyan