Kecamasan itu semakin hari bertambah buncah. Rutinitas pesantren yang kian sibuk karena mendekati khataman sebelum kedatangan Bulan Ramadhan, tetap tidak membuat pikiran Umi mengasingkan kabar Gus Farhan. Ia terus memburu penjelasan dan berita baru dari kontrakan sederhana yang disewa oleh anaknya tersebut dari Kang Zaki. Sayangnya kabar yang dinanti-nantinya itu tidak pernah hadir sesuai pengharapan. Umi enjadi sosok yang kerap termenung dengan pandangan berbinar sambil menatap langit kuning di belahan dunia barat. Umi juga kerap kehilangan fokus, pernah menumpahkan air mendidih bukan pada gelasnya, akhirnya telapak tangan dan permukaan kakinya melepuh karena air mendidih. Anehnya Abah Aziz hanya diam saja, seolah tidak mempedulikan nasib Gus Farhan yang belum diketahui rimbanya. “Bagaimana, Zaki? Apakah Farhan sudah pulang ke kontrakan? Kalau memang sudah, katakanlah dengan jujur, dia tidak kembali ke ndalem tidak mengapa, Zaki. Terpenting dia sehat tanpa kekurangan apa pun,” rintih
Malam itu dipenuhi dengan kabut-kabut tipis di permukaan langit. Aroma tanah menguarkan bau tanah yang khas setelah disiram hujan sore hari. Kendaraan berlalu lalang dipenuhi dengan embun-embun. Lampu penerang jalan menyorot siluet Pelangi yang membentuk lingkaran dipenuhi dengan serangga mungil—ngengat. Selokan menguap, menyisakan bau busuk pengaduk pencernaan. Ketika itu pusat kota dikerumuni dengan perasaan gelisah. Akhir pekan dan hujan membuat alun-alunnya mendadak merana. Pedagang di emper jalan gelisah karena dagangan masih tertumpuk banyak. Asap mengepul dari tukang satai dan gerobak bakso, tetapi bangku panjangnya kosong melompong, tenda angkringan juga mengasingkan diri dari keramaian. Pemuda-pemuda yang kerap tongkring dengan gitar dan sesapan nikotin mendadak kabur disergap gigil. Sebagian manusia meringkuk di kamar pribadi mereka berkawan cahaya ponsel. Ketika itu Mahes mendorong kursi roda Putra, mengajak ke tempat gemerlap yang membuat Putra merasa tersisih. Petugas ke
"Siapa yang tega melalukannya kepadamu, Agam?" tanya Zea berkali-kali setelah pemuda yang dimaksud telah baikan. Kecemasan Zea sangat akut. Sewaktu mendapati tubuh Agam terkulai dengan baju penuh lumuran darah di bagian perut, membuat bumi dalam kehidupan Zea terasa runtuh.Ia sempat marah besar kepada Agam atas sikapnya yang begitu beku dan keterlaluan. Pernah bertekad hendak mengabaikan Agam, bahkan jika mampu ingin melupakan Agam dari pikiran. Akan tetapi, suara pemuda yang meminta tolong, tentang dirinya yang diingat pertama kali dalam kesakitan. Membuatnya bergegas menerobos gigil pagi, mendatangi keberadaan kaum adam yang tengah rebah di pinggiran selokan. "Agam! Apa yang terjadi?" teriaknya sambil mengguncangkan bahu Agam. Ia telah jatuh dalam ketidaksadaran. Maka Zea buru-buru mencari bala bantuan, memohon pertolongan kepada sembarang orang yang melintasi jalan tersebut. Zea melarikan Agam ke rumah sakit. Dalam perjalanan ia banyak menumpahkan air mata kegelisahan. Ia cemas
Marti mencium adanya kejanggalan dari sikap Bos Bagong. Ia terus mengintai gerak-gerik pria tua berkaca mata hitam yang mendadak menjadi pemarah dan dipenuhi aura kegelisahan. Lebih dari itu ia pernah mendengar suara teriakan di sebelah gudang diskotik. Sudah pasti ada manusia yang disekap oleh Bos Bagong. Marti bekerjasama dengan Bela hari itu mengalihkan perhatian Bawon demi bisa menuju ruang sekapan yang dihalangi oleh preman-preman. Bela hendak menolak ajakan tersebut, akan tetapi setelah menyebutkan nama Shofi, gadis itu mendadak luluh. Marti sempat menguping obrolan Bos Bagong dengan Bawon yang sedang membicarakan Gus Farhan—pemuda alim yang diwartakan berjuang mencari keberadaan Shofi. Marti menyentuh slot pintu dengan sangat hati-hati, sementara Bela mengintai para preman yang tengah ketiduran di atas bangku panjang. Penjagaan di waktu-waktu tertentu memang ketat, tetapi dua kaum hawa itu telah mempelajari situasi lengah sejak beberapa hari yang lampau. Sebelum melakukan aksi
Pada akhirnya malam tadi Mahes memutuskan untuk menginap di rumah Putra. Ia bermaksud meneliti secara detail fisik dan rupa wajah Shofi. Pasalnya Shofi tidak langsung mengaku. Ada ketakutan akut yang disembunyikan, khawatir jikalau terjadi hal pilu menimpa Bunda di rumah. Shofi memilih bohong demi menjaga kebaikan keluarga. Akan tetapi Mahes tidak berhenti, demikian juga dengan Putra. Pagi hari sewaktu Bos Bagong keluar bersama Bu Ika untuk jogging, dua pemuda itu mengajak bicara Shofi di halaman belakang rumah. Mereka duduk berhadap-hadapan sementara Putra tetap pada kursi rodanya. Tanaman hias dan embun-embun menjadi saksi yang merekam setiap mimik wajah. Lumut-lumut hijau pada dinding taman terlihat sangat lembab. Hari itu langit tidak begitu cerah, ada kabut tebal yang berpendar di ambang cakrawala, seolah sebentar lagi hujan akan bertamu di belahan planet bumi. Akan tetapi, rasa dingin yang membuat bulu-bulu halus di kulit Putra dan Mahes berdiri itu tidak menyurutkan rasa penas
Kata orang banyak kebaikan yang berserak di dunia luar. Akan tetapi lihatlah Gus Farhan, dia serupa anak gelandangan yang kesulitan mencari makan. Sampai kabut bertengger di atas ubun-ubun kepala, perutnya masih kosong melompong. Rupa wajah sekaligus warna kulitnya bertambah kusam karena diselimuti embun gerimis. Bibirnya bertambah biru. Ia menahan sakit hati atas takdir yang seolah tidak memihak kepadanya. Barangkali akan ada banyak petutur mengatakan itu ujian dari Allah, namun akankah sebegitu mengerikan? Menahan lapar menjadi momok paling pahit dalam kehidupan Gus Farhan. Ia belum pernah mengalami kejadian tersebut sebelumnya. Lapar karena puasa jauh berbeda dengan lapar karena tidak ada uang dan keluarga yang dimintai bantuan. Lucunya setiap kali dia mengharapkan pertolongan dari pedagang kaki lima, atau kios-kios yang buka lebih awal dari kabut siang itu, justru celoteh negatif yang ia dengar. "Saya juga baru membuka toko, belum dapat pemasukan, Pak!" keluh wanita tua dengan wa
'Jangan kabari Umi dan Abah, Kang!' Sebuah pesan masuk yang membuat mata Kang Zaki melotot tiba-tiba. Detik itu langit menguning, burung-burung prenjak baru saja pulang. Padi-padi di dekat kantor menundukkan kepala, menampung kebermanfaatan untuk hidup banyak kaum manusia. Asrama putra sedang mengheningkan cipta, banyak dari mereka sibuk membilas diri di kamar mandi, menyiapkan fisik untuk sambut ibadah maghrib berjamaah. Sementara Abah Aziz sedang duduk di beranda masjid, memandang halaman asrama putra yang kosong melompong, penghuninya hanya daun-daun kering pohon kelengkeng dan rambutan yang jatuh diembus angin. Ia banyak berpikir perihal hidup di hari depan, menanggung luka akibat ulah anak kandungnya sendiri, menyesal karena menghardik, tetapi juga bimbang dalam mendidik. Harus dengan bagaimana lagi dia berusaha meluruskan langkah yang katanya bengkok? Nama baik Abah Aziz tenggelam, tidak ada lagi masyarakat yang mau mendengar kajian-kajian islami darinya. Lebih menyakitkan bebe
"Kita akan ke mana, Gus?" tanya Kang Zaki sambil menoleh ke arah Gus Farhan yang sibuk memandang keluar jendela. Malam begitu larut, suasana jalan ramai tetapi menghadirkan sepi dalam benak kedua pemuda di dalam mobil van yang sedang melaju agak ragu-ragu. Kang Zaki menyetir dengan tujuan bimbang, antara pulang ke kediaman ndalem atau berputar arah mencari persinggahan baru. Gus Farhan mengenang setiap hidup yang dilalui akhir-akhir ini. Bukan hanya perih melainkan sangat menyiksanya. Tetapi dia sangat ingin bertemu kembali dengan Bos Bagong, bukan untuk memberi balasan atas luka yang tertanam, sebaliknya mencerahkan supaya pria tua dengan tubuh tidak begitu kekar itu sadar. Menjadi bermanfaat dalam kehidupan banyak orang rupanya bukan perkara gampang, banyak tantangan yang perlu dilalui. Satu hal yang perlu dia lakukan, mencari nama asli Bos Bagong kemudian menelusuri alamat rumah sosoknya. Setelahnya perlahan teka-teki akan terbongkar, bahkan bisa jadi keberadaan Shofi akan segera