Bukan hanya Gus Farhan yang kecewa, Shofi pun tidak mengerti dengan pikiran Koh Akong. Taipan itu cukup terpandang, kaya raya, baik hati ... tetapi alasan apa yang membuatnya terjebak dengan persengkongkolan bersama Bos Bagong? "Sekali ini, lindungi saya!" pinta Bos Bagong penuh harap sambil bersimpuh di hadapan Koh Akong, ia menangkupkan telapak tangan kemudian menggosok-gosokkannya. "Maaf Bagong, kamu sudah kelewatan, menangkap orang tidak bersalah, bahkan baik-baik, Shofi ini karyawan teladan saya, awalnya mau saya maklumi, tetapi saya tidak bisa mengabaikan permintaan Farhan yang meminta bantuan, dia anak sahabat dekat saya, tidak tega membiarkannya memohon begitu tulus. Mulai detik ini jangan setor uang ke saya lagi, semua setoranmu di masa lalu juga akan saya kembalikan, kau layak dipenjara, Gong!" kata Koh Akong panjang lebar. "Kenapa kau mengecewakan saya, Koh?" tuntut Gus Farhan. "Ingat, Han. Imbalanmu saya menyelamatkan Shofi, sering datang ke pabrik, kamu sudah saya angg
"Di mana hati nuranimu, Nggi?" tuntut Agam. Malam kemarin, dia mendengar pergerakan kaki Anggi. Perempuan berambut pirang dengan wajah masam itu tidak berkutik setelah Agam menarik tangannya kuat-kuat kemudian mendudukkan di kursi teras. Dia mengikat tangan Anggi kepada kursi sementara dirinya lari ke rumah sakit, lantas kembali ke rumah Anggi setelah Shofi mendapat perawatan. Orang yang lalu lalang di depan rumah mencari nasi kucing di angkringan bisa melihat manusia mendiami malam tanpa kenal waktu. Mereka tidak tidur sampai pagi, sibuk berkutat dengan pertanyaan yang sukar dijawab oleh Anggi. Puluhan kali Agam menggertak, jawabannya hanya pengabaian atau justru umpatan. Pagi mengetuk pintu langit timur, burung hantu yang semalam bertengger di atas genting telah kabur mencari persembunyian, sinar matahari merayap di permukaan daun-daun liar, hinggap di atas gulma, menyiram lumut-lumut pada dinding, juga membasuh wajah letih Agam serta Zea yang mendadak tertidur di atas kursi bamb
"Terima kasih, Shofi. Kau telah menjaga kepercayaan Bunda dengan baik selama ini," ucap wanita yang sedari tadi terisak. Dia mengayunkan punggung tangan untuk menyeka cairan hangat tersebut. Agam sendiri masih terpaku di luar ruang, ada keraguan untuk menemui Shofi, malu karena perasaan bersalah bersemayam di lubuk hatinya. Kepalan tangan terus diremas untuk menguatkan diri, jujur kakinya mengajak lari dari rumah sakit, bersembunyi di tengah kesibukan orang-orang memburu kebanggan Idul Fitri. Hari itu, rumah sakit mendadak sepi, seolah sudah diatur supaya penyakit berkurang menjelang hari raya. Perawat duduk-duduk membawa daftar tanggung jawab yang harus segera ditunaikan. Dokter memeriksa pasien dengan langkah santai, tidak seburu-buru biasanya karena ada pasien urgent harus dioperasi, atau lantaran pasien lain menunggu giliran. Tubuh Agam menjadi kontras di lorong rumah sakit, bersandar pada dinding di bawah kedamaian pagi yang dingin, matahari telah menyambut hari, menentramkan b
Setelah berdialog beberapa menit, pada akhirnya mereka duduk di dekat ruang laboratorium. Hari itu sepi menggantung di pintu yang tertutup rapat. Ada perawat yang jaga, tetapi tidak ada yang meminta dicek lab. Shofi memilih tempat itu karena jauh dari keramaian, sementara Bunda dipinta menunggu di ruang inap. Ada hal yang perlu dibicarakan dengan Putra. "Aku tidak punya alasan untuk membencimu, Putra." Shofi menempatkan pantat ke kursi tunggu. Mahes yang turut serta dalam obrolan keduanya mendadak berdecak. "Syukurlah," "Persoalannya bagaimana nasib malang Tuan Hendra, jangan terlampau menaruh amarah kepadanya, Putra. Dia demikian karena punya alasan," "Alasan untuk memperkaya diri? Jalan hitam yang dia tempuh faktanya membuat hidupku dipenuhi dengan dosa, Shofi. Aku tidak pernah merasa tentram," protes Putra sambil mengenang kegelapan di jalanan semasa dirinya masih bisa mengayunkan langkah. Aroma alkohol mengendap di kedua lubang, teriakan gadis berpakaian minim terngiang di ge
Abah Aziz sungguh memberi jarak bagi Shofi, dia menolak mempertemukan Gus Farhan dengan gadis itu, sekalipun kondisi anaknya sudah membaik. Kesadaran pulih, sudah sanggup menggerakkan tubuh—bangun dari tempat tidur meski terkadang melangkah tertatih sambil nyengir kesakitan menahan sensasi terbakar di perut. Luka tikaman itu terasa perih bercampur panas sementara di sekitar perut pegal. Gus Farhan kehilangan kenyamanan. Sakit di satu titik membuat seluruh bagian tubuh menjadi remuk. Kantung mata tebal, ada lingkaran hitam di bawahnya, padahal dia sudah banyak tidur karena reaksi obat-obatan. Gus Farhan ingin melongok keadaan di luar, sayangnya seluruh kaca jendela ditutup rapat oleh gorden. Kang Zaki masih setia menjaga di depan pintu, terkadang menemani duduk di sebelah tempat berbaring Gus Farhan—chatting dengan kerabat, teman dekat atau sekadar mengintip kejadian viral di sosial media. Jika bosan, dia kembali hilir mudik di depan pintu, mewanti-wanti Shofi menyelinap masuk. Sudah da
Orang-orang bersliweran mengenakan sandang luwes, rapi dan bau pewangi yang baru saja dibeli dari supermarket. Kendaraan-kendaraan berplat putih turun berkeliaran di jalanan kampung, disusul mobil rentalan dari luar kota membludak membuat macet. Petasan berdenging mengusik kedamaian siput kecil di dalam gendang telinga, para sesepuh berkali menggerundel karena terkejut hingga jantungnya mau semaput. Ketika itu, Shofi mengembangkan senyum di hadapan Bunda dan Agam, mereka hanya bertiga, belum memulai perjalanan keliling kampung untuk ulurkan salam permintaan ampun kepada para orang tua. Kebiasaan orang desa, memohon maaf atas khilaf selama setahun penuh baik disengaja maupun tidak disengaja. Hal itu tentu dilakukan pula oleh Agam dan Shofi, sekalipun pemuda berambut cepak yang baru saja cukur kemarin itu sempat bersikap dingin karena menahan malu. “Sudah, jangan jaim, aku telah mengampunimu walaupun kau tidak mau meminta maaf,” ungkap Shofi membunuh kebungkaman waktu. Selepas shalad
Bangunan itu berdiri kokoh dengan pondasi berumur senja. Pintu-pintu kamar yang catnya luntur, dipadukan dengan lantai teras yang retak-retak. Engsel jendela kebanyakan rusak. Satu-satunya gedung yang terbilang masih kokoh dan memiliki daya tarik karismatik yakni masjid di dalamnya, apalagi cat dindingnya baru dipoles kemarin sebelum lebaran. Santri piket mengumandangkan takbir di bawah gemerlap lampu yang dinyalakan. Halaman bangunan itu mendadak dirundung sepi selama dua minggu. Santri cuti mengaji, kebanyakan pulang untuk bersilaturahmi dengan keluarga di kampung halaman. Kang Zaki juga tidak kelihatan duduk di kantor pondok putra. Mobil-mobil pondok mangkrak di garasi, itu artinya Abah Aziz, Umi dan Farhan ada di ndalem. Lantas bisakah Shofi menyapa mata teduh pemuda yang pernah menyelamatkannya? April menyapa akhir bulan di kalender masehi, daun-daun trembesi meranggas di halaman asrama, dikombinasi rontokan daun kering rambutan dan kersen. Daun-daun kering itu berserak di atas
Pemuda itu tengah menunggu kepulangan Shofi, dia seperti biasa diantar oleh Mahes. Keduanya seperti jarum dan benang, saling berkaitan jika mau digunakan. Putra memandang langit sementara Mahes sibuk duduk di atas kursi bambu dengan memoles layar gawai. Dia merasa rumah Shofi begitu miris, kecil dan tampak memperihatinkan. Bunda menyambut kedua tamunya dengan baik, menyuguhi teh hangat dan pacitan sisa lebaran. Akan tetapi dua bibir milik pemuda itu tidak berselera menyentuh kue yang dihidangkan. Apalagi Putra, pokok pikirannya sedang tertuju kepada Shofi, dia ingin segera bertemu dengan Shofi. "Jadi kamu anaknya Bos Bagong—maaf maksudnya Pak Hendra yang menyekap anak saya itu?" Bunda meluruskan. "Ya, dan Ibu yang ditolong Anda adalah istrinya," Bunda terkejut, begitu lihai takdir menyatukan kehidupan seseorang, hal yang mustahil dijadikan kenyataan, hal yang seolah enggan dilembutkan, menjadi lunak. "Bu Ika?" Putra memberi anggukan, Mahes masih asyik dengan permainan online di p