Akan tetapi Bunda pantang menyerah, setelah tiba di pemukiman padat penduduk, Bunda menyetop langkah sepeda motor Agam. Angin membuat jilbabnya berkinar-kibar, ada hawa dingin yang mencekam, tetapi semua itu tidak membuatnya gentar, ia terus bertekad gencar bermaksud melindungi putri yang ari-arinya pernah singgah di rahimnya. Bunda sangat bersyukur dan banyak ucap terima kasih kepada Pencipta sebab sudah mempertemukannya dengan Shofi, dia senang sekalipun pertemuannya menyedihkan. Setidaknya Shofi masih hidup, ada harapan untuk memberi pertolongan dan membawa pulang. Bunda menuruti permintaan Agam untuk meninggalkan rumah mangkrak itu karena ingin mencari bala bantuan dari warga terdekat. "Buat apa berhenti, Bunda. Kita harus pulang sebelum preman itu mengejar kita," sentak Agam juga terus memacu langkah roda motor. "Kamu tidak ingin menyelamatkan kakakmu?" "Kenapa harus diselamatkan Bunda? Dia terjerumus ke dunia gelap karena kemauannya, buat apa dipedulikan? Karena ulahnya hidup
Aroma karbol menguasai penciuman Putra. Ia terus memandang langit-langit kamar, banyak diam sekalipun Bu Ika memberondongnya dengan berbagai pertanyaan. "Ada apa, Putra? Ceritakan semuanya kepada Ibu, jangan dipendam sendiri!" Putra tidak memberi balasan. Mustahil penjelasan perihal Bos Bagong ke luar dari bibirnya. Ia khawatir raut wajah ibunya akan bertambah gelap ketika mengetahui kebenarannya. "Kamu memang belum bisa berjalan lagi, Putra. Tetapi kalau kamu rutin terapi dan mau mendengar saran dokter, kakimu pasti bisa pulih seperti sedia kala, jangan membuat takut orang tuamu, Putra. Mendengarmu kecelakaan sudah membuat ibu nyaris gila apalagi jika ...." Bu Ika terisak, ia menutup sebagian wajah dengan telapak tangan. "Ampuni khilaf ibu jika belum bisa merawatmu sungguh-sungguh, ibu hanya bingung ... ibu tidak tahu apa yang harus dilakukan," kisah Bu Ika lagi. Tangan dengan cincin berlian itu kemudian digerakkan turun mengarah pada pergelangan tangan Putra yang dilingkari den
Bu Ika terus melangkah, menjauhi rumah. Ia pulang diantar mobil online, sudah tidak sempat memesan ulang. Amukan masa bertambah dahsyat, wajahnya bahkan dilempari menggunakan telur busuk, entah dari mana mereka membawa—lebih tepatnya entah sejak kapan mereka menyiapkan semua rencana mengerikan tersebut. Tatapan garang, suara lantang penuh luapan amarah, kebaikan-kebaikannya terkubur dalam hitungan detik. Langkahnya bergerak mundur. Rumah mewah pemberian Hendra tidak lagi gagah, kesan kepedulian perihal cinta apalagi kasih sayang bubar semua. Dia mengutuk suaminya sendiri, benci setengah butuh bantuan di dalam keadaan genting. Bu Ika melaju tunggang-langgang terisak-isak, riasan wajahnya rusak, aroma tubuh yang biasa wangi mendadak menguarkan keringat. Matahari bertengger di atas ubun anak-anak manusia. Kendaraan berserak sebagaimana semestinya, menuju kesibukan masing-masing, mengantar keperluan atau meninggalkan jejak kepulangan. Toko-toko mulai buka, menampilkan dagangan sebersih m
Zea menuangkan sampah ke tong sampah di sebelah parkiran. Sudah sejak kemarin sampah itu numpuk karena tidak dibersihkan oleh Agam. Pemuda itu bertindak semau diri, seolah-olah toserba milik orang tuanya. Lebih mencengangkan lagi, kemarin Agam datang untuk mengajukan surat pengunduran diri. Dia kesal, tetapi juga tidak bisa melarang. Kini dia bekerja dengan karyawan baru, seorang perempuan yang berambut pirang, berkacamata dan mohon maaf—pendengarannya agak kurang. Zea merasa dirugikan atas kepergian Agam. Di depan toserba, duduk dua orang berpakaian serba jins, bedanya yang satu warnanya mulai pudar, satunya lagi pada bagian lutut kainnya berlubang, entah disengaja atau memang karena sudah tak layak pakai. Keduanya sama-sama memakai gelang rantai. Hal paling menonjol yang membedakan identitas mereka adalah kepalanya botak dan satunya dipenuhi rambut penuh uban. Zea tidak heran dengan orang seperti itu tongkrong di toserbanya, lagi pula di seberang jalan ada tempat dugem yang pernah
Tempat yang semula riuh dengan tepuk tangan, lompatan tubuh anak muda juga berserakan obrolan-obrolan pelampiasan penuh umpatan, mendadak sepi. Halaman parkir dikerubungi dengan sampah plastik dan botol soft drink. Debu berhamburan dipermainkan angin. Gerbang besi mendadak menampilkan karat, lama tidak diusap tangan kekar satpam. Gus Farhan menendang pintu gerbang, gembok rantai menciptakan bunyi gaduh. Karena tidak ada yang membukakan, Gus Farhan akhirnya memanjat gerbang. Ballroom kosong, dihuni kenangan asing yang menyisakan jejak di meja-meja bar. Botol-botol minuman keras masih utuh di dalam krak, tersusun rapi di sebelah kulkas dan freezer. Tiada waitres, apalagi pengunjung, mic karaoke juga ambil cuti, musik gemuruh libur total. Ruang itu serupa kuburan yang ditinggal hidup-hidup. Gus Farhan menuju gudang tempatnya disekap, pada bagian belakang, melalui lorong gelap kemudian menuruni beberapa anak tangga, akan tetapi di saja juga hanya keasingan yang menyergap. Sekujur ruang di
"Pikirkan baik-baik, kalau saya masuk polisi, apakah kau akan keluar dengan selamat detik ini?" geretak Bos Bagong sambil menjambak rambut yang dibungkus jilbab Shofi. "Lepas!" "Hahaha. Gadis pembawa sial!" umpat Bos Bagong lantas menendang kursi yang digunakan untuk mengikat tubuh malang Shofi. Kursi itu terpental, membentur dinding, menciptakan suara gaduh tetapi tidak seorang pun memberi bantuan, justru ikut mentertawakan. Penderitaan Shofi menjadi guyonan. Bos Bagong melanjutkan aksi, dia menendang lutut Shofi. "Bisnisku porak-poranda karena gadis brengsek sepertimu, biadab!" Kaki Shofi dipancal kuat-kuat. "Kau akan mendapat pembalasan atas semua perbuatanmu!" sentak Shofi menolak gentar. Dia menatap nyalang Bos Bagong, berharap dengan demikian Bos Bagong ciut. "Ceramah lagi, dasar mulut sok suci!" Bos Bagong menyuruh Bawon mendirikan kursi, sementara Juned diperintah mengambil potongan kayu yang berserak di lantai. Entah ada di daerah mana, tetapi mereka sulit ditemukan. Sa
Bukan hanya Gus Farhan yang kecewa, Shofi pun tidak mengerti dengan pikiran Koh Akong. Taipan itu cukup terpandang, kaya raya, baik hati ... tetapi alasan apa yang membuatnya terjebak dengan persengkongkolan bersama Bos Bagong? "Sekali ini, lindungi saya!" pinta Bos Bagong penuh harap sambil bersimpuh di hadapan Koh Akong, ia menangkupkan telapak tangan kemudian menggosok-gosokkannya. "Maaf Bagong, kamu sudah kelewatan, menangkap orang tidak bersalah, bahkan baik-baik, Shofi ini karyawan teladan saya, awalnya mau saya maklumi, tetapi saya tidak bisa mengabaikan permintaan Farhan yang meminta bantuan, dia anak sahabat dekat saya, tidak tega membiarkannya memohon begitu tulus. Mulai detik ini jangan setor uang ke saya lagi, semua setoranmu di masa lalu juga akan saya kembalikan, kau layak dipenjara, Gong!" kata Koh Akong panjang lebar. "Kenapa kau mengecewakan saya, Koh?" tuntut Gus Farhan. "Ingat, Han. Imbalanmu saya menyelamatkan Shofi, sering datang ke pabrik, kamu sudah saya angg
"Di mana hati nuranimu, Nggi?" tuntut Agam. Malam kemarin, dia mendengar pergerakan kaki Anggi. Perempuan berambut pirang dengan wajah masam itu tidak berkutik setelah Agam menarik tangannya kuat-kuat kemudian mendudukkan di kursi teras. Dia mengikat tangan Anggi kepada kursi sementara dirinya lari ke rumah sakit, lantas kembali ke rumah Anggi setelah Shofi mendapat perawatan. Orang yang lalu lalang di depan rumah mencari nasi kucing di angkringan bisa melihat manusia mendiami malam tanpa kenal waktu. Mereka tidak tidur sampai pagi, sibuk berkutat dengan pertanyaan yang sukar dijawab oleh Anggi. Puluhan kali Agam menggertak, jawabannya hanya pengabaian atau justru umpatan. Pagi mengetuk pintu langit timur, burung hantu yang semalam bertengger di atas genting telah kabur mencari persembunyian, sinar matahari merayap di permukaan daun-daun liar, hinggap di atas gulma, menyiram lumut-lumut pada dinding, juga membasuh wajah letih Agam serta Zea yang mendadak tertidur di atas kursi bamb
Ruang itu temaram, lampu jamur di atas meja kecil sebelah ranjang dinyalakan. Aroma wewangian mawar mendominasi lubang hidung. Shofi tengah duduk di hadapan cermin, dia mematut wajahnya yang tegang, ada ketakutan akut yang tidak bisa dia hindari. Bayangan pria bertubuh kekar menarik tubuhya dengan paksa. Jeritan permintaan tolong yang tidak dipedulikan oleh telinga-telinga orang awam membuatnya terjebak pada dimensi kelam. Dia sudah resmi menjadi istri Gus Farhan melalu pertentangan restu berkali-kali, pada akhirnya Abah Aziz dan Umi mengalah. Baiklah masa depan miliknya Gus Farhan secara utuh. Hal yang diharapkan manis di malam romantis bersaksikan milyaran titik gerimis di luar sana justru disambut oleh tangis. Shofi tersedu-sedu meminta maaf kepada Gus Farhan. Sudah satu bulan penuh dirinya tinggal serumah bersama Gus Farhan, satu atap dalam satu ruang tetapi pisah ranjang ... ya tubuh mereka belum bersentuhan sama sekali. Ada hal yang menjanggal. Shofi terlarut dalam trauma psiki
Ketika meja sarapan menghidangkan sepiring tempe mendoan dengan kepulan hangat, dilengkapi tiga buah bubur bersahabat sayur tahu kuning berkuah santan, ketika pagi dirimbuni embun semalam dan daun-daun masih basah. Malam tadi ada gerimis Mei yang membasuh bumi. Bunga alamanda milik tetangga menguning indah bersama butiran air. Jendela melukis air terjun, sementara udara menyergap dalam dingin tidak berkesudahan. Mereka bertiga sarapan bubur buatan tangan Bunda. Hari itu minggu, Bunda mengambil libur jualan. Ada setoples kerupuk udang yang menjadi saksi kebersamaan mereka. Agam menyantap bubur serupa orang tidak makan satu hari penuh. Shofi sesekali mencuri pandang kelakuan sang adik, sepertinya dia tidak sedang lapar, tetapi ada aura kebahagiaan yang membuat nafsu makannya bertambah. Zea, gadis toserba itu, sosok yang menjadikan alasannya lari tergesa, sudah pasti menjadi alasan Agam makan begitu nikmat. "Zea sepertinya sholihah, dia menutup aurat dan kelebihannya adalah cantik," cel
Selajur sinar neon menyiram wajah Gus Farhan, dia setengah rebah di atas dipan, melembari surat Shofi yang kemarin belum terbaca tuntas tetapi jantungnya telah ditabuh penuh kemenangan. Bibir merah tipisnya menyungging, bibir yang tak akan pernah dia kotori menggunakan nikotin apalagi kata-kata dusta, serupa janji manis. Bising serangga malam di luar kamar bagaikan koor lagu romantis detik itu. ...'Satu hal yang pasti darimu semenjak kita bertemu, Farhan. Kau tampan, lalu kau baik karena mau memberi pertolongan kepadaku yang belum dikenal. Hatimu begitu ikhlas. Ini bukan bentuk pujian, tetapi begitulah kenyataan tersurat untukmu. Kalau untuk orang yang tidak dikenal saja kau berani mempertaruhkan harga diri dan keselamatanmu, maka aku pastikan kamu orang bertanggungjawab. Untuk itu, tanggunglah kesedihan dan hidupku di masa depan. Ayo kita menikah, kita lawan kegelisahan dan cobaan-cobaan kehidupan. Aku tidak akan mengajakmu hidup bahagia, sesungguhnya kebahagiaan hanyalah kamuflase
Pemuda itu menekan tombol untuk menjalankan roda secara otomatis, kemudian dia menyetirnya ke kanan dan ke kiri menuju garasi. Putra yang malang, dia meringis kesakitan, menahan bulir-bulir peluh, menyeret dua kakinya yang mati rasa, berat seumpama ditindih batu ratusan kilo. Kalau pantas, sudah diungsikan kaki-kakinya yang tiada guna itu. Mereka hanya menjadi beban, tidak bisa digunakan sekali pun dalam posisi Putra ingin berlari. Ya, sungguh pada petang itu dia ingin mendatangi toserba yang dibicarakan warga netizen, seorang konten kreator mengunggah vidio pertengkaran dua kaum hawa di media sosial, dan entah bagaimana ceritanya mendadak kontennya viral—karena menggunakan tagline 'Gadis Bar Berjilbab, Shofi dan Gus Farhan.' Padahal anak satu-satunya Abah Aziz itu sedang tidak di lokasi. "Kumohon ...," rintihnya sambil bersusah payah menaiki mobil. Setelah berhasil kursi rodanya ditarik kemudian dilipat di sisinya. Ia mengusap keringat dengan punggung tangan. Lantas menghubungi Mahe
Pop up pesan di layar ponsel Agam membuat pemuda itu langsung lompat ke halaman rumah, ia seret sepeda motornya di bawah kain langit yang membentang jingga. Shofi yang baru saja duduk menikmati teh hangat seduhan Bunda dibuat terkejut olehnya. "Ada apa, Gam?" teriak Shofi, dia pun lari menghampiri Agam. "Temanku berantem," celetuk Agam. "Sejak kapan dirimu punya teman?" seru Shofi dengan kening berkerut. Agam menghela napas panjang, dia kemudian menumpangi sepeda motor, menyalakan mesin. "Aku ikut!" "Enggak! Ini bukan urusanmu!" sergah Agam dengan suara lantang, lebih keras dari amukan petir sewaktu badai. Ada hal yang tidak ingin dipertemukan oleh Agam, kakaknya berada di mode tenang. Jika dia melihat sosok Anggi, maka peperangan batinnya akan kembali mengamuk. Beberapa hari ini, Shofi terlihat murung, Agam belum mengetahui penyebabnya, jika Anggi hadir dalam kehidupan sekarang, maka batin saudaranya akan terkungkung dalam amarah dan kebencian. Agam tidak mau saudaranya menderit
"Hei kau tahu kabar gadis bar yang dulu pakai jilbab?" tanya seorang remaja yang duduk di kursi tunggu toserba, mereka tengah asyik menikmati cemilan ringan dan soft drink aneka rasa. "Pernah dengar sih, cuma agak blur, nggak nyimak medsos, ada apa?" "Ternyata dia diselamatkan oleh Gus Farhan, tahu kan pemuda tampan putranya Kyai Aziz? Gara-gara dia nama Gus Farhan sempat menjadi perbincangan," "Lah kok bisa Gus Farhan dekat dengan gadis bar, okelah dia berjilbab, tapi kan lingkungannya buruk!" celetuk temannya kemudian menenggak minuman. "Menurut berita sih gadis itu ternyata dijebak oleh Bos Bagong, dipekerjakan tanpa gaji, tapi ya entahlah, namanya juga kabar kabur," "Bos Bagong itu siapa?" "Itu nama gelapnya Pak Hendra, si pengusaha yang mempunyai berbagai toko bangunan, kau tahu?" "Hmmm, nggak kenal sih, cuma kejam juga itu si Bos Bagong, masak iya mau mempekerjakan orang tapi nggak mau bayar, lah duitnya diapakan?" "Itu dia, aneh kan? Bukan hanya gadis itu saja yang dipe
Pemuda itu tengah menunggu kepulangan Shofi, dia seperti biasa diantar oleh Mahes. Keduanya seperti jarum dan benang, saling berkaitan jika mau digunakan. Putra memandang langit sementara Mahes sibuk duduk di atas kursi bambu dengan memoles layar gawai. Dia merasa rumah Shofi begitu miris, kecil dan tampak memperihatinkan. Bunda menyambut kedua tamunya dengan baik, menyuguhi teh hangat dan pacitan sisa lebaran. Akan tetapi dua bibir milik pemuda itu tidak berselera menyentuh kue yang dihidangkan. Apalagi Putra, pokok pikirannya sedang tertuju kepada Shofi, dia ingin segera bertemu dengan Shofi. "Jadi kamu anaknya Bos Bagong—maaf maksudnya Pak Hendra yang menyekap anak saya itu?" Bunda meluruskan. "Ya, dan Ibu yang ditolong Anda adalah istrinya," Bunda terkejut, begitu lihai takdir menyatukan kehidupan seseorang, hal yang mustahil dijadikan kenyataan, hal yang seolah enggan dilembutkan, menjadi lunak. "Bu Ika?" Putra memberi anggukan, Mahes masih asyik dengan permainan online di p
Bangunan itu berdiri kokoh dengan pondasi berumur senja. Pintu-pintu kamar yang catnya luntur, dipadukan dengan lantai teras yang retak-retak. Engsel jendela kebanyakan rusak. Satu-satunya gedung yang terbilang masih kokoh dan memiliki daya tarik karismatik yakni masjid di dalamnya, apalagi cat dindingnya baru dipoles kemarin sebelum lebaran. Santri piket mengumandangkan takbir di bawah gemerlap lampu yang dinyalakan. Halaman bangunan itu mendadak dirundung sepi selama dua minggu. Santri cuti mengaji, kebanyakan pulang untuk bersilaturahmi dengan keluarga di kampung halaman. Kang Zaki juga tidak kelihatan duduk di kantor pondok putra. Mobil-mobil pondok mangkrak di garasi, itu artinya Abah Aziz, Umi dan Farhan ada di ndalem. Lantas bisakah Shofi menyapa mata teduh pemuda yang pernah menyelamatkannya? April menyapa akhir bulan di kalender masehi, daun-daun trembesi meranggas di halaman asrama, dikombinasi rontokan daun kering rambutan dan kersen. Daun-daun kering itu berserak di atas
Orang-orang bersliweran mengenakan sandang luwes, rapi dan bau pewangi yang baru saja dibeli dari supermarket. Kendaraan-kendaraan berplat putih turun berkeliaran di jalanan kampung, disusul mobil rentalan dari luar kota membludak membuat macet. Petasan berdenging mengusik kedamaian siput kecil di dalam gendang telinga, para sesepuh berkali menggerundel karena terkejut hingga jantungnya mau semaput. Ketika itu, Shofi mengembangkan senyum di hadapan Bunda dan Agam, mereka hanya bertiga, belum memulai perjalanan keliling kampung untuk ulurkan salam permintaan ampun kepada para orang tua. Kebiasaan orang desa, memohon maaf atas khilaf selama setahun penuh baik disengaja maupun tidak disengaja. Hal itu tentu dilakukan pula oleh Agam dan Shofi, sekalipun pemuda berambut cepak yang baru saja cukur kemarin itu sempat bersikap dingin karena menahan malu. “Sudah, jangan jaim, aku telah mengampunimu walaupun kau tidak mau meminta maaf,” ungkap Shofi membunuh kebungkaman waktu. Selepas shalad