Terima kasih kepada pembaca novel saya yang masih setia mengikuti alurnya sampai bab ini. Dinantikan saran dan kritikan yang membangunnya, ya! Selamat membaca!
Sebelum subuh bangun, Bunda sudah bersiap di halaman rumah. Dia memenuhi meja dengan aneka macam sayuran matang juga bubur bersantan. Selain itu, Bunda pun mengangkut kompor gas dari dapur ke halaman rumah, diletakkan di sebelah meja panjang. Di atasnya ada wajan penggorengan yang digunakan untuk menggoreng aneka macam gorengan, seperti; pisang goreng, tempe kemul, tahu susur, dan gethuk cotot—makanan khas daerah Jawa. Bunda begitu bersemangat, langkahnya yang hilir-mudik disambut oleh kokok ayam tetangga. Ada pun burung yang masih leyeh-leyeh di kabel listrik, ikut melirik aktivitas Bunda yang lain dari biasanya. Aroma masakan Bunda membuat perut lapar orang-orang sibuk di pagi hari. Beberapa kaum pekerja yang tengah mengenakan seragam rapi tetapi masih bersendal jepit bergerak menuju rumah Bunda. “Sejak kapan jualan, Bu?” sapa seorang wanita bertubuh ramping yang mengenakan jilbab tipis. Bibirnya merah merekah karena dipoles gincu tebal. Bau parfume begitu menyengat, membuat Bunda
Sore pada hari selanjutnya, Bos Bagong mengeluarkan Shofi dari dalam gudang. Entah sejak kapan Putra pergi dari ruangan, Shofi jatuh tertidur di lantai karena kelelahan. Shofi belajar memahami perasaan Putra yang belum siap menerima kenyataan paling pahit dalam keluarganya. Bahwa, mayoritas kemewahan yang dimiliki merupakan hasil dari pekerjaan terlarang, sebagian dari buruh wanita yang terdesak dan menderita. "Cuci wajahmu di kamar mandi dapur, segera berias yang rapi lalu masuk melalui pintu depan!" perintah Bos Bagong. Shofi menuruti dengan langkah letih. Bos Bagong tentu sudah melarang istrinya untuk turun dari lantai dua. Dia menyiapkan film romantis di dalam kamar supaya Bu Ika tidak keluar di jam tersebut. Apa yang dilakukan Shofi terus diintai, bahkan pria tua itu menyiapkan tas selempang kecil yang perlu dikalungkan di bahu Shofi supaya tidak dicurigai. Setelah Shofi berada di depan pintu utama, berpura menekan bel rumah, Bos Bagong berteriak memanggil Bu Ika, menyuruh t
Semuanya tertinggal amarah dan harapan supaya di masa selanjutnya akan baik-baik saja. Sayangnya hal itu terasa mustahil. Gus Farhan kabur tidak ditemukan. Bawon kehilangan kepercayaan. Dia dihajar habis-habisan oleh Bos Bagong.“Cung! Aku tidak membayarmu untuk tiduran! Jadi mengapa pemuda itu bisa hilang, hah?” sentak Bos Bagong sambil menendang lutut Bawon. Kepala Bawon menunduk demikian dengan tatapannya. Ia sungguh tidak berani membalas tatapan sang majikan yang tengah dibakar murka. Di rumah dia terancam oleh mulut Shofi yang sewaktu-waktu akan membuka aib, di diskotik ia kehilangan orang yang dijadikan sandera. Orang itu tentunya akan menjadi benalu dan pengusik rutinitas mencari uang gelapnya setiap malam. Bos Bagong melempar gelas bir yang isinya baru saja dia tenggak. Pecahan gelas berserak di permukaan lantai, membuat penjaga diskotik yang lain semakin merapatkan genggaman tangan juga bertambah tunduk. Malam menghadirkan ketakutan akut di benak Bos Bagong. Jika sudah sepe
Kelegaan yang tidak tanggung-tanggung, membuat Gus Farhan puas dan dipenuhi dengan rasa syukur. Ia telah berhasil membuktikan kepada alam bahwa pernyataan perihal Shofi dalam pandangan negatif luntur sesaat. Shofi bukan gadis yang dipenuhi dengan maksiat, dia berperingai luhur dengan terus menjaga marwahnya sebagai seorang Muslimah. Aurat senantiasa dibungkus rapat, pandangannya juga tidak menggeliat centil penuh godaan sebagaimana kaum penghibur.“Saya bisa mengantarmu pulang,” seloroh Gus Farhan dengan nada lembut.Angin pagi mendesis perlahan. Daun-daun bugenvil di halaan rumah berguguran. Kecantikan wajah Shofi dikalahkan oleh kelopak-kelopak bunga adenium dan kamboja yang tumbuh subur di dalam pot bercor semen. Wajah Shofi memang pucat, menyimpan banyak penderitaan. Akan tetapi semua hal muram telah diusir oleh kedatangan pemuda ringkih bersuara serak.Tepatkah jika dia pulang detik itu? Putra yang memilih menyingkirkan diri, mengunci rapat masuk ke dalam kamar pribadi. Bu Ika ya
Kunci Cadangan“Buka!” teriak Mahes sambil menendang permukaan pintu. Kamar Putra terkunci rapat.Ada hal yang menjadi benalu di dalam pikiran Mahes. Ia paham betul gelagat teman yang sudah seperti saudara kembar tersebut. Ya … memang mereka renggang akhir-akhir itu, tetapi percayalah sesungguhnya ada keterikatan yang sudah erat karena dulu sering melakukan apa pun bersama-sama. Sekali lagi, Putra menjadi lebih menjaga jarak pasca kecelakaan tragis yang membuat kakinya lumpuh.Gus Farhan menyeret Kang Zaki ke luar rumah. Dia merasa malu dengan tutur tidak sopan Kang Zaki. Memilih pergi setelah merasa cukup mendapatkan informasi keberadaan Shofi dan kondisinya yang dalam keadaan baik. Sesungguhnya dia pun agak kecewa karena Shofi menolak diajak pulang, tetapi mau bagaimana lagi, dia tidak bisa memaksa kehendak orang yang masih asing di dalam hidupnya.“Buka!” Mahes tidak berhenti menggedor pintu.Ada pertanyaan rumpang yang tidak dijawab oleh embusan angin pagi itu. Rumah sebesar itu t
Setelah dua jam melakukan perjalanan, Shofi tiba di depan gapura pondok pesantren. Ia begitu terharu, aroma pindang Yumna tercium kembali, tote bag yang dicucikan oleh Gus Farhan kembali terkenang. Wajah yang begitu teduh itu melambai-lambai di ambang kenangan. Suara khas penuh kedamaian. Jiwanya penuh getaran, ada riak haru yang meletup-letup. Sejujurnya selain rumah, ia juga amat merindukan lingkungan hidupnya zaman dulu—pabrik roti, teman-teman bekerja yang ketakutan jika Koh Akong melakukan observasi, rutinitas mengantar kiriman untuk Yumna dan berantem dengan Agam di rumah karena persoalan sepele. Bisa tiba di pondok, maka sebentar lagi dia pasti akan kembali ke rumah menemui Bunda, sosok hawa yang ingin segera dia peluk erat-erat.Rasanya baru kemarin terjebak di gudang diskotik, diancam oleh Bos Bagong dan Bawon jika berani berbuat salah, disuruh bekerja sampai larut menuangkan bir dan melayani para pemabuk yang suka jahil bahkan bicara sembarangan. Telinganya gaduh dengan mus
Ada meja yang permukaannya dilambari menggunakan telapak usang. Noda angus menjadi karak di lantai. Tempat sampah dikerubungi lalat, juga bekas bubur yang belum sempat dibersihkan. Rumah masa kecil Shofi dipenuhi kenangan kabur yang menjadi lebur sebagaimana cat dinding yang kian luntur. Tanaman di pot-pot tidak terawat, daunnya dibiarkan kering dan mengeriput sementara gulma menjadi subur amat liar. Halaman rumah itu diserbu angin yang menerbangkan sampah-sampah robekan koran. Bunda belum sempat menyapu, begitu gumam Shofi di dalam pikiran. Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun disekap oleh Bos Bagong, ia kembali menginjakkan kaki di halaman kelahirannya. Ada air mata haru tidak tanggung-tanggung. Tidak bisa diterjemahkan menggunakan kata-kata. Kebahagiaan melambung tinggi menembus awan kelabu di langit bersama rindu tidak berkesudahan. Dia ingin bersegera memeluk Bunda. Meski banyak pertanyaan, perihal akivitas apa yang selama itu dilakukan oleh Bunda, berjualan bubur, itu duga
Agam telah berkeliling ke gang-gang kampung, dia mengunjungi setiap warung kelontong yang masih buka. Wajahnya pias dan pucat ketika tidak seorang pun mengetahui keberadaan Bunda. Dia melangkah menuju pinggiran kampung, di sana terdapat toko sembako lengkap yang cukup terkenal, biasanya dijadikan warga untuk kulakan dagangan. Agam hanya berharap bisa menemukan Bunda di tempat itu. Tetap saja hasilnya percuma. Agam melanjutkan menuju ke arah kota, memastikan tempat-tempat yang sering dikunjungi Bunda, tidak terlewatkan pabrik roti Koh Akong dan pondok pesantren Asmaul Khusna, acuh pada keberadaan Shofi yang dahulu pernah dia cari susah payah. Kakaknya menjadi tak bernilai. Akan tetapi, sampai petang datang Agam tetap tidak menemukan keberadaan Bunda—Ibunya itu seperti ditelan bumi. Hatinya mulai dongkol dengan kepulangan Shofi. Dia bahkan mampir ke tempat tinggal Anggi, rumah bernuansa muram yang dicat keremangan cahaya bulan. Dindingnya serapuh tubuh Anggi, lantai retak sebagaimana h