Agam telah berkeliling ke gang-gang kampung, dia mengunjungi setiap warung kelontong yang masih buka. Wajahnya pias dan pucat ketika tidak seorang pun mengetahui keberadaan Bunda. Dia melangkah menuju pinggiran kampung, di sana terdapat toko sembako lengkap yang cukup terkenal, biasanya dijadikan warga untuk kulakan dagangan. Agam hanya berharap bisa menemukan Bunda di tempat itu. Tetap saja hasilnya percuma. Agam melanjutkan menuju ke arah kota, memastikan tempat-tempat yang sering dikunjungi Bunda, tidak terlewatkan pabrik roti Koh Akong dan pondok pesantren Asmaul Khusna, acuh pada keberadaan Shofi yang dahulu pernah dia cari susah payah. Kakaknya menjadi tak bernilai. Akan tetapi, sampai petang datang Agam tetap tidak menemukan keberadaan Bunda—Ibunya itu seperti ditelan bumi. Hatinya mulai dongkol dengan kepulangan Shofi. Dia bahkan mampir ke tempat tinggal Anggi, rumah bernuansa muram yang dicat keremangan cahaya bulan. Dindingnya serapuh tubuh Anggi, lantai retak sebagaimana h
Agam telah tiba di depan toserba ketika jalanan melengang dan suasana malam semakin jauh dari keramaian. Untuk hari itu juga, diskotik tutup rapat, barangkali sedang ambil cuti persiapan menjelang Bulan Ramadhan. Akan banyak tempat gemerlap yang diliburkan menyambut bulan suci tersebut. Agam abai dengan hal itu, ia fokus pada seorang gadis yang menyandarkan kepala di atas meja. Tubuhnya terduduk di atas kursi. Dinding kaca yang menampilkan aneka ragam makanan ringan menjadi bigron. Ia menendang kaki kursi sehingga tubuh Shofi terjengkang, jatuh, mukanya menyentuh lantai. Dia terbangun karena kaget. "Agam?" desis Shofi sambil mengamati sekitar. Sikap pemuda dengan kaos pendek selegam arang itu menarik perhatian Zea, juga karyawan yang jaga shift malam. Zea meninggalkan kasir, dia menuju pintu kaca, mendorong tergesa. "Kurang ajar! Seharusnya kau tidak pernah menampakkan wajahmu, Shof! Lenyap saja dari kehidupan ini! Keberadaanmu hanya membuat Bunda celaka!" sentak Agam. Dua tangan
Akan tetapi Bunda pantang menyerah, setelah tiba di pemukiman padat penduduk, Bunda menyetop langkah sepeda motor Agam. Angin membuat jilbabnya berkinar-kibar, ada hawa dingin yang mencekam, tetapi semua itu tidak membuatnya gentar, ia terus bertekad gencar bermaksud melindungi putri yang ari-arinya pernah singgah di rahimnya. Bunda sangat bersyukur dan banyak ucap terima kasih kepada Pencipta sebab sudah mempertemukannya dengan Shofi, dia senang sekalipun pertemuannya menyedihkan. Setidaknya Shofi masih hidup, ada harapan untuk memberi pertolongan dan membawa pulang. Bunda menuruti permintaan Agam untuk meninggalkan rumah mangkrak itu karena ingin mencari bala bantuan dari warga terdekat. "Buat apa berhenti, Bunda. Kita harus pulang sebelum preman itu mengejar kita," sentak Agam juga terus memacu langkah roda motor. "Kamu tidak ingin menyelamatkan kakakmu?" "Kenapa harus diselamatkan Bunda? Dia terjerumus ke dunia gelap karena kemauannya, buat apa dipedulikan? Karena ulahnya hidup
Aroma karbol menguasai penciuman Putra. Ia terus memandang langit-langit kamar, banyak diam sekalipun Bu Ika memberondongnya dengan berbagai pertanyaan. "Ada apa, Putra? Ceritakan semuanya kepada Ibu, jangan dipendam sendiri!" Putra tidak memberi balasan. Mustahil penjelasan perihal Bos Bagong ke luar dari bibirnya. Ia khawatir raut wajah ibunya akan bertambah gelap ketika mengetahui kebenarannya. "Kamu memang belum bisa berjalan lagi, Putra. Tetapi kalau kamu rutin terapi dan mau mendengar saran dokter, kakimu pasti bisa pulih seperti sedia kala, jangan membuat takut orang tuamu, Putra. Mendengarmu kecelakaan sudah membuat ibu nyaris gila apalagi jika ...." Bu Ika terisak, ia menutup sebagian wajah dengan telapak tangan. "Ampuni khilaf ibu jika belum bisa merawatmu sungguh-sungguh, ibu hanya bingung ... ibu tidak tahu apa yang harus dilakukan," kisah Bu Ika lagi. Tangan dengan cincin berlian itu kemudian digerakkan turun mengarah pada pergelangan tangan Putra yang dilingkari den
Bu Ika terus melangkah, menjauhi rumah. Ia pulang diantar mobil online, sudah tidak sempat memesan ulang. Amukan masa bertambah dahsyat, wajahnya bahkan dilempari menggunakan telur busuk, entah dari mana mereka membawa—lebih tepatnya entah sejak kapan mereka menyiapkan semua rencana mengerikan tersebut. Tatapan garang, suara lantang penuh luapan amarah, kebaikan-kebaikannya terkubur dalam hitungan detik. Langkahnya bergerak mundur. Rumah mewah pemberian Hendra tidak lagi gagah, kesan kepedulian perihal cinta apalagi kasih sayang bubar semua. Dia mengutuk suaminya sendiri, benci setengah butuh bantuan di dalam keadaan genting. Bu Ika melaju tunggang-langgang terisak-isak, riasan wajahnya rusak, aroma tubuh yang biasa wangi mendadak menguarkan keringat. Matahari bertengger di atas ubun anak-anak manusia. Kendaraan berserak sebagaimana semestinya, menuju kesibukan masing-masing, mengantar keperluan atau meninggalkan jejak kepulangan. Toko-toko mulai buka, menampilkan dagangan sebersih m
Zea menuangkan sampah ke tong sampah di sebelah parkiran. Sudah sejak kemarin sampah itu numpuk karena tidak dibersihkan oleh Agam. Pemuda itu bertindak semau diri, seolah-olah toserba milik orang tuanya. Lebih mencengangkan lagi, kemarin Agam datang untuk mengajukan surat pengunduran diri. Dia kesal, tetapi juga tidak bisa melarang. Kini dia bekerja dengan karyawan baru, seorang perempuan yang berambut pirang, berkacamata dan mohon maaf—pendengarannya agak kurang. Zea merasa dirugikan atas kepergian Agam. Di depan toserba, duduk dua orang berpakaian serba jins, bedanya yang satu warnanya mulai pudar, satunya lagi pada bagian lutut kainnya berlubang, entah disengaja atau memang karena sudah tak layak pakai. Keduanya sama-sama memakai gelang rantai. Hal paling menonjol yang membedakan identitas mereka adalah kepalanya botak dan satunya dipenuhi rambut penuh uban. Zea tidak heran dengan orang seperti itu tongkrong di toserbanya, lagi pula di seberang jalan ada tempat dugem yang pernah
Tempat yang semula riuh dengan tepuk tangan, lompatan tubuh anak muda juga berserakan obrolan-obrolan pelampiasan penuh umpatan, mendadak sepi. Halaman parkir dikerubungi dengan sampah plastik dan botol soft drink. Debu berhamburan dipermainkan angin. Gerbang besi mendadak menampilkan karat, lama tidak diusap tangan kekar satpam. Gus Farhan menendang pintu gerbang, gembok rantai menciptakan bunyi gaduh. Karena tidak ada yang membukakan, Gus Farhan akhirnya memanjat gerbang. Ballroom kosong, dihuni kenangan asing yang menyisakan jejak di meja-meja bar. Botol-botol minuman keras masih utuh di dalam krak, tersusun rapi di sebelah kulkas dan freezer. Tiada waitres, apalagi pengunjung, mic karaoke juga ambil cuti, musik gemuruh libur total. Ruang itu serupa kuburan yang ditinggal hidup-hidup. Gus Farhan menuju gudang tempatnya disekap, pada bagian belakang, melalui lorong gelap kemudian menuruni beberapa anak tangga, akan tetapi di saja juga hanya keasingan yang menyergap. Sekujur ruang di
"Pikirkan baik-baik, kalau saya masuk polisi, apakah kau akan keluar dengan selamat detik ini?" geretak Bos Bagong sambil menjambak rambut yang dibungkus jilbab Shofi. "Lepas!" "Hahaha. Gadis pembawa sial!" umpat Bos Bagong lantas menendang kursi yang digunakan untuk mengikat tubuh malang Shofi. Kursi itu terpental, membentur dinding, menciptakan suara gaduh tetapi tidak seorang pun memberi bantuan, justru ikut mentertawakan. Penderitaan Shofi menjadi guyonan. Bos Bagong melanjutkan aksi, dia menendang lutut Shofi. "Bisnisku porak-poranda karena gadis brengsek sepertimu, biadab!" Kaki Shofi dipancal kuat-kuat. "Kau akan mendapat pembalasan atas semua perbuatanmu!" sentak Shofi menolak gentar. Dia menatap nyalang Bos Bagong, berharap dengan demikian Bos Bagong ciut. "Ceramah lagi, dasar mulut sok suci!" Bos Bagong menyuruh Bawon mendirikan kursi, sementara Juned diperintah mengambil potongan kayu yang berserak di lantai. Entah ada di daerah mana, tetapi mereka sulit ditemukan. Sa