Bos Bagong tidak bersama keluarga. Ia tengah duduk di ruang VVIP diskotiknya sembari menikmati sapuan asap yang keluar dari cerutu tua. Aroma nikotin bercampur dentuman musik menjelegar, sama kerasnya dengan petir yang menyambar kegelapan malam. Hujan turun mendayu-dayu, membuat dinding-dinding basah, membuat kaca-kaca ruko di emper jalan penuh embun. Sementara itu, Putra tengah memandang jendela di kamarnya, mengamati daun-daun tanaman hias yang basah kuyup oleh sapuan hujan. Tiada cahaya bulan yang singgah, pancaran sinar lampu di taman pun diselubungi dengan kabut. Ia menatap nanar tanpa peduli dengan angin kencang yang mengembuskan beberapa kubik percik air. Lihatlah, bahkan tirai rumahnya basah karena jendela tidak ditutup. Ia melawan gigil karena kalut pada hidup, membiarkan dingin memeluknya kuat-kuat. Kulitnya membiru, demikian dengan bibir dan perasaannya. Terjebak melulu di kursi roda, dianggap orang cacat membuat mobilisasinya sangat terganggu. Apalagi ia merasa tersisih d
Hujan menyepuh seluruh permukaan kota. Malam bertambah remang dengan kisi-kisi cahaya yang memantul pada bening bola-bola air. Selokan-selokan penuh oleh debit air yang hanyutkan sampah plastik. Trotoar basah, menghapus jejak para pelangkah. Sebagian pengendara motor mangkir di kedai kopi, tenggak gigil demi lepas penat dan harap hangat. Meja-meja menjadi ramai dengan lamunan-lamunan seputar pertemuan. Ada yang menaruh bimbang sebab hujan tak kunjung pulang, ada pun yang justru menikmati sensasi kehadirannya dengan kembangkan kenangan di pelupuk pandang. Ketika itu, Agam duduk di sebrang meja, memandang wajah aneh Anggi. Baginya memang perempuan dengan rambut pirang dan tatapan sayu serupa kembang sedap malam kehilangan aromanya itu aneh, bertingkah tidak seperti biasanya. "Pertama kali aku makan dengan teman setelah ibuku meninggal," ujar Anggi sambil menyendok mie dan potongan bakso yang ia iris menggunakan sendok. Agam menghela napas panjang, ia merenggangkan tubuh dengan menyan
Pada akhirnya tali yang mengikat kedua tangan Gus Farhan bisa dilepas. Pemuda itu langsung melayangkan tinju pada wajah Bawon, disusul ke arah lutut yang berakhir menuju pangkal kemaluan. Bawon mengaduh panjang, suaranya membuat preman yang menjaga terbangun kalab. Tiga preman masuk ke ruang sekapan. Sebelumnya, Gus Farhan sudah sigap dengan senjata kursi kayu, ia hempaskan kepada lawan, tidak peduli bibir mereka hancur, abai dengan lecet pada kulit mereka karena tertusuk paku, juga enggan memperhatikan perut buncit yang tersodok kaki kursi. Kali itu Gus Farhan menjadi makhluk paling egois di dunia. Satu hal yang pasti, tekadnya bulat-bulat hendak keluar dari tempat tersebut untuk memanggil bala bantuan. Mustahil baginya melawan sekelompok preman—anak buah Bos Bagong. Lepas dari itu ada hal yang lebih penting, membawa pulang Shofi ke rumahnya supaya perjuangan dan keterasingannya selama ini dari kehidupan pondok pesantren tidak berujung kesia-siaan. Akan tetapi di depan pintu terakhi
Pukul 05.00 pagi hari, Agam yang baru saja keluar dari toserba setelah selesai melaksanakan tugasnya melayani para pembeli. Ia dengan malas mengangsur langkah menuju parkiran, menaiki sepeda motor untuk diajak pulang ke rumah demi rebahkan lelah sekujur tubuh layunya. Aura wajahnya semasam buah jeruk mentah. Dalam perjalanan ia diikuti empat preman utusan Bos Bagong. Pada jalanan sepi sebelum menuju gang masuk kampung, Agam dihadang oleh orang-orang asing bertubuh kekar. Sepeda motor Agam terjungkal. Ia mendapat serangan mendadak yang tidak bisa ditangkis. Dalam keadaan lelah dan setengah mengantuk tentu sulit memfokuskan ilmu bela dirinya. Agam berusaha melawan, tetapi tubunya terus mendapat pukulan. Empat lawan satu, bukan perihal gampang mengalahkan musuh dalam keadaan lelah. "Siapa kalian?" sentak Agam. "Ini semua akibat saudaramu yang banyak tingkah!" seloroh salah satu preman. Satu meter dari jarak mereka, Juned memasang kamera untuk merekam adegan. Agam terlihat payah dan k
"Kau kelihatan sangat terpaksa bekerja di sini," kata Putra melanjutkan. Shofi menyeka sisa air mata dilanjutkan dengan bangkit. Ia akan menyelesaikan tugas bersih-bersihnya sebagai bentuk ketaatannya kepada Bos Bagong. Sungguh dia sangat khawatir dengan kondisi Agam, akan tetapi ia lebih takut jika berleha-leha akan membuat Bos Bagong bertindak lebih kejam lagi. "Ada apa?" "Ini bukan urusanmu ... Tuan Muda." Entah dari mana rasa hormat itu tetiba muncul. Ia sangat ketakutan. "Panggil namaku sebagaimana biasanya, atau jangan-jangan ada anggota keluargaku yang mengusikmu?" terka Putra. "Anda tidak pantas menjadi orang yang bersimpati kepada pembantu seperti saya, Tuan Muda. Silakan tinggalkan saya seorang diri, jangan membuat saya ... merasa tidak nyaman." Benar, ada hal berat yang mengganggu Shofi, dan itu tentu berada di dalam keluarganya. "Apa kau bersikap seperti ini karena ulahku?" Putra ambigu. Antara merasa bersalah dan kasihan bercampur menjadi satu. "Maaf saya ingin s
Panggilan tidak terhubung. Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif. Sebuah suara yang membuat batin Shofi semakin ditumbuhi keresahan. Ia mematung dengan tatapan berlinang di depan Putra. Putus asa dengan harapan bisa mendengar kabar Agam secara langsung. Bos Bagong rencananya mau ke dapur, akan tetapi ia menyaksikan diskusi serius Putra dan Shofi. Ia merasa dikhianati oleh Shofi. Ancamannya selama ini tidak juga membuat Shofi jera. Atau kalau dipikir-pikir, mungkinkah dirinya yang salah telah mengambil keputusan untuk mempekerjakan Shofi sebagai pembantu? Atau dirinyalah yang terlampau serakah? Mencari budak di rumah pribadi, tanpa memperhitungkan masalah baru yang akan datang? Pada dasarnya Bos Bagong hanya terlalu takut menghadapi ucapan-ucapam Shofi yang seringkali menjadi kenyataan. Hidupnya mendadak dipenuhi kehancuran dan perasaan cemas. Ia menjadi tukang kuping di rumahnya sendiri. Pagi sebentar lagi pamit pergi. Embun-embun di permukaan daun keladi di luar rumah telah
Kecamasan itu semakin hari bertambah buncah. Rutinitas pesantren yang kian sibuk karena mendekati khataman sebelum kedatangan Bulan Ramadhan, tetap tidak membuat pikiran Umi mengasingkan kabar Gus Farhan. Ia terus memburu penjelasan dan berita baru dari kontrakan sederhana yang disewa oleh anaknya tersebut dari Kang Zaki. Sayangnya kabar yang dinanti-nantinya itu tidak pernah hadir sesuai pengharapan. Umi enjadi sosok yang kerap termenung dengan pandangan berbinar sambil menatap langit kuning di belahan dunia barat. Umi juga kerap kehilangan fokus, pernah menumpahkan air mendidih bukan pada gelasnya, akhirnya telapak tangan dan permukaan kakinya melepuh karena air mendidih. Anehnya Abah Aziz hanya diam saja, seolah tidak mempedulikan nasib Gus Farhan yang belum diketahui rimbanya. “Bagaimana, Zaki? Apakah Farhan sudah pulang ke kontrakan? Kalau memang sudah, katakanlah dengan jujur, dia tidak kembali ke ndalem tidak mengapa, Zaki. Terpenting dia sehat tanpa kekurangan apa pun,” rintih
Malam itu dipenuhi dengan kabut-kabut tipis di permukaan langit. Aroma tanah menguarkan bau tanah yang khas setelah disiram hujan sore hari. Kendaraan berlalu lalang dipenuhi dengan embun-embun. Lampu penerang jalan menyorot siluet Pelangi yang membentuk lingkaran dipenuhi dengan serangga mungil—ngengat. Selokan menguap, menyisakan bau busuk pengaduk pencernaan. Ketika itu pusat kota dikerumuni dengan perasaan gelisah. Akhir pekan dan hujan membuat alun-alunnya mendadak merana. Pedagang di emper jalan gelisah karena dagangan masih tertumpuk banyak. Asap mengepul dari tukang satai dan gerobak bakso, tetapi bangku panjangnya kosong melompong, tenda angkringan juga mengasingkan diri dari keramaian. Pemuda-pemuda yang kerap tongkring dengan gitar dan sesapan nikotin mendadak kabur disergap gigil. Sebagian manusia meringkuk di kamar pribadi mereka berkawan cahaya ponsel. Ketika itu Mahes mendorong kursi roda Putra, mengajak ke tempat gemerlap yang membuat Putra merasa tersisih. Petugas ke