Pada akhirnya malam tadi Mahes memutuskan untuk menginap di rumah Putra. Ia bermaksud meneliti secara detail fisik dan rupa wajah Shofi. Pasalnya Shofi tidak langsung mengaku. Ada ketakutan akut yang disembunyikan, khawatir jikalau terjadi hal pilu menimpa Bunda di rumah. Shofi memilih bohong demi menjaga kebaikan keluarga. Akan tetapi Mahes tidak berhenti, demikian juga dengan Putra. Pagi hari sewaktu Bos Bagong keluar bersama Bu Ika untuk jogging, dua pemuda itu mengajak bicara Shofi di halaman belakang rumah. Mereka duduk berhadap-hadapan sementara Putra tetap pada kursi rodanya. Tanaman hias dan embun-embun menjadi saksi yang merekam setiap mimik wajah. Lumut-lumut hijau pada dinding taman terlihat sangat lembab. Hari itu langit tidak begitu cerah, ada kabut tebal yang berpendar di ambang cakrawala, seolah sebentar lagi hujan akan bertamu di belahan planet bumi. Akan tetapi, rasa dingin yang membuat bulu-bulu halus di kulit Putra dan Mahes berdiri itu tidak menyurutkan rasa penas
Kata orang banyak kebaikan yang berserak di dunia luar. Akan tetapi lihatlah Gus Farhan, dia serupa anak gelandangan yang kesulitan mencari makan. Sampai kabut bertengger di atas ubun-ubun kepala, perutnya masih kosong melompong. Rupa wajah sekaligus warna kulitnya bertambah kusam karena diselimuti embun gerimis. Bibirnya bertambah biru. Ia menahan sakit hati atas takdir yang seolah tidak memihak kepadanya. Barangkali akan ada banyak petutur mengatakan itu ujian dari Allah, namun akankah sebegitu mengerikan? Menahan lapar menjadi momok paling pahit dalam kehidupan Gus Farhan. Ia belum pernah mengalami kejadian tersebut sebelumnya. Lapar karena puasa jauh berbeda dengan lapar karena tidak ada uang dan keluarga yang dimintai bantuan. Lucunya setiap kali dia mengharapkan pertolongan dari pedagang kaki lima, atau kios-kios yang buka lebih awal dari kabut siang itu, justru celoteh negatif yang ia dengar. "Saya juga baru membuka toko, belum dapat pemasukan, Pak!" keluh wanita tua dengan wa
'Jangan kabari Umi dan Abah, Kang!' Sebuah pesan masuk yang membuat mata Kang Zaki melotot tiba-tiba. Detik itu langit menguning, burung-burung prenjak baru saja pulang. Padi-padi di dekat kantor menundukkan kepala, menampung kebermanfaatan untuk hidup banyak kaum manusia. Asrama putra sedang mengheningkan cipta, banyak dari mereka sibuk membilas diri di kamar mandi, menyiapkan fisik untuk sambut ibadah maghrib berjamaah. Sementara Abah Aziz sedang duduk di beranda masjid, memandang halaman asrama putra yang kosong melompong, penghuninya hanya daun-daun kering pohon kelengkeng dan rambutan yang jatuh diembus angin. Ia banyak berpikir perihal hidup di hari depan, menanggung luka akibat ulah anak kandungnya sendiri, menyesal karena menghardik, tetapi juga bimbang dalam mendidik. Harus dengan bagaimana lagi dia berusaha meluruskan langkah yang katanya bengkok? Nama baik Abah Aziz tenggelam, tidak ada lagi masyarakat yang mau mendengar kajian-kajian islami darinya. Lebih menyakitkan bebe
"Kita akan ke mana, Gus?" tanya Kang Zaki sambil menoleh ke arah Gus Farhan yang sibuk memandang keluar jendela. Malam begitu larut, suasana jalan ramai tetapi menghadirkan sepi dalam benak kedua pemuda di dalam mobil van yang sedang melaju agak ragu-ragu. Kang Zaki menyetir dengan tujuan bimbang, antara pulang ke kediaman ndalem atau berputar arah mencari persinggahan baru. Gus Farhan mengenang setiap hidup yang dilalui akhir-akhir ini. Bukan hanya perih melainkan sangat menyiksanya. Tetapi dia sangat ingin bertemu kembali dengan Bos Bagong, bukan untuk memberi balasan atas luka yang tertanam, sebaliknya mencerahkan supaya pria tua dengan tubuh tidak begitu kekar itu sadar. Menjadi bermanfaat dalam kehidupan banyak orang rupanya bukan perkara gampang, banyak tantangan yang perlu dilalui. Satu hal yang perlu dia lakukan, mencari nama asli Bos Bagong kemudian menelusuri alamat rumah sosoknya. Setelahnya perlahan teka-teki akan terbongkar, bahkan bisa jadi keberadaan Shofi akan segera
Agam mendorong pintu rumah dengan hati-hati. Ia dirawat di rumah sakit selama tiga hari, selama itu pula ia berdalih menginap di rumah teman. Luka tusuk sudah membaik hanya menunggu proses kering. Meskipun demikian, wajah yang sempat menahan rasa sakit itu tidak bisa disembuyikan, aura pucat, pergerakan langkah yang lamban tetap bisa dibaca oleh Bunda—sosok wanita pengasuh hidupnya puluhan tahun itu tentu hapal gelagat dan gestur tubuh anak kandung yang sedang kesakitan. Akan tetapi, Bunda memilih diam, tidak mau menanyai banyak hal sebab Agam telah memberi alasan menginap di rumah teman. Jika diselidiki lebih dalam, tentu akan mengganggu perasaan Agam. Ada privasi yang sedang dijaga, tidak ingin dibagi dengan Bunda. “Baru pulang, Agam?” tanya Bunda dengan maksud basa-basi belaka. Jujur perasaan khawatir bercampur rasa bersalah sedang menggunduk di dada Bunda. “Iya, Bunda. Aku sangat lelah, aku mau langsung istirahat.” Agam melangkah menuju kamar tidur. Ia tutup pintu rapat-rapat,
Ketika langit menutup rutinitas penduduk bumi, suara jangkrik membekap kesunyian. Daun-daun mulai ditampungi embun dan lampu jalanan menggantikan tugas bulan, Bu Ika rebah di kamar nyaman dengan lelap panjang. Detik jam berputar amat teratur menggiring malam supaya bertambah larut dalam ketidakpekaan hidup. Rumah berlantai dua dengan cat serba putih itu didiami oleh keremangan bercampur dengan kegelisahan. Bos Bagong tidak kunjung memejamkan mata. Malam kian matang, sepi benar-benar merasuki rumah yang dia beli. Untuk hari itu dia enggan singgah ke diskotik. Ada hal yang mengganjal ulu hati Bos Bagong, jika Shofi tidak pulang kampung sebagaimana yang dicetuskan oleh Bu Ika, maka keanehan-keanehan baru akan terendus oleh pikiran istrinya sendiri. Selama berbulan-bulan Shofi tidak mengajukan ijin menjenguk keluarganya. Maka demi menyembunyikan hal mencurigakan itu, Bos Bagong menyelinap diam-diam, mendobrak pintu kamar Shofi, menyeret tubuh lemahnya karena kelelahan. Ada sedikit kantuk
Sebelum subuh bangun, Bunda sudah bersiap di halaman rumah. Dia memenuhi meja dengan aneka macam sayuran matang juga bubur bersantan. Selain itu, Bunda pun mengangkut kompor gas dari dapur ke halaman rumah, diletakkan di sebelah meja panjang. Di atasnya ada wajan penggorengan yang digunakan untuk menggoreng aneka macam gorengan, seperti; pisang goreng, tempe kemul, tahu susur, dan gethuk cotot—makanan khas daerah Jawa. Bunda begitu bersemangat, langkahnya yang hilir-mudik disambut oleh kokok ayam tetangga. Ada pun burung yang masih leyeh-leyeh di kabel listrik, ikut melirik aktivitas Bunda yang lain dari biasanya. Aroma masakan Bunda membuat perut lapar orang-orang sibuk di pagi hari. Beberapa kaum pekerja yang tengah mengenakan seragam rapi tetapi masih bersendal jepit bergerak menuju rumah Bunda. “Sejak kapan jualan, Bu?” sapa seorang wanita bertubuh ramping yang mengenakan jilbab tipis. Bibirnya merah merekah karena dipoles gincu tebal. Bau parfume begitu menyengat, membuat Bunda
Sore pada hari selanjutnya, Bos Bagong mengeluarkan Shofi dari dalam gudang. Entah sejak kapan Putra pergi dari ruangan, Shofi jatuh tertidur di lantai karena kelelahan. Shofi belajar memahami perasaan Putra yang belum siap menerima kenyataan paling pahit dalam keluarganya. Bahwa, mayoritas kemewahan yang dimiliki merupakan hasil dari pekerjaan terlarang, sebagian dari buruh wanita yang terdesak dan menderita. "Cuci wajahmu di kamar mandi dapur, segera berias yang rapi lalu masuk melalui pintu depan!" perintah Bos Bagong. Shofi menuruti dengan langkah letih. Bos Bagong tentu sudah melarang istrinya untuk turun dari lantai dua. Dia menyiapkan film romantis di dalam kamar supaya Bu Ika tidak keluar di jam tersebut. Apa yang dilakukan Shofi terus diintai, bahkan pria tua itu menyiapkan tas selempang kecil yang perlu dikalungkan di bahu Shofi supaya tidak dicurigai. Setelah Shofi berada di depan pintu utama, berpura menekan bel rumah, Bos Bagong berteriak memanggil Bu Ika, menyuruh t