Pukul 05.00 pagi hari, Agam yang baru saja keluar dari toserba setelah selesai melaksanakan tugasnya melayani para pembeli. Ia dengan malas mengangsur langkah menuju parkiran, menaiki sepeda motor untuk diajak pulang ke rumah demi rebahkan lelah sekujur tubuh layunya. Aura wajahnya semasam buah jeruk mentah. Dalam perjalanan ia diikuti empat preman utusan Bos Bagong. Pada jalanan sepi sebelum menuju gang masuk kampung, Agam dihadang oleh orang-orang asing bertubuh kekar. Sepeda motor Agam terjungkal. Ia mendapat serangan mendadak yang tidak bisa ditangkis. Dalam keadaan lelah dan setengah mengantuk tentu sulit memfokuskan ilmu bela dirinya. Agam berusaha melawan, tetapi tubunya terus mendapat pukulan. Empat lawan satu, bukan perihal gampang mengalahkan musuh dalam keadaan lelah. "Siapa kalian?" sentak Agam. "Ini semua akibat saudaramu yang banyak tingkah!" seloroh salah satu preman. Satu meter dari jarak mereka, Juned memasang kamera untuk merekam adegan. Agam terlihat payah dan k
"Kau kelihatan sangat terpaksa bekerja di sini," kata Putra melanjutkan. Shofi menyeka sisa air mata dilanjutkan dengan bangkit. Ia akan menyelesaikan tugas bersih-bersihnya sebagai bentuk ketaatannya kepada Bos Bagong. Sungguh dia sangat khawatir dengan kondisi Agam, akan tetapi ia lebih takut jika berleha-leha akan membuat Bos Bagong bertindak lebih kejam lagi. "Ada apa?" "Ini bukan urusanmu ... Tuan Muda." Entah dari mana rasa hormat itu tetiba muncul. Ia sangat ketakutan. "Panggil namaku sebagaimana biasanya, atau jangan-jangan ada anggota keluargaku yang mengusikmu?" terka Putra. "Anda tidak pantas menjadi orang yang bersimpati kepada pembantu seperti saya, Tuan Muda. Silakan tinggalkan saya seorang diri, jangan membuat saya ... merasa tidak nyaman." Benar, ada hal berat yang mengganggu Shofi, dan itu tentu berada di dalam keluarganya. "Apa kau bersikap seperti ini karena ulahku?" Putra ambigu. Antara merasa bersalah dan kasihan bercampur menjadi satu. "Maaf saya ingin s
Panggilan tidak terhubung. Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif. Sebuah suara yang membuat batin Shofi semakin ditumbuhi keresahan. Ia mematung dengan tatapan berlinang di depan Putra. Putus asa dengan harapan bisa mendengar kabar Agam secara langsung. Bos Bagong rencananya mau ke dapur, akan tetapi ia menyaksikan diskusi serius Putra dan Shofi. Ia merasa dikhianati oleh Shofi. Ancamannya selama ini tidak juga membuat Shofi jera. Atau kalau dipikir-pikir, mungkinkah dirinya yang salah telah mengambil keputusan untuk mempekerjakan Shofi sebagai pembantu? Atau dirinyalah yang terlampau serakah? Mencari budak di rumah pribadi, tanpa memperhitungkan masalah baru yang akan datang? Pada dasarnya Bos Bagong hanya terlalu takut menghadapi ucapan-ucapam Shofi yang seringkali menjadi kenyataan. Hidupnya mendadak dipenuhi kehancuran dan perasaan cemas. Ia menjadi tukang kuping di rumahnya sendiri. Pagi sebentar lagi pamit pergi. Embun-embun di permukaan daun keladi di luar rumah telah
Kecamasan itu semakin hari bertambah buncah. Rutinitas pesantren yang kian sibuk karena mendekati khataman sebelum kedatangan Bulan Ramadhan, tetap tidak membuat pikiran Umi mengasingkan kabar Gus Farhan. Ia terus memburu penjelasan dan berita baru dari kontrakan sederhana yang disewa oleh anaknya tersebut dari Kang Zaki. Sayangnya kabar yang dinanti-nantinya itu tidak pernah hadir sesuai pengharapan. Umi enjadi sosok yang kerap termenung dengan pandangan berbinar sambil menatap langit kuning di belahan dunia barat. Umi juga kerap kehilangan fokus, pernah menumpahkan air mendidih bukan pada gelasnya, akhirnya telapak tangan dan permukaan kakinya melepuh karena air mendidih. Anehnya Abah Aziz hanya diam saja, seolah tidak mempedulikan nasib Gus Farhan yang belum diketahui rimbanya. “Bagaimana, Zaki? Apakah Farhan sudah pulang ke kontrakan? Kalau memang sudah, katakanlah dengan jujur, dia tidak kembali ke ndalem tidak mengapa, Zaki. Terpenting dia sehat tanpa kekurangan apa pun,” rintih
Malam itu dipenuhi dengan kabut-kabut tipis di permukaan langit. Aroma tanah menguarkan bau tanah yang khas setelah disiram hujan sore hari. Kendaraan berlalu lalang dipenuhi dengan embun-embun. Lampu penerang jalan menyorot siluet Pelangi yang membentuk lingkaran dipenuhi dengan serangga mungil—ngengat. Selokan menguap, menyisakan bau busuk pengaduk pencernaan. Ketika itu pusat kota dikerumuni dengan perasaan gelisah. Akhir pekan dan hujan membuat alun-alunnya mendadak merana. Pedagang di emper jalan gelisah karena dagangan masih tertumpuk banyak. Asap mengepul dari tukang satai dan gerobak bakso, tetapi bangku panjangnya kosong melompong, tenda angkringan juga mengasingkan diri dari keramaian. Pemuda-pemuda yang kerap tongkring dengan gitar dan sesapan nikotin mendadak kabur disergap gigil. Sebagian manusia meringkuk di kamar pribadi mereka berkawan cahaya ponsel. Ketika itu Mahes mendorong kursi roda Putra, mengajak ke tempat gemerlap yang membuat Putra merasa tersisih. Petugas ke
"Siapa yang tega melalukannya kepadamu, Agam?" tanya Zea berkali-kali setelah pemuda yang dimaksud telah baikan. Kecemasan Zea sangat akut. Sewaktu mendapati tubuh Agam terkulai dengan baju penuh lumuran darah di bagian perut, membuat bumi dalam kehidupan Zea terasa runtuh.Ia sempat marah besar kepada Agam atas sikapnya yang begitu beku dan keterlaluan. Pernah bertekad hendak mengabaikan Agam, bahkan jika mampu ingin melupakan Agam dari pikiran. Akan tetapi, suara pemuda yang meminta tolong, tentang dirinya yang diingat pertama kali dalam kesakitan. Membuatnya bergegas menerobos gigil pagi, mendatangi keberadaan kaum adam yang tengah rebah di pinggiran selokan. "Agam! Apa yang terjadi?" teriaknya sambil mengguncangkan bahu Agam. Ia telah jatuh dalam ketidaksadaran. Maka Zea buru-buru mencari bala bantuan, memohon pertolongan kepada sembarang orang yang melintasi jalan tersebut. Zea melarikan Agam ke rumah sakit. Dalam perjalanan ia banyak menumpahkan air mata kegelisahan. Ia cemas
Marti mencium adanya kejanggalan dari sikap Bos Bagong. Ia terus mengintai gerak-gerik pria tua berkaca mata hitam yang mendadak menjadi pemarah dan dipenuhi aura kegelisahan. Lebih dari itu ia pernah mendengar suara teriakan di sebelah gudang diskotik. Sudah pasti ada manusia yang disekap oleh Bos Bagong. Marti bekerjasama dengan Bela hari itu mengalihkan perhatian Bawon demi bisa menuju ruang sekapan yang dihalangi oleh preman-preman. Bela hendak menolak ajakan tersebut, akan tetapi setelah menyebutkan nama Shofi, gadis itu mendadak luluh. Marti sempat menguping obrolan Bos Bagong dengan Bawon yang sedang membicarakan Gus Farhan—pemuda alim yang diwartakan berjuang mencari keberadaan Shofi. Marti menyentuh slot pintu dengan sangat hati-hati, sementara Bela mengintai para preman yang tengah ketiduran di atas bangku panjang. Penjagaan di waktu-waktu tertentu memang ketat, tetapi dua kaum hawa itu telah mempelajari situasi lengah sejak beberapa hari yang lampau. Sebelum melakukan aksi
Pada akhirnya malam tadi Mahes memutuskan untuk menginap di rumah Putra. Ia bermaksud meneliti secara detail fisik dan rupa wajah Shofi. Pasalnya Shofi tidak langsung mengaku. Ada ketakutan akut yang disembunyikan, khawatir jikalau terjadi hal pilu menimpa Bunda di rumah. Shofi memilih bohong demi menjaga kebaikan keluarga. Akan tetapi Mahes tidak berhenti, demikian juga dengan Putra. Pagi hari sewaktu Bos Bagong keluar bersama Bu Ika untuk jogging, dua pemuda itu mengajak bicara Shofi di halaman belakang rumah. Mereka duduk berhadap-hadapan sementara Putra tetap pada kursi rodanya. Tanaman hias dan embun-embun menjadi saksi yang merekam setiap mimik wajah. Lumut-lumut hijau pada dinding taman terlihat sangat lembab. Hari itu langit tidak begitu cerah, ada kabut tebal yang berpendar di ambang cakrawala, seolah sebentar lagi hujan akan bertamu di belahan planet bumi. Akan tetapi, rasa dingin yang membuat bulu-bulu halus di kulit Putra dan Mahes berdiri itu tidak menyurutkan rasa penas